.HUKUM ZAKAT.
A. Pengertian dan Dasar Hukum Zakat
1. Pengertian Zakat
Zakat secara etimologi merupakan
bentuk isim masdar dari akar kata yang
bermakna an-namā’(tumbuh), al-barakāh (barakah), at-tahārah
(bersih), as-salāh (kebaikan), safwatu asy-Syā’i (jernihnya
sesuatu)[1],
dan al-madu (pujian)[2].
Pengertian
zakat secara etimilogi ini terangkum dalam ayat:
خذمن أموالهم صدقة تطهّرهم وتزكّيهم بهاوصلّ عليهم[3]
Ayat tersebut bermaksud bahwa zakat itu akan
membersihkan, mensucikan dan menumbuhkan pahala orang yang melaksanakannya.[4]
Adapun pengertian zakat secara
terminologis, para ulama memberikan rumusan yang berbeda-beda, diantaranya
adalah:
a.
As-Sayyid
Sabiq
اسم
لما يخرجه الانسان من حقّ الله تعالى الى الفقراء وسميت زكاة لما يكون فيما من
رجاء البركة وتزكية النّفس[5]
b.
Abdurrahman
Al –Jazāirī
الزكاة
هو تمليك مال مخصوص لمستحقه بشرائط مخصوصة[6]
c.
Muhammad
Asy - Syaukani
d.
Hasbi Ash
Shiddieqy
Sebagian dari harta orang kaya yang telah ditentukan
kadarnya oleh agama pada sebagian jenis harta dan telah ditentukan nisabnya
pada sebagian jenis harta yang lain.[8]
Dari
beberapa definisi ulama di atas dapat disimpulkan bahwa zakat adalah bagian
dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada
orang tertentu, dengan syarat-syarat tertentu pula.[9]
Kata
zakat dalam arti terminologi oleh al-Qur’an disebut 30 kali, yaitu 27 kali
disebut dalam satu konteks dengan shalat, dan dari 30 kali sebutan tersebut,
terdapat 8 sebutan yang berada pada surat-surat yang turun di Makkah dan
sisanya berada pada surat-surat yang turun di Madinah.[10]
Dari
beberapa ayat al-Qur’an, kata zakat banyak sekali yang dihubungkan dengan kata salat dan kita diperintahkan untuk melaksanakannya seperti yang terdapat
dalam surat
al-Muzzammil ayat 20, sebagai berikut:
Di
samping itu, al-Qur’an juga mengecam keras bagi orang
yang tidak mau menunaikan perintah zakat tersebut, sebagaimana yang disinyalir
dalam surat At-
Taubah ayat 34, sebagai berikut:
والذّين يكنزون الذّهب والفضّة
ولاينفقونهافىسبيل الله فبشّرهم بعذاب اليم[12]
Dengan demikian jelaslah bahwa zakat
merupakan salah satu kewajiban atas semua
umat Islam yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
nas-nas al-Qur’an, al-Hadis dan Ijma ulama.
2.
Dasar Hukum Zakat
Zakat dalam hirarkis hukum
Islam merupakan rukun Islam ketiga, yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim,
yang disyari’atkan pertama kali pada bulan Syawal tahun II Hijriyah di Madinah.
Kewajiban zakat itu bila ditinjau dari kekuatan hukumnya sangat kuat karena
mempunyai dasar hukum nas yang sudah pasti, seperti tersebut dibawah ini:
a.
Al-Qur’an
وهوالذّي
انشأجنّات معروشات وغيرمعروشات والنّخل والزرع مختلفاأكله والزيتون والرّمان
متشابها وغيرمتشابه كلوا من ثمره
إنّ
الذّين امنواوعملواالصّالحات واقامواالصّلوة
وأتواالزّكوة لهم
اجرهم عند ربهم
ولاخوف عليهم ولاهم يحزنون[15]
b.Al-Hadis
بنىالاسلام
علىخمس شهادت ان لآاله الاّالله وانّ محمّدارسول الله واقام الصلاة وايتاءالزكاة
والحجّ البيت وصوم رمضان[16]
يأمرنابالصّلاة
والزكاة والصلة والعفا ف[17]
a.
Ijma’
Yaitu adanya kesepakatan semua umat Islam di semua
negara bahwa zakat adalah wajib. Bahkan,
para sahabat Nabi SAW sepakat untuk membunuh orang-orang yang enggan
mengeluarkan zakat dan mereka tergolong orang kafir dalam pandangan ulama.[18]
B. Syarat dan Rukun Zakat
- Syarat-syarat Zakat
Untuk
membatasi pengertian syarat, penyusun berpegang pada makna syarat yang berarti:
hal-hal atau sesuatu yang ada atau tidak adanya hukum tergantung ada dan tidak
adanya sesuatu itu.[19]
Dari
pengertian tersebut, syarat dalam zakat ada dua, yaitu:
a.
Syarat
zakat yang berhubungan dengan subyek
atau pelaku (muzakkī : orang yang terkena wajib zakat) adalah Islam,
merdeka, balig dan berakal.[20]
b.
Syarat-syarat
yang berhubungan dengan jenis harta (sebagai obyek zakat)
Mengenai
jenis harta (kekayaan) yang menjadi obyek zakat secara umum telah disebutkan
dalam al-Qur’an, kemudian diperincikan dan diperjelas dalam hadis-hadis nabi,
menyangkut pada lima kelompok harta, namun macam- macam jenis harta tersebut,
tidak sebagai pembatasan yang mutlak dan bersifat mati, akan tetapi additional yaitu sesuai dengan waktu itu.[21]
Dari
sini dapat diambil kesimpulan bahwa pada prinsipnya jenis (macam-macam) harta
yang menjadi obyek zakat adalah harta yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:[22]
1)
Milik penuh
Artinya penuhnya
pemilikan, maksudnya kekayaan itu harus berada dalam kontrol dan dalam
kekuasaan yang punya, (tidak bersangkut di dalamnya hak orang lain), baik
kekuasaan pendapatan maupun kekuasaan menikmati hasilnya.
2) Berkembang
Artinya harta itu
berkembang, baik secara alami berdasarkan sunatullāh maupun bertambah
karena ikhtiar manusia. Makna berkembang di sini mengandung maksud bahwa sifat
kekayaan itu dapat mendatangkan income, keuntungan atau pendapatan.
Dengan begitu nampak jelas bahwa jenis atau macam-macam harta (kekayaan) tidak
hanya yang dijelaskan dalam hadis nabi, melainkan pada harta yang mempunyai
potensi dapat dikembangkan atau berkembang dengan sendirinya.
3)
Mencapai Nisab
Artinya mencapai
jumlah minimal yang wajib dikeluarkan zakatnya. Contoh: nisab ternak unta
adalah lima
ekor dengan kadar zakat seekor kambing. Sehingga apabila jumlah unta kurang
dari lima ekor
maka belum wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun ketentuan nisab zakat ini
berdasarkan hadis Nabi SAW sebagai berikut:
4) Lebih dari kebutuhan pokok
Artinya harta yang
dipunyai oleh seseorang itu melebihi kebutuhan pokok yang diperlukan oleh diri
dan keluarganya untuk hidup wajar sebagai manusia.
5) Bebas dari hutang
Artinya harta yang
dipunyai oleh seseorang itu bersih dari hutang, baik hutang kepada Allah (nażar
atau wasiat) maupun hutang kepada sesama manusia.
6) Berlaku setahun
Suatu milik
dikatakan genap setahun menurut al-Jazaili<
dalam kitabnya Tanyinda al-Haqā’iq syarh Kanzu Daqā’iq, yakni genap satu
tahun dimiliki.[24]
Hal ini sebagai mana dalam hadis Nabi SAW diriwayatkan oleh Ibnu Umar, sebagai
berikut:
Tahun yang dimaksud adalah hitungan
tahun Qamariyyah. Syarat ini hanya terbatas pada jenis harta: ternak, emas
perak dan harta dagangan, masuk dalam istilah zakat modal. Untuk hasil
pertanian, buah-buahan, harta karun dan yang sejenis disebut zakat pendapatan,
tidak disyaratkan satu tahun.[26]
- Rukun Zakat
Adapun
yang termasuk rukum zakat adalah:
a.
Pelepasan
atau pengeluaran hak milik pada sebagaian harta yang dikenakan wajib zakat
b.
Penyerahan
sebagian harta tersebut dari orang yang mempunyai harta kepada orang yang
bertugas atau orang yang mengurusi zakat (amil zakat).
c.
Penyerahan
amil kepada orang yang berhak menerima zakat sebagai milik.[27]
- Macam-Macam Zakat
Zakat menurut
garis besarnya terbagi menjadi dua, yaitu: zakat harta atau biasa disebut zakat
mal dan zakat jiwa atau biasa disebut zakat fitrah.
1.
Zakat
Mal
Zakat mal adalah bagian
dari harta kekayaan seseorang (juga badan hukum), yang wajib dikeluarkan untuk
golongan orang-orang tertentu setelah dimiliki dalam jangka waktu tertentu dan
dalam jumlah minimal tertentu.[28]
Di dalam al-Qur’an, Allah SWT tidak
merinci secara detail tentang harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya.
al-Qur’an juga tidak menjelaskan tentang kadar prosentase kewajiban zakat
tersebut. Tetapi Allah telah memberikan amanat kepada Rasul-Nya Muhammad SAW
untuk menjelaskan dan merinci hal tersebut, dalam bentuk sunnah, baik yang qauliyah
maupun yang amaliyah. Hal ini merupakan perwujudan dari firman Allah
sebagai berikut:
Pada mula-mula zakat difardukan tanpa
menyebutkan secara gamblang tentang harta apa saja yang harus dizakati,
demikian juga dengan ketentuan kadar zakatnya. Syara’ hanya menyuruh
mengeluarkan zakat. Demikian keadaan itu berjalan hingga tahun ke dua Hijriyah,
dan mulai dari tahun Hijriah inilah syara’ menentukan harta-harta yang
dizakatkan, serta kadarnya masing-masing.[30]
Adapun mengenai harta kekayaan yang wajib
dizakati para ulama sepakat ada empat macam, yaitu:
a.
Emas Perak
b.
Binatang
ternak
c.
Tanaman
dan buah-buahan
d.
Harta
perniagaan[31]
a. Emas dan Perak
Dasar diwajibkannya zakat pada emas dan
perak ialah firman Allah SWT, sebagai berikut:
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa
mengeluarkan zakat dari emas dan perak wajib hukumnya. Syara’ telah menegaskan
bahwa emas dan perak yang wajib dizakati ialah emas dan perak yang sampai
nisabnya dan telah cukup setahun dimiliki, terkecuali emas dan perak yang baru
diperoleh dari galian, maka tidak disyaratkan cukup setahun.[33]
Adapun emas tidak wajib dikeluarkan
zakatnya hingga banyaknya mencapai 20 dinar, sedangkan untuk perak
nisabnya 200 dirham. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
sebagai berikut:
فإذاكانت
لك مائتادرهم وحال عليهاالحول ففيهاخمسة دراهم ليس عليك شئ يعنىفىالذّهب حتّى يكون
لك عشرون دينارافإذاكانت لك عشرون ديناراوحال عليهاالحول ففيهانصف دينار فمازاد
فبحساب ذ لك[34]
قدعفوت
عن الخيل والّرقيق فهاتوا صدقة الّرقةمن كلّ اربعين درهما درهماوليس في تسعين ومائة شئ فاذا بلغت ما ئتين ففيهاخمسة دراهيم[35]
Adapun menurut perhitungan, nisab emas 20 dinar
tersebut kurang lebih 94 gram, sedangkan nisab perak 200 dirham kurang
lebih 624 gram, untuk kadar zakat masing-masing adalah 2,5%.[36]
b. Binatang
ternak
Dalil yang menunjukkan
adanya kewajiban zakat atas binatang ternak adalah hadis Nabi
riwayat al-Bukhari dari Abī Ż\\\>>\\\\\\\\ar, sebagai berikut:
مامن
رجل تكون له ابل أوبقرأوغنم لا يؤ دّى حقّهاإلاّأوتي بهايوم القيامة اعظم ماتكون
وأسمنه تطؤه بأخفافهاتنطحه بقرونها كلمّاجازت أخراهاردّت عليه اولاهاحتّى يقض بين
النّاس[37]
Dari hadis tersebut di atas, jumhur ulama
sepakat bahwa binatang yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah unta, sapi,
kerbau dan kambing.
Adapun syarat binatang
ternak yang wajib dizakati adalah:
1). Jumlahnya mencapai nisab
2). Telah melewati masa satu tahun
3).
Digembalakan di tempat penggembalaan umum, yakni tidak diberi makan di
kandangnya, kecuali jarang sekali
4).
Tidak digunakan untuk keperluan pribadi pemiliknya, seperti untuk mengangkut
barang, membajak sawah dan sebagainya.[38]
Nisab ternak dan kadar
zakat antara ternak satu dengan yang lain barbeda. Pada bagian ini akan
dijelaskan tentang nisab dan kadar zakat masing-masing.
Unta
Nisab unta adalah lima ekor, dengan kadar
zakat seekor kambing. Adapun jika lebih dari nisab maka dapat dilihat tabel
berikut:
Tabel I
Nisab dan Kadar
zakat Unta
Nisab
|
Kadar Zakat
|
5 - 9
|
1 ekor kambing
|
10 – 14
|
2 ekor kambing
|
15 - 19
|
3 ekor kambing
|
20 - 24
|
Bintu Mahdah
|
25 - 35
|
Bintu Labun
|
36 - 45
|
Hiqqah
|
46 - 60
|
Jidzal
|
61 - 75
|
2 ekor bintu labun
|
91 - 90
|
2 ekor hiqqah
|
91 – 120
|
2 ekor bintu labun
|
Ketentuan nisab tersebut
berdasarkan hadis Nabi SAW, riwayat al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri sebagai
berikut:
Sapi
Nisab sapi adalah 30 ekor dengan kadar
zakat satu ekor sapi jantan atau betina umur satu tahun. Jika jumlahnya lebih
dari jumlah tersebut, maka dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel II
Nisab dan Kadar Zakat Sapi
Nisab sapi
|
Kadar Zakat
|
30 – 39
|
1 ekor lembu umur 1 tahun
|
40 – 59
|
2 ekor lembu musinnah
|
60 – 69
|
2 ekor lembu tabi’I
|
70 – 79
|
2 ekor lembu tabi’I, 1 musinnah
|
80 – 89
|
2 ekor lembu betina umur 2 tahun
|
90 – 99
|
3 ekor lembu umur1 tahun
|
100 – 119
|
1 ekor lembu umur 2 th + 1 sapi
umur 2 th.
|
120 – seterusnya
|
3 ekor lembu umur 2 th + 4 sapi
umur 2 th
|
Ketentuan nisab sapi tersebut, berdasarkan hadis Nabi saw dari Mu’ad, sebagai berikut:
بعثني
النبي ص.م. الى اليمن فأمرني أن أخذ من كلّ ثلا ثين بقرة تببعااو تبيعة ومن كلّ
اربعين مسنّة0000[40]
Kambing
Sedangkan untuk nisab
kambing[41]
adalah 40 ekor, dengan kadar zakat 1 ekor kambing, ini berlaku untuk jumlah
40-120 ekor, dan apabila lebih maka dapat dilihat tabel berikut:
Tabel III
Nisab dan Kadar Zakat Kambing
Nisab kambing
|
Kadar zakat
|
40-120
|
1 ekor kambing
|
121-200
|
2 ekor kambing
|
201-300
|
3 ekor kambing
|
301-400
|
4 ekor kambing
|
Ketentuan nisab tersebut
baerdasarkan hadis Nabi SAW:
c. Tumbuh-tumbuhan (Hasil pertanian)
Dalil yang menunjukkan adanya kewajiban
zakat atas hasil pertanian adalah
firman Allah SWT:
Ayat ini memerintahkan untuk mengeluarkan
zakat dari apa yang dikeluarkan dari bumi.
Mengenai kewajiban zakat hasil pertanian
ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Namun mereka masih berbeda
pendapat tentang jenis pertanian yang wajib dizakati. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:[44]
1).
Al-Hasan
al-Basri, as-Sauri, dan as-Sya’ti berpendapat bahwa hasil pertanian yang wajib
dizakati hanya empat macam jenis tanaman, yaitu: gandum, kurma, padi dan
anggur. Selain empat macam tersebut tidak wajib zakat.
2).
Imam Abu Hanifah,
berpendapat wajib dizakati semua hasil tanah yang diproduksi oleh manusia,
dengan sedikit pengecualian antara lain pohon-pohonan yang tidak berbuah
3).
Imam Malik
berpendapat, wajib dizakati semua hasil bumi yang bisa tahan lama dan dan
diproduksi oleh manusia.
4).
Imam
asy-Syafi’i berpendapat, wajib dizakati semua hasil bumi yang memberi kekuatan
(mengenyangkan), bisa tahan lama dan diproduksi oleh manusia. Ketentuan
berdasarkan firman Allah, sebagai berikut:
وهوالذي
انشأجنّات معروشات وغيرمعروشات والنّحل والزّرع مختلفااكله
والزيتون والرّمّان متشابهاوغير متشابه كلوامن ثمره اذا أثمرواتواحقّه يوم حصاده [45]
Sedangkan Mahmud Syaltout berpendapat
bahwa wajib dizakati semua tanaman dan buah-buahan yang diproduksi manusia,
berdasarkan firman Allah, sebagai berikut:
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa
semua hasil bumi wajib dizakati tanpa terkecuali, termasuk pula hasil yang
terkena pajak (kharajiyiiah), Adapun zakat hasil bumi itu berkaitan
dengan masa panennya bukan setahun sekali, akan tetapi lebih dari sekali
setahun atau sebaliknya bisa lebih dari setahun sekali zakatnya jika tanaman
itu panennya lebih dari setahun.[47]
Adapun nisabnya adalah bila telah mencapai
lima wasak,
sebagaimana hadis riwayat Muslim dari Ishak bin Mansur, sebagai berikut:
ليس في حبّ
ولا تمرّ صدقة حتىّ يبلغ خمسة او سقّ ولا فيماذون خمس دون صد قة ولا فيمادون خمس أواق صدقة[48]
Sedangkan kadar zakatnya adalah 10% bila
disiram dengan air sungai atau air hujan, dan 5% jika diairi dengan kincir yang
ditarik oleh binatang atau disiram dengan alat yang memakan biaya. Hal ini
berdasarkan pada hadis riwayat al-Bukhari dari Salim bin Abdullah:
Adapun menurut perhitungan yang telah
ditetapkan oleh departemen agama lima
wasaq adalah 750 kg beras atau 1350 kg gandum kering.[50]
d. Harta
Perdagangan
Yang
dimaksud dengan harta perdagangan adalah semua bentuk harta yang diproduksi
untuk dijualbelikan dengan bermacam-macam cara dan membawa kenaikan dan manfaat
bagi manusia.[51]
Adapun
dalil yang menunjukkan adanya kewajiban zakat pada harta perdagangan adalah
firman Allah:
Ayat ini
mengandung makna bahwa wajib bagi semua harta yang dipergunakan dalam usaha
kerja yang produktif untuk dikeluarkan zakatnya. Demikian pendapat Iman Abu
Bakar Ibn Arabi dalam Ahkām al-Qur’ānnya, juga Imam al-Razi yang
dikutip oleh Yūsuf al-Qaradawi>.[53]
Pendapat mereka diperkuat lagi dengan hadis Nabi saw sebagai berikut:
Mengenai
zakat tijarah ini, ulama zahiriyyah berbeda pendapat, bahwa tidak wajib
dikeluarkan zakatnya atas harta perdagangan.[55]
Adapun
syarat harta benda menjadi tijarah menurut Ibnu Qudamah yang dikutip
oleh as-Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnahnya ada dua macam syarat, yaitu:
1.
Hendaklah
dimiliki secara nyata seperti dari jual beli
2.
Hendaklah
ketika dimiliki itu diniatkan untuk diperdagangan[56]
Disamping kedua syarat
tersebut, harta perdagangan itu juga harus mencapai nisab dan haul. Adapun
nisabnya adalah seharga 20 misqal emas atau 94 gram emas murni,
sedangkan kadar zakatnya adalah 2,5%.[57]
Adapun cara mengeluarkan zakat barang
dagangan tersebut menurut Maimun bin Mihram, Hasan al-Basri dan Ibrahim Naba’i
yang dikutip oleh Yūsuf al-Qaradawī dalam bukunya Fiqh az-Zakāh
adalah sebagi berikut: apabila sudah tiba waktu untuk mengeluarkan zakat,
hitunglah berapa jumlah uang kontan yang ada, barang yang ada dan hitunglah
nilai barang itu secara piutang yang ada pada orang yang mampu, kemudian
keluarkanlah hutangnya, baru dikeluarkan zakatnya.
2.
Zakat Nafs
Zakat ini biasa disebut dengan zakat
fitrah atau zakat fitri, karena zakat ini dihubungkan dengan bulan suci Ramadan
dan hari raya Idul fitri.
Zakat fitri adalah pengeluaran yang wajib
dilakukan oleh setiap muslim yang mempunyai kelebihan dari nafkah keluarga yang
wajar pada malam hari raya Idul fitri, sebagai tanda syukur kepada Allah karena
telah selesai menunaikan ibadah puasa.
Zakat ini disyari’atkan
pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, adalah untuk mensucikan orang yang
puasa dari perbuatan dan perkataan kotor dan keji serta untuk memberi makan
orang-orang miskin.
Zakat ini merupakan zakat
pribadi, sedangkan zakat mal merupakan pajak pada harta. Oleh karena itu tidak
disyaratkan pada zakat fitrah apa yang disyaratkan pada zakat mal, seperti
nisab dan syarat-syarat tertentu.
Adapun diwajibkannya
zakat fitrah ini karena tiga hal, yaitu: Islam, terbenam matahari dan akhir
bulan Ramadan.
Mengenai hukum
melaksanakannya adalah wajib berdasarkan nas al-Qur’an sebagai berikut:
Ayat ini menurut Ibn
Huzaimah, diturunkan berkenaan dengan zakat fitrah, takbir hari raya dan
sembahyang.
Demikianpun menurut Sa’id
ibnu Musayyad dan Umar Ibn Abdul Aziz, bahwa zakat yang dimaksudkan dalam ayat
tersebut adalah zakat fitrah. Adapun nas hadis yang menerangkan tentang zakat
fitrah adalah hadis riwayat muslim dari Ibn Umar. Rasulullah bersabda:
فرض زكاة الفطرمن رمضان على النّاس
صاعامن تمر أوصاعامن شعيرعلى كلّ حر أوعبد ذ كر أو أنثي من المسلمين[59]
Hadis tersebut di atas menunjukkan bahwa zakat fitrah itu wajib.
Adapun yang menjadi perbedaan pendapat ulama adalah mengenai batas waktu wajib.
Menurut Sauri, Ahmad, Ishak dan asy-Syafi’ī
serta menurut suatu berita dari Malik, waktu wajibnya adalah ketika terbenam
matahari, pada malam lebaran, sebab saat itulah waktu berbuka puasa Ramadan.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Lais, asy-Syafi’i,
menurut berita yang lain dari Malik waktu wajibnya adalah tatkala fajar dari
hari lebaran.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa
mengakhirkan zakat fitrah setelah shalat Idul fitri adalah makruh, karena
maksud utama dari zakat fitrah adalah mencukupkan orang-orang fakir dan
peminta-minta dihari itu. Sehingga apabila mengakhirkannya, maka hilanglah
sebagian waktu dari hari itu tanpa terbukti mencukupkannya.
Adapun jenis harta benda yang dikeluarkan
untuk zakat fitrah ialah tanaman seperti: sya’ir, zabīb dan aqīt.
Hal ini sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan Muslim dari abi Sa’id
al-Khudri, sebagai berikut:
كنّا نخرج اذاكان فيهارسول الله ص.م
زكاة الفطرعن كلّ صغيروكبيرحر أومملوك صاعامن طعام أو صاعاأقط أوصاعامن شعير أو
صاعامن تمر أو صاعامن زبيب فلم نزل نخرجه حتّى قدم علينامعاويه بن أبىسفيان
حاجاأومعتمرفكلّم النّاس على المنبرفكان فيما كلّم به النّاس أن قال: انّي أري أن
مدين من سمر الشام تعدل صاعامن تمر فأخذ النّاس بذالك قال:أبوسعيدفأمّاأنافلا أزال
اخرجه كماكنت اخرجه أبداماعشت[60]
Jenis tersebut merupakan awal dari makanan
yang dijadikan zakat fitrah. Kemudian dihubungkan dengan segala rupa, makanan
yang menjadi pengenyang di masing-masing tempat. Seperti beras bagi kita orang Indonesia .
D.
Sasaran dan Hikmah Zakat
1.
Sasaran
zakat
Sasaran zakat ditujukan kepada
delapan golongan atau yang disebut asnaf. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam
al-Qur’an, sebagai berikut:
انّماالصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليهاوالمؤلفة
قلوبهم وفي الرّقاب والغارمين وفي سبيل الله وابن السّبيل[61]
Ayat tersebut di atas
menjelaskan tentang sasaran zakat, yakni bahwa zakat ditujukan kepada delapan
golongan. Adapun 8 golongan yang dimaksud adalah fakir, miskin, amil, muallaf,
riqab, garim, sabilillah dan ibn sabil.
a.
Fakir dan
Miskin.
Fakir miskin adalah orang pertama yang
diberi saham zakat oleh Allah. Menurut Sayyid Sabiq, fakir miskin adalah
orang-orang yang ada dalam kebutuhan dan tidak mendapatkan apa yang mereka
perlukan.[62]
Sedangkan Imam asy-Syafi’i memberikan pengertian tersendiri terhadap fakir
miskin. Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan tidak pula mempunyai
mata pencaharian. Sedangkan miskin adalah orang yang mempunyai harta atau mata
pencaharian tetapi di bawah kucukupan.[63]
Oleh karena golongan fakir miskin ini
adalah orang-orang pertama yang diberi saham zakat oleh Allah, maka sasaran
utama zakat adalah untuk menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan dalam
masyarakat Islam.
b.
Amil zakat
Yang dimaksud amil zakat adalah
orang-orang yang melaksanakan kegiatan urusan zakat mulai dari para pungumpul
sampai bendahara dan penjaganya juga mulai dari pencatat sampai kepada
penghitung yang mencatat keluar masuknya zakat dan membagi pada mustahiqnya.[64]
c.
Muallaf
Adapun yang dimaksud muallaf adalah
mereka yang diharapkan kecenderungan atau keyakinannya dapat bertambah terhadap
Islam, atau terhalangnya niat jahat mereka atas orang miskin, atau harapan akan
adanya kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum muslimin dari musuh.[65]
d.
Riqab
Riqab
adalah memerdekakan budak belian, hal ini diambilkan dalam penggalan ayat “وفىالرقاب
“ adapun
penyaluran dana zakat pada golongan riqab masa sekarang dapat
diaplikasikan untuk membebaskan buruh-buruh kasar atau rendahan dari belenggu
majikannya yang mengeksploitasi tenaganya, atau membantu orang-orang yang
tertindak dan terpenjara, karena membela agama dan kebenaran.
Kondisi seperti ini banyak terjadi pada
zaman sekarang, apalagi melihat kondisi perekonomian negara dan masyarakat
semakin sulit diatasi. Dengan demikian pengembangan riqab semakin luas
sesuai dengan perkembangan sosial, politik dan perubahan waktu.
e.
Garimin (orang yang berhutang)
Menurut Imam Malik, asy-Syafi’i< dan Ahmad, bahwa orang mempunyai hutang terbagi dua golongan.
Pertama, orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan dirinya sendiri, dan
kedua adalah orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan masyarakat.[66]
f.
Fi Sabilillāh
Di antara ulama dulu dan sekarang ada yang
meluaskan arti sabilillāh, tidak khusus pada jihad yang berhubungan
dengan Tuhan, tetapi ditafsirkan pada semua hal yang mencakup kemaslahatan taqarub
dan perbuatan baik, sesuai dengan penerapan arti asal kalimat tersebut.[67]
Menurut Zakiyah Darajat, penggunaan kata sabilillāh
mempunyai cakupan yang sangat luas, dan bentuk praktisnya hanya dapat
ditentukkan pada kondisi kebiasaan waktu.[68]
Kata tersebut dapat digunakan dalam istilah jalan yang menyampaikan kepada
keridaan Allah baik berupa pengetahuan atau amal perbuatan.[69]
g.
Ibnu
Sabil
Yang dimaksud Ibnu Sabil menurut
ulama ialah qiyasan untuk musafir, yaitu orang yang melintas pada suatu daerah
ke daerah lain untuk melaksanakan suatu hal yang baik, tidak untuk kemaksiatan.
Menurut golongan Syafi’i ada dua macam, yaitu: orang yang akan bepergian dan
yang sedang dalam perjalanan, mereka berhak meminta bagian zakat meskipun ada
yang menghutanginya dengan cukup. Menurut golongan ini ibnu sabil diberi
dana zakat untuk nafkah, perbekalan dan apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan yang mereka inginkan.[70]
Zakiyah Darajat memasukkan dalam golongan ini adalah para penuntut ilmu yang
jauh dari orang tua dan kehabisan bekal dalam rantauannya.[71]
2.
Hikmah
Zakat
Dalam setiap ajaran yang diperintahkan pada
manusia mengandung suatu hikmah yang sangat berguna bagi orang yang
melakukannya. Demikianpun dengan zakat, Hasbi ash Shiddiqy membagi hikmah zakat
atas 4 sisi, yaitu hikmah bagi pihak pemberi zakat, pihak penerima zakat (mustahiq),
gabungan antara keduanya dan hikmah yang
khusus dari Allah.[72]
Sementara Wahbi Sulaiman Goza menambahkan dari segi ekistensi harta benda itu
sendiri, serta hikmah bagi pemberi zakat dan pihak masyarakat pada umumnya.[73]
a. Hikmah bagi Muzakki
Jika seseorang
melaksanakan kewajiban zakat, maka ia berarti telah melakukan tindakan
preventif bagi terjadinya kerawanan sosial yang umumnya dilatarbelakangi oleh
kemiskinan dan ketidakadilan seperti
terjadinya pencurian, perampokan, maupun kekerasan yang diakibatkan oleh
kekayaan.
b. Hikmah bagi Mustahiq
Zakat sesungguhnya
bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan para mustahiq akan tetapi memberi
kecukupan dan kesejahteraan kepada mereka
dengan cara memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin.
c. Hikmah keduanya
Zakat sebagai suatu kewajiban dan
kebutuhan bagi seorang muslim yang beriman. Menghilangkan rasa kikir bagi
pemilik harta serta membersihkan sikap dengki dan iri hati bagi orang-orang
yang kurang.
Keberhasilan zakat dalam mengurangi
perbedaan kelas dan berhasilnya dalam mewujudkan pendekatan dari kelas-kelas
dalam masyarakat, otomatis akan menciptakan suasana aman dan tentram yang
melindungi seluruh masa. Dengan demikian
akan menyebabkan tersebarnya keamanan masyarakat dan berkurangnya tindakan
kriminalitas.
d. Hikmah kekhususan dari Allah
Dari segi kepentingan harta benda yang
dizakati, akan memberikan suatu jaminan untuk membentengi harta kekayaan
tersebut dari kebinasaan dan memberikan keberkatan serta kesucian dari kotoran
dan subhat. Hal ini dirasa adanya balasan kebaikan dari Allah, dengan
mengabulkan do’a dari para penerima zakat yang telah memberikan bantuan.[74]
e. Hikmah dari eksistensi harta
Menjaga dan memelihara harta dari para
pendosa, pencuri, sehingga kehidupan di lingkungan masyarakat menjadi tentram
tanpa ada rasa ketakutan dan kekhawatiran menjaga harta mereka.
E. Zakat
Usaha Transportasi
Al-Qur’an tidak memberi ketegasan tentang
harta wajib zakat dan syarat-syarat apa yang harus diperhatikan, serta tidak
menjelaskan berapa besar yang dizakatkan. Persoalan ini diserahkan pada sunnah
Nabi, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Sunnah itulah yang menafsirkan
yang bersifat umum dan menerangkan yang masih samar, memberikan contoh konkrit
pelaksanaannya dan membuat prinsip-prinsip aktual yang dapat diterapkan dalam
kehidupan manusia. Hal itu karena Rasulullah SAW yang bertanggung jawab
menjelaskan al-Qur’an baik dengan ucapan, perbuatan, maupun ketetapan beliau,
dan beliau pulalah yang lebih tahu maksud dari firman Allah tersebut.[75]
Hal itu merupakan suatu perwujudan firman Allah SWT, sebagai berikut:
Di antara ahli hukum Islam membagi hukum Islam dalam dua kategori, hukum yang
berhubungan dengan ibadah murni dan
hukum yang berhubungan dengan
kemasyarakatan. Dalam kategori pertama hampir tidak ada campur tangan bagi
penalaran. Sedangkan dalam kategori yang kedua terbuka kesempatan bagi
pemikiran atau penalaran intelektual dalam mencari cara pelaksanaan,
sesuai dengan kepentingan masyarakat dan
prinsip keadilan sebagai dasar pertimbangan dan tolok ukur utama. Sementara itu
juga kepentingan masyarakat dan keadilan itu dapat berubah dan berbeda karena perubahan
dan perbedaan zaman, lingkungan, situasi, dan kebudayaan.[77]
Zakat merupakan ibadah ijtima’iyah yang
mempunyai peran sangat penting dalam hidup dan matinya umat manusia itu
sendiri. Dengan adanya kemajuan ilmu dan teknologi, maka semakin banyak hal-hal
yang berkaitan dengan hasil usaha dan juga penghasilan-penghasilan lain yang
cukup besar, namun secara tekstual belum ada ketentuan mengenai kewajiban untuk
menunaikan zakat.
Adapun ulama yang memandang bahwa semua
usaha termasuk salah satunya usaha transportasi adalah wajib dipungut
zakatnya,mereka beralasan bahwa ketentuan zakat dalam nas-nas al-Qur’an masih
bersifat umum tanpa merinci harta apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Seperti firman Allah SWT sebagai berikut:
Di samping ayat tersebut juga berdasarkan
ketentuan ayat 141 surat
at-Taubah, sebagai berikut :
Alat-alat transportasi seperti kuda sebagai
binatang tunggangan di masa Nabi digunakan sebagai angkutan pribadi untuk
memenuhi kebutuhan pokok keluarga atau sebagai sarana angkutan perang, sehingga
tidak wajib untuk dipungut zakatnya. Akan
tetapi alat-alat transportasi seperti mobil pada masa sekarang ini tidak
saja digunakan sebagai angkutan pribadi saja, akan tetapi mobil sengaja dimiliki atau dibeli
untuk dipergunakan sebagai sarana guna mencari keuntungan.
Adapun mengenai penetapan harta yang wajib
dizakati ini pada prinsipnya ada 4 hal:
1.
Bahwasanya
zakat itu terdapat pada semua harta yang mengandung illat kesuburan atau sifat
berkembang, baik berkembang dengan
sendirinya atau dikembangkan dengan
jalan diperdagangkan.
2.
Zakat
dikenakan pada semua jenis tumbuhan dan buah-buahan yang bernilai ekonomi.
3.
Zakat itu
terdapat dalam segala harta yang dikeluarkan dari perut bumi, baik yang
berbentuk cair maupun yang berwujud padat.
4.
Bahwa
gaji, honor, dan uang jasa, yang diterima di dalamnya ada harta zakat yang
wajib ditunaikan.[81]
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas maka kendaraan-kendaraan yang
ada dalam usaha transportasi dapat dimasukkan dalam kategori harta zakat,
menurut prinsip yang pertama, yaitu mengandung illat kesuburan atau sifat
berkembang, dalam hal ini dengan
memperdagangkan manfaatnya.
Zakat sebagai ibadah maliyah yang berarti ayat-ayat al-Qur’an
mengenai hal ini bersifat luwes dan kenyal penafsirannya bisa berkembang
sesuai dengan perkembangan ekonomi
masyarakat yang sedang berjalan, qiyas atau analogi untuk mewajibkan
zakat pada harta-harta yang illat (alasan hukum) nya sama memegang peranan
penting.
Berdasarkan prinsip namā dan istinmā ini, maka
kendaraan dalam
usaha transportasi dapat dikategorikan sebagai harta yang wajib dizakati,
karena sudah di luar kebutuhan pokok dan termasuk harta yang berkembang (namā)
atau diharapkan perkembangannya(istinmā).
Adapun untuk menentukan zakat
usaha transportasi dalam hal nisab, kadar zakat, haul dan kapan waktu
pengeluarannya, diperlukan adanya suatu kategorisasi, yaitu usaha transportasi
dikategorikan terhadap jenis harta wajib apa.
Tentang penentuan zakat usaha
transportasi dimasukkan dalam kategori zakat apa, nisab atau kadar zakat dan
kapan waktu pengeluarannya terdapat berbagai pendapat ulama. Pada bagian ini
penyusun akan menguraikan beberapa pendapat ulama tersebut.
Untuk pembahasan ini penyusun
banyak mengutip pendapat ulama melalui Fiqh az-Zakah
karya Yūsuf al-Qaradawī, karena menurut penyusun buku ini banyak menerangkan
tentang pendapat-pendapat tersebut:[82]
1.
Pendapat
pertama: dinilai dan disamakan zakatnya
dengan zakat dagang menurut pendapat ini pemilik kendaraan-kendaraan
yang diinvestasiakan seperti kapal terbang, kapal laut dagang, mobil, dan
sejenisnya diperlakukan seperti pemilik barang dagangan. Berdasarkan hal itu
kendaraan-kendaraan harus dinilai harganya setiap tahun kemudian ditambahkan
keuntungannya yang ada,baru dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% seperti zakat
barang dagang yang berpendapat seperti ini adalah Abu Wafa Ibnu Aqil dan para
ulama dari mazhab Syi’ah, mereka beralasan:
a.
Keumuman
bunyi nas-nas yang mewajibkan zakat atas kekayaan, tanpa membeda-bedakan antara
satu kekayaan dengan kekayaan yang lain.
b.
Analogi
kekayaan yang diinvestasi itu dengan kekayaan yang diperdagangkan masing-masing
adalah kekayaan yang dimaksudkan untuk dikembangkan dan di sini tidak ada
perbedaannya antara yang berputar bendanya
dengan yang berputar hasilnya.
Pendapat
yang sama dikemukakan oleh Mujahid yang menafsirkan ما كسبتم dalam ayat 267 surat al-Baqarah adalah أى من التجارة yaitu perdagangan.[83]
2. Pendapat kedua:
Dikeluarkan zakatnya dari hasil investasi yang sudah diterima sebagai zakat
uang. Menurut pendapat ini, zakat tidak dipungut dari total harga setiap tahun,
tapi dipungut dari keuntungan dan hasil investasi. Yang perpendapat seperti ini
adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud,Mu’awiyah, Nasir, Baqir, Ibnu Aziz, Hasan Basri,
Zuhri, Makhul dan Auza’i. Disebutkan bahwa zakat dipungut dari keuntungan yang
diperoleh dari hasil investasi, saat diterima, tanpa menunggu setahun.
Sedangkan
Imam Hadi dari maż\hab Zaidi mensyaratkan satu tahun sebagai salah satu syarat
dikeluarkannya zakat. Menurut Imam Hadi yang mengutip pendapat al-Hasr fi Mażhab an-Nasir bahwa “ toko, rumah
dan barang-barang yang disewakan bila sewanya mencapai 200 dirham setahun, maka
zakatnya adalah 2,5%, bila tidak cukup maka tidak ada zakatnya.
3.
Pendapat
ketiga: Dizakatkan labanya sebagai zakat hasil tanaman dan buah-buahan.
Pendapat ketiga ini menyetujui pendapat yang kedua di atas, yaitu zakat
dipungut dari laba, tetapi tidak sependapat dengannya tentang besarnya yang
harus dizakatkan. Menurut pendapat ini besarnya zakat adalah 10% atau 5%
berdasarkan penganalogian kepada hasil pertanian. Bila pendapat kedua di atas
menganalogikan benda-benda itu kepada harta dagang maka pendapat ini menganalogikannya
kepada tanah pertanian ,serta menganalogikan laba yang diperoleh dengan hasil
tanaman dan buah-buahan. Hal ini oleh karena hasil tanah pertanian yang
diperoleh pemiliknya tidak berbeda dengan laba pabrik,gedung,
kendaraan-kendaraan dan lain-lain yang diperoleh oleh pemiliknya . Adapun yang
berpendapat seperti ini adalah Abu Zahra, Abdul Wahab Khallaf, dan Abdur Rahman
Hasan dalam kuliah-kuliahnya di Damaskus pada tahun 1952.
4.
Pendapat
keempat, membedakan antara harta benda yang termasuk tidak bergerak dan harta
benda yang bergerak. Yang termasuk kategori pertama, dipungut zakat 2,5%,
sedangkan yang termasuk kategori kedua dipungut zakatnya 5% atau 10%. pendapat
ini adalah menurut pendapat Yūsuf al-Qaradawī. Namun perbedaan ini adalah tidak
mutlak. Oleh karena Nabi SAW pernah memungut zakat dari madu sebesar 10%,
sedangkan lebah bukanlah kekayaan tak bergerak bahkan lebih dekat kepada
kekayaan yang bergerak dan sarang lebah itupun dapat dipindahkan.82
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penganalogian
tentang zakat usaha transportasi dalam nisab, haul, dan pada zakat dapat
dilakukan dengan dua cara, apakah akan
dianalogikan pada perdagangan sehingga kendaraan-kendaraan dan laba tiap tahun
diperhitungkan dengan zakat 2,5 %, atau
akan dianalogikan dengan hasil pertanian
yang menzakatkan hasilnya saja tanpa menunggu masa satu tahun dengan kadar zakat 5% atau 10%.
Menurut hemat penyusun zakat usaha
transportasi ini lebih tepat jika disamakan dengan zakat dagang, karena baik barang-barang
yang diinvestasikan seperti mobil maupun perdagangan pada umumnya, keduanya
adalah dalam pertumbuhan, pedagang barang menjual barang dagangannya guna
memperoleh keuntungan, demikianpun pemilik kendaraan-kendaraan, seperti mobil
dan sejenisnya menjual manfaat kendaraan atau menyewakan dengan bendanya tetap juga guna mencari keuntungan,
di mana antara keduanya sebenarnya tidak ada perbedaan dalam pewajiban zakat,
karena penghasilan yang diperoleh dari keduanya sama-sama dari usaha. Hal ini
merupakan suatu perwujudan dari ayat 267 surat
al-Baqarah, sebagai berikut:
Menurut Ibnu Qayyim, bahwa ada beberapa
alasan mengapa Allah hanya menyebutkan secara khusus, dua
jenis kekayaan dalam ayat tersebut, yaitu kekayaan yang keluar dari bumi dan
harta niaga, tanpa menyebutkan jenis kekayaan yang lain. Kemungkinan pertama
karena melihat kenyataan bahwa keduanya merupakan jenis kekayaan yang umum
dimiliki masyarakat pada saat itu, sedangkan kemingkinan kedua adalah karena
keduanya merupakan harta kekayaan yang utama (pokok). Istilah “usaha” adalah
mencakup segala bentuk perniagaan dengan berbagai ragam dan jenis harta,
sedangkan “ harta yang keluar dari bumi” meliputi biji-bijian, buah-buahan,
harta terpendam (rikaz) dan pertambangan.[85]
Dari pendapat tesebut di atas maka kendaraan-kendaraan pada usaha
transportasi dapat disamakan dengan kekayaan perdagangan. Sehingga ketentuan
tentang zakatnya pun harus disesuikan dengan zakat kekayaan perdagangan pula.
Adapun Syarat suatu kekayaan dikatakan kekayaan perdagangan harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
1.
Hendaklah
dimiliki secara nyata seperti dari jual beli atau sewa
2.
Hendaklah
ketika dimiliki itu diniatkan untuk diperdagangkan.[86]
Adapun syarat wajib zakat kekayaan perdagangan adalah, sebagai
berikut:
1.
Berlalu
masanya satu tahun
2.
Sampai
nisab
3.
Bebas dari
hutang
4.
Lebih dari
kebutuhan pokok[87]
Adapun cara pengeluaran zakat barang
dagangan, sebagai telah dikemukakan oleh Maimun bin Mihram, Hasan al-Basri dan
Ibrahim Nakha’i adalah apabila telah satu tahun maka hitunglah beberapa jumlah
uang kontan yang ada, barang yang ada dan hitunglah nilai barang itu secara
piutang yang ada pada orang mampu, kemudian keluarkanlah zakatnya seperempat
puluh.[88]
Sedangkan apabila usaha transportasi disamakan dengan pertanian,
dalam hal ini alat-alat transportasi disamakan dengan tanah pertanian, dan
penghasilan yang diperoleh disamakan dengan hasil pertanian bisa menimbulkan
kontradiksi, karena perbedaan yang terdapat antara keduanya. Hal ini karena
tanah pertanian merupakan sumber penghasilan tetap, tidak terancam kemacetan,
bahaya atau persaingan karena kemajuan zaman. Sedangkan alat-alat transportasi
seperti mobil dan sejenisnya merupakan sumber pendapatan yang sewaktu-waktu
bisa hidup beberapa tahun dengan penghasilan sedikit, tapi bisa juga banyak,
kemudian mengalami kemacetan dan keterhentian produksi.
[1]Ibrahim, Anīs dkk, Al-Mu’jām al-Wasīt, (Beirut : al-Maktabah
al-Ilmiyah, t.t.), I: 498.
[2]Al-Alamah Ibnu Manzūr, Lisān al-‘Arab,(Beirut : Dār Lisan al-‘Arab, t.t.), II: 36.
[3]At-Taubah (9): 103.
[4]Wahbah az-Zuhailī, Zakat Kajian Berbagai Mazhab,alih bahasa
Agus Effendi dan Burhanuddin Fanany, kata pengantar Jalaluddin Rahmat,
(Bandung: PT.Remaja Rosda karya,1995), hlm. 83.
[5] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dār al-kutub
al-Araby, 1973), I: 276.
[6]Lebih lanjut al-Jazāirī memberikan keterangan pengertian tersebut di
atas bahwa seseorang yang telah memiliki harta yang mencapai nisab zakat. Maka
ia wajib memberikan harta zakatnya kepada yang berhak dengan cara menjadikan
milik. Abdurrahman al-Jazāirī, Al-Fiqh ‘alā al-Mazāhib al-‘Arba’ah, (Beirut:
Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), I:536.
[7]Muhammad asy-Syaukani, Nail al-Autār,(Libanon: Dār al-Jail,
t.t.), IV:169.
[8]Hasbi ash Shiddieqy, Zakat Sebagai Salah Satu Unsur Pembinaan
Masyarakat Sejahtera, (Purwokerto: Matahari masa, 1969), hlm.11.
[9]Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, zakat Dan Wakaf,
cet. ke-1 (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 39.
[11] Al-Muzzammil (73): 20.
[12] At-Taubah (9): 34 .
[13] Al-Baqarah (2): 43.
[14] Al-An’am (6): 141.
[15] Al-Baqarah (2): 277.
[16] Imām al- Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī, Kitab al-Imān,
(Beirut: Dār al-Fikr,1991), I:10. Hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Umar.
[17] Idem, bab wujub az-Zakāh, II: 124. Hadis sahih dari Abu
Sufyan dari Ibnu Abbas.
[18] Wahbah al-Zuhailī, Zakat Kajian….., hlm. 90.
[19] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, penerj. Iskandar
al-Barsany, cet. Ke-3, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 185.
[21] Ali Yafie, Makalah Seminar Pengembangan Manajemen Zakat tgl. 31Januari-1
Februari 1990 di IAIN Raden Intan Lampung, terkumpul dalam buku Pengembangan
Manajemen Zakat, (Lampung, Proyek Pengembangan IAIN Raden Intan Lampung:
1990), hlm. 18.
[22] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi…hlm. 41.
[23]Imām Muslim, Sahīh Muslim,Kitab az-Zakāh,(Beirut : Dār al-Fikr t.t)
hlm. 390.
[24]Syauqi Isma’il Syahatin, Penerapan Zakat di Dunia Modern (Jakarta:
Pustaka Dian Antar Kota, 1986), hlm. 128.
[25] Malik bin Anas, Al-Muwaţţa, Kitab az-Zakah bab az-Zakah fi
al-‘ِِAini min az-zahab wa al-waraqi, (ttp: tnp, t.t.) Hadis no. 6 I:168.
[26] Yūsuf al-Qaradawī, Hukum…(terj.), hlm. 161.
[27] Wahbah az-Zuhailī, Zakat Kajian…, hlm. 89.
[28] Muhammad Daud Ali, Sistem…, hlm. 42.
[29] An-Nahl (16): 44.
[30] Hasbi ash Siddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang: PT. Pustaka
Rizqi Putra, 1996), hlm.32.
[31] Syauqi Isma’il, Penerapan Zakat…, hlm. 176.
[32] At-Taubah (10): 34.
[34] Imām Abī Dawūd, Sunān Abī Dawūd,Kitab Az-Zakāh,
(Beirut: Da>r al-Fikr,1987), II:100, Hadis no. 1573, Hadis sahih dari Ali
ra.
[36]Terdapat perbedaan pendapat mengenai ukuran emas 20 dinar dijadikan
gram untuk ukuran Indonesia, ada yang berpendapat 85 gram, 94 gram dan 96 gram.
Hal ini disebabkan ketidaksamaan dalam mengkonversi alat ukur yang akan
digunakan masa dulu dan sekarang. Adapun 94 gram adalah kadar zakat yang
berlaku di Indonesia
berdasarkan instruksi mentri agama no. 5 th. 1991. Lihat Proyek Peningkatan
Sarana Keagamaan Islam Zakat dan Wakaf, Pedomam zakat , cet. 16
(Jakarta: Dep.Ag., 1997), hlm. 135.
[37]Imām al- Bukhārī,Sahīh al-Bukhārī, Bab az-Zakat al-Baqar (Beirut: Dār
al-Fikr,1981), II: 141Hadis dari Abī Zār.
[38] Muhammad Bagir al Hasby, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an, Sunnah
dan Pendapat Ulama, (Bandung :
Mizan, 2002), I: 294.
[39]Imām al-Bukhārī, Sahih al-Bukhārī, Bab Zakat
al-Waraq,II: 137.
[40]Imam at-Turmużi, Sunan at-Turmużi,ِِ Abwab az-Zakah.Bab Ma
ja’a fi Zakah al-Bakhari, (ttp: Dār al-Fikr, 1978), II: 68, Hadis sahih dari Mahmud bin Gailan Abdul Razaq.
[41]Termasuk dalam nisab tersebut adalah domba dan biri-biri, Karena
keduanya adalah satu jenis. Lihat as-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,alih bahasa
Muhyiddin Syaf, (Bandung :
PT Al-Ma’arif, t.t.), hlm. 78.
[44] Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyyah. (Jakarta: Masagung, 1993),
hlm. 210-211.
[45] Al-An’am (6): 141.
[46] Al-Baqarah (2): 267.
[47] Mahmud Syaltout, Al-Fatāwā, (ttp: Dār al-Qalam,
t.t.), hlm. 122-123.
[48] Imām Muslim, Sahīh Muslim, Kitab az-Zakāh, I: 390,
Hadis dari Ishak bin Mansur.
[49] Imām al-Bukhari,Sahīh al-Bukhārī,Bab
al-Usyr lima
yusqa min mā’i samā’i wa bil mā’i jarī, II: 148, Hadis riwayat Bukhari dari
Salim bin Abdullah.
[50] Proyek Peningkatan Sarana
Keagaman Zakat dan Wakaf (Jakarta :
Pedoman Zakat, t.t.), hlm. 197.
[51] Djamaluddin Ahmad al-Buny, Problematika Harta dan Zakat,
cet. Ke-2, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), hlm. 115.
[52] Al-Baqarah (2): 167.
[53] Yūsuf al- Qaradawī, Fiqh
az-Zakāh, I: 315 .
[54] Imām Abī Dawūd, Sunān Abī Dawūd, Kitab
az-Zakāh, Bab al-‘urud Iża kāna li at-tijārah, II: 95,
Hadis no. 1562 Hadis dari samurah bin jundab ra.
[55] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, I: 346.
[56] Syechul Hadi Purmono, Sumber-sumber Penggalian Zakat,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), hlm. 133.
[58] Al-‘Ala
(81): 14-15.
[59] Imām Muslim, Sahīh Muslim, Bab Zakat al-Fitri ‘alā
al-Muslim min at-Tamri wa Syair, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi,t.t), hlm.
392.
[60] Imām Muslim, Sahīh Muslim, Bab Zakah al-Fitr, ‘alā muslimīn,
I: 392.
[61] At-Taubah (9): 60.
[62] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, terj., hlm. 104.
[64]Yūsuf al-Qaradawi, Fiqh az-Zakāh, hlm. 546.
[66] Ibid., hlm. 545
[67] Ibid., hlm. 611.
[68] Zakiyah Darajat, Zakat Pembersih Harta dan Jiwa, (Jakarta:
Yayasan Pendidikan Islam Ruhama, 1991), hlm. 82.
[69] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, terj. hlm. 172.
[70] Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaf an-Nawawi, Al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab. Vol. hlm. 227.
[71]Zakiyah Darajat, Zakat…, hlm. 82.
[72]Hasbi ash-Shidieqy, Kuliah Ibadah Ditinjau Dari segi Hukum dan
Hikmah,cet. Ke-1, (Jakarta: bulan Bintang, 1963), hlm. 232.
[73]Wahbi Sulaiman Goza, Az-Zakah wa Ahkamuhu, (Beirut: Muassasah
ar-Risalah,1978), hlm.15-20.
[74] Lih. QS At-Taubah (9): 103.
[75] Yūsuf al-Qaradawī, Hukum zakat, hlm. 122.
[76] An-Nahl (16 ): 44.
[77] Munawir Sjadzali, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan,
1988), hlm. 121.
[78] Yūsuf al-Qaradawī, Hukum Zakat, hlm. 435.
[79] Al-Baqarah (2): 276.
[80] At-Taubah (9): 60.
[82]Yūsuf al-Qaradawī, Fiqh az-Zakah, alih bahasa Salman Harun dkk. Cet.
Ke-6 (Bogor : Litera
Antar Nusa, 2002), hlm. 441-453.
[83] Imām at-Tabār, Tafsir At-Tābārī, III:
54, (Beirut: Dār al-Fikr,
1978M).
82 Yūsuf al-Qaradawī, Hukum Zakat, hlm. 441-454.
[84]Al-Baqarah (2): 267.
[85]Muhammad Amin Suma,Tafsir Ahkām, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu:
1997), I: 55-56.
[86]Syechul Hadi Purmono, Sumber-sumber Penggalian Zakat,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), hlm. 133.
[87]Yūsuf al-Qaradawī, Hukum Zakat, hlm. 314.
[88] Ibid., hlm. 322-323.
0 komentar:
Posting Komentar