A. Psikoproblem
1. Pengertian
Psikoproblem
Istilah
psikoproblem terdiri dari dua kata, yaitu psike
dan problem. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia
kontemporer psike memiliki tiga
pengertian; yaitu (1) berarti jiwa manusia, (2) berarti pikiran, dan (3)
berarti pelaksanaan kegiatan psikologis yang terdiri atas bagian sadar dan
bagian tak sadar. Sedangkan problem memiliki arti persoalan atau masalah.[97]
Dari
pengertian tersebut maka psikoproblem dapat
diartikan sebagai masalah atau persoalan yang berhubungan dengan jiwa manusia.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia jiwa memiliki arti; (1) roh manusia (yang
ada dalam tubuh yang menyebabkan hidup), (2) seluruh kehidupan batin manusia
(yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya).
Di
dalam ilmu psikiatri [98] (Kesehatan Jiwa) dipakai istilah “jiwa”
dan tidak lagi dipakai istilah “roh”. Karena hal-hal yang berhubungan dengan
roh atau ruh ( وح ر ) itu masuk urusan Allah.[99]
Sekarang kita mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai jiwa. Akan tetapi apa
dan bagaimana jiwa itu, tidak kita ketahui. Yang dapat kita ketahui dan
pelajari adalah manifestasinya. Jiwa bermanifestasi dalam bentuk perasaan, akal
fikiran dan perbuatan.
Sebagai
contoh manifestasi jiwa adalah:
“kalau saya sedang duduk
merenung, dalam diri saya tidak diam. Dalam diri saya itu berlangsung
bermacam-macam hal. Saya teringat pada waktu saya lulus ujian masuk. Saya masih
dapat menangkap atau membayangkan dengan jelas saat kepala sekolah datang
mengumumkan hasil ujian kepada kami. Mula-mula cemas karena ragu-ragu, setelah
itu rasa gembira yang meluap-luap. Saya lulus ? lalu saya pun melanjutkan
khayal saya itu. Terus menuntut ilmu. Terus meneruskan tidak henti-hentinya
saya ingin mencapai sesuatu.”[100]
Apa
yang dikemukakan dalam kutipan tersebut
merupakan pernyataan-pernyataan (manifestasi) jiwa “saya”.
Pernyataan-pernyataan jiwa itu dinamakan gejala psychis atau jiwa. Gejala-gejala psychis itu adalah menangkap, mengingat, memikir, merasa,
menghendaki, dan sebagainya. Gejala psychis
itu tidak terpisah-pisah yang satu dari yang lain.
Masalah
atau persoalan yang berhubungan dengan jiwa itu dipengaruhi oleh faktor
gangguan dalam pergaulan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Anna dalam bab
pengantarnya ia mengatakan:
“Dalam kedokteran kita
menemukan penyakit yang disebabkan oleh virus, baksil atau racun, tetapi dalam
ilmu paikoterapi hanya ada satu penyebab penyakit, yaitu gangguan dalam
pergaulan, pergaulan sejak kita dilahirkan.”[101]
Adanya
gangguan dalam pergaulan tersebut maka manusia akan menemui berbagai kendala
dalam melangsungkan hidupnya di masyarakat, ia akan menemui berbagai tekanan
jiwa (masalah macam-macam tekanan jiwa akan dibahas dalam sub-bab setelah
bahasan ini) yang akhirnya manusia akan mengalami stress, depresi dan gangguan
jiwa lainnya.
Menurut
Sukardi[102] dalam
kehidupan sehari-hari psikoproblem mucul disebabkan karena beberapa macam
seperti; masalah-masalah pribadi, percintaan, rumah tangga, kerja, dan
lain-lain.
Masalah-masalah
pribadi dianggap sebagai sesuatu yang menganggu dan jarang sekali orang melihat
masalah-masalah pribadi ini dari kacamata proses perkembangan dan pendewasaan
pribadi. Bahkan banyak orang menanggapi masalah pribadi ini sebagai penderitaan
seumur hidup.
Dalam
kehidupan rumah tangga banyak juga muncul psikoproblem yang dikarenakan
terjadinya gangguan komunikasi antara suami-istri, kekecewaan terhadap partner dan lain sebagainya.
Dalam
dunia kerja masalah psikoproblem biasa
muncul akibat adanya dua faktor yaitu: office
politicking dan power game[103].
Ada semacam
konsesus bahwa dalam dunia kerja dibutuhkan office
politicking dan power game. Dan
ada konsesus pula bahwa jangan sampai
kedua hal ini mengalahkan etos kerja. Sekali gejala itu lebih dominan dari etos
kerja, suasana kerjapun menjadi tidak sehat lagi seperti yang diungkapkan oleh
Horne dan fromm: dunia kerja menjadi penghasil manusia-manusia patologis yang
pada gilirannya menjadi orang tua yang tidak efektif.
2. Psikoproblem
dan Beberapa dimensinya
Dibalik
apa yang diperlihatkan kepada umum, sebagian besar manusia terganggu; dan
banyak yang gelisah; sementara yang lain khawatir dan banyak sekali yang merasa
bingung; sebagian lainnya benar-benar kecewa. Kebanyakan mereka banyak yang
tidak sehat; mereka mengalami kelelahan, kesakitan, dan perasaan tidak berdaya
dan sengsara. Mereka merisaukan banyak hal, merasakan keprihatinan, ketakutan
dan gangguan . mereka tidak benar-benar merasakan kehidupan yang baik. Mereka
berusaha mencoba menjalani hidup 365 hari mereka dengan berupaya menghindari
masalah dan kesulitan, namun selalu terbentur pada kesulitan dan masalah baru
yang lebih pelik, tidak pernah memperoleh semangat yang sehat, tetapi berpapasan
dengan kesusahan yang berkelanjutan. Mereka lebih sering terganggu dari
pada senang, lebih sering merasa
ragu-ragu dari pada berani, lebih sering prihatin dari pada merasa tenang.
Itulah kegagalan yang menyedikan yang dialami banyak manusia.
Begitulah
gambaran umum manusia yang tidak lepas dari problem hidup yang selalu
melilitnya. Manusia akan selalu hidup dalam cobaan yang tidak lepas dari
ketakutan, kesengsaraan dan lainnya. Sebagaimana ini digambarkan oleh Allah
dalam firmannya Q.S. Al-Ma’arij (70): 19-21
ان الانسا ن
خلق هلوعاً * اذامسه الشرجزوعاً * واذامسه الخير منوعا
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesahlagi kikir.
Apabila ia ditimpah kesusahan ia berkeluh kesah Dan apabila ia mendapat
kebaikan ia amat kikir.” [104]
Di
dalam hidup ini memang banyak orang yang ditimpa bahaya, tidak tercapai yang
diinginkannya, gagal dalam usaha, dalam rumah tangga, dalam percintaan, dan
sebagainya. Maka akan terlihatlah betapa besarnya peranan yang dimainkan oleh
kepercayaannya kepada Tuhan. Ada
orang yang karena merasa gagal dalam rumah tangga menjadi panik, kurus kering,
bahkan akan mungkin mengurung diri, menjahui masyarakat, lupa akan anak-anak
yang minta perhatiannya pula. Demikian juga tidak sedikit orang kaya yang jatuh
pailit, lalu bunuh diri atau sakit jiwa dan tidak kurang pula anak muda yang
menjadi merana hidupnya. “Hidup segan mati tak mau”, karena gagal dalam
percintaan. Kejadian-kejadian seperti itu biasanya terdapat pada orang-orang
yang kurang kuat kepercayaannya kepada Tuhan. Mereka menyangka bahwa kegagalan
itu adalah kegagalan total yang tak mungkin lagi diatasi.[105]
Kesulitan-kesulitan
psikis sering terjadi dalam interaksi antara orang-orang dan lingkungannya.
Dengan istilah ‘orang’ tidak dimaksudkan suatu jiwa atau roh, melainkan suatu
badan yang hidup. Hal itu erat hubungannya dengan keadaan syaraf. Secara
ilmiah, para ilmuwan belum tahu apa yang
dimaksudkan dengan energipsikis,
syaraf tebal, syaraf halus atau senewen;
namun keluhan dari hidup sehari-hari cukup jelas. Ada orang yang mengeluh, “ia kurang tenang,
tetapi ia terpaksa melakukan pekerjaan rutin”, dan banyak lagi keluhan-keluhan
manusia yang sering ditemukan.
Tidak
begitu gampang untuk menangkap gejala yang dinamakan ‘kesulitan/problem psikis’
dalam suatu uraian yang pendek. Istilah yang paling jelas adalah perkataan
tekanan jiwa atau stress. Tekanan itu
dipelajari oleh para dokter maupun psikolog. Dokter mengetahui tekanan jiwa
pasiennya untuk memberikan kepastian penyakit yang dideritanya sehingga diberikan pengobatan yang tepat
kepada pasiennya. Begitu juga psikolog akan memberikan solusi yang tepat dalam
membantu meringankan beban kliennya manakala ia mengetahui tekanan jiwa
kliennya.
Pada
salah satu waktu dalam hidupnya, setiap orang akan mengalami stress. Anak kecil yang sudah bersekolah bisa mengalami
tekanan jiwa. Kalau dia dengan sungguh-sungguh berusaha untuk naik kelas atau
pindah dari SD ke SLTP, maka dia akan merasa takut untuk memikirkan bahwa
mungkin dia tidak naik kelas atau tidak diizinkan pindah sekolah. Rupanya
suasana sekolah (dengan kompetisi dan hukuman) sering dimaksudkan untuk
meperkuat stress itu.
Tekanan
itu juga bertambah kalau kesempatan belajar sangat terbatas. Mahasiswa dan
pemuda-pemudi yang bekerja, merasa tertekan karena harus memenuhi harapan orang
tuanya di bidang studi atau pekerjaan. Kaum buruh dan pegawai mengalami
kesulitan psikis kalau mereka ragu-ragu mengenai keamanan jiwa, pendapatan dan
kemungkinan kerja. Kaum cendekiawan mengalami stress berhubungan dengan kesulitan di bidang pekerjaan atau
keadaan sosial ekonomis masyarakat pada umumnya. Akibat ambisi orang lain, iri
hati teman sejawat terutama dirasakan dalam lingkungan kaum cendekiawan,
pegawai tinggi atau para pemimpin perusahaan.
Tekanan-tekanan
semacam itu terutama timbul dalam hidup keluarga. Akibat dari program K.B.
terhadap pergaulan seksuil, kesulitan dalam pendidikan anak, ancaman di bidang
pendapatan dan perasaan menjadi tua, bisa menimbulkan stress.
Dari
fihak ilmu jiwa, persoalan tekanan jiwa
terutama dipelajari dari sudut frustasi atau kekecewaan. Dalam hal ini karena
dipengaruhi oleh teori Freud. Ia mempelajari tekanan jiwa dari sudut tingkat
tidak sadar, padahal dalam hidup sehari-hari, jumlah stressor di Indonesia
cukup dimaklumi.[107]
Katakanlah, banjir, kekurangan fasilitas pengangkutan, harga bensin atau beras
yang meningkat, mertua yang ganas, semua stressor
itu cukup nyata dan jelas. Tapi juga
tekanan yang berhubungan dengan tingkat yang tidak sadar, tidak boleh
diabaikan. Freud menjelaskan bahwa perasaan atau tingkah laku manusia pada hari
ini dapat mempunyai arti yang lebih jelas, kalau disertai keterangan yang
bersumber dari ingatan manusia sendiri.
‘Utsman
Najati[108]
mengungkap bahwa manusia terkadang merasakan sebagian dari kesenangan atau
motivasi-motivasi yang tidak dapat diterima, atau menimbulkan kegelisahan.
Karenanya, iapun berupaya untuk menjahuinya dari wilayah kesadaran atau
perasaannya, yang pada akhirnya akan mengantarkan pada perusakan-perusakan
motivasi dalam perasaan yang ada.
Sementara
dalam penjelasan lain ia mengatakan[109] bahwa
motivasi dan emosi memiliki fungsi-fungsi penting dalam hidup manusia
membantunya untuk memelihara diri dan eksistensinya, namun seseorang yang
berlebihan dalam pengaruhnya akan mendatangkan mudarat bagi kesehatannya, baik
pada tubuhnya (jasmani), maupun jiwanya (rohani).
Demikianlah
gambaran manusia dengan tekanan jiwa yang selalu menyertainya dalam meniti
kehidupan dunia ini. Ketidak-mampuan manusia mengatasi kegagalan/tekanan jiwa
itu merupakan salah satu bentuk kelemahan manusia yang tidak mampu meneropong
dirinya sendiri sebagai mahluk berke-Tuhanan. Muhammad ‘Utsman Najati[110]
mengatakan bahwa pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri akan membantunya
untuk mengekang hawa nafsunya, dan mampu menjaganya dari kesesatan serta tindak
penyimpangan. Juga mengarahkannya ke jalan iman, amal shaleh, serta prilaku
sehat yang akan memberikan kepada manusia kehidupan yang aman sentosa dan
merealisasikan kebahagiaan dunia dan akhirat baginya.
a. Tekanan Jiwa
dalam Keluarga
Sebagian
besar dari orang-orang yang meminta bantuan dari seorang penasehat rohani,
membutuhkan bantuan untuk berhubungan dengan kesulitan dalam relasi antara
wanita dan lelaki. Kesulitan itu berbeda-beda dan berlainan sifatnya; lain bagi
mereka yang baru bertunangan, lain bagi mereka yang sudah menikah.
Situasi
stress dalam relasi suami-istri
mempunyai alasan yang beraneka ragam. Satu hal yang cukup sering muncul adalah
kesulitan yang timbul karena perbedaan antara corak harapan dari suami dan
istri. Seorang istri akan mengalami tekanan jiwa yang hebat kalau suaminya
menyeleweng.
Problematika
individu dengan keluarga, ialah kesulitan mewujudkan hubungan yang harmonis
antara anggota keluarga, suami dan istri, orang tua dan putra putrinya serta
antar bersaudara.[111]
Sehingga dari kondisi itu sering terjadinya pertengkaran antara pasangan
suami-istri. Puncaknya terjadi perceraian.
b. Tekanan Jiwa
dalam Pekerjaan
Tekanan
jiwa sebagai ketakutan (axeity) merupakan
suatu bentuk yang kuat dalam usaha manusia sehari-hari. Frustasi atau
kekecewaan yang diderita dalam setiap bidang pekerjaan timbul atas dasar
keadaan pribadi, keadaan tempat dan situasi kerja atau ketegangan dalam interpersonal
relationships.
Dalam
zaman mobilitas sosial yang besar, banyak orang mendapat kesempatan naik
tingkat dan pangkat. Orang yang ambisius sering kurang mampu menilai
kemampuannya sendiri, sehingga mereka mendapat tugas yang terlalu sukar atau
menuntut terlalu banyak tenaga dari mereka. Sebaliknya, waktu mobilitas sosial
kekurangan, terjadi stress yang lain:
orang yang cukup pandai dan ambisius tidak mendapat kesempatan untuk naik
tingkat dan pangkat.
Problematika
individu dengan lingkungan kerja, juga karena kegagalan individu dalam meningkatkan
prestasi kerja, menghadapi atasan, rekanan dan pekerjaan yang menjadi tugas dan
tanggung jawabnya. Sedangkan problematika individu dengan lingkungan sosialnya,
adalah kesulitan melakukan adaptasi dengan lingkungan tetangga atau pergaulan yang sangat beraneka ragam watak, sifat dan
prilaku.[112]
c. Tekanan dalam
Pergaulan
Disamping
relasi antara orang tua dan anak atau suami-istri, terdapat relasi yang kurang intens tetapi tidak kurang pentingnya,
seperti relasi teman dengan teman. Sejak kecil anak banyak bergaul dengan orang
tuanya. Akan tetapi menginjak usia SLTP, hubungan orang tua-anak menjadi lebih
lemah dan pengaruh orang tua diganti oleh teman sekelas atau sebaya. Anak ingin
bergaul, ingin diperhatikan teman, ingin menjadi orang yang berguna dan berprestasi.
Tekanan
jiwa dalam pergaulan terjadi kalau seorang merasa kurang laku atau dibenci oleh
lingkungannya. Tetapi orang yang mempunyai banyak teman juga bisa mengalami
tekanan dibidang itu.
d. Tekanan yang
Disebabkan oleh Peranan Ganda
Dalam
kehidupan sehari-hari, setiap orang harus memainkan bermacam-macam peranan
berturut-turut. Pemuda yang pagi-pagi sembahyang, memainkan peranan seorang
muslim; waktu makan bersama orang tua, ia memainkan peran seorang anak; waktu
pergi ke sekolah bersama rekan-rekannya, dia memainkan peranan seorang teman.
Sesudahnya ia menjadi penumpang bus, murid sekolah , cucu, anggota pramuka dan
lain- lain.
Hal
itu terjadi lancar dan biasanya tidak menimbulkan banyak kesulitan. Tetapi bisa
terjadi tekanan kalau manusia harus memainkan dua peranan yang bertentangan.
Misalnya seorang anak yang dididik dalam lingkungan ortodoks, bisa memasuki
lingkungan kemahasiswaan, dimana ia harus berperan sebagai pemuda yang
progresif dan tidak mempedulikan agama.
Jika seorang homoseks yang berhubungan kepicikan dengan lingkungannya, harus
berperan sebagai pecinta pacarnya; atau sebagai suami yang normal.
B. Shalat
1. Pengertian
Shalat
Dalam
arti yang asli, shalat[113] ialah
do’a kebaikan. Dan menurut bahasanya dalam syari’at, shalat adalah beberapa
perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam,
dengan syarat-syarat tertentu.[114] Secara
dimensi fiqh shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan
(gerakan) yang dimulai dengan salam, yang dengannnya kita beribadah kepada
Allah, dan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama.[115]
Menurut
Ash-Shiddieqiy[116]
pengertian shalat dibedakan menjadi beberapa ta’rif yang menerangkan hakikat shalat dan jiwanya:
a. Pengertian
yang melukiskan haqieqatush shalat, atau “sir” (rupanya yang batin) atau
hakikat.
Shalat berarti
berhadap hati (jiwa) kepada Allah, dengan mendatangkan takut kepada-Nya, serta
menumbuhkan didalamnya jiwa rasa
keagungan kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya.
b. Pengertian
yang menggambarkan ruhus shalat (jiwa shalat)
Ruh shalat itu
ialah berharap kepada Allah dengan sepenuh jiwa, dengan segala khusyu’ di
hadapan-Nya dan berikhlas bagi-Nya, serta hadir hati dalam berdzikir, berdo’a
dan memuji.
c. Pengertian
yang melengkapi rupa hakikat dan jiwa shalat
Shalat berarti
berhadap hati (jiwa) kepada Allah SWT., hadap yang mendatangkan takut,
menumbuhkan rasa kebesaran-Nya dan kekuasaan-Nya dengan penuh khusyu’ [117] dan
ikhlas di dalam beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir
disudahi dengan salam.
Shalat
dengan pengertian yang tersebut ini (pengertian hakikatnya) di dalam Islam
lahir dalam bentuk yang indah, didalamnya terkandung hikmah bahwa di dalam
shalat itu terdapat tawajjuh (usaha
berhadap diri kepada Allah) dan do’a
(seruan memohon hajat dan ampunan kepada Allah swt).
Shalat
yang baik dan benar harus memiliki roh. Maksud dari roh shalat atau jiwa shalat
adalah khusyu’, hadir hati, dan
ikhlas. Ayat al-qur’an yang memerintahkan shalat dengan khusyu’ adalah Q.S.
al-Baqarah (2): 238
حافظوا علىالصلوت والصلوة الوسطى وقوموالله قنتين
Artinya: Peliharalah segala shalatmu, dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah
karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.[118]
Menurut
pengertian bahasa, khusyu’ dalam shalat berarti khudu’ . keduanya memiliki arti yang sama yaitu merendahkan diri.
Dalam segi suara, khusyu’ berarti
diam. Sedangkan dalam hal pandangan mata, khusyu’
menundukkan mata.[119]
Dari
beberapa devinisi diatas dapat disimpulkan, khusyu’
adalah amalan hati; suatu keadaan yang mempengaruhi jiwa, membekas pada
anggota badan seperti tenang dan menundukkan diri.
Khusyu’ memiliki kedudukan yang
penting dalam shalat, karena orang yang mengerjakan shalat pada dasarnya
bermunajat kepada Allah. Sedangkan apabila bermunajat dalam keadaan lengah,
maka tidak disebut bermunajat sama sekali. Oleh karenanya, orang yang
mendirikan shalat dengan khusyu’ pantas mendapatkan keberuntungan seperti
disebut dalam surat
al- Mu’minun (23): 1-2
قد افلح المؤ منون * الذين هم في صلو تهم خا شعون
Artinya: sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya.[122]
Roh
shalat yang kedua adalah hadir hati. Hadir hati adalah memusatkan segala
fikiran kepada yang dikerjakan (shalat), tidak berpaling kepada yang lainnya.[123] Jadi
hati harus kosong dari selain apa yang sedang dikerjakan dan diucapkan,
sehingga kesadaran berbuat dan berucap selalu bersama-sama dengan perbuatan dan
ucapan. Kemudian untuk dapat mengantarkan fikiran kepada apa yang sedang
dikerjakan dan diucapkan itu, maka bacaan yang diucapkan dalam shalat itu harus
dimengerti, dipahami, dan dihayati.
Pada
dasarnya mendirikan shalat sedang bermunajat, berkomunikasi dengan Tuhan.
Sehingga telah nyata bahwa kedudukan mengerti, memahami, dan menghayati bacaan
shalat ketika mendirikan shalat, menempati posisi yang penting.[124] Allah
telah melarang hamba-Nya untuk shalat dalam keadaan tidak mengerti apa yang
diucapkan. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa’ (4): 43
يايهاالذين
امنوالا تقربوا الصلوة وانتم سكارى حتى تعلمواما تقولون......
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedangkan kamu dalam
keadaan mabuk. Sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…[125]
Bacaan
yang dimengerti, dipahami, dan dihayati akan mengantarkan jiwa manusia untuk
berkomunikasi dengan Allah. Dapat menyadarkan manusia dari keagungan, kebesaran
Allah dan kehinaan manusia. Sehingga diharapkan terapresiasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Ucapan-ucapan yang dimengerti, dipahami dan dihayati seharusnya
diterjemahkan dalam perilaku, perkataan dan perbuatan manusia baik sebagai
mahluk individu maupun mahluk sosial. Apabila manusia dapat mengerti, memahami,
menghayati dan melakukan apa yang diucapkan dalam shalat maka akan terhindar
dari perbuatan keji dan munkar serta lebih siap menghadapi persoalan/problem
hidup.
Roh
shalat yang ketiga adalah ikhlas. Ikhlas adalah niat hati yang murni hanya
untuk memperoleh keridhoan Allah semata.[126]
Mendirikan shalat merupakan salah satu ibadah kepada Allah dan bukti seseorang
hambah membutuhkan khaliqnya. Oleh karena itu dalam menjalankan ibadah kepada
Allah diperintahkan untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja,
sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya surat
al-Mu’minun (40): 14
فادعواالله مخلصين له الدين ولوكره الكفرون
Artinya:
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya , meskipun orang-orang
kafir tidak menyukainya.[127]
Dengan
demikian dalam mendirikan shalat harus diikhlaskan karena Allah bukan karena
pengaruh yang lain, tidak mengharapkan sanjungan dan perhatian umum, sebagimana
telah diperintahkan oleh Allah dalam surat al-A’raf (7): 29
قل امرربي بالقسط واقيموا وجوهكم عند كل مسجد
وادعوه مخلصين له الدين كمابداكم تعودون
Artinya:
Katakanlah: “Tuhan-ku menyuruh menjalankan keadilan.” Dan katakanlah,
“Luruskanlah mukamu disetiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan
ketaanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan
(demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya.”[128]
Hal
senada diungkap pula dalam surat
al-An’am (6): 162
قل ان صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين
yang artinya: Katakanlah: “sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.[129] Ayat
ini memerintahkan mengikhlaskan shalat dan seluruh ibadah yang lain bahkan hidup
mati hanya untuk Allah.
2. Kajian
Psikologis Dalam Ibadah Shalat
Sebenarnya
yang mengetahui rahasia shalat atau apa rahasia dibalik shalat tentunya hanya
Allah dan Rasul-Nya, namun sebagai manusia yang dibekali dengan akal maka perlu
mencari sesuatu dibalik rahasia shalat sesuai dengan disiplin ilmu yang dikaji
dalam tulisan ini yaitu psikologi.
Shalat
merupakan ibadah yang istimewa di dalam ajaran Islam, baik dilihat dari
perintah yang diterima oleh Muhammad secara langsung maupun dimensi-dimensi
yang lainnya. Shalat ini merupakan satu-satunya wahyu yang diterima oleh
Muhammad tanpa perantara Jibril atau yang lainnya.
Menurut
pandangan para ahli, baik dari para psikolog maupun ahli kesehatan, ibadah
shalat mengandung unsur terapeutik
bagi kesehatan manusia. Menurut Djamaluddin Ancok sebagaimana yang dikutip
oleh Haryanto[130] ada
beberapa aspek teraupetik yang
terdapat dalam ibadah shalat, antara lain aspek olah raga, aspek meditasi,
aspek auto-sugesti dan aspek kebersamaan. Disamping itu juga mengandung unsur
relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera dan aspek katarsis.
Menurut
H. A. Saboe,[131]
gerakan-gerakan yang terkandung dalam shalat mengandung banyak unsur kesehatan
bagi jasmani manusia, maka dengan sendirinya akan memberi efek pula pada
kesehatan manusia baik dari sisi ruhaniah maupun jasmaniah. Lebih lanjut
Musbikin[132]
mengatakan bahwa shalat bukan hanya sebuah kewajiban yang harus dikerjakan dan
dipatuhi oleh setiap muslim, tetapi juga perlu dilakukan secara sungguh-sungguh
sehingga mereka bisa merasakan manfaat positif dari shalat. Sisi lain dari
shalat itu adalah aspek teraupetik
dalam setiap gerakan dalam shalat.
Syeh
Masyhur[133]
mengatakan shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa
dan memperbaharui semangat dan sekaligus sebagai penyucian akhlak. Bagi
pelakunya sendiri, shalat itu merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan,
ia adalah pelipur lara dan mengamankan dari rasa takut dan cemas, juga
memperkuat kelemahan, dan senjata bagi yang merasa terasing.
Shalat merupakan kesenangan hati bagi
orang-orang yang mencintainya dan merupakan kenikmatan roh bagi orang-orang
yang mengesakan Allah. Shalat adalah puncak keadaan ash-shodiqin dan timbangan keadaan orang-orang yang meniti jalan
kepada Allah. Shalat merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya.
Allah menuntun mereka untuk mengerjakan shalat itu dan memperkenalkannya
sebagai rahmat bagi mereka dan kehormatan bagi mereka, supaya dengan shalat itu
mereka memperoleh keberuntungan dan kemuliaan dari-Nya karena berdekatan
dengan-Nya.[134]
Shalat
memiliki efek ketenangan (defresan),
seperti bius pada obat-obatan, jika shalat dapat khusyu’ maka seseorang akan
lupa (tidak sadar) akan sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Hal ini telah
dibuktikan oleh sahabat Nabi yang bernama Ali bin Abi Thalib yang terkena panah
dalam peperangan. Ali minta jika panah tersebut dicabut ketika ia sedang
shalat, dan ternyata Ali tidak merasa sakit.[135]
Dimensi
lain yang dapat dikemukakan dalam shalat adalah terciptanya kepribadian yang
teguh pada diri seseorang. Shalat yang dilakukan secara rutin setiap waktu
(berdasarkan waktu shalat yang ditentukan
syari’at), dengan sendirinya akan membentuk kepribadian yang teguh,
disiplin, terutama dalam menciptakan kedisiplinan dalam waktu dan kerja.
Menurut Razak, dalam waktu sehari semalam yakni 24 jam, seorang muslim
diajarkan untuk mentaati waktu shalat dan melaksanakan shalat sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan. Hal yang demikian akan dapat membentuk
kedisiplinan seorang muslim dalam mentaati aturan kerja dan waktunya.[136]
3. Aspek
Psikoterapi dalam Shalat
Shalat
adalah wasiat atau pesan terpenting para nabi. Ia adalah ekstensi yang paling
menonjol atau tampak dari ibadah. Luqman al-Hakim berkata pada anaknya: Hai anakku dirikanlah shalat……(Q.S.
Luqman (31): 17)
Shalat
adalah obat bagi lupa dan sarana untuk mengingat Allah. Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (Q.S. Thaha (20): 14), Mintalah pertolongan dari kesabaran dan
shalat…Mintalah bantuan dari shalat dalam mengahadapi kesulitan, maka
kalian akan menang dan dapat menyelesaikan kesulitan tersebut.[137]
Shalat
adalah satu diantara sekian program kenabian. Nabi Isa a.s. ketika masih berada
dalam buaian ibunda Maryam berucap: Allah
telah menganjurkan aku melakukan shalat selama hayat masih dikandung badan. (Q.S.
Maryam (19): 31). Dan banyak lagi pentingnya kita melakukan shalat sebagaimana
yang dibahas dalam tulisan-tulisan tentang shalat. Seperti yang dikatakan
Mustofa[138]
barangsiapa yang memelihara waktu-waktu shalat dan tujuan shalat benar-benar
karena Allah, dengan demikian jiwanya mampu menaklukan ujian dunia beserta
kesenangannya.
Orang
yang shalat ketika menghadap betul dengan Tuhannya dan hatinya hadir, maka
Allah akan mengagungkannya dan di dalam hatinya akan dipenuhi rasa takut kepada
Allah, rasa kerendahan hati, rasa malu kepada Allah dan memperoleh ketenangan
jiwanya.[139]
Dari
sini, manusia dapat memahami betapa agama Islam menomorsatukan program
perkembangan kepribadian ruhaninya. Mereka yang senantiasa , akan mempunyai
kontak dengan Allah yang merupakan pusat segala wujud. Seperti hanya pilot yang
senantiasa memiliki hubungan dengan control-room.
Shalat memupuskan dosa dan efek kepincangan. Setelah memerintahkan shalat
al-Qur’an memerintahkan: Sesungguhnya
kebaikan menghapus keburukan (Q.S. Hud (11): 114).
Orang
yang mendirikan shalat akan merasa dekat dihadapan Allah dan selalu dalam
pengawasan-Nya,baik lahir maupun batin, lebih-lebih jika dilakukan adalah
shalat fardhu (wajib) yang biasa dilakukan umat Islam sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Dalam hal ini
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Rasul SAW., yang menceritakan bahwa
jika beliau tertimpa sesuatu yang mengejutkan, beliau akan melakukan shalat.[140]
Shalat
adalah salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia, karena ia merupakan
sarana mental untuk memberikan ketenangan hidup dalam rangka mencapai
kenikmatan dan dan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat.
TERAPI
PSIKOPROBLEM
MELALUI
SHALAT
A. Shalat
Khusyu’ Serta Pengaruhnya dalam Jiwa
Beberapa
sebab utama dari terjadinya problem kejiwaan adalah kebencian pada diri
sendiri, ketidak mampuan untuk bersabar dalam musibah, kegagalan, kekhawatiran
terhadap masa depan, dan khayalan seolah-olah kehidupan ini tidak punya tujuan
akhir. Semua sebab tersebut pada
dasarnya bersumber pada ketakutan dan kecemasan.
Ketakutan
dan kecemasan adalah dua musuh utama bagi problem dan kesehatan jiwa. Tak ada
yang lebih berbahaya bagi keseimbangan
jiwa daripada kecemasan terhadap ketidak pastian masa depan. Hanya
dengan keimanan
manusia tidak akan terlalu cemas, karena sebenarnya manusia
tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi. Masa depan yang akan datang hanya
diketahui oleh yang empunya.
Masalah
kecemasan (anxiety) dan kegelisahan (rest lessness) merupakan salah satu
faktor utama yang menyebabkan gangguan kejiwaan (neurosis). Cemas adalah suatu
ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Ia biasanya muncul bila
manusia berada dalam suatu keadaan yang ia duga akan merugikan dan ia rasakan
akan mengancam dirinya, dimana manusia merasa tidak berdaya menghadapinya
karena yang ia cemaskan itu belum terjadi, maka rasa cemas itu sesungguhnya
merupakan ketakutan yang ia ciptakan sendiri.[45]
Kecemasan
dan kegelisahan yang dapat menyebabkan seseorang menderita neurosis atau
masalah kejiwaan adalah karena perasaan tersebut selalu menguasai semua
perjalanan hidupnya. Maka menjadikan keadaan jiwa yang tenang dan tentram
adalah merupakan terapeutik yang pokok dan penting.
Najati
mengemukakan bahwa keadaan tentram dan jiwa yang tenang akan didapatkan
manakala orang dalam keadaan kekhusyu’an menjalankan ibadah shalat, sebagaimana
pendapat Abu al-‘Aza’im yang dikutipnya:
“…Dalam shalat manusia berdiri dengan
khusyu’ dan tawadhu’ kepada Allah penciptanya dan pencipta seluruh alam
semesta. Dengan tubuh yang kecil dan lemah, ia berdiri dihadapan Tuhan YME,
yang menguasai segala sesuatu, mengendalikan setiap atom dalam wujud, mengatur
segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, yang menentukan kehidupan dan
kematian, memberikan rizki, yang dengan
perintah-perintah-Nya segala qodlo, qodlar dan segala sesuatu yang menimpa kita
baik kebaikan maupun bencana yang terjadi. Berdirinya manusia dihadapan Allah
dengan khusyu’ dan khudu’ akan membekalinya suatu tenaga rohani yang
menimbulkan dalam diri perasaan yang tenang, jiwa yang damai, dan kalbu yang
tentram. Sebab dalam shalat yang dilakukan dengan semestinya, manusia
mengarahkan seluruh jiwa dan raganya
kepada Allah, berpaling dengan semua kesibukan dan problem-problem dunia
dan tidak memikirkan sesuatu kecuali Allah dan ayat al-Qur’an yang dibacanya.
Keterpalingan penuh dari berbagai persoalan dan problem kehidupan, dan tidak
memikirkan selama shalat, dengan sendirinya akan menimbulkan pada diri manusia
itu keadaan yang tentram, jiwa yang tenang dan pikiran yang bebas dari
beban-beban…”[46]
Jadi
jelas disini bahwa seorang yang melakukan shalat dengan benar maka ia menjadi
manusia yang tentram dan memiliki jiwa yang tenang, dan manakala sudah tercapai
ketentraman dan ketenangan dalam jiwa
maka ia terhindar dari segala permasalahan psikisnya dan bagi yang memiliki problem kejiwaan
dengan melakukan shalat yang benar ia akan menjadi tenang dalam menghadapi
problemnya sebagaimana yang dikemukakan oleh
Abu al-‘Aza’im diatas.
Shalat
yang dilakukan secara khusyu’ wal khudu’ sebagaimana yang dikemukakan diatas
memiliki arti bahwa shalat yang dilakukan dengan membawa konsentrasi batin
merendahkan diri dengan cara Rasulullah. Tujuan dari khusyu’ wal khudu’ ini
adalah membawa sifat-sifat ketaatan dalam shalat ke dalam kehidupan sehari-hari
dan akan mampu memberikan perisai terhadap jiwa manusia.
Dampak
yang ditimbulkan dari keadaan tentram dan jiwa santai (tenang) yang dihasilkan
dari pelaksanaan shalat dalam kaitannya dengan proses terapi psikoproblem
adalah meliputi; (1). Meredam syaraf-syaraf yang timbul akibat berbagai tekanan
kehidupan sehari-hari.[47] (2).
Dapat membantu melepaskan diri dari keluhan-keluhan yang ditimbulkan karena
berulang kalinya seseorang tertimpa persoalan atau situasi yang menimbulkan
kegelisahan.[48]
Dari
prosesi diulang-ulangnya bebarengan keadaan santai dan ketenangan jiwa yang
ditimbulkan shalat dengan berbagai situasi yang menimbulkan kegelisahan (yang
ada kalanya dengan menghadapinya secara nyata dalam kehidupan ataupun dengan
mengingatnya), pada akhirnya akan membuat terbentuknya ikatan-ikatan
kondisional baru antara situasi-situasi tegang dengan respon keadaan santai dan ketenangan yang
ditimbulkan shalat (yang merupakan respon yang bertentangan dengan respon kegelisahan)
Terlebih
lagi setelah shalat, yang biasanya seseorang masih terus mengucapkan tasbih dan
berdoa kepada Allah, ini tetap membantu berlangsungnya keadaan santai dan jiwa
tenang untuk beberapa lama. Karena dalam berdo’a sesorang sedang melaksanakan
munajat (audensi) dengan Tuhannya, dimana ia menuturkan kepada Tuhannya segala
keluhan dan problem yang dideritanya dan yang membuatnya resah gelisah. Allah
SWT berfirman dalam surat
al-Mu’minun (40): 60
وقال ربكم اد عوني استجب لكم
Arinya:
Dan Tuhanmu berfirman, “berdoalah
kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan bagimu.”[49]
Sementara
dalam keadaan santai dan jiwa yang tenang secara otomatis ia akan terbebas dari
kegelisahan-kegelisahan tersebut. Akibatnya, problem itu pun secara bertahap
akan kehilangan kekuatannya untuk menimbulkan kegelisahan. Namun sebaliknya
akan membuatnya terikat secara kondisional dengan keadaan santai dan jiwa yang tenang.
Kalau
William James mengungkapkan bahwa munculnya kecemasan dan keresahan yang
dialami manusia adalah karena kegagalan
dalam mengaktualisasikan potensi-potensi kekuatan yang ada dalam
dirinya, maka dengan shalat, disamping akan membebaskan tenaga psikis manusia
dan berbagai ikatan kegelisahan, ia akan juga membekali manusia dengan kekuatan
rohaniah yang dapat memperbaharui hidupnya, menguatkan keimanannya, serta
memberi kekuatan yang luar biasa yang memungkinkan manusia sanggup menanggung
berbagai derita dan melaksanakan karya-karya dalam hidupnya. Sebab orang yang sedang menjalankan shalat, ia
sedang dalam kesatuan rohani dengan Tuhannya, serta berada dalam limpahan
percikan rohani Tuhannya. Yang kemudian akan menjadi kekuatan bagi manusia
dalam mengaktualisasikan potensi-potensi dirinya yang tersembunyi.
Shalat
merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya kepada
Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu dilakukan secara
tekun dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang efektif,
memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran.
Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan
keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha
Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan jasmani.[50]
Shalat
adalah pelatihan mengekang nafsu syahwat, membersihkan jasmani dan rohani dari
sifat-sifat dan perilaku tercela serta dari perbuatan maksiat, keji, dan
munkar.[51] Firman
Allah dalam surat
al-Ankabut (29): 45
اتل مااوحي
اليك من الكتب واقم الصلوة ان الصلوة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكرالله اكبر
والله يعلم ما تصنعو نَ
Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an)
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan
munkar. Dan mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar keutamaannya dari
ibadah-ibadah yang lain. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [52]
Menurut
Muhsin[53]
disinilah ayat sesungguhnya shalat
mencegah fakhsya’ dan
kemungkaran memiliki pengertian yang lebih jelas. Ayat ini hendak mengatakan
bahwa melaksanakan kewajiban shalat dapat mencegah kebobrokan dalam masyarakat
Islam.
Apabila
shalat dilakukan dengan tekun dan benar, seseorang akan maksum dari dosa, bebas
dari kesalahan dan pelanggaran apalagi ditunjang oleh kesabaran yang aktif, dan
perjuangan yang gigih dan positif, maka akan menjadikan sarana mengatasi
kesulitan hidup. Allah berfirman dalam surat
al-Baqarah (2):45
واسْتَعِيْنو ا بالصبر َوالصلوةِ وانها لكبيرة الا على الخشعينَ
Artinya:
“Jadikalah shalat dan sabar sebagai
penolongmu. Dan yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang
khusyu’ ”[54]
Disamping
itu juga shalat bisa menimbulkan ketenangan hati dan ketrentraman batin.[55] Firman Allah dalam surat al-Ma’arij (70): 19-23
ان الانسا ن
خلق هلوعاً * اذامسه الشرجزوعاً * واذامسه الخير منوعاً
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan keluh kesah lagi kikir. Apabila ia
ditimpah kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat
kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat yang mereka itu tetap dalam
shalatnya.” [56]
Ayat
diatas memberikan isyarat kepada manusia agar konsisten dalam mengerjakan
shalatnya. Sehingga dirasakan benar dampak dari ia melakukan shalat.
Dampak
lain yang ditimbulkan shalat dalam kaitannya dengan proses terapeutik adalah terbentuknya jiwa sosial yang sehat, dampak ini
secara signifikan terdapat dalam pelaksanaan shalat jama’ah. Anjuran agama
Islam untuk sering dan mengutamakan shalat jama’ah disamping shalat sendirian
(munfarid) akan lebih memberikan peluang untuk bersosialisasi dengan
lingkungannya dimana ia tinggal. Sosialisasi diri dalam jalinan persahabatan
ini akan membantu klien dalam mengembangkan kepribadian dan kematangan
emosionalnya. Sabda Rasul
تفضل صلاة الجميع صلا ة أحد كم وحده بخمس وعشرين
جزءا, وتجتمع ملا ئكة الليل وملا ئكةالنهار فى صلاة الفجر
Artinya: Abuhurairah r.a. berkata, saya
mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sembahyang berjamaah lebih afdhal (utama)
dari sembahyang sendiri dua puluh lima
kali. Dan malaikat malam berkumpul dengan Malaikat siang di waktu shalat subuh.
(Bukhari Muslim).[57]
Disamping
itu salah satu yang harus diperhatikan dalam segenap prosesi shalat adalah
tindakan mengambil air wudlu (berwudlu). Dalam prosesi ini seseorang bukanlah
sekedar membersihkan tubuh belaka dari segala kotoran yang melekat padanya,
serta dapat membantu mengistirahatkan organ-organ tubuh (fisiologis) dalam
fase-fase tertentu dalam kesibukan kerja hariannya, melainkan dengan
melaksanakan wudlu yang semestinya, akan membuat seseorang mukmin merasa bahwa
diri dan jiwanya menjadi bersih, serta membersihkan dari segala
kesalahan-kesalahannya. Sebuah hadits menyebutkan:
اِذاتو ضاالعبدالمسلم او المؤ من فغسل وجهه خرج من
وجهه كل خطيئة نظر اليها بعينه مع الماء او مع اًخر قطر الماء فاذاغسل يد يه خرج
من يد يه كل خطيئة كان بطشتها يداه مع الماء او مع اخر قطر الماء فاذا غسل رجليه
خر جت كل خطيئة مشتها رجلا ه مع الماء او مع اخر قطر الماء حتى يخر ج نقيا من الذ
نوب
Artinya: “ Apabila seorang hamba muslim atau mukmin
berwudlu, maka ketika ia membasuh mukanya, keluarlah segala kesalahan yang diperbuat
kedua matanya dengan tetes terakhir air itu. Kemudian apabila ia membasuh kedua
tangannya keluarlah segala kesalahan yang dilakukan keduanya bersama tetes yang
terakhir air itu. Selanjutnya apabila ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah
segala kesalahan yang dilakukan keduanya bersama dengan tetes terakhir air itu,
hingga ia bersih dari dosa-dosa.”[58]
Perasaan
bersihnya tubuh dan jiwa yang selalu ia dapatkan dari wudlu akan mempersiapkan
manusia untuk mengadakan hubungan rohani dengan Allah dan menghantarkannya
kepada keadaan tubuh dan jiwa yang tenang dalam shalat dan segenap prosesi
lainnya, yang akhirnya menjadikan manusia yang benar-benar siap dan mampu
mengatasi dan memproteksi diri dari segala problem jiwa.
B. Implikasi
Shalat dalam Terapi Psikoproblem
Setiap
manusia memerlukan sesuatu di luar dirinya yang mempunyai kekuatan,
kebijaksanaan dan kemampuan yang melebihinya. Karena tidak selamanya manusia
mampu menghadapi kesukaran dan keperluan hidupnya sendirian, bahkan juga
keperluan kejiwaan, yang akan mempengaruhi kesehatan jiwanya. Sesuatu itu harus
selalu ada, disaat apapun ia memerlukannya, terutama ketika menghadapi
kesulitan dan kesukaran yang tak terpecahkan. Bagi orang beragama sesuatu
adalah keimanan yakni keimanan kepada Allah SWT.[59]
Keimanan
(rasa keagamaan) bukanlah perasaan yang hanya bersandar pada formalitas agama,
tanpa subtansi, atau sekedar penunaian seruan ajaran yang dimanfaatkan untuk
menyatakan kepentingan diri sendiri. rasa keagamaan, sebaliknya ialah pemahaman
secara intens dan pengamalan terhadap
agama, sehingga terjadi keselarasan dalam menyembah Allah dan hidup
bermasyarakat. Dengan begitu agama serta para pemeluknya tidak akan terisolasi
dari realitas kehidupan.[60]
Dalam
Islam, keimanan merupakan ajaran yang terpenting yang berdiri atas bangunan dua
kalimah syahadat. Pernyataan syahadat ini tidak berarti dan berpengaruh apa-apa
tanpa adanya penghayatan dan disertai dengan pengamalan nilai-nilai ibadah yang
dikandung – dalam hal ini ibadah shalat – dan demikianlah bahwa iman selalu
disertai dengan amal.
Buah
iman adalah amal. Dan amalan yang pokok dalam ajaran Islam adalah shalat.
Didalam al-Qur’an Allah telah menegaskan bahwa shalat adalah suatu rangka pokok
iman.[61] Shalat
merupakan ibadah terpokok dan terpenting dalam Islam. Shalat menjadi kewajiban
setiap muslim, terutama yang sudah baligh atau dewasa. Dan perlu ditekankan
disini bahwa shalat mencakup semua rukun Islam.[62] Seorang
yang shalat wajib membaca dua kalimat syahadat. Setelah takbiratul ihram
seorang yang shalat diharamkan makan dan minum atau mengucapkan apapun, kecuali
bacaan yang sudah disyari’atkan, ini
berarti ia berpuasa dari apa yang diharamkan didalam shalat.
Keimanan
yang dimanifestasikan dalam bentuk shalat, dimana shalat merupakan satu bentuk
ibadah yang didalamnya berisi olah rohani, sebagai penyeimbang olah jasmani.
Shalat disini tidak hanya sekedar “dilakukan” tetapi juga harus “didirikan”.
Bahasan tentang mendirikan shalat sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya.[63]
Shalat
merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya kepada
Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu dilakukan secara
tekun dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang efektif,
memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran.
Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan
keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha
Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan jasmani.[64]
Jelas
bahwa Islam tidak sekedar memerintahkan manusia untuk “melakukan” shalat tetapi
“mendirikan” shalat, yang mengandung pengertian yang dalam, yaitu
mengkonsentrasikan pikiran dan perasaan, penyucian roh, jiwa dan badan, serta
kekhusyu’an anggota badan. Sebagaimana diungkap juga oleh Abdu[65] bahwa
khusyu’ memiliki pengaruh besar dan kuat bagi jiwa seseorang, karena khusyu’
dapat mengantarkan seseorang kepada
hal-hal sebagai berikut:
- Menumbuhkan kemampuan untuk
berkonsentrasi.
Ketika sesorang akan
mengerjakan shalat untuk menghadap Tuhanya, biasanya akan muncul hal-hal lain
dalam pikirannya. Maka dia harus berusaha untuk menghilangkan pikiran tersebut
supaya dapat hadir ketika mengagungkan dan bermunajat kepada Allah. Cara ini
akan membantu terbentuknya daya konsentrasi pada diri seseorang.
- Dapat mempengaruhi jiwa seseorang
dikala ruhnya berhubungan dengan Tuhan dan menjadi khusyu’ kepada-Nya,
sekalipun dalam waktu sebentar. Pengaruh khusyu’ bagi jiwa ini merupakan
suatu hal yang pasti terjadi. Karena ruh seseorang yang tidak pernah
berkomunikasi terhadap Dzat yang menciptakannya atau bahkan jarang, maka
akan muncul dalam dirinya rasa gelisah, tidak qana’ah, cinta dunia,
bingung dan lain sebaginya. Tetapi dengan shalat dan bermunajat kepada
Allah SWT, seseorang akan dapat berserah diri dan meminta apa saja yang
dikehendaki sehingga ia merasa lega
dari perasaan-perasaan yang menyertainya. Selain itu, ia akan
mencari kekuatan, rasa qana’ah dan
ridho dengan memohon kepada Allah SWT. Jika mushalli semakin
khusyu’ dan dekat dengan Allah maka semakin bertambah keyakinannya
terhadap Allah SWT, sehingga ia tidak mengenal putus asa dan keluh kesah
dalam hatinya. Selain itu dia juga akan memilki jiwa yang kuat dalam
menghadapi persoalan-persoalan yang kecil maupun besar dalam kehidupannya.
- Khusyu’ membuat seseorang memiliki
sifat rendah hati, sebab ia melihat keangungan Allah, dan sifat tawadhu’
karena ia melihat kemegahan-Nya. Sifat-sifat inilah yang harus dimiliki
oleh hamba Allah SWT. Seseorang
yang meninggalkan tabiatnya dan mengikuti keinginan hawa nafsunya
maka akan muncul dalam dirinya sifat sombong atau bahkan sifat yang lebih
jelek dari itu. hal ini terjadi karena manusia keluar dari tabi’atnya
dengan tidak mengagungkan Allah dan memujinya.
- Shalat merupakan bentuk wasilah
mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Adalah
menjadi kewajiban seorang muslim
untuk tunduk kepada Dzat yang memberikan nikmat dan menyembah kepada-Nya.
Salah satu bentuknya adalah dengan melaksanakan shalat. Oleh karena itu,
orang yang meninggalkan shalat berarti ia ingkar terhadap nikmat Tuhan,
Dzat yang maha Mulya dan Agung, menyia-nyiakan hak dan kewajiban atasnya,
melangggar sumpah (ikrar) untuk beramal kepada-Nya dan ingkar untuk
mengakui keutamaan Dzat yang memberi rizki kepadanya.
Zakiah
mengatakan bahwa dengan terlaksananya shalat wajib lima kali sehari semalam secara sempurna akan
bersihlah jiwa dari berbagai dorongan dan keinginan yang bertentangan dengan
ketentuan Allah. Dan kekuatan iman pun dapat mengendalikan dorongan hawa nafsu
yang tidak mengenal aturan, nilai dan sopan santun, bahkan sering didukung dan
didorong-dorong oleh setan yang selalu mencari kesempatan untuk menghasut
manusia berbuat salah.[66]
Keadaan
seperti diatas akan mengangkat jiwa manusia diatas dorongan-dorongan jasmani,
membebaskannya dari belenggu-belenggu hawa nafsu dan menutup pintu syaitan.
Orang yang mendirikan shalat dalam arti serius akan dijauhkan oleh Allah dari
sifat keluh kesah dan kikir seperti yang terdapat pada kebanyakan orang.[67]
Dalam sebuah kasus yang pernah ditangani oleh
Zakiah, penyembuhan dapat diatasi dengan menggunakan terapi shalat:
Pada suatu senja, sepasang
suami istri datang menghadap kepada ahli jiwa untuk memohon dibantu dalam
meyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Suami tampaknya seorang yang berada,
tampan dan berwibawa, sedang istri halus, lembut dan parasnya cantik. Sepintas
lalu tampaknya pasangan itu serasi dan bahagia, akan tetapi setelah didengar
keluhan dan pengalaman yang mereka lalui dalam kehidupan rumah tangga yang
telah berjalan 15 tahun, maka pendapat kita akan berubah, karena kehidupan
mereka tidak pernah tentram. Rupanya suami yang tampaknya berwibawah dan tampan
itu, telah banyak berbuat salah di luar rumah, banyak wanita cantik yang memuja
dan mengejarnya, kadang-kadang diantara mereka itu ada yang dibawanya kerumah.
Si istri merasa takut bicara karena setiap kali ia mulai bertanya atau
berkomentar tentang wanita yang dibawah suaminya itu, ia selalu dimarahi dan
disuruh bungkem. Pada mulanya istri tampak menerima kenyataan itu, Karena ia
merasa bahwa ia menopangkan hidupnya kepada suaminya yang mampu mencukupi
segala keperluannya. Suami semakin bangga diri dan telah meninggalkan shalat
sejak beberapa tahun. Ia tenggelam dalam kesenangan lahiriah, pada suatu malam
istrinya berkata: “sudah lama kita berkeluarga, kita tidak pernah bertengkar,
namun hati saya tidak pernah tenang, saya tidak pernah merasakan lagi kasih
saying Abang. Abang sibuk dengan wanita-wanita cantik lain, sedangkan saya
Abang kurung dalam sangkar emas yang indah ini. Saya tidak sanggup meneruskan
hidup seperti ini, biarlah saya tinggal digubuk buruk, makan dan minum
seadanya. Marilah kita besok pergi ke kantor urusan agama, dan ceraikan saya
secara baik.”
Sang suami terperanjat,
seolah-olah ia disambar petir mendengar ucapan istrinya itu. terbayang diruang
matanya semua perlakuan kepada istrinya selama ini, ia selalu mengatakan bahwa
istrinya itu bodoh, tidak mengerti apa-apa, bahkan dia teringat ucapan kepada
istrinya di satu hari: “Ah diam kau, jangan banyak tanya, tahu apa orang
perempuan.” Lama dia terdiam, pikirannya melayang ke masa-masa dimana dirinya sebagai bintang yang
diagungkan oleh wanita-wanita cantik yang tidak berakhlak, sehingga hidupnya
dipenuhi oleh dosa dan lupa kepada Allah. Setelah sadar, dengan nada lembut, ia
membujuk istrinya untuk bersabar, karena ia akan bertaubat dan mohon ampun
kepada Allah, serta memperbaiki perlakuan terhadap istrinya. Istri menolak,
karena dia telah jenuh dengan kehidupan tidak menetramkan itu.
Rupanya persoalan itu tidak
teratasi lagi, karena itulah suami terpikir untuk minta tolong kepada seorang
ahli jiwa. Beberapa kali pertemuan berlangsung dengan ahli jiwa tersebut,
kadang-kadang mereka bersama masuk ke ruang konsultasi, kadang-kadang
bergantian agar masing-masing dapat mengungkapkan seluruh perasaan yang
mencekam di dada mereka masing-masing.
Sejak berkonsultasi itu suami
mulai shalat kembali, dan memohon ampun kepada Allah atas segala dosa yang
telah dibuatnya. Pada mulanya ia tidak berani mohon ampun kepada Allah, takut,
jangan-jangan Allah murka, dan tidak mau mengampuni kesalahannya. Kepadanya
dikatakan bahwa Allah Maha Pengampun dan menyuruh manusia untuk minta ampun.
Setelah beberapa kali
pertemuan konsultasi, tampaknya istri mulai dapat menerima permintaan suami,
agar tidak bercerai. Rupanya terbuka hatinya melihat suaminya yang mau shalat,
bahkan sangat rajin dimana kadang-kadang ia bangun tengah malam untuk shalat
tahajut.[68]
Itulah
contoh kasus problem keluarga yang akhirnya klien mampu mengatasi problemnya
dengan melaksanakan shalat. Mendirikan shalat berarti meluruskan pandangan
hidup kearah keabadian sejati, yaitu keridhaan Allah, bersandar pada
hukum-hukum Allah, karena dengan hukum-hukum dan aturan Allah sajalah yang
dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan.
Dalam
Islam shalat dicanangkan sebagai pembersih jiwa, pelembut kalbu dan penghias
manusia dengan keutamaan-keutamaan perasaan tunduk, khusyu’, hadir, akrab,
mohon kepada Allah dan dekat dengan-Nya.[69] Dalam
bab sebelunya penyusun sudah membahas tentang shalat dan pengaruhnya dalam
jiwa. Di sana secara teoritis ditemukan bahwa sesorang yang melakukan shalat
dengan sempurna akan lebih mampu menghadapi segala persoalannya,[70]
ini diperkuat juga dalam contoh kasus
yang dijelaskan di atas.
Dadang Hawari[71] mengungkapkan
bahwa do’a atau shalat yang dilakukan sehari semalam sebanyak lima kali
merupakan kekuatan spiritual yang akan mampu memberikan kebutuhan akan rasa
aman dan terlindungi bagi setiap manusia. Zakiah mengungkapkan hal yang sama,
bahwa shalat sebagai obat (kuratif)
bagi gangguan kejiwaan dan shalat sebagai pencegahan (preventif) terhadap gangguan kejiwaan.[72]
Djamaludin
Ancok mengatakan bahwa shalat memiliki beberapa aspek yang berfungsi sebagai
sarana terapi, aspek tersebut:
Pertama, aspek olah raga. Shalat adalah suatu
ibadah yang menuntut aktifitas fisik, konsentrasi tekanan dan “pijatan” pada
bagian otot tertentu dapat menjadikan relaksasi (pelemasan). Padahal salah satu
tehnik penyembuhan adalah relaksasi (relaxation
training). Menurut Lekrer, gerakan-gerakan otot pada relaksasi dapat
mengurangi kecemasan. Nizami mengatakan bahwa shalat yang berisi aktivitas yang
menghasilkan bio-energi, mengantarkan
pelakunya pada situasi equilibrium (keseimbangan)
antara jiwa dan raganya.
Eugene
walker mengatakan juga bahwa olah raga dapat mengurangi kecemasana jiwa. Jika
demikian, maka shalat yang berisi aktifitas fisik juga dapat dikategorikan olah
raga, dapat pula menghilangkan kecemasan. Apalagi shalat yang dilakukan
berulang-ulang. Semisal shalat wajib yang
dilakukan lima kali dalam sehari semalam.
Kedua, shalat memiliki aspek meditasi. Setiap
muslim dituntut agar dapat melaksanakan shalat secara khusyu’. Untuk itu
diperlukan konsentrasi yang dalam. Khusyu’ dalam shalat menurut Ancok dapat
dikategorikan sebagai suatu proses meditasi
Ketiga, adalah aspek auto-sugesti. Bacaan dalam shalat adalah bacaan yang dipanjatkan ke
hadirat Ilahi. Berisi pujian-pujian atas keagungan Allah dan doa serta
permohonan agar selamat dunia dan akhirat. Bila ditinjau dari teori hypnosis
yang menjadi salah satu penyembuhan
gangguan jiwa, mengungkapkan kata-kata itu berisi aspek auto-sugesti. Menyatakan hal yang baik terhadap diri sendiri adalah
suatu proses auto-sugesti agar yang
bersangkutan memiliki sifat-sifat yang baik. Proses shalat pada dasarnya adalah
terapi yang tidak berbeda dengan terapi self-hypnosis
(pengobatan terhadap diri sendiri).
Keempat, aspek kebersamaan. Mengapa Rasul SAW.,
lebih menghargai mereka yang mau shalat berjamaah? Dengan melebihkan pahalanya
sampai dua puluh tujuh kali lipat, bila dikaitkan dengan tinjauan psikologis
akan jelas sekali. Sabda Rasul
صلا ة الجماعة تفضل صلاة
الفذ بسبع وعشر ين در جة
Manusia
modern menurut para ahli pengamat perilaku manusia, banyak yang menderita
keterasingan. Akibat paling fatal dari rasa keterasingan itu adalah bunuh diri.
Tidak heran jika angka bunuh diri terus naik seiring dengan makin majunya suatu bangsa. Ternyata keramaian IPTEK tidak
menjamin manusia menjadi tenang, sebaliknya justru membuat manusia merasa
kesepian.
Ditinjau
dari psikologis, kebersamaan itu
merupakan aspek teraupatik .
Beberapa ahli psikologis berpendapat bahwa perasaan “keterasingan” dari orang
lain adalah penyebab utama terjadinya gangguan jiwa. Dengan shalat berjamaah
perasaan terasing dari orang lain ataupun dari dirinya sendiri dapat hilang.[74]
Shalat
berjamaah, dengan segala tata tertibnya, telah menghadirkan suatu sarana agar
manusia senantiasa merasa tidak sendirian. Senantiasa merasa ada dalam satu
barisan jamaah, yang berasas tunggal, yaitu Allah swt. Shalat berjamaah
dianjurkan agar dilakukan setiap menjalankan shalat wajib, kiranya akan dapat
mengikis perasaan terasingnya dari dunia yang semakin hari semakin rumit dan
saling berganti bentuk dan coraknya.[75] Dunia
yang selalu memberikan berbagai masalah bagi manusia. Selain itu dari segi
kejiwaan shalat berjamaah akan dapat membantu konsentrasi pikiran. [76]
Selain
memberikan terapi yang bersifat kuratif
(penyembuhan), shalat juga memiliki aspek preventif (pencegahan) terhadap problem psikis. Adanya
perintah Allah untuk memelihara persaudaraan sesama manusia, saling memenuhi
kebutuhan, saling merasakan penderitaan dan kesenangan orang lain akan menjaga
kemungkinan terjadinya problem psikis. Hal ini secara tidak langsung merupakan
akibat tidak langsung dari shalat yang dilakukan secara berjamaah.
Adapun
efek dari meninggalkan shalat adalah pikiran akan semakin tidak tenang, hati
gelisah, perasaan berdosa, berdebar jantung, dan lain-lain. Sehingga orang yang
memiliki problem psikis dia tidak mampu menghadapinya dengan baik. Dengan
sendirinya perasaan ini akan membalut rohani dan jasmani, yang lebih parah lagi
adalah bila rohani tersebut oleh rasa ketakutan ,kegelisahan, keresahan,
keputusasaan, kecemasan, dan kesedihan, yang makin lama makin tebal menumpuk
karena masih belum dibersihkan dengan berwudlu. Tujuan berwudlu itu sendiri
adalah dengan niat untuk melakukan shalat guna berdialog dengan Allah, mendekatkan
diri kepada Allah dan bermohon meminta ampun.
Dengan
berwudlu, maka akan lebih bersih dan jernih. Dengan mendirikan shalat, hati
akan bersih, dikatakan dalam Islam sehat wal-afiat. Orang yang sehat wal-afiat
bukan hanya berarti sehat, kuat, gagah dan berani karena menganggap dirinya
paling berkuasa, tetapi harus ditunjang oleh cara berfikir yang sehat, jujur,
bersih, dan adil tidak pernah merugikan orang lain serta terhindar dan mampu
mengatasi problem psikisnya.
Itulah
shalat yang dikerjakan dengan baik dan
benar akan berimplikasi terhadap kesehatan jiwa manusia. Ketika manusia
menghadapi sebuah kegelisahan dan kecemasan dalam kehidupannya maka ia harus
segera bermunajat kepada Allah SWT untuk memohon pertolongan-Nya lewat shalat.
Shalat adalah rahmat Allah yang besar. Mencari pertolongan dengan shalat ketika
menghadapi kesulitan berarti membuka rahmat Allah, dan jika rahmat Allah
datang, maka tak ada lagi kesulitan. “Apabila
Rasul saw menemui suatu kesulitan maka beliau mengerjakan shalat.”[77]
Para
ahli sufi menulis bahwa sesungguhnya hakikat shalat adalah bermunajat kepada
Allah SWT dan berbincang-bincang dengan-Nya. Maka orang yang lalai tentu tidak
akan mendapatkannya. Orang boleh saja lalai dalam ibadah-ibadah selain shalat
seperti zakat, yang intinya adalah mengeluarkan harta. Berzakat bertentangan
dengan hawa nafsu manusia yang suka membelanjakan uang. Walaupun dilaksanakan
tanpa sepenuh hati, ia akan tetap mempengaruhi nafsu manusia. Demikian pula
berpuasa, yaitu menahan lapar, haus, dan bersetubuh pada siang hari. Semua itu
penting untuk mengalahkan hawa nafsu manusia. Jika manusia melakukan dengan
benar, walaupun lalai setidaknya akan berpengaruh pada dirinya dan akan
mengurangi kekuatan nafsunya.
Sedangkan
shalat yang sebagian besar mengandung dzikir dan tilawah al-Qur’an, jika
manusia melalaikannya, tentunya tidak lagi merupakan suatu permohonan kepada
Allah. Hal itu bagaikan orang yang demam panas, yang kadang-kadang ia mengigau.
Apa yang ada di dalam hatinya akan ia
katakan, dan ia akan berbicara apa saja. Tetapi apa yang ia katakan itu tidak akan berpengaruh kepada
pendengarannya, tidak bermanfaat, juga tidak berbahaya. Demikian juga shalat
yang selalu dikerjakan. Jika ia
melakukan tanpa tawajjuh, maka shalat akan menjadi suatu adat istiadat saja
sehingga perbuatan tersebut tidak sesuai dengan lafadz-lafadz shalat yang
dikerjakannya. Sebagimana orang yang sedang mengigau ketika tidur, maka
ucapannya akan sulit untuk dipahami, dan
ucapannya tidak akan bermanfaat sedikitpun bagi pendengarnya.
Demikian
juga jika ia mengerjakan shalat tanpa tawajjuh, maka Allah akan berpaling
darinya. Untuk itu sangatlah penting
baginya untuk mengerjakan shalat dengan
penuh perhatian dan menyesuaikan tingkah lakunya dengan semua yang ia
ucapkan dalam shalat. Jadi tujuan shalat
membawa sifat-sifat ketaatan dalam shalat ke dalam kehidupan sehari-hari. Kalau
shalat dikerjakan dengan tertib tempat yang artinya dikerjakan dimana adzan
dikumandangkan, tertib waktu artinya dikerjakan sesuai waktunya (di awal
waktu), dan tertib cara artinya dikerjakan sebagimana yang dicontohkan Rasul,
maka shalat akan memberikan dampak yang sangat besar dalam jiwa manusia. Ia
akan terhindar dari segala kecemasan dan kegelisahan dalam kehidupannya. Ia
akan lebih mampu memberikan proteksi (perlindungan) terhadap segala
permasalahan-permasalahn psikisnya.
P
E N U T U P
A.
Kesimpulan
Suatu
bangunan didirikan atas dasar fondasi, dinding, dan sebagainya. Demikian juga
pula ilmu pengetahuan didasarkan atas fondasi yang berupa teori-teori dan
hipotesis-hipotesis. Teori dan hipotesis pada hakikatnya merupakan proposisi
(pernyataan), dan proposisi ini menggabungkan variabel-variabel.
Dalam
penelitian ini, shalat yang merupakan salah satu yang dijadikan media dalam
memberikan penyembuhan dan pencegahan serta proteksi terhadap masalah-masalah
kejiwaan (problem Psikis) merupakan proposisi yang menghubungkan
variabel-variabel yang dibangun dalam teori dan hipotesis yang dijelaskan dalam
bab sebelumnya.
Dalam
teori[78]
dijelaskan bahwa manusia disamping mahluk Psiko-sosial
juga merupakan makhluk Psiko-sosio-spiritual. Dimana spiritual
merupakan masalah yang mendasar dalam kelangsungan hidup manusia termasuk di
dalamnya masalah yang berhubungan dengan psikis.
Dengan
rasa transendental yang tinggi terhadap dzat yang maha tinggi yang menguasai hidupnya, manusia mampu
menangkis dan memproteksi segala hal yang berlangsung dan yang akan terjadi.
Rasa transendental manusia itu dibuktikan
dalam sebuah keimanan, dan keimanan sesorang dibuktikan dengan ketakwaannya menjalankan semua
perintah-perintah-Nya dan menjahui larangan-Nya. Dalam bahasan terdahulu
disebutkan bahwa manifestasi dari keimanan adalah shalat, karena shalat
merupakan suatu rangka pokok dari iman.
Dalam
deskripsi dan analisis terdahulu telah
ditelaah juga, pengaruh shalat terhadap jiwa manusia. Dimana shalat mengandung
kekuatan spiritual yang luar biasa yang memiliki pengaruh secara langsung dalam
jiwa manusia, menajamkan indera dan perasaan, menjadikan sukmanya berkilauan,
membangkitkan daya nalar dan daya pikirnya serta memperjelas pandangannya. Ini
sejalan dengan esensi jiwa manusia, dimana jiwa merupakan seluruh kehidupan
batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran dan angan-angan yang selalu
mengikutinya, yang rentan terhadap berbagai masalah yang menghantuinya.
Oleh
karenanya bagi orang yang telah mendirikan shalat yakni dilaksanakan dengan
baik, khusyu’ dan bersinambung sesuai dengan syarat rukun dan sunnahnya, ia
akan menjadi sosok manusia yang tegar dalam menghadapi setiap persoalan yang
datang.
B.
Saran
Sebagai
tindak lanjut dari apa yang telah penyusun kemukakan diatas, maka berikut ini
disampaikan saran-saran:
- Bahwa yang dikaji oleh penyusun dalam skripsi
ini adalah sebatas pada deskripsi dan analisa penyusun terhadap shalat
sebagai mediator dalam penyembuhan (terapi) psikoproblem manusia. Penyusun
baru menyinggung sekilas tentang pengaruh shalat terhadap jiwa, untuk itu
kajian lebih mendalam sangat diharapkan dari pembaca. Bagi pembaca yang
tertarik pada kajian ini dipersilahkan untuk mengadakan kajian ulang dan
mendalam sehingga nantinya diharapkan akan memberikan sumbangsih yang berarti bagi perkembangan ilmu
pengetahuan terutama ilmu konseling islami.
- Penyusun
dengan besar hati menerima kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan
karya tulis ini. Tentunya dalam karya ini masih sangat jauh dari apa yang
diharapkan pembaca, karena kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki
penyusun.
- Agar
kita mampu menghadapi segala macam persoalan hidup maka saran penyusun
kepada khalayak untuk memperhatikan ibadah shalat ini. Didalam menjalankan
shalat diharapkan disertai dengan khusyu’ dan tawadhu’ serta
berkesinambungan, sehingga pengaruhnya terhadap jiwa benar-benar
dirasakan.
[97] Lihat Peter Salim, op. Cit., hlm. 1197
[98] Lebih lanjut lihat Tarmizi, Kesehatan Jiwa (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), hlm. 8
[99] Berdasarkan firman Allah
dalam surat al-Isra’ (17): 85 artinya: dan
mereka bertanya tentang ruh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.
[100] Dikutip dari A. Gazali, et
al., Ilmu Jiwa (Jakarta: Ganaco N.V.,
1980) hlm.5
[101] Anna Alisjabana, M. Sidharta
& M.A.W. Brouwer, Menuju
Kesejahteraan Jiwa (Jakarta: PT. Gramedia, 1983)
[102] Imam santoso sukardi, op. Cit. hlm. 3
[103] Ibid, hlm. 336
[104] Departemen Agama RI., op. Cit., hlm. 454
[105] Zakiah Daradjat, Peranan Agama Dalam Kesehatan Jiwa (Jakarta:
Gunung Agung, 1982), hlm. 47
[106] Anna Alisjabana, M. Sidharta,
& M. A. W. Brouwer, op. Cit.,
hlm. 112
[107] Ibid.
[108] Muhammad ‘Utsman Najati, op. Cit., hlm. 18
[109] Ibid, hlm. 120
[110] Ibid,, hlm. 18
[111] Hamdan Bakran Adz-dzaky, op. Cit., hlm. 2
[112] Ibid
[113] Sering juga disebut
sembahyang, karena pengaruh istilah agama Hindu, berasal dari kata
sembah-Yang(menyembah kepada sang Dewa-dewa. Dipakai dalam semua agama untuk
mengadakan kebaktian. Sedangkan shalat khusus untuk Islam. Dan merupakan bahasa
aslinya dari al-Qur’an.
[114] M. Dachlan Arifin, Kompilasi Shalat dan Persoalannya (Yogyakarta:
Dian, 1990), hlm. 3
[115] Lihat A. Hasan, Pengajaran Shalat (Bandung: CV.
Diponegoro, 1999). HS. Rasjid, Fiqh Islam
(Jakarta: Attahiriyah, 1976)
[116] Ash-Shiddieqiy, op. Cit., hlm 63
[117] Khusyu’ menurut A. Syafi’i adalah menyengaja, ikhlas dan
tunduk lahir dan batin; dengan
menyempurnakan keindahan bentuk/sikap lahirnya, serta memenuhinya dengan
kehadiran hati, kesadaran dan pengertian segala ucapan dan bentuk/sikap lahir
itu. Lihat A. Syafi’i. MK, op. Cit., hlm.
2
[118] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm.30
[119] M. Munir Jimbaz, Karakter Orang Sukses Dunia Akhirat, Penj:
A.M. Basalamah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), hlm. 71
[120] M. Yunus bin Abdullah
as-Sattar, Dimanakah Shalat yang Khusyu’ ? , Penj: Abdullah
Shonhadji, Sani Abu Zahra (Semarang: C.V. asy-Syifa’, 1991), hlm.90
[121] M. Hasbi asy-Shiddieqy, op. Cit., hlm. 74
[122] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 273
[123] M. Hasbi asy-Syiddieqy, op. Cit., hlm. 76
[124] M. Zainal arifin, Shalat Mi’raj Kita Kehadirat-Nya (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 23
[125] Departemen Agama RI., op. Cit., hlm. 66
[126] Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), hlm. 21
[127] Departemen Agama RI., op. Cit., hlm. 374
[128] Ibid., hlm. 122
[129] Ibid.,hlm. 119
[130] Sentot Haryanto, Psikologi Shalat (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hlm. 62
[131] H. A. Saboe, Hikmah Kesehatan Dalam Shalat (Bandung:
al-Ma’arif, 1978)
[132] Imam Musbikin, Rahasia Shalat Bagi Penyembuhan Fisik dan
Psikis (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), hlm. 133
[133] Syeh Musthofa Masyhur, Berjumpa Allah Lewat Shalat, Penj: Abu
Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.18
[134] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Lezatnya Shalat, Penj: Kathur Suhardi
(Jakarta: Darul Falah, 2002), hlm. 13
[135] Casmini, “Keistimewaan Shalat
Ditinjau Dari Aspek Psikologi dan Agama” dalam Hisbah Vol 1/Nomor
1/Januari-Desember 2002, hlm. 89
[136] Ibid., hlm. 90
[137] Muhsin Qira’ati, Pancaran Cahaya Shalat, Penj: Faruq bin
Dhiya’ & Musa al Kazhim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1990), hlm. 61
[138] Syeh Musthofa Masyhur, op. Cit., hlm.20
[139] Imam Musbikin, op. Cit., hlm. 32
[140] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Penj: K.
Anshori Umar S, Hery Noer Aly, & Bahrun Abu Bakar (Semarang: C.V. Toha
Saputra, 1874), hlm. 185
[45] Hana Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam Menuju
Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 156
[46] Jamal Mahdi Abu al-‘Aza’im,
sebagaimana yang dikutip Utsman Najati, Al-Qur’an
dan… op. Cit., hlm. 307-308
[47] Sebagaimana pernah dipaparkan
Djamaluddin Ancok, bahwa salah satu dampak terapi yang ditimbulkan dalam shalat
adalah terapi “Olah Raga”. Karena dalam shalat dituntut adanya proses suatu
aktivitas fisik. Dimana konsentrasi otot, tekanan dan massage pada bagian otot
tertentu dalam shalat merupakn proses relaksasi, padahal proses relaksasi atau
pelatihan relaksasi (relaxation training)
dalam teori psikologi adalah merupakan salah satu tehnik yang diakui dalam
proses terapi gangguan jiwa. Lihat Djamaludin Ancok, Shalat dan Kesehatan Jiwa, dalam Psikologi Islam, hlm. 98. Bahasan detail kajian psikologi dalam
ibadah shalat dapat dilihat dalam skripsi ini Bab II. hlm.58
[48] Dalam shalat yang khusyu’
berarti ia sedang mengalami yang oleh Eugare Wolker (1975) disebut dengan
proses meditasi dan dari hal penelitian meditasi membawa pengaruh yang besar
dalam meredam kecemasan jiwa sesorang (Djamaluddin Ancok, op. Cit., hlm. 98-99)
[49] Departemen Agama RI., op. Cit., hlm. 378
[50] Casmini, op. Cit., hlm. 84
[51] Aziz Salim Basyarahl, op.Cit., hlm. 42
[52] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 321
[53] Muhsin Qira’ati, Pancaran Cahaya Shalat, Penj: Faruq bin
Dhiya’ & Musa al-Kazhim (Bandung: Pustaka Hidayah, 1990), hlm. 73
[54] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 7
[55] Aziz Salim Basyyarahil, op. Cit., hlm. 53
[56] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 454
[57] M. Fuad ‘Abdul Baqi, al-Lu’lu’ Wal Marjan, Penj: Salim
Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, tt), hlm. 203
[58] Dititurkan oleh Abu Hurairah
r.a. dalam Shahih Muslim, Penj: H. A. Razak &
Rais Lathif (Jakarta: Widjaya, 1957), hlm. 141
[59] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta:
Gunung Agung, 1995), hlm. 15
[60] Abu Al-Wafa’ al-Ghanami
al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, Penj:
A. Rofi ‘Utsman (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 11
[61] Sebagaimana yang dijelaskan
Allah didalam surat al-Baqarah (2) : 1-4.
الم * ذلك الكتب لا ريب فيه هدى للمتقين * الذين
يؤ منو ن بالغيب ويقيمو ن الصلوة ومما رزقنهم ينفقون * والذين يؤ اليك وماانزل من قبلك وبالاخرةهم يوقنون * منون بماانزل
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang
yang muttaqien (mukmin) ialah mereka yang beriman akan yang ghaib, yang tidak
kelihatan pada pandangan matanya; mendirikan shalat dan mengeluarkan sebagian
hartanya untuk kemaslahatan umat; kemaslahatan masyarakat, yang dinamai “jalan
Allah”. Ayat ini juga menegaskan mengerjakan
shalat dan mengeluarkan harta untuk yang tersebut, adalah hasil dari dorongan
iman akan Allah yang bersemi dalam jiwa . lihatlah susunan ayat. Allah
meletakkan perkataan “dan mendirikan shalat”, sesudah perkataan “beriman akan
yang ghaib”, dan Allah meletakkan perkataan “ dan mengeluarkan sebagian harta
untuk kemaslahatan umat”, sesudah perkataan “mendirikan shalat”. Susunan ini
memberikan pengertian bahwa: iman yang teguh bersemi di lubuk jiwa, menarik
kepada shalat. Shalat yang ditegakkan dengan sempurna, dengan khusyu’ yang
menjadi spiritnya (rohnya), membawa kepada rela mengorbankan sebagian harta
untuk kepentingan pergaulan hidup bersama. Selanjutnya lihat Hasbi
Ash-Shiddiqiey, Op. Cit., hlm. 40
[62] Aziz Salim Basyrahl, Shalat; Hikmah, Falsafah dan Urgensinya
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 63
[63] Lihat Bab I, hlm. 15
[64] Casmini, op. Cit., hlm. 84
[65] Misa Abdu, op. Cit., hlm. 21
[66] Zakiah Daradjat, op. C it., hlm. 14
[67] Lihat Q.S. al-Ma’arij (70):
19-21) yang sudah dikutip oleh penyusun pada Bab II, hlm.42
[68] Dikutip dari Zakiah Daradjat,
Shalat….,op. Cit., hlm 24
[69] Abu al-Wafa’, op. Cit., hlm. 12
[70] Lihat Bahasan pada Bab II,
hlm. 58
[71] Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kesehatan Jiwa (Jakarta: Dana Bhakti Yasa, 1996), hlm. 261
[72] Lihat Zakiah Daradjat, Shalat…., op. Cit., hlm 21 & 26
[73] HR. Bukhori Muslim dalam M.
Fuad ‘Abdullah Baqi, op. Cit., hlm
203
[74] Djamaludin Ancok & Fuad
Nashori Surosos, Psikologi Islam: Solusi
Atas Berbagai Problem-problem Psikologis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), hlm. 98-100
[75] Siti Nurul Andriyati, op. Cit., hlm. 93
[76] Zakiah Daradjat, Shalat…, op. Cit., hlm. 87
[77] HR.
Ahmad dan Abu Dawud dikutip dari Maulana Muhammad Zakariyah dan Al-Kandahlawi
Rah.a., Himpunan Fadhilah Amal, terj:
A. Abdurrahman Ahmad (Yogyakarta: Ash-Shaff, tt), hlm. 228
[78] Lihat teori dalam Bab I dan Bab II
0 komentar:
Posting Komentar