Dzikrulloh Warosulih SAW

BACALAH SELALU DI DALAM HATI ATAU DENGAN LISAN "YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOOH" UNTUK DZIKIR KEPADA ALLOH WA ROSULIHI SAW

28.2.15

PSIKOPROBLEM DAN SHALAT

Hasil gambar untuk SHOLATDESKRIPSI PSIKOPROBLEM DAN SHALAT


A. Psikoproblem
1. Pengertian Psikoproblem
Istilah psikoproblem terdiri dari dua kata, yaitu psike dan problem. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kontemporer psike memiliki tiga pengertian; yaitu (1) berarti jiwa manusia, (2) berarti pikiran, dan (3) berarti pelaksanaan kegiatan psikologis yang terdiri atas bagian sadar dan bagian tak sadar. Sedangkan problem  memiliki arti persoalan atau masalah.[97]
Dari pengertian tersebut maka psikoproblem dapat diartikan sebagai masalah atau persoalan yang berhubungan dengan jiwa manusia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia jiwa memiliki arti; (1) roh manusia (yang ada dalam tubuh yang menyebabkan hidup), (2) seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya).
Di dalam ilmu psikiatri [98] (Kesehatan Jiwa) dipakai istilah “jiwa” dan tidak lagi dipakai istilah “roh”. Karena hal-hal yang berhubungan dengan roh atau ruh ( وح ر ) itu masuk urusan Allah.[99] Sekarang kita mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai jiwa. Akan tetapi apa dan bagaimana jiwa itu, tidak kita ketahui. Yang dapat kita ketahui dan pelajari adalah manifestasinya. Jiwa bermanifestasi dalam bentuk perasaan, akal fikiran dan perbuatan.
Sebagai contoh manifestasi jiwa adalah:
“kalau saya sedang duduk merenung, dalam diri saya tidak diam. Dalam diri saya itu berlangsung bermacam-macam hal. Saya teringat pada waktu saya lulus ujian masuk. Saya masih dapat menangkap atau membayangkan dengan jelas saat kepala sekolah datang mengumumkan hasil ujian kepada kami. Mula-mula cemas karena ragu-ragu, setelah itu rasa gembira yang meluap-luap. Saya lulus ? lalu saya pun melanjutkan khayal saya itu. Terus menuntut ilmu. Terus meneruskan tidak henti-hentinya saya ingin mencapai sesuatu.”[100]

Apa yang dikemukakan dalam kutipan tersebut  merupakan pernyataan-pernyataan (manifestasi) jiwa “saya”. Pernyataan-pernyataan jiwa itu dinamakan gejala psychis atau jiwa. Gejala-gejala psychis itu adalah menangkap, mengingat, memikir, merasa, menghendaki, dan sebagainya. Gejala psychis itu tidak terpisah-pisah yang satu dari yang lain.
Masalah atau persoalan yang berhubungan dengan jiwa itu dipengaruhi oleh faktor gangguan dalam pergaulan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Anna dalam bab pengantarnya  ia mengatakan:
“Dalam kedokteran kita menemukan penyakit yang disebabkan oleh virus, baksil atau racun, tetapi dalam ilmu paikoterapi hanya ada satu penyebab penyakit, yaitu gangguan dalam pergaulan, pergaulan sejak kita dilahirkan.”[101]

Adanya gangguan dalam pergaulan tersebut maka manusia akan menemui berbagai kendala dalam melangsungkan hidupnya di masyarakat, ia akan menemui berbagai tekanan jiwa (masalah macam-macam tekanan jiwa akan dibahas dalam sub-bab setelah bahasan ini) yang akhirnya manusia akan mengalami stress, depresi dan gangguan jiwa lainnya.
Menurut Sukardi[102] dalam kehidupan sehari-hari psikoproblem mucul disebabkan karena beberapa macam seperti; masalah-masalah pribadi, percintaan, rumah tangga, kerja, dan lain-lain.
Masalah-masalah pribadi dianggap sebagai sesuatu yang menganggu dan jarang sekali orang melihat masalah-masalah pribadi ini dari kacamata proses perkembangan dan pendewasaan pribadi. Bahkan banyak orang menanggapi masalah pribadi ini sebagai penderitaan seumur hidup.
Dalam kehidupan rumah tangga banyak juga muncul psikoproblem yang dikarenakan terjadinya gangguan komunikasi antara suami-istri, kekecewaan terhadap partner dan lain sebagainya.
Dalam dunia kerja  masalah psikoproblem biasa muncul akibat adanya dua faktor yaitu: office politicking dan power game[103]. Ada semacam konsesus bahwa dalam dunia kerja dibutuhkan office politicking dan power game. Dan ada konsesus pula bahwa  jangan sampai kedua hal ini mengalahkan etos kerja. Sekali gejala itu lebih dominan dari etos kerja, suasana kerjapun menjadi tidak sehat lagi seperti yang diungkapkan oleh Horne dan fromm: dunia kerja menjadi penghasil manusia-manusia patologis yang pada gilirannya menjadi orang tua yang tidak efektif.

2. Psikoproblem dan Beberapa dimensinya

Dibalik apa yang diperlihatkan kepada umum, sebagian besar manusia terganggu; dan banyak yang gelisah; sementara yang lain khawatir dan banyak sekali yang merasa bingung; sebagian lainnya benar-benar kecewa. Kebanyakan mereka banyak yang tidak sehat; mereka mengalami kelelahan, kesakitan, dan perasaan tidak berdaya dan sengsara. Mereka merisaukan banyak hal, merasakan keprihatinan, ketakutan dan gangguan . mereka tidak benar-benar merasakan kehidupan yang baik. Mereka berusaha mencoba menjalani hidup 365 hari mereka dengan berupaya menghindari masalah dan kesulitan, namun selalu terbentur pada kesulitan dan masalah baru yang lebih pelik, tidak pernah memperoleh semangat yang sehat, tetapi berpapasan dengan kesusahan yang berkelanjutan. Mereka lebih sering terganggu dari pada  senang, lebih sering merasa ragu-ragu dari pada berani, lebih sering prihatin dari pada merasa tenang. Itulah kegagalan yang menyedikan yang dialami banyak manusia.
Begitulah gambaran umum manusia yang tidak lepas dari problem hidup yang selalu melilitnya. Manusia akan selalu hidup dalam cobaan yang tidak lepas dari ketakutan, kesengsaraan dan lainnya. Sebagaimana ini digambarkan oleh Allah dalam firmannya Q.S. Al-Ma’arij (70): 19-21
ان  الانسا ن  خلق هلوعاً * اذامسه الشرجزوعاً * واذامسه الخير منوعا
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesahlagi kikir. Apabila ia ditimpah kesusahan ia berkeluh kesah Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” [104]

Di dalam hidup ini memang banyak orang yang ditimpa bahaya, tidak tercapai yang diinginkannya, gagal dalam usaha, dalam rumah tangga, dalam percintaan, dan sebagainya. Maka akan terlihatlah betapa besarnya peranan yang dimainkan oleh kepercayaannya kepada Tuhan. Ada orang yang karena merasa gagal dalam rumah tangga menjadi panik, kurus kering, bahkan akan mungkin mengurung diri, menjahui masyarakat, lupa akan anak-anak yang minta perhatiannya pula. Demikian juga tidak sedikit orang kaya yang jatuh pailit, lalu bunuh diri atau sakit jiwa dan tidak kurang pula anak muda yang menjadi merana hidupnya. “Hidup segan mati tak mau”, karena gagal dalam percintaan. Kejadian-kejadian seperti itu biasanya terdapat pada orang-orang yang kurang kuat kepercayaannya kepada Tuhan. Mereka menyangka bahwa kegagalan itu adalah kegagalan total yang tak mungkin lagi diatasi.[105]
Kesulitan-kesulitan psikis sering terjadi dalam interaksi antara orang-orang dan lingkungannya. Dengan istilah ‘orang’ tidak dimaksudkan suatu jiwa atau roh, melainkan suatu badan yang hidup. Hal itu erat hubungannya dengan keadaan syaraf. Secara ilmiah, para ilmuwan  belum tahu apa yang dimaksudkan dengan energipsikis, syaraf tebal, syaraf halus atau senewen; namun keluhan dari hidup sehari-hari cukup jelas. Ada orang yang mengeluh, “ia kurang tenang, tetapi ia terpaksa melakukan pekerjaan rutin”, dan banyak lagi keluhan-keluhan manusia yang sering ditemukan.
Tidak begitu gampang untuk menangkap gejala yang dinamakan ‘kesulitan/problem psikis’ dalam suatu uraian yang pendek. Istilah yang paling jelas adalah perkataan tekanan jiwa atau stress. Tekanan itu dipelajari oleh para dokter maupun psikolog. Dokter mengetahui tekanan jiwa pasiennya untuk memberikan kepastian penyakit yang dideritanya  sehingga diberikan pengobatan yang tepat kepada pasiennya. Begitu juga psikolog akan memberikan solusi yang tepat dalam membantu meringankan beban kliennya manakala ia mengetahui tekanan jiwa kliennya.
Pada salah satu waktu dalam hidupnya, setiap orang akan mengalami stress. Anak  kecil yang sudah bersekolah bisa mengalami tekanan jiwa. Kalau dia dengan sungguh-sungguh berusaha untuk naik kelas atau pindah dari SD ke SLTP, maka dia akan merasa takut untuk memikirkan bahwa mungkin dia tidak naik kelas atau tidak diizinkan pindah sekolah. Rupanya suasana sekolah (dengan kompetisi dan hukuman) sering dimaksudkan untuk meperkuat stress  itu.
Tekanan itu juga bertambah kalau kesempatan belajar sangat terbatas. Mahasiswa dan pemuda-pemudi yang bekerja, merasa tertekan karena harus memenuhi harapan orang tuanya di bidang studi atau pekerjaan. Kaum buruh dan pegawai mengalami kesulitan psikis kalau mereka ragu-ragu mengenai keamanan jiwa, pendapatan dan kemungkinan kerja. Kaum cendekiawan mengalami stress berhubungan dengan kesulitan di bidang pekerjaan atau keadaan sosial ekonomis masyarakat pada umumnya. Akibat ambisi orang lain, iri hati teman sejawat terutama dirasakan dalam lingkungan kaum cendekiawan, pegawai tinggi atau para pemimpin perusahaan.
Ada suatu hipotesa[106] yang mengatakan bahwa (di negara-negara Barat) sepertiga dari jumlah hari sakit merupakan akibat tekanan jiwa. Untuk Indonesia tidak disebutkan suatu prosentase, namun cukup banyak dokter mendapat kesan bahwa sejumlah pasien-pasien mereka menderita fisik sebagai akibat tekanan psikis.
Tekanan-tekanan semacam itu terutama timbul dalam hidup keluarga. Akibat dari program K.B. terhadap pergaulan seksuil, kesulitan dalam pendidikan anak, ancaman di bidang pendapatan dan perasaan menjadi tua, bisa menimbulkan stress.
Dari fihak ilmu jiwa, persoalan tekanan  jiwa terutama dipelajari dari sudut frustasi atau kekecewaan. Dalam hal ini karena dipengaruhi oleh teori Freud. Ia mempelajari tekanan jiwa dari sudut tingkat tidak sadar, padahal dalam hidup sehari-hari, jumlah stressor di Indonesia cukup dimaklumi.[107] Katakanlah, banjir, kekurangan fasilitas pengangkutan, harga bensin atau beras yang meningkat, mertua yang ganas, semua stressor  itu cukup nyata dan jelas. Tapi juga tekanan yang berhubungan dengan tingkat yang tidak sadar, tidak boleh diabaikan. Freud menjelaskan bahwa perasaan atau tingkah laku manusia pada hari ini dapat mempunyai arti yang lebih jelas, kalau disertai keterangan yang bersumber dari ingatan manusia sendiri.
‘Utsman Najati[108] mengungkap bahwa manusia terkadang merasakan sebagian dari kesenangan atau motivasi-motivasi yang tidak dapat diterima, atau menimbulkan kegelisahan. Karenanya, iapun berupaya untuk menjahuinya dari wilayah kesadaran atau perasaannya, yang pada akhirnya akan mengantarkan pada perusakan-perusakan motivasi dalam perasaan yang ada.
Sementara dalam penjelasan lain ia mengatakan[109] bahwa motivasi dan emosi memiliki fungsi-fungsi penting dalam hidup manusia membantunya untuk memelihara diri dan eksistensinya, namun seseorang yang berlebihan dalam pengaruhnya akan mendatangkan mudarat bagi kesehatannya, baik pada tubuhnya (jasmani), maupun jiwanya (rohani).
Demikianlah gambaran manusia dengan tekanan jiwa yang selalu menyertainya dalam meniti kehidupan dunia ini. Ketidak-mampuan manusia mengatasi kegagalan/tekanan jiwa itu merupakan salah satu bentuk kelemahan manusia yang tidak mampu meneropong dirinya sendiri sebagai mahluk berke-Tuhanan. Muhammad ‘Utsman Najati[110] mengatakan bahwa pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri akan membantunya untuk mengekang hawa nafsunya, dan mampu menjaganya dari kesesatan serta tindak penyimpangan. Juga mengarahkannya ke jalan iman, amal shaleh, serta prilaku sehat yang akan memberikan kepada manusia kehidupan yang aman sentosa dan merealisasikan kebahagiaan dunia dan akhirat baginya.

a. Tekanan Jiwa dalam Keluarga
Sebagian besar dari orang-orang yang meminta bantuan dari seorang penasehat rohani, membutuhkan bantuan untuk berhubungan dengan kesulitan dalam relasi antara wanita dan lelaki. Kesulitan itu berbeda-beda dan berlainan sifatnya; lain bagi mereka yang baru bertunangan, lain bagi mereka yang sudah menikah.
Situasi stress dalam relasi suami-istri mempunyai alasan yang beraneka ragam. Satu hal yang cukup sering muncul adalah kesulitan yang timbul karena perbedaan antara corak harapan dari suami dan istri. Seorang istri akan mengalami tekanan jiwa yang hebat kalau suaminya menyeleweng.
Problematika individu dengan keluarga, ialah kesulitan mewujudkan hubungan yang harmonis antara anggota keluarga, suami dan istri, orang tua dan putra putrinya serta antar bersaudara.[111] Sehingga dari kondisi itu sering terjadinya pertengkaran antara pasangan suami-istri. Puncaknya terjadi perceraian.
b. Tekanan Jiwa dalam Pekerjaan
Tekanan jiwa sebagai ketakutan (axeity) merupakan suatu bentuk yang kuat dalam usaha manusia sehari-hari. Frustasi atau kekecewaan yang diderita dalam setiap bidang pekerjaan timbul atas dasar keadaan pribadi, keadaan tempat dan situasi kerja atau ketegangan dalam  interpersonal relationships.
Dalam zaman mobilitas sosial yang besar, banyak orang mendapat kesempatan naik tingkat dan pangkat. Orang yang ambisius sering kurang mampu menilai kemampuannya sendiri, sehingga mereka mendapat tugas yang terlalu sukar atau menuntut terlalu banyak tenaga dari mereka. Sebaliknya, waktu mobilitas sosial kekurangan, terjadi stress yang lain: orang yang cukup pandai dan ambisius tidak mendapat kesempatan untuk naik tingkat dan pangkat.
Problematika individu dengan lingkungan kerja, juga karena kegagalan individu dalam meningkatkan prestasi kerja, menghadapi atasan, rekanan dan pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Sedangkan problematika individu dengan lingkungan sosialnya, adalah kesulitan melakukan adaptasi dengan lingkungan tetangga atau pergaulan  yang sangat beraneka ragam watak, sifat dan prilaku.[112]
c. Tekanan dalam Pergaulan
Disamping relasi antara orang tua dan anak atau suami-istri, terdapat relasi yang kurang intens tetapi tidak kurang pentingnya, seperti relasi teman dengan teman. Sejak kecil anak banyak bergaul dengan orang tuanya. Akan tetapi menginjak usia SLTP, hubungan orang tua-anak menjadi lebih lemah dan pengaruh orang tua diganti oleh teman sekelas atau sebaya. Anak ingin bergaul, ingin diperhatikan teman, ingin menjadi orang yang berguna dan berprestasi.
Tekanan jiwa dalam pergaulan terjadi kalau seorang merasa kurang laku atau dibenci oleh lingkungannya. Tetapi orang yang mempunyai banyak teman juga bisa mengalami tekanan dibidang itu.
d. Tekanan yang Disebabkan oleh Peranan Ganda
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang harus memainkan bermacam-macam peranan berturut-turut. Pemuda yang pagi-pagi sembahyang, memainkan peranan seorang muslim; waktu makan bersama orang tua, ia memainkan peran seorang anak; waktu pergi ke sekolah bersama rekan-rekannya, dia memainkan peranan seorang teman. Sesudahnya ia menjadi penumpang bus, murid sekolah , cucu, anggota pramuka dan lain- lain.
Hal itu terjadi lancar dan biasanya tidak menimbulkan banyak kesulitan. Tetapi bisa terjadi tekanan kalau manusia harus memainkan dua peranan yang bertentangan. Misalnya seorang anak yang dididik dalam lingkungan ortodoks, bisa memasuki lingkungan kemahasiswaan, dimana ia harus berperan sebagai pemuda yang progresif dan tidak mempedulikan  agama. Jika seorang homoseks yang berhubungan kepicikan dengan lingkungannya, harus berperan sebagai pecinta pacarnya; atau sebagai suami yang normal.

B. Shalat
1. Pengertian Shalat
Dalam arti yang asli, shalat[113] ialah do’a kebaikan. Dan menurut bahasanya dalam syari’at, shalat adalah beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.[114] Secara dimensi fiqh shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan (gerakan) yang dimulai dengan salam, yang dengannnya kita beribadah kepada Allah, dan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama.[115]
Menurut Ash-Shiddieqiy[116] pengertian shalat dibedakan menjadi beberapa ta’rif yang menerangkan hakikat shalat dan jiwanya:
a. Pengertian yang melukiskan haqieqatush shalat, atau “sir” (rupanya yang batin) atau hakikat.
Shalat berarti berhadap hati (jiwa) kepada Allah, dengan mendatangkan takut kepada-Nya, serta menumbuhkan  didalamnya jiwa rasa keagungan kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya.
b. Pengertian yang menggambarkan ruhus shalat (jiwa shalat)
Ruh shalat itu ialah berharap kepada Allah dengan sepenuh jiwa, dengan segala khusyu’ di hadapan-Nya dan berikhlas bagi-Nya, serta hadir hati dalam berdzikir, berdo’a dan memuji.
c.  Pengertian yang melengkapi rupa hakikat dan jiwa shalat
Shalat berarti berhadap hati (jiwa) kepada Allah SWT., hadap yang mendatangkan takut, menumbuhkan rasa kebesaran-Nya dan kekuasaan-Nya dengan penuh khusyu’ [117] dan ikhlas di dalam beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir disudahi dengan salam.
Shalat dengan pengertian yang tersebut ini (pengertian hakikatnya) di dalam Islam lahir dalam bentuk yang indah, didalamnya terkandung hikmah bahwa di dalam shalat itu terdapat tawajjuh (usaha berhadap diri kepada Allah) dan do’a (seruan memohon hajat dan ampunan kepada Allah swt).
Shalat yang baik dan benar harus memiliki roh. Maksud dari roh shalat atau jiwa shalat adalah khusyu’, hadir hati, dan ikhlas. Ayat al-qur’an yang memerintahkan shalat dengan khusyu’  adalah Q.S. al-Baqarah (2): 238
حافظوا علىالصلوت والصلوة الوسطى وقوموالله قنتين

Artinya: Peliharalah segala shalatmu, dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.[118]

Menurut pengertian bahasa, khusyu’  dalam shalat berarti khudu’ . keduanya memiliki arti yang sama yaitu merendahkan diri. Dalam segi suara, khusyu’ berarti diam. Sedangkan dalam hal pandangan mata, khusyu’ menundukkan mata.[119]
Para ulama mempunyai pengertian sendiri mengenai khusyu’. Sebagian  dari mereka berpendapat bahwa khusyu’ itu mencegah penglihatan dari keharaman dan merendahkan diri. Kemudian Amr bin Dinar berkata bahwa khusyu’ adalah tenang dan gerakan yang baik dalam mengerjakan shalat. Ibn Sirrin berkata bahwa khusyu’  adalah konsentrasi pikiran tentang shalat dan lepas dari pemikiran lainnya.[120] Sedangkan Ibn Jubair berkata bahwa khusyu’  adalah tetap mengarahkan fikiran kepada shalat sehingga tiada mengetahui orang sebelah kanan sebelah kiri. Atha’ berpendapat bahwa khusyu’  adalah tiada mempermain-mainkan tangan, tidak memegang-megang benda dalam shalat.[121]
Dari beberapa devinisi diatas dapat disimpulkan, khusyu’ adalah amalan hati; suatu keadaan yang mempengaruhi jiwa, membekas pada anggota badan seperti tenang dan menundukkan diri.
Khusyu’ memiliki kedudukan yang penting dalam shalat, karena orang yang mengerjakan shalat pada dasarnya bermunajat kepada Allah. Sedangkan apabila bermunajat dalam keadaan lengah, maka tidak disebut bermunajat sama sekali. Oleh karenanya, orang yang mendirikan shalat dengan khusyu’  pantas mendapatkan keberuntungan seperti disebut dalam surat al- Mu’minun (23): 1-2
قد افلح المؤ منون * الذين هم في صلو تهم خا شعون
Artinya: sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya.[122]
Roh shalat yang kedua adalah hadir hati. Hadir hati adalah memusatkan segala fikiran kepada yang dikerjakan (shalat), tidak berpaling kepada yang lainnya.[123] Jadi hati harus kosong dari selain apa yang sedang dikerjakan dan diucapkan, sehingga kesadaran berbuat dan berucap selalu bersama-sama dengan perbuatan dan ucapan. Kemudian untuk dapat mengantarkan fikiran kepada apa yang sedang dikerjakan dan diucapkan itu, maka bacaan yang diucapkan dalam shalat itu harus dimengerti, dipahami, dan dihayati.
Pada dasarnya mendirikan shalat sedang bermunajat, berkomunikasi dengan Tuhan. Sehingga telah nyata bahwa kedudukan mengerti, memahami, dan menghayati bacaan shalat ketika mendirikan shalat, menempati posisi yang penting.[124] Allah telah melarang hamba-Nya untuk shalat dalam keadaan tidak mengerti apa yang diucapkan. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa’ (4): 43
يايهاالذين امنوالا تقربوا الصلوة وانتم سكارى حتى تعلمواما تقولون......
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk. Sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…[125]

Bacaan yang dimengerti, dipahami, dan dihayati akan mengantarkan jiwa manusia untuk berkomunikasi dengan Allah. Dapat menyadarkan manusia dari keagungan, kebesaran Allah dan kehinaan manusia. Sehingga diharapkan terapresiasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ucapan-ucapan yang dimengerti, dipahami dan dihayati seharusnya diterjemahkan dalam perilaku, perkataan dan perbuatan manusia baik sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial. Apabila manusia dapat mengerti, memahami, menghayati dan melakukan apa yang diucapkan dalam shalat maka akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar serta lebih siap menghadapi persoalan/problem hidup.
Roh shalat yang ketiga adalah ikhlas. Ikhlas adalah niat hati yang murni hanya untuk memperoleh keridhoan Allah semata.[126] Mendirikan shalat merupakan salah satu ibadah kepada Allah dan bukti seseorang hambah membutuhkan khaliqnya. Oleh karena itu dalam menjalankan ibadah kepada Allah diperintahkan untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya surat al-Mu’minun (40): 14
فادعواالله مخلصين له الدين ولوكره الكفرون

Artinya: Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya , meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.[127]

Dengan demikian dalam mendirikan shalat harus diikhlaskan karena Allah bukan karena pengaruh yang lain, tidak mengharapkan sanjungan dan perhatian umum, sebagimana telah diperintahkan oleh Allah dalam surat             al-A’raf (7): 29
قل امرربي بالقسط واقيموا وجوهكم عند كل مسجد وادعوه مخلصين له الدين كمابداكم تعودون

Artinya: Katakanlah: “Tuhan-ku menyuruh menjalankan keadilan.” Dan katakanlah, “Luruskanlah mukamu disetiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya.”[128]

Hal senada diungkap pula dalam surat al-An’am (6): 162
قل ان صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين

yang artinya: Katakanlah: “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.[129] Ayat ini memerintahkan mengikhlaskan shalat dan seluruh ibadah yang lain bahkan hidup mati hanya untuk Allah.

2. Kajian Psikologis Dalam Ibadah Shalat
Sebenarnya yang mengetahui rahasia shalat atau apa rahasia dibalik shalat tentunya hanya Allah dan Rasul-Nya, namun sebagai manusia yang dibekali dengan akal maka perlu mencari sesuatu dibalik rahasia shalat sesuai dengan disiplin ilmu yang dikaji dalam tulisan ini yaitu psikologi.
Shalat merupakan ibadah yang istimewa di dalam ajaran Islam, baik dilihat dari perintah yang diterima oleh Muhammad secara langsung maupun dimensi-dimensi yang lainnya. Shalat ini merupakan satu-satunya wahyu yang diterima oleh Muhammad tanpa perantara Jibril atau yang lainnya.
Menurut pandangan para ahli, baik dari para psikolog maupun ahli kesehatan, ibadah shalat mengandung unsur terapeutik bagi kesehatan manusia. Menurut Djamaluddin Ancok sebagaimana yang dikutip oleh  Haryanto[130] ada beberapa aspek teraupetik yang terdapat dalam ibadah shalat, antara lain aspek olah raga, aspek meditasi, aspek auto-sugesti dan aspek kebersamaan. Disamping itu juga mengandung unsur relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera dan aspek katarsis.
Menurut H. A. Saboe,[131] gerakan-gerakan yang terkandung dalam shalat mengandung banyak unsur kesehatan bagi jasmani manusia, maka dengan sendirinya akan memberi efek pula pada kesehatan manusia baik dari sisi ruhaniah maupun jasmaniah. Lebih lanjut Musbikin[132] mengatakan bahwa shalat bukan hanya sebuah kewajiban yang harus dikerjakan dan dipatuhi oleh setiap muslim, tetapi juga perlu dilakukan secara sungguh-sungguh sehingga mereka bisa merasakan manfaat positif dari shalat. Sisi lain dari shalat itu adalah aspek teraupetik dalam setiap gerakan dalam shalat.
Syeh Masyhur[133] mengatakan shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbaharui semangat dan sekaligus sebagai penyucian akhlak. Bagi pelakunya sendiri, shalat itu merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan, ia adalah pelipur lara dan mengamankan dari rasa takut dan cemas, juga memperkuat kelemahan, dan senjata bagi yang merasa terasing.
 Shalat merupakan kesenangan hati bagi orang-orang yang mencintainya dan merupakan kenikmatan roh bagi orang-orang yang mengesakan Allah. Shalat adalah puncak keadaan ash-shodiqin dan timbangan keadaan orang-orang yang meniti jalan kepada Allah. Shalat merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Allah menuntun mereka untuk mengerjakan shalat itu dan memperkenalkannya sebagai rahmat bagi mereka dan kehormatan bagi mereka, supaya dengan shalat itu mereka memperoleh keberuntungan dan kemuliaan dari-Nya karena berdekatan dengan-Nya.[134]
Shalat memiliki efek ketenangan (defresan), seperti bius pada obat-obatan, jika shalat dapat khusyu’ maka seseorang akan lupa (tidak sadar) akan sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Hal ini telah dibuktikan oleh sahabat Nabi yang bernama Ali bin Abi Thalib yang terkena panah dalam peperangan. Ali minta jika panah tersebut dicabut ketika ia sedang shalat, dan ternyata Ali tidak merasa sakit.[135]
Dimensi lain yang dapat dikemukakan dalam shalat adalah terciptanya kepribadian yang teguh pada diri seseorang. Shalat yang dilakukan secara rutin setiap waktu (berdasarkan waktu shalat yang ditentukan  syari’at), dengan sendirinya akan membentuk kepribadian yang teguh, disiplin, terutama dalam menciptakan kedisiplinan dalam waktu dan kerja. Menurut Razak, dalam waktu sehari semalam yakni 24 jam, seorang muslim diajarkan untuk mentaati waktu shalat dan melaksanakan shalat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Hal yang demikian akan dapat membentuk kedisiplinan seorang muslim dalam mentaati aturan kerja dan waktunya.[136]

3. Aspek Psikoterapi dalam Shalat

Shalat adalah wasiat atau pesan terpenting para nabi. Ia adalah ekstensi yang paling menonjol atau tampak dari ibadah. Luqman al-Hakim berkata pada anaknya: Hai anakku dirikanlah shalat……(Q.S. Luqman (31): 17)
Shalat adalah obat bagi lupa dan sarana untuk mengingat Allah. Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (Q.S. Thaha (20): 14), Mintalah pertolongan dari kesabaran dan shalat…Mintalah bantuan dari shalat dalam mengahadapi kesulitan, maka kalian akan menang dan dapat menyelesaikan kesulitan tersebut.[137]
Shalat adalah satu diantara sekian program kenabian. Nabi Isa a.s. ketika masih berada dalam buaian ibunda Maryam berucap: Allah telah menganjurkan aku melakukan shalat selama hayat masih dikandung badan. (Q.S. Maryam (19): 31). Dan banyak lagi pentingnya kita melakukan shalat sebagaimana yang dibahas dalam tulisan-tulisan tentang shalat. Seperti yang dikatakan Mustofa[138] barangsiapa yang memelihara waktu-waktu shalat dan tujuan shalat benar-benar karena Allah, dengan demikian jiwanya mampu menaklukan ujian dunia beserta kesenangannya.
Orang yang shalat ketika menghadap betul dengan Tuhannya dan hatinya hadir, maka Allah akan mengagungkannya dan di dalam hatinya akan dipenuhi rasa takut kepada Allah, rasa kerendahan hati, rasa malu kepada Allah dan memperoleh ketenangan jiwanya.[139]
Dari sini, manusia dapat memahami betapa agama Islam menomorsatukan program perkembangan kepribadian ruhaninya. Mereka yang senantiasa , akan mempunyai kontak dengan Allah yang merupakan pusat segala wujud. Seperti hanya pilot yang senantiasa memiliki hubungan dengan control-room. Shalat memupuskan dosa dan efek kepincangan. Setelah memerintahkan shalat al-Qur’an memerintahkan: Sesungguhnya kebaikan menghapus keburukan (Q.S. Hud (11): 114).
Orang yang mendirikan shalat akan merasa dekat dihadapan Allah dan selalu dalam pengawasan-Nya,baik lahir maupun batin, lebih-lebih jika dilakukan adalah shalat fardhu (wajib) yang biasa dilakukan umat Islam sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Dalam hal ini Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Rasul SAW., yang menceritakan bahwa jika beliau tertimpa sesuatu yang mengejutkan, beliau akan melakukan shalat.[140]
Shalat adalah salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia, karena ia merupakan sarana mental untuk memberikan ketenangan hidup dalam rangka mencapai kenikmatan dan dan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat.



TERAPI PSIKOPROBLEM
MELALUI SHALAT



A.    Shalat Khusyu’ Serta Pengaruhnya dalam Jiwa

Beberapa sebab utama dari terjadinya problem kejiwaan adalah kebencian pada diri sendiri, ketidak mampuan untuk bersabar dalam musibah, kegagalan, kekhawatiran terhadap masa depan, dan khayalan seolah-olah kehidupan ini tidak punya tujuan akhir. Semua sebab tersebut pada dasarnya bersumber pada ketakutan dan kecemasan.
Ketakutan dan kecemasan adalah dua musuh utama bagi problem dan kesehatan jiwa. Tak ada yang lebih berbahaya bagi keseimbangan  jiwa daripada kecemasan terhadap ketidak pastian masa depan. Hanya dengan keimanan


manusia tidak akan  terlalu cemas, karena sebenarnya manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi. Masa depan yang akan datang hanya diketahui oleh yang empunya.
Masalah kecemasan (anxiety) dan kegelisahan (rest lessness) merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan gangguan kejiwaan (neurosis). Cemas adalah suatu ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Ia biasanya muncul bila manusia berada dalam suatu keadaan yang ia duga akan merugikan dan ia rasakan akan mengancam dirinya, dimana manusia merasa tidak berdaya menghadapinya karena yang ia cemaskan itu belum terjadi, maka rasa cemas itu sesungguhnya merupakan ketakutan yang ia ciptakan sendiri.[45]
Kecemasan dan kegelisahan yang dapat menyebabkan seseorang menderita neurosis atau masalah kejiwaan adalah karena perasaan tersebut selalu menguasai semua perjalanan hidupnya. Maka menjadikan keadaan jiwa yang tenang dan tentram adalah merupakan terapeutik  yang pokok dan penting.
Najati mengemukakan bahwa keadaan tentram dan jiwa yang tenang akan didapatkan manakala orang dalam keadaan kekhusyu’an menjalankan ibadah shalat, sebagaimana pendapat Abu al-‘Aza’im yang dikutipnya:
“…Dalam shalat manusia berdiri dengan khusyu’ dan tawadhu’ kepada Allah penciptanya dan pencipta seluruh alam semesta. Dengan tubuh yang kecil dan lemah, ia berdiri dihadapan Tuhan YME, yang menguasai segala sesuatu, mengendalikan setiap atom dalam wujud, mengatur segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, yang menentukan kehidupan dan kematian, memberikan rizki, yang  dengan perintah-perintah-Nya segala qodlo, qodlar dan segala sesuatu yang menimpa kita baik kebaikan maupun bencana yang terjadi. Berdirinya manusia dihadapan Allah dengan khusyu’ dan khudu’ akan membekalinya suatu tenaga rohani yang menimbulkan dalam diri perasaan yang tenang, jiwa yang damai, dan kalbu yang tentram. Sebab dalam shalat yang dilakukan dengan semestinya, manusia mengarahkan seluruh jiwa dan raganya  kepada Allah, berpaling dengan semua kesibukan dan problem-problem dunia dan tidak memikirkan sesuatu kecuali Allah dan ayat al-Qur’an yang dibacanya. Keterpalingan penuh dari berbagai persoalan dan problem kehidupan, dan tidak memikirkan selama shalat, dengan sendirinya akan menimbulkan pada diri manusia itu keadaan yang tentram, jiwa yang tenang dan pikiran yang bebas dari beban-beban…”[46]

Jadi jelas disini bahwa seorang yang melakukan shalat dengan benar maka ia menjadi manusia yang tentram dan memiliki jiwa yang tenang, dan manakala sudah tercapai ketentraman dan ketenangan dalam jiwa  maka ia terhindar dari segala permasalahan psikisnya  dan bagi yang memiliki problem kejiwaan dengan melakukan shalat yang benar ia akan menjadi tenang dalam menghadapi problemnya sebagaimana yang dikemukakan oleh  Abu al-‘Aza’im diatas.
Shalat yang dilakukan secara khusyu’ wal khudu’ sebagaimana yang dikemukakan diatas memiliki arti bahwa shalat yang dilakukan dengan membawa konsentrasi batin merendahkan diri dengan cara Rasulullah. Tujuan dari khusyu’ wal khudu’ ini adalah membawa sifat-sifat ketaatan dalam shalat ke dalam kehidupan sehari-hari dan akan mampu memberikan perisai terhadap jiwa manusia.
Dampak yang ditimbulkan dari keadaan tentram dan jiwa santai (tenang) yang dihasilkan dari pelaksanaan shalat dalam kaitannya dengan proses terapi psikoproblem adalah meliputi; (1). Meredam syaraf-syaraf yang timbul akibat berbagai tekanan kehidupan sehari-hari.[47] (2). Dapat membantu melepaskan diri dari keluhan-keluhan yang ditimbulkan karena berulang kalinya seseorang tertimpa persoalan atau situasi yang menimbulkan kegelisahan.[48]
Dari prosesi diulang-ulangnya bebarengan keadaan santai dan ketenangan jiwa yang ditimbulkan shalat dengan berbagai situasi yang menimbulkan kegelisahan (yang ada kalanya dengan menghadapinya secara nyata dalam kehidupan ataupun dengan mengingatnya), pada akhirnya akan membuat terbentuknya ikatan-ikatan kondisional baru antara situasi-situasi tegang dengan respon keadaan santai dan ketenangan yang ditimbulkan shalat (yang merupakan respon yang bertentangan dengan respon kegelisahan)
Terlebih lagi setelah shalat, yang biasanya seseorang masih terus mengucapkan tasbih dan berdoa kepada Allah, ini tetap membantu berlangsungnya keadaan santai dan jiwa tenang untuk beberapa lama. Karena dalam berdo’a sesorang sedang melaksanakan munajat (audensi) dengan Tuhannya, dimana ia menuturkan kepada Tuhannya segala keluhan dan problem yang dideritanya dan yang membuatnya resah gelisah. Allah SWT berfirman dalam surat al-Mu’minun (40): 60
وقال ربكم اد عوني استجب لكم

Arinya: Dan Tuhanmu berfirman, “berdoalah kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan bagimu.”[49]
Sementara dalam keadaan santai dan jiwa yang tenang secara otomatis ia akan terbebas dari kegelisahan-kegelisahan tersebut. Akibatnya, problem itu pun secara bertahap akan kehilangan kekuatannya untuk menimbulkan kegelisahan. Namun sebaliknya akan membuatnya terikat secara kondisional dengan keadaan santai  dan jiwa yang tenang.
Kalau William James mengungkapkan bahwa munculnya kecemasan dan keresahan yang dialami manusia adalah karena kegagalan  dalam mengaktualisasikan potensi-potensi kekuatan yang ada dalam dirinya, maka dengan shalat, disamping akan membebaskan tenaga psikis manusia dan berbagai ikatan kegelisahan, ia akan juga membekali manusia dengan kekuatan rohaniah yang dapat memperbaharui hidupnya, menguatkan keimanannya, serta memberi kekuatan yang luar biasa yang memungkinkan manusia sanggup menanggung berbagai derita dan melaksanakan karya-karya dalam hidupnya. Sebab  orang yang sedang menjalankan shalat, ia sedang dalam kesatuan rohani dengan Tuhannya, serta berada dalam limpahan percikan rohani Tuhannya. Yang kemudian akan menjadi kekuatan bagi manusia dalam mengaktualisasikan potensi-potensi dirinya yang tersembunyi.
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya kepada Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu dilakukan secara tekun dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang efektif, memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan jasmani.[50]
Shalat adalah pelatihan mengekang nafsu syahwat, membersihkan jasmani dan rohani dari sifat-sifat dan perilaku tercela serta dari perbuatan maksiat, keji, dan munkar.[51] Firman Allah dalam surat al-Ankabut (29): 45
اتل مااوحي اليك من الكتب واقم الصلوة ان الصلوة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكرالله اكبر والله يعلم ما تصنعو نَ
Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [52]

Menurut Muhsin[53] disinilah ayat sesungguhnya shalat mencegah  fakhsya’  dan kemungkaran memiliki pengertian yang lebih jelas. Ayat ini hendak mengatakan bahwa melaksanakan kewajiban shalat dapat mencegah kebobrokan dalam masyarakat Islam.
Apabila shalat dilakukan dengan tekun dan benar, seseorang akan maksum dari dosa, bebas dari kesalahan dan pelanggaran apalagi ditunjang oleh kesabaran yang aktif, dan perjuangan yang gigih dan positif, maka akan menjadikan sarana mengatasi kesulitan hidup. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah (2):45
واسْتَعِيْنو ا بالصبر َوالصلوةِ وانها لكبيرة الا على الخشعينَ
Artinya: “Jadikalah shalat dan sabar sebagai penolongmu. Dan yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ ”[54]
Disamping itu juga shalat bisa menimbulkan ketenangan hati dan ketrentraman batin.[55]  Firman Allah dalam surat al-Ma’arij (70): 19-23
ان  الانسا ن  خلق هلوعاً * اذامسه الشرجزوعاً * واذامسه الخير   منوعاً
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpah kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat yang mereka itu tetap dalam shalatnya.” [56]

Ayat diatas memberikan isyarat kepada manusia agar konsisten dalam mengerjakan shalatnya. Sehingga dirasakan benar dampak dari ia melakukan shalat.
Dampak lain yang ditimbulkan shalat dalam kaitannya dengan proses terapeutik adalah terbentuknya jiwa sosial yang sehat, dampak ini secara signifikan terdapat dalam pelaksanaan shalat jama’ah. Anjuran agama Islam untuk sering dan mengutamakan shalat jama’ah disamping shalat sendirian (munfarid) akan lebih memberikan peluang untuk bersosialisasi dengan lingkungannya dimana ia tinggal. Sosialisasi diri dalam jalinan persahabatan ini akan membantu klien dalam mengembangkan kepribadian dan kematangan emosionalnya. Sabda Rasul
تفضل صلاة الجميع صلا ة أحد كم وحده بخمس وعشرين جزءا, وتجتمع ملا ئكة الليل وملا ئكةالنهار فى صلاة الفجر
Artinya: Abuhurairah r.a. berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sembahyang berjamaah lebih afdhal (utama) dari sembahyang sendiri dua puluh lima kali. Dan malaikat malam berkumpul dengan Malaikat siang di waktu shalat subuh. (Bukhari Muslim).[57]

Disamping itu salah satu yang harus diperhatikan dalam segenap prosesi shalat adalah tindakan mengambil air wudlu (berwudlu). Dalam prosesi ini seseorang bukanlah sekedar membersihkan tubuh belaka dari segala kotoran yang melekat padanya, serta dapat membantu mengistirahatkan organ-organ tubuh (fisiologis) dalam fase-fase tertentu dalam kesibukan kerja hariannya, melainkan dengan melaksanakan wudlu yang semestinya, akan membuat seseorang mukmin merasa bahwa diri dan jiwanya menjadi bersih, serta membersihkan dari segala kesalahan-kesalahannya. Sebuah hadits menyebutkan:
اِذاتو ضاالعبدالمسلم او المؤ من فغسل وجهه خرج من وجهه كل خطيئة نظر اليها بعينه مع الماء او مع اًخر قطر الماء فاذاغسل يد يه خرج من يد يه كل خطيئة كان بطشتها يداه مع الماء او مع اخر قطر الماء فاذا غسل رجليه خر جت كل خطيئة مشتها رجلا ه مع الماء او مع اخر قطر الماء حتى يخر ج نقيا من الذ نوب
Artinya: “ Apabila seorang hamba muslim atau mukmin berwudlu, maka ketika ia membasuh mukanya, keluarlah segala kesalahan yang diperbuat kedua matanya dengan tetes terakhir air itu. Kemudian apabila ia membasuh kedua tangannya keluarlah segala kesalahan yang dilakukan keduanya bersama tetes yang terakhir air itu. Selanjutnya apabila ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah segala kesalahan yang dilakukan keduanya bersama dengan tetes terakhir air itu, hingga ia bersih dari dosa-dosa.”[58]

Perasaan bersihnya tubuh dan jiwa yang selalu ia dapatkan dari wudlu akan mempersiapkan manusia untuk mengadakan hubungan rohani dengan Allah dan menghantarkannya kepada keadaan tubuh dan jiwa yang tenang dalam shalat dan segenap prosesi lainnya, yang akhirnya menjadikan manusia yang benar-benar siap dan mampu mengatasi dan memproteksi diri dari segala problem jiwa.

B.     Implikasi Shalat dalam Terapi Psikoproblem

Setiap manusia memerlukan sesuatu di luar dirinya yang mempunyai kekuatan, kebijaksanaan dan kemampuan yang melebihinya. Karena tidak selamanya manusia mampu menghadapi kesukaran dan keperluan hidupnya sendirian, bahkan juga keperluan kejiwaan, yang akan mempengaruhi kesehatan jiwanya. Sesuatu itu harus selalu ada, disaat apapun ia memerlukannya, terutama ketika menghadapi kesulitan dan kesukaran yang tak terpecahkan. Bagi orang beragama sesuatu adalah keimanan yakni keimanan kepada Allah SWT.[59]
Keimanan (rasa keagamaan) bukanlah perasaan yang hanya bersandar pada formalitas agama, tanpa subtansi, atau sekedar penunaian seruan ajaran yang dimanfaatkan untuk menyatakan kepentingan diri sendiri. rasa keagamaan, sebaliknya ialah pemahaman secara intens dan pengamalan terhadap agama, sehingga terjadi keselarasan dalam menyembah Allah dan hidup bermasyarakat. Dengan begitu agama serta para pemeluknya tidak akan terisolasi dari realitas kehidupan.[60]
Dalam Islam, keimanan merupakan ajaran yang terpenting yang berdiri atas bangunan dua kalimah syahadat. Pernyataan syahadat ini tidak berarti dan berpengaruh apa-apa tanpa adanya penghayatan dan disertai dengan pengamalan nilai-nilai ibadah yang dikandung – dalam hal ini ibadah shalat – dan demikianlah bahwa iman selalu disertai dengan amal.
Buah iman adalah amal. Dan amalan yang pokok dalam ajaran Islam adalah shalat. Didalam al-Qur’an Allah telah menegaskan bahwa shalat adalah suatu rangka pokok iman.[61] Shalat merupakan ibadah terpokok dan terpenting dalam Islam. Shalat menjadi kewajiban setiap muslim, terutama yang sudah baligh atau dewasa. Dan perlu ditekankan disini bahwa shalat mencakup semua rukun Islam.[62] Seorang yang shalat wajib membaca dua kalimat syahadat. Setelah takbiratul ihram seorang yang shalat diharamkan makan dan minum atau mengucapkan apapun, kecuali bacaan yang  sudah disyari’atkan, ini berarti ia berpuasa dari apa yang diharamkan didalam shalat.
Keimanan yang dimanifestasikan dalam bentuk shalat, dimana shalat merupakan satu bentuk ibadah yang didalamnya berisi olah rohani, sebagai penyeimbang olah jasmani. Shalat disini tidak hanya sekedar “dilakukan” tetapi juga harus “didirikan”. Bahasan tentang mendirikan shalat sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya.[63]
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya kepada Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu dilakukan secara tekun dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang efektif, memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan jasmani.[64]
Jelas bahwa Islam tidak sekedar memerintahkan manusia untuk “melakukan” shalat tetapi “mendirikan” shalat, yang mengandung pengertian yang dalam, yaitu mengkonsentrasikan pikiran dan perasaan, penyucian roh, jiwa dan badan, serta kekhusyu’an anggota badan. Sebagaimana diungkap juga oleh Abdu[65] bahwa khusyu’ memiliki pengaruh besar dan kuat bagi jiwa seseorang, karena khusyu’ dapat mengantarkan  seseorang kepada hal-hal sebagai berikut:
  1. Menumbuhkan kemampuan untuk berkonsentrasi.
Ketika sesorang akan mengerjakan shalat untuk menghadap Tuhanya, biasanya akan muncul hal-hal lain dalam pikirannya. Maka dia harus berusaha untuk menghilangkan pikiran tersebut supaya dapat hadir ketika mengagungkan dan bermunajat kepada Allah. Cara ini akan membantu terbentuknya daya konsentrasi pada diri seseorang.
  1. Dapat mempengaruhi jiwa seseorang dikala ruhnya berhubungan dengan Tuhan dan menjadi khusyu’ kepada-Nya, sekalipun dalam waktu sebentar. Pengaruh khusyu’ bagi jiwa ini merupakan suatu hal yang pasti terjadi. Karena ruh seseorang yang tidak pernah berkomunikasi terhadap Dzat yang menciptakannya atau bahkan jarang, maka akan muncul dalam dirinya rasa gelisah, tidak qana’ah, cinta dunia, bingung dan lain sebaginya. Tetapi dengan shalat dan bermunajat kepada Allah SWT, seseorang akan dapat berserah diri dan meminta apa saja yang dikehendaki sehingga ia merasa lega  dari perasaan-perasaan yang menyertainya. Selain itu, ia akan mencari kekuatan, rasa qana’ah  dan ridho dengan memohon kepada Allah SWT. Jika mushalli  semakin khusyu’ dan dekat dengan Allah maka semakin bertambah keyakinannya terhadap Allah SWT, sehingga ia tidak mengenal putus asa dan keluh kesah dalam hatinya. Selain itu dia juga akan memilki jiwa yang kuat dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kecil maupun besar dalam kehidupannya.
  2. Khusyu’ membuat seseorang memiliki sifat rendah hati, sebab ia melihat keangungan Allah, dan sifat tawadhu’ karena ia melihat kemegahan-Nya. Sifat-sifat inilah yang harus dimiliki oleh hamba Allah SWT. Seseorang  yang meninggalkan tabiatnya dan mengikuti keinginan hawa nafsunya maka akan muncul dalam dirinya sifat sombong atau bahkan sifat yang lebih jelek dari itu. hal ini terjadi karena manusia keluar dari tabi’atnya dengan tidak mengagungkan Allah dan memujinya.
  3. Shalat merupakan bentuk wasilah mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Adalah menjadi kewajiban seorang   muslim untuk tunduk kepada Dzat yang memberikan nikmat dan menyembah kepada-Nya. Salah satu bentuknya adalah dengan melaksanakan shalat. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat berarti ia ingkar terhadap nikmat Tuhan, Dzat yang maha Mulya dan Agung, menyia-nyiakan hak dan kewajiban atasnya, melangggar sumpah (ikrar) untuk beramal kepada-Nya dan ingkar untuk mengakui keutamaan Dzat yang memberi rizki kepadanya.
Zakiah mengatakan bahwa dengan terlaksananya shalat wajib lima kali sehari semalam secara sempurna akan bersihlah jiwa dari berbagai dorongan dan keinginan yang bertentangan dengan ketentuan Allah. Dan kekuatan iman pun dapat mengendalikan dorongan hawa nafsu yang tidak mengenal aturan, nilai dan sopan santun, bahkan sering didukung dan didorong-dorong oleh setan yang selalu mencari kesempatan untuk menghasut manusia berbuat salah.[66]
Keadaan seperti diatas akan mengangkat jiwa manusia diatas dorongan-dorongan jasmani, membebaskannya dari belenggu-belenggu hawa nafsu dan menutup pintu syaitan. Orang yang mendirikan shalat dalam arti serius akan dijauhkan oleh Allah dari sifat keluh kesah dan kikir seperti yang terdapat pada kebanyakan orang.[67]
Dalam  sebuah kasus yang pernah ditangani oleh Zakiah, penyembuhan dapat diatasi dengan menggunakan terapi shalat:
Pada suatu senja, sepasang suami istri datang menghadap kepada ahli jiwa untuk memohon dibantu dalam meyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Suami tampaknya seorang yang berada, tampan dan berwibawa, sedang istri halus, lembut dan parasnya cantik. Sepintas lalu tampaknya pasangan itu serasi dan bahagia, akan tetapi setelah didengar keluhan dan pengalaman yang mereka lalui dalam kehidupan rumah tangga yang telah berjalan 15 tahun, maka pendapat kita akan berubah, karena kehidupan mereka tidak pernah tentram. Rupanya suami yang tampaknya berwibawah dan tampan itu, telah banyak berbuat salah di luar rumah, banyak wanita cantik yang memuja dan mengejarnya, kadang-kadang diantara mereka itu ada yang dibawanya kerumah. Si istri merasa takut bicara karena setiap kali ia mulai bertanya atau berkomentar tentang wanita yang dibawah suaminya itu, ia selalu dimarahi dan disuruh bungkem. Pada mulanya istri tampak menerima kenyataan itu, Karena ia merasa bahwa ia menopangkan hidupnya kepada suaminya yang mampu mencukupi segala keperluannya. Suami semakin bangga diri dan telah meninggalkan shalat sejak beberapa tahun. Ia tenggelam dalam kesenangan lahiriah, pada suatu malam istrinya berkata: “sudah lama kita berkeluarga, kita tidak pernah bertengkar, namun hati saya tidak pernah tenang, saya tidak pernah merasakan lagi kasih saying Abang. Abang sibuk dengan wanita-wanita cantik lain, sedangkan saya Abang kurung dalam sangkar emas yang indah ini. Saya tidak sanggup meneruskan hidup seperti ini, biarlah saya tinggal digubuk buruk, makan dan minum seadanya. Marilah kita besok pergi ke kantor urusan agama, dan ceraikan saya secara baik.”
Sang suami terperanjat, seolah-olah ia disambar petir mendengar ucapan istrinya itu. terbayang diruang matanya semua perlakuan kepada istrinya selama ini, ia selalu mengatakan bahwa istrinya itu bodoh, tidak mengerti apa-apa, bahkan dia teringat ucapan kepada istrinya di satu hari: “Ah diam kau, jangan banyak tanya, tahu apa orang perempuan.” Lama dia terdiam, pikirannya melayang ke masa-masa  dimana dirinya sebagai bintang yang diagungkan oleh wanita-wanita cantik yang tidak berakhlak, sehingga hidupnya dipenuhi oleh dosa dan lupa kepada Allah. Setelah sadar, dengan nada lembut, ia membujuk istrinya untuk bersabar, karena ia akan bertaubat dan mohon ampun kepada Allah, serta memperbaiki perlakuan terhadap istrinya. Istri menolak, karena dia telah jenuh dengan kehidupan tidak menetramkan itu.
Rupanya persoalan itu tidak teratasi lagi, karena itulah suami terpikir untuk minta tolong kepada seorang ahli jiwa. Beberapa kali pertemuan berlangsung dengan ahli jiwa tersebut, kadang-kadang mereka bersama masuk ke ruang konsultasi, kadang-kadang bergantian agar masing-masing dapat mengungkapkan seluruh perasaan yang mencekam di dada mereka masing-masing.
Sejak berkonsultasi itu suami mulai shalat kembali, dan memohon ampun kepada Allah atas segala dosa yang telah dibuatnya. Pada mulanya ia tidak berani mohon ampun kepada Allah, takut, jangan-jangan Allah murka, dan tidak mau mengampuni kesalahannya. Kepadanya dikatakan bahwa Allah Maha Pengampun dan menyuruh manusia untuk minta ampun.
Setelah beberapa kali pertemuan konsultasi, tampaknya istri mulai dapat menerima permintaan suami, agar tidak bercerai. Rupanya terbuka hatinya melihat suaminya yang mau shalat, bahkan sangat rajin dimana kadang-kadang ia bangun tengah malam untuk shalat tahajut.[68]

Itulah contoh kasus problem keluarga yang akhirnya klien mampu mengatasi problemnya dengan melaksanakan shalat. Mendirikan shalat berarti meluruskan pandangan hidup kearah keabadian sejati, yaitu keridhaan Allah, bersandar pada hukum-hukum Allah, karena dengan hukum-hukum dan aturan Allah sajalah yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan.
Dalam Islam shalat dicanangkan sebagai pembersih jiwa, pelembut kalbu dan penghias manusia dengan keutamaan-keutamaan perasaan tunduk, khusyu’, hadir, akrab, mohon kepada Allah dan dekat dengan-Nya.[69] Dalam bab sebelunya penyusun sudah membahas tentang shalat dan pengaruhnya dalam jiwa. Di sana secara teoritis ditemukan bahwa sesorang yang melakukan shalat dengan sempurna akan lebih mampu menghadapi segala persoalannya,[70] ini  diperkuat juga dalam contoh kasus yang dijelaskan di atas.
 Dadang Hawari[71] mengungkapkan bahwa do’a atau shalat yang dilakukan sehari semalam sebanyak lima kali merupakan kekuatan spiritual yang akan mampu memberikan kebutuhan akan rasa aman dan terlindungi bagi setiap manusia. Zakiah mengungkapkan hal yang sama, bahwa shalat sebagai obat (kuratif) bagi gangguan kejiwaan dan shalat sebagai pencegahan (preventif) terhadap gangguan kejiwaan.[72]
Djamaludin Ancok mengatakan bahwa shalat memiliki beberapa aspek yang berfungsi sebagai sarana terapi, aspek tersebut:
Pertama, aspek olah raga. Shalat adalah suatu ibadah yang menuntut aktifitas fisik, konsentrasi tekanan dan “pijatan” pada bagian otot tertentu dapat menjadikan relaksasi (pelemasan). Padahal salah satu tehnik penyembuhan adalah relaksasi (relaxation training). Menurut Lekrer, gerakan-gerakan otot pada relaksasi dapat mengurangi kecemasan. Nizami mengatakan bahwa shalat yang berisi aktivitas yang menghasilkan bio-energi, mengantarkan pelakunya pada situasi equilibrium (keseimbangan) antara jiwa dan raganya.
Eugene walker mengatakan juga bahwa olah raga dapat mengurangi kecemasana jiwa. Jika demikian, maka shalat yang berisi aktifitas fisik juga dapat dikategorikan olah raga, dapat pula menghilangkan kecemasan. Apalagi shalat yang dilakukan berulang-ulang. Semisal shalat wajib yang  dilakukan lima kali dalam sehari semalam.
Kedua, shalat memiliki aspek meditasi. Setiap muslim dituntut agar dapat melaksanakan shalat secara khusyu’. Untuk itu diperlukan konsentrasi yang dalam. Khusyu’ dalam shalat menurut Ancok dapat dikategorikan sebagai suatu proses meditasi
Ketiga, adalah aspek auto-sugesti. Bacaan dalam shalat adalah bacaan yang dipanjatkan ke hadirat Ilahi. Berisi pujian-pujian atas keagungan Allah dan doa serta permohonan agar selamat dunia dan akhirat. Bila ditinjau dari teori hypnosis yang menjadi salah satu  penyembuhan gangguan jiwa, mengungkapkan kata-kata itu berisi aspek auto-sugesti. Menyatakan hal yang baik terhadap diri sendiri adalah suatu proses auto-sugesti agar yang bersangkutan memiliki sifat-sifat yang baik. Proses shalat pada dasarnya adalah terapi yang tidak berbeda dengan terapi self-hypnosis (pengobatan terhadap diri sendiri).
Keempat, aspek kebersamaan. Mengapa Rasul SAW., lebih menghargai mereka yang mau shalat berjamaah? Dengan melebihkan pahalanya sampai dua puluh tujuh kali lipat, bila dikaitkan dengan tinjauan psikologis akan jelas sekali. Sabda Rasul

صلا ة الجماعة تفضل صلاة الفذ بسبع وعشر ين در جة


Artinya: Shalat berjamaah lebih afdhal (utama) dari shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.[73]
Manusia modern menurut para ahli pengamat perilaku manusia, banyak yang menderita keterasingan. Akibat paling fatal dari rasa keterasingan itu adalah bunuh diri. Tidak heran jika angka bunuh diri terus naik seiring dengan makin majunya  suatu bangsa. Ternyata keramaian IPTEK tidak menjamin manusia menjadi tenang, sebaliknya justru membuat manusia merasa kesepian.
Ditinjau dari psikologis, kebersamaan itu  merupakan aspek teraupatik . Beberapa ahli psikologis berpendapat bahwa perasaan “keterasingan” dari orang lain adalah penyebab utama terjadinya gangguan jiwa. Dengan shalat berjamaah perasaan terasing dari orang lain ataupun dari dirinya sendiri dapat hilang.[74]
Shalat berjamaah, dengan segala tata tertibnya, telah menghadirkan suatu sarana agar manusia senantiasa merasa tidak sendirian. Senantiasa merasa ada dalam satu barisan jamaah, yang berasas tunggal, yaitu Allah swt. Shalat berjamaah dianjurkan agar dilakukan setiap menjalankan shalat wajib, kiranya akan dapat mengikis perasaan terasingnya dari dunia yang semakin hari semakin rumit dan saling berganti bentuk dan coraknya.[75] Dunia yang selalu memberikan berbagai masalah bagi manusia. Selain itu dari segi kejiwaan shalat berjamaah akan dapat membantu konsentrasi pikiran. [76]
Selain memberikan terapi yang bersifat kuratif (penyembuhan), shalat juga memiliki aspek preventif  (pencegahan) terhadap problem psikis. Adanya perintah Allah untuk memelihara persaudaraan sesama manusia, saling memenuhi kebutuhan, saling merasakan penderitaan dan kesenangan orang lain akan menjaga kemungkinan terjadinya problem psikis. Hal ini secara tidak langsung merupakan akibat tidak langsung dari shalat yang dilakukan secara berjamaah.
Adapun efek dari meninggalkan shalat adalah pikiran akan semakin tidak tenang, hati gelisah, perasaan berdosa, berdebar jantung, dan lain-lain. Sehingga orang yang memiliki problem psikis dia tidak mampu menghadapinya dengan baik. Dengan sendirinya perasaan ini akan membalut rohani dan jasmani, yang lebih parah lagi adalah bila rohani tersebut oleh rasa ketakutan ,kegelisahan, keresahan, keputusasaan, kecemasan, dan kesedihan, yang makin lama makin tebal menumpuk karena masih belum dibersihkan dengan berwudlu. Tujuan berwudlu itu sendiri adalah dengan niat untuk melakukan shalat guna berdialog dengan Allah, mendekatkan diri kepada Allah dan bermohon meminta ampun.
Dengan berwudlu, maka akan lebih bersih dan jernih. Dengan mendirikan shalat, hati akan bersih, dikatakan dalam Islam sehat wal-afiat. Orang yang sehat wal-afiat bukan hanya berarti sehat, kuat, gagah dan berani karena menganggap dirinya paling berkuasa, tetapi harus ditunjang oleh cara berfikir yang sehat, jujur, bersih, dan adil tidak pernah merugikan orang lain serta terhindar dan mampu mengatasi problem psikisnya.
Itulah shalat yang dikerjakan  dengan baik dan benar akan berimplikasi terhadap kesehatan jiwa manusia. Ketika manusia menghadapi sebuah kegelisahan dan kecemasan dalam kehidupannya maka ia harus segera bermunajat kepada Allah SWT untuk memohon pertolongan-Nya lewat shalat. Shalat adalah rahmat Allah yang besar. Mencari pertolongan dengan shalat ketika menghadapi kesulitan berarti membuka rahmat Allah, dan jika rahmat Allah datang, maka tak ada lagi kesulitan. “Apabila Rasul saw menemui suatu kesulitan maka beliau mengerjakan shalat.”[77]
Para ahli sufi menulis bahwa sesungguhnya hakikat shalat adalah bermunajat kepada Allah SWT dan berbincang-bincang dengan-Nya. Maka orang yang lalai tentu tidak akan mendapatkannya. Orang boleh saja lalai dalam ibadah-ibadah selain shalat seperti zakat, yang intinya adalah mengeluarkan harta. Berzakat bertentangan dengan hawa nafsu manusia yang suka membelanjakan uang. Walaupun dilaksanakan tanpa sepenuh hati, ia akan tetap mempengaruhi nafsu manusia. Demikian pula berpuasa, yaitu menahan lapar, haus, dan bersetubuh pada siang hari. Semua itu penting untuk mengalahkan hawa nafsu manusia. Jika manusia melakukan dengan benar, walaupun lalai setidaknya akan berpengaruh pada dirinya dan akan mengurangi kekuatan nafsunya.
Sedangkan shalat yang sebagian besar mengandung dzikir dan tilawah al-Qur’an, jika manusia melalaikannya, tentunya tidak lagi merupakan suatu permohonan kepada Allah. Hal itu bagaikan orang yang demam panas, yang kadang-kadang ia mengigau. Apa yang ada di dalam hatinya  akan ia katakan, dan ia akan berbicara apa saja. Tetapi apa yang ia katakan  itu tidak akan berpengaruh kepada pendengarannya, tidak bermanfaat, juga tidak berbahaya. Demikian juga shalat yang  selalu dikerjakan. Jika ia melakukan tanpa tawajjuh, maka shalat akan menjadi suatu adat istiadat saja sehingga perbuatan tersebut tidak sesuai dengan lafadz-lafadz shalat yang dikerjakannya. Sebagimana orang yang sedang mengigau ketika tidur, maka ucapannya  akan sulit untuk dipahami, dan ucapannya tidak akan bermanfaat sedikitpun bagi pendengarnya.
Demikian juga jika ia mengerjakan shalat tanpa tawajjuh, maka Allah akan berpaling darinya.  Untuk itu sangatlah penting baginya untuk mengerjakan  shalat dengan penuh perhatian dan menyesuaikan tingkah lakunya dengan semua yang ia ucapkan  dalam shalat. Jadi tujuan shalat membawa sifat-sifat ketaatan dalam shalat ke dalam kehidupan sehari-hari. Kalau shalat dikerjakan dengan tertib tempat yang artinya dikerjakan dimana adzan dikumandangkan, tertib waktu artinya dikerjakan sesuai waktunya (di awal waktu), dan tertib cara artinya dikerjakan sebagimana yang dicontohkan Rasul, maka shalat akan memberikan dampak yang sangat besar dalam jiwa manusia. Ia akan terhindar dari segala kecemasan dan kegelisahan dalam kehidupannya. Ia akan lebih mampu memberikan proteksi (perlindungan) terhadap segala permasalahan-permasalahn psikisnya.
P E N U T U P


A. Kesimpulan
Suatu bangunan didirikan atas dasar fondasi, dinding, dan sebagainya. Demikian juga pula ilmu pengetahuan didasarkan atas fondasi yang berupa teori-teori dan hipotesis-hipotesis. Teori dan hipotesis pada hakikatnya merupakan proposisi (pernyataan), dan proposisi ini menggabungkan variabel-variabel.
Dalam penelitian ini, shalat yang merupakan salah satu yang dijadikan media dalam memberikan penyembuhan dan pencegahan serta proteksi terhadap masalah-masalah kejiwaan (problem Psikis) merupakan proposisi yang menghubungkan variabel-variabel yang dibangun dalam teori dan hipotesis yang dijelaskan dalam bab sebelumnya.
Dalam teori[78] dijelaskan bahwa manusia disamping mahluk Psiko-sosial  juga merupakan makhluk Psiko-sosio-spiritual. Dimana spiritual merupakan masalah yang mendasar dalam kelangsungan hidup manusia termasuk di dalamnya masalah yang berhubungan dengan psikis. 
Dengan rasa transendental yang tinggi terhadap dzat yang maha tinggi  yang menguasai hidupnya, manusia mampu menangkis dan memproteksi segala hal yang berlangsung dan yang akan terjadi. Rasa transendental manusia itu dibuktikan  dalam sebuah keimanan, dan keimanan sesorang dibuktikan  dengan ketakwaannya menjalankan semua perintah-perintah-Nya dan menjahui larangan-Nya. Dalam bahasan terdahulu disebutkan bahwa manifestasi dari keimanan adalah shalat, karena shalat merupakan  suatu rangka pokok dari iman.
Dalam deskripsi dan analisis terdahulu  telah ditelaah juga, pengaruh shalat terhadap jiwa manusia. Dimana shalat mengandung kekuatan spiritual yang luar biasa yang memiliki pengaruh secara langsung dalam jiwa manusia, menajamkan indera dan perasaan, menjadikan sukmanya berkilauan, membangkitkan daya nalar dan daya pikirnya serta memperjelas pandangannya. Ini sejalan dengan esensi jiwa manusia, dimana jiwa merupakan seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran dan angan-angan yang selalu mengikutinya, yang rentan terhadap berbagai masalah yang menghantuinya.
Oleh karenanya bagi orang yang telah mendirikan shalat yakni dilaksanakan dengan baik, khusyu’ dan bersinambung sesuai dengan syarat rukun dan sunnahnya, ia akan menjadi sosok manusia yang tegar dalam menghadapi setiap persoalan yang datang.

B. Saran
Sebagai tindak lanjut dari apa yang telah penyusun kemukakan diatas, maka berikut ini disampaikan saran-saran:
  1. Bahwa  yang dikaji oleh penyusun dalam skripsi ini adalah sebatas pada deskripsi dan analisa penyusun terhadap shalat sebagai mediator dalam penyembuhan (terapi) psikoproblem manusia. Penyusun baru menyinggung sekilas tentang pengaruh shalat terhadap jiwa, untuk itu kajian lebih mendalam sangat diharapkan dari pembaca. Bagi pembaca yang tertarik pada kajian ini dipersilahkan untuk mengadakan kajian ulang dan mendalam sehingga nantinya diharapkan akan memberikan sumbangsih  yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu konseling islami.
  2. Penyusun dengan besar hati menerima kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan karya tulis ini. Tentunya dalam karya ini masih sangat jauh dari apa yang diharapkan pembaca, karena kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki penyusun.
  3. Agar kita mampu menghadapi segala macam persoalan hidup maka saran penyusun kepada khalayak untuk memperhatikan ibadah shalat ini. Didalam menjalankan shalat diharapkan disertai dengan khusyu’ dan tawadhu’ serta berkesinambungan, sehingga pengaruhnya terhadap jiwa benar-benar dirasakan.



[97] Lihat Peter Salim, op. Cit., hlm. 1197

[98] Lebih lanjut lihat Tarmizi, Kesehatan Jiwa (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 8

[99] Berdasarkan firman Allah dalam surat al-Isra’ (17): 85 artinya: dan mereka bertanya tentang ruh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.

[100] Dikutip dari A. Gazali, et al., Ilmu Jiwa (Jakarta: Ganaco N.V., 1980) hlm.5
[101] Anna Alisjabana, M. Sidharta & M.A.W. Brouwer, Menuju Kesejahteraan Jiwa (Jakarta: PT. Gramedia, 1983)

[102] Imam santoso sukardi, op. Cit. hlm. 3
[103] Ibid, hlm. 336
[104] Departemen Agama RI., op. Cit., hlm. 454

[105] Zakiah Daradjat, Peranan Agama Dalam Kesehatan Jiwa (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 47
[106] Anna Alisjabana, M. Sidharta, & M. A. W. Brouwer, op. Cit., hlm. 112
[107] Ibid.

[108] Muhammad ‘Utsman Najati, op. Cit., hlm. 18

[109] Ibid, hlm. 120

[110] Ibid,, hlm. 18
[111] Hamdan Bakran Adz-dzaky, op. Cit., hlm. 2
[112] Ibid
[113] Sering juga disebut sembahyang, karena pengaruh istilah agama Hindu, berasal dari kata sembah-Yang(menyembah kepada sang Dewa-dewa. Dipakai dalam semua agama untuk mengadakan kebaktian. Sedangkan shalat khusus untuk Islam. Dan merupakan bahasa aslinya dari al-Qur’an.

[114] M. Dachlan Arifin, Kompilasi Shalat dan Persoalannya (Yogyakarta: Dian, 1990), hlm. 3

[115] Lihat A. Hasan, Pengajaran Shalat (Bandung: CV. Diponegoro, 1999). HS. Rasjid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah, 1976)

[116] Ash-Shiddieqiy, op. Cit., hlm 63

[117] Khusyu’ menurut  A. Syafi’i adalah menyengaja, ikhlas dan tunduk  lahir dan batin; dengan menyempurnakan keindahan bentuk/sikap lahirnya, serta memenuhinya dengan kehadiran hati, kesadaran dan pengertian segala ucapan dan bentuk/sikap lahir itu. Lihat A. Syafi’i. MK, op. Cit., hlm. 2

[118] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm.30

[119] M. Munir Jimbaz, Karakter Orang Sukses Dunia Akhirat, Penj: A.M. Basalamah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), hlm. 71

[120] M. Yunus bin Abdullah as-Sattar, Dimanakah  Shalat yang Khusyu’ ? , Penj: Abdullah Shonhadji, Sani Abu Zahra (Semarang: C.V. asy-Syifa’, 1991), hlm.90

[121] M. Hasbi asy-Shiddieqy, op. Cit., hlm. 74

[122] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 273

[123] M. Hasbi asy-Syiddieqy, op. Cit., hlm. 76

[124] M. Zainal arifin, Shalat Mi’raj Kita Kehadirat-Nya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 23

[125] Departemen Agama RI., op. Cit., hlm. 66

[126] Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),     hlm. 21

[127] Departemen Agama RI., op. Cit., hlm. 374

[128] Ibid., hlm. 122

[129] Ibid.,hlm. 119

[130] Sentot Haryanto, Psikologi Shalat   (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003),     hlm. 62

[131] H. A. Saboe, Hikmah Kesehatan Dalam Shalat (Bandung: al-Ma’arif, 1978)

[132] Imam Musbikin, Rahasia Shalat Bagi Penyembuhan Fisik dan Psikis (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), hlm. 133

[133] Syeh Musthofa Masyhur, Berjumpa Allah Lewat Shalat, Penj: Abu Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.18

[134] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Lezatnya Shalat, Penj: Kathur Suhardi (Jakarta: Darul Falah, 2002), hlm. 13

[135] Casmini, “Keistimewaan Shalat Ditinjau Dari Aspek Psikologi dan Agama” dalam Hisbah Vol 1/Nomor 1/Januari-Desember 2002, hlm. 89

[136] Ibid., hlm. 90
[137] Muhsin Qira’ati, Pancaran Cahaya Shalat, Penj: Faruq bin Dhiya’ & Musa al Kazhim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1990), hlm. 61

[138] Syeh Musthofa Masyhur, op. Cit., hlm.20

[139] Imam Musbikin, op. Cit., hlm. 32
[140] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Penj: K. Anshori Umar S, Hery Noer Aly, & Bahrun Abu Bakar (Semarang: C.V. Toha Saputra, 1874), hlm. 185
[45] Hana Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam Menuju Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 156

[46] Jamal Mahdi Abu al-‘Aza’im, sebagaimana yang dikutip Utsman Najati, Al-Qur’an dan… op. Cit., hlm. 307-308

[47] Sebagaimana pernah dipaparkan Djamaluddin Ancok, bahwa salah satu dampak terapi yang ditimbulkan dalam shalat adalah terapi “Olah Raga”. Karena dalam shalat dituntut adanya proses suatu aktivitas fisik. Dimana konsentrasi otot, tekanan dan massage pada bagian otot tertentu dalam shalat merupakn proses relaksasi, padahal proses relaksasi atau pelatihan relaksasi (relaxation training) dalam teori psikologi adalah merupakan salah satu tehnik yang diakui dalam proses terapi gangguan jiwa. Lihat Djamaludin Ancok, Shalat dan Kesehatan Jiwa, dalam Psikologi Islam, hlm. 98. Bahasan detail kajian psikologi dalam ibadah shalat dapat dilihat dalam skripsi ini Bab II. hlm.58

[48] Dalam shalat yang khusyu’ berarti ia sedang mengalami yang oleh Eugare Wolker (1975) disebut dengan proses meditasi dan dari hal penelitian meditasi membawa pengaruh yang besar dalam meredam kecemasan jiwa sesorang (Djamaluddin Ancok, op. Cit., hlm. 98-99)
[49] Departemen Agama RI., op. Cit., hlm. 378
[50] Casmini, op. Cit., hlm. 84

[51] Aziz Salim Basyarahl, op.Cit., hlm. 42

[52] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 321

[53] Muhsin Qira’ati, Pancaran Cahaya Shalat, Penj: Faruq bin Dhiya’ & Musa al-Kazhim (Bandung: Pustaka Hidayah, 1990), hlm. 73

[54] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 7

[55] Aziz Salim Basyyarahil, op. Cit., hlm. 53

[56] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 454

[57] M. Fuad ‘Abdul Baqi, al-Lu’lu’ Wal Marjan, Penj: Salim Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, tt), hlm. 203
[58] Dititurkan oleh Abu Hurairah r.a. dalam  Shahih Muslim, Penj: H. A. Razak & Rais Lathif (Jakarta: Widjaya, 1957), hlm. 141
[59] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1995), hlm. 15

[60] Abu Al-Wafa’ al-Ghanami al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, Penj: A. Rofi ‘Utsman (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 11
[61] Sebagaimana yang dijelaskan Allah didalam surat al-Baqarah (2) : 1-4.
الم * ذلك الكتب لا ريب فيه هدى للمتقين * الذين يؤ منو ن بالغيب ويقيمو ن الصلوة ومما رزقنهم ينفقون * والذين يؤ اليك وماانزل من قبلك وبالاخرةهم يوقنون *  منون بماانزل
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang muttaqien (mukmin) ialah mereka yang beriman akan yang ghaib, yang tidak kelihatan pada pandangan matanya; mendirikan shalat dan mengeluarkan sebagian hartanya untuk kemaslahatan umat; kemaslahatan masyarakat, yang dinamai “jalan Allah”.  Ayat ini juga menegaskan mengerjakan shalat dan mengeluarkan harta untuk yang tersebut, adalah hasil dari dorongan iman akan Allah yang bersemi dalam jiwa . lihatlah susunan ayat. Allah meletakkan perkataan “dan mendirikan shalat”, sesudah perkataan “beriman akan yang ghaib”, dan Allah meletakkan perkataan “ dan mengeluarkan sebagian harta untuk kemaslahatan umat”, sesudah perkataan “mendirikan shalat”. Susunan ini memberikan pengertian bahwa: iman yang teguh bersemi di lubuk jiwa, menarik kepada shalat. Shalat yang ditegakkan dengan sempurna, dengan khusyu’ yang menjadi spiritnya (rohnya), membawa kepada rela mengorbankan sebagian harta untuk kepentingan pergaulan hidup bersama. Selanjutnya lihat Hasbi Ash-Shiddiqiey, Op. Cit., hlm. 40

[62] Aziz Salim Basyrahl, Shalat; Hikmah, Falsafah dan Urgensinya (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 63
[63] Lihat Bab I, hlm. 15

[64] Casmini, op. Cit., hlm. 84

[65] Misa Abdu, op. Cit., hlm. 21
[66] Zakiah Daradjat, op. C it., hlm. 14

[67] Lihat Q.S. al-Ma’arij (70): 19-21) yang sudah dikutip oleh penyusun pada Bab II, hlm.42
[68] Dikutip dari Zakiah Daradjat, Shalat….,op. Cit., hlm 24

[69] Abu al-Wafa’, op. Cit., hlm. 12

[70] Lihat Bahasan pada Bab II, hlm. 58

[71] Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Jakarta: Dana Bhakti Yasa, 1996), hlm. 261

[72] Lihat Zakiah Daradjat, Shalat…., op. Cit., hlm 21 & 26
[73] HR. Bukhori Muslim dalam M. Fuad ‘Abdullah Baqi, op. Cit., hlm 203
[74] Djamaludin Ancok & Fuad Nashori Surosos, Psikologi Islam: Solusi Atas Berbagai Problem-problem Psikologis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 98-100

[75] Siti Nurul Andriyati, op. Cit., hlm. 93

[76] Zakiah Daradjat, Shalat…, op. Cit., hlm. 87
[77] HR. Ahmad dan Abu Dawud dikutip dari Maulana Muhammad Zakariyah dan Al-Kandahlawi Rah.a., Himpunan Fadhilah Amal, terj: A. Abdurrahman Ahmad (Yogyakarta: Ash-Shaff, tt), hlm. 228
[78] Lihat teori dalam Bab I dan Bab II

0 komentar:

Posting Komentar