Dzikrulloh Warosulih SAW

BACALAH SELALU DI DALAM HATI ATAU DENGAN LISAN "YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOOH" UNTUK DZIKIR KEPADA ALLOH WA ROSULIHI SAW

7.9.15

ILMU NAHWU BAB MAF'UL MA'AH

المَفْعُلْ مَعَهْ
يُنْصَبُ تَالِى الْوَاوِ مَفْعُوْلاً مَعَهْ   فِى نَحْوِ سِيرِىْ وَالطَّرِيْقَ مُسْرِعَةْ

Isim yang terletak setelah wawu di baca nasob dengan di tarkib sebagai maful ma’ah di dalam sesama lafadz
Di nasobkan dengan fiil atau sibih fiil yang mendahului, membaca nasob pada isim tersebut bukan dengan wawu mengikuti qoul yang lebih benar.
Definisi Maful Maah
Yaitu kalimah fiil yang di baca nasob yang terletak setelah wawu yang bermakna
Contoh:
Berjalanlah kamu bersamaan jalan dengan cepat
Catatan: dari nadzom diatas bisa di ketahui bahwa suatu lafadz bisa dikatakan maful maah dengan tiga syarat:
1.      Berupa isim (yang mufrod).
Maka mengecualikan yang berupa fiil atau jumlah.
Seperti : janganlah kamu memakan ikan bersamaan minum susu
Saya berjalan bersamaan dengan terbitnya matahari.
2.      Dibaca nasob.
Maka mengecualikan pada isim yang dibaca selain nasab,
Seperti : zaid bersama umar bekerjasama.
3.      Terletak setelah wawu yang bermakna
Maka mengecualikan pada isim yang terletak setelah wawu tapi tidak bermakna
Seperti :saya bersama umar.
Zaid datang, dan umar datang sebelumnya.
A.    Amil yang menasobkan maful ma’ah.
Yang menasobkan maf’ul ma’ah adalah amil yang terletak sebelumnya, baik yang berupa fiil atau sibih dengan fiil.
Contoh :
a)      Yang berupa fiil.
Seperti:
Yang menasobkan adalah fail yang terletak sebelumnya, yaitu lafadz
b)      Yang berupa sibih fiil.
Seperti : zaid berjalan bersamaan jalan
Perjalanan bersamaan mengagummkanku.
Yang menasobkan lafadz adalahl afadz dan .
Catatan :
·         Yang menasobkan maful ma’ah adalah amil yang berupa fiil atau sibih fiil yang merupakan qoul yang lebih benar.
·         Sedang menurut sebagian ulama’, termasuk imam al jurjani, yang menasobkan adalah wawu yang bermakna
·         Membuat maful ma’ah itu hukumnya qiyasi di dalam setiap isim yang terletak setelah wawu yang bermakna, yang sebelumnya terdapat fiil atau sibih fiil. Hal ini seperti yang di isyarohi nadzim dengan lafadz
·         Amilnya maf’ul ma’ah wajib di dahulukan, maka tidak boleh di ucapkan.
·         Adapun mendahuluinya maf’ul ma’ah pada perkara yang disertai itu hukumnya khilaf, mengikuti qoul shohih hukumnya tidak di perbolehkan, seperti ucapan :
Maful ma’ah yang terletak setelah istifham dan ,menurut sebagian orang Arab itu hukumnya di baca nasob dengan fiil yang di cetak dari madar yang di simpan secara wajib.
Pembahasan
Haqiqot dari maf’ul ma’ah itu harus di dahului fiil atau sibih fiil, seperti keterangan di atas, dan menurut sebagian orang Arab apabila maf’ul ma’ah terletak setelah istifham atau, maka di nasobkan dengan fiil yang di cetak dari masdar yang hukumnya wajib disimpan.
Contoh:
a.       Bagaimana keberadaanmu bersama Zaid
Taqdirnya, sedangkan yang lebih unggul (arjah)
Di baca rofa’, di ucapkan
b.      Bagaimana keberadaanmu bersamaan sepiring jenang Tsarid
Takdirnya ,namun yang ajrah di baca rofa’
Mengathofkan isim yang terletak setelahnya wawu itu hukumnya lebih baik (dari pada dijadikan maf’ul ma’ah) apabila tidak ada kelemahan ( dari sisi lafadz atau makna), dan membaca nasob pada isim yang terletak setelah wawu ( dengan menjadi maf’ul ma’ah ) itu hukumnya di pilih ketika lemah di athofnasaqkan.
Apabila isim yang terletak setelah wawu tidak boleh di athofkan maka wajib di baca nasob( menjadi maf’ul ma’ah ), atau di baca nasob dengan amil yang di simpan.
Pembahasan
Hukumnya isim yang terletak setelah wawu.
Isim yang terletak setelah wawu hukumnya sebagai berikut:
1)      Apabila bisa di athofkan dan tidak ada kelemahan secara lafadz dan makna maka yang lebih baik diathofkan, karena merupakan yang asal, namun juga bisa dibaca nashob menjadi maf’ul ma’ah.
Contoh:
Telah datang Zaid dan Umar.
Bertempatlah kamu (Adam) dan isterimu disurga.
Saya dan Zaid seperti dua saudara
2)      Apabila bisa di athofkan, namun ada sisi lemahnya maka yang paling baik di baca nasob menjadi maf’ul ma’ah.
Contoh:
1)      Ada kelemahan dari sisi lafadz.
Seperti:
Saya berjalan bersamaan Zaid.
Saya datang bersaman Umar.
Karena meng-athofkan terhadap dhomir rofa’ yang muttashil dan tidak ada pemisahnya itu hukunnya tidak baik dan tidak kuat.
2)      Ada kelemahan dalam sisi makna.
Seperti :
(Bila unta di tinggalkan bersamaan anaknya, maka tentunya anaknya akan menyusui pada Ibunya), jika di athofkan di ucapkan : maka maknanya menjadi (apabila unta di tinggalkan, dan anaknya di tinggalkan, tentunya anaknya akan menyusu pada ibunya) maka makna yang kita faham, bahwa menyusunya anak pada ibunya itu sebab di tinggal, padahal tidak begitu, maka kita perlu mentaqdirkan lafadz lain supaya bisa di athofkan, yang takdirnya :
(apabila unta di tinggalkan dan anaknya di tinggalkan dalam keadaan mungkin menyusu, maka tentunya anak akan menyusu pada ibunya.)
Dan mentaqdir seperti itu terdapat takalluf (kerepotan), oleh karenanya yang baik di jadikan maf’ul ma’ah.
3)      Apabila tidak bisa di athofkan
Maka wajib dibaca nasob, dengan di tarkib menjadi maf’ul ma’ah atau menyimpan amil yang sesuai.
Tidak bisa di athofkan ini adakalanya karena ada perkara yang mencegah (mani’) dari segi lafadz atau ma’na.
Contoh:
a.       Ada perkara yang mencegah dari sisi ma’na.
Seperti:
Saya berjalan bersamaan sungai nil
Zaid mati bersamaan terbenamnya matahari
Yaitu dari setiap perkara yang tidak boleh musyarokah dalam hukum antara perkara setelahnya wawu dan sebelumnya, karena tidak mungkin sungai berjalan, dan tidak mungkin terbenamnya matahari meninggal dunia.
b.      Ada perkara yang mencegah dari sisi lafadz.
Seperti :
Apa yang kamu miliki bersamaan Zaid
Bagaimana keadaanmu bersamaan Umar
Karena mengatofkan lafadz kepada dhomir yang di baca jar tanpa mengulangi amil yang mengejarkan itu hukumnya tercegah menurut jumhurul ‘ulama’, maka wajib di baca nasob menjadi maf’ul ma’ah.
Catatan:
Wajib di baca nasob di jadikan  maf’ul ma’ah itu apabila bisa di jadikan maful ma’ah, sedang apabila tidak bisa di jadikan maf’ul ma’ah (dan sekaligus tidak bisa di athofkan) maka wajib di baca nasob dengan menyimpan amil yang sesuai dengan lafadz setelahnya wawu.
Contoh:
1)      Saya member makan jerami pada hewan dan (memberi minum) air dingin.
Lafadz di baca nasob dengan amil yang di simpan yang takdirnya (saya memberi minum), karena jika di athofkan tidak mungkin, karena kita tidak boleh mengucapkan (saya member makan air pada hewan) contoh tersebut adalah shodar (permulaan) dari sebuah sya’ir, sedang bagian akhirnya adalah:
(sehingga kedua matanya bercucuran air mata)
2)      Dan seperti ucapan sya’ir:
Ketika para penyanyi itu tampil dalam suatu hari, mereka mengeroki alis-alisnya (dan mencela’I) pada matanya
(Ar-Ro’I Abid).
Lafadz di nasobkan amil yang di simpan yang taqdirnya

الاستثناء
مَا اسْتَثْنَتِ الاَّ مَعْ تَمَامٍ يَنْتَصِبْ   وَبَعْدَ نَفْيٍ أَوْ كَنَفْيٍ انْتُخِبْ
Mustasna yang di kecualikan dengan itu humumnya di baca nasob apabila di dalam kalam yang tam dan mujab, sedang apabila terletak setelah kalam tam dan nafi’ atau sibih nafi’...
إتْبَاعُ مَا اتَّصَلَ وَانْصِبْ مَا انْقَطَعْ     وَعَنْ تَمِيمٍ فِيهِ إِبْدَالٌ وَقَعْ
Maka yang di pilih adalah mengiikutkan i’robnya mustasna pada mustasna’ minhu di dalam istisna’ yang muttasil, dan bacalah nasob pada mustasna yang munqoti’ (terputus) dari mustasna minhu, dan menurut Ulama’ bani Tamim di perbolehkan di jadikan badal.
Pembahasan
Devinisi Istisna’
Yaitu mengecualikan dengan atau salah satu saudaranya, secara haqiqot atau hukum dari mustasna minhu yang berbilang.
Contoh:
a)      Pengecualian secara haqiqot.
Seperti yang terjadi di dalam Istisna’ Muttashil (yaitu antara mustasna minhu dan mustasna sejenis).
Seperti:
Semua kaum berdiri kecuali Zaid.
b)      Pengecualian secara hukum.
Seperti yang terjadi di dalam Istisna’ Munqotiq’ (yaitu antara mustasna minhu dan mustasna sejenis).
Seperti:
Semua kaum berdiri kecuali Khimar
·         Lafadz mustasna minhu (lafadz yang mengalami pengecualian)
·         Lafadz mustasna (lafadz yang di kecualikan)
·         Lafadz Adat Istisna’ (alat mengecualikan)
Hukumnya Mustasna Yang terletak setelah
A.    Apabila Kalamnya Tam dan Mujab
Maka hukumnya wajib di baca nasob secara mutlak, baik istisna’-nya muttasil atau munqotiq’.
Contoh:
a)      Yang Kalamnya Tam, Mujab, dan Muttasil
Seperti: (semua kaum berdiri kecuali Zaid).
b)      Yang Kalamnya Tam, Mujab dan Munqotiq’
Seperti: (semua kaum berdiri kecuali Himar)
Catatan:
·         Kalam tam yaitu istisna’ yann sebelumnya telah menyebutkan mustasna minhu. Kebalikannya adalah Kalam Naqish yaitu istisna’ yang sebelumnya tidak menyebutkan mustasna minhu.
Seperti: tidak ada yang berdiri kecuali Zaid.
·         Kalam Mujab yaitu kalam yang tidak di nafikan. Kebalikannya yaitu Kalam Manfi yaitu kalam yang di dahului dengan huruf nafi.
Amil Yang Menasobkan Mustasna Setelah
Para ulama terjadi khilaf di dalam amil yang menasobkan mustasna yang terletak setelah , yaitu:
1)      Qoul Imam Ibnu Malik.
Yang menasobkan adalah
2)      Qoulnya Imam As-Sairofi, Ibnu Usfur.
Yang menasobkan adalah fiil yang ada di kalam yang letaknya sebelumnya, dengan lantaran . Imam Asy-Syalubin mengatakan : ini merupakan qoulnya Ulama Muhaqiqin.
3)      Yang Menasobkan Adalah Fiil dengan Sendirinya.
4)      Yang Menasobkan adalah fiil yang di buang yang di tunjukkan oleh ,yang takdirnya (saya mengecualikan Zaid)
B.     Apabila Kalamnya Tam dan Manfi / Sibih Nafi.
Maka hukumnya di tafsil menjadi dua, Yaitu:
1)      Apabila Istisna’nya Muttasil.
Maka di bolehkan dua wajah, yaitu:
1.      Di baca nasob di tarkib istisna’iyah
Contoh: tidak ada seorangpun yang berdiri kecuali Zaid.
2.      Di-I’robi tabi’ (yaitu mengikuti pada I’robnya mustasna minhu) dengan di jadikan badal, pendapat ini merupakan qoul yang dipilih.
Maka di ucapkan:
Catatan:
Ø  Pendapat ini merupakan qoulnya ulama’ bashroh, dan badalnya merupakan badal ba’dl min kul. Sedang menurut ulama’ uffah dalam contoh tersebut adalah huruf athof, lafadz setelah di athof nasaq-kan pada lafadz sebelumnya.
Ø  Yang di kehendaki Sibih Nafi (serupa nafi) adalah nahi dan istifham yang di ta’wil dengan nafi, yaitu istifham Inkari.
Contoh:
a)      Setelah Nahi
Seperti: jangan seorangpun berdiri kecuali Zaid.
b)      Setelah istifham
Seperti :
Tidak ada seorangpun yang  berdiri kecuali Zaid.
Tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Allah.
Ø  Apabila istisna’nya munqotiq’.
Maka wajib di baca nasob dengan tarkib istisna’iyah, hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama’.
Contoh:
Tidak ada kaum yang berdiri kecuali Himar.
Sedang menurut Bani Tamim boleh dii’robi tabi’ dengan di jadikan badal, maka boleh di ucapkan.
وَغَيْرُ نَصْبِ سَابِقٍ فِي الْنَّفْي قَد     يَأْتِي وَلكِنْ نَصْبَهُ اخْتَرْ إِنْ وَرَدْ
Membaca selain Nashob (rofa’) pada mustasna yang mendahului mustasna minhu itu terjadi di dalam kalam yang manfi. Tetapi qoul yang di pilih adalah membaca Nashob.
Pembahasan
Hukum mustasna yang mendahului mustasna minhhu
Mustasna yang mendahului mustasna minhu hukumnya di perinci sebagai berikut, yaitu:
a)      Apabila kalamnya mujab
b)      Apabila kalamnya nafi
Maka terdapat dua qoul yaitu:
1.      Qoul yang di pilih adalah di baca nasob
2.      Dan boleh di baca rofa’
وَإِنْ يُفَرَّغْ سَابِقُ إِلاَّ لِمَا       بَعْدُ يَكُنْ كَمَا لَوْ إلاَّ عُدِمَا
Apabila amil yang teletak sebelumnya amalnnya masih di teruskan pada mustasna yang terletak setelah (karena tidak menyebutkan mustasna minhu) maka hukumnya seperti jika tidak ada.
Pembahasan
Hukumnya istisna mufarrogh.
Apabila ada istisna’ yang tidak menyebutkan mustasna minhu (dinamakan istisna mufarrogh), maka amil yang terletak sebelumnya amalnya diteruskan pada mustasna yang terletak setelah , dengan demikian hukumnya mustasna di –I’robi sesuai dengan tuntutan amil, hal ini seperti tidak adanya.
Contoh:
a.       Dibaca Rofa’
Karena amilnya menuntut mustasna untuk di jadikan fail dan naibul fail.
b.      Di baca nashob
Karena amilnya menutut mustasna untuk di jadikan maf’ul bih.
c.       Di baca jar 111
وَأَلْغِ إلاَّ ذَاتَ تَوْكِيْدٍ كَلاَ     تَمْرُرْ بِهِمْ إلاَّ الْفَتَى إِلاَّ الْعَلاَ
Ilgho’kanlah  (jangan di amalkan dan tidak memiliki makna) pada yang memiliki makna taukid, seperti lafadz:
Pembahasan
Yang di ilgho’- kan.
Apabila diulangi dan bertujuan mentaukidi pada sebelumnya, maka ilgho’- kanlah (tidak memiliki amal dan makna) dan sebagaimana tidak mengulangi, sedangkan tempatnya yaitu apabila terletak setelah isim yang maknanya menyamai lafadz sebelumnya atau terletak setelah huruf athof wawu.
وَإِنْ تُكَرَّرْ لاَ لَتْوِكِيْدٍ فَمَعْ     تَفْرِيْغٍ الْتَّأْثِيْرَ بِالْعَامِلِ دَعْ
Apabila di ulangi bukan untuk mentaukidi, maka bersamaan istisna’ mufarrogh biarlah amilnya memberi atsar (beramal)
فِي وَاحِدٍ مِمَّا بِإِلاَّ اسْتُثْنِي      وَلَيْسَ عَنْ نَصْبِ سِوَاهُ مُغْنِي
Di dalam salah satu dari beberapa mustasna’ yang di kecualikan dengan , dan membaca nasob pada selainnya (di tarkib istisna’iyyah) itu di anggap cukup.
Pembahasan
Yang di ulangi dalam istisna’ yang mufarrogh
Apabila diulangi dalam istisna’ mufarrogh dan bertujuan untuk mentaukidi, maka amilnya beramal pada salah satu dari beberapa mustasna’, dan selainnya dibaca nasob dengan di tarkib isti’naiyah.
وَدُوْنَ تَفْرِيغٍ مَعَ الْتَّقَدّمِ    نَصْبَ الْجَمِيْع احْكُمْ بِهِ وَالْتَزِمِ
Dan wajib menasobkan pada semua mustasnanya di dalam istisna’ mufarrogh, bersamaan mustasnanya mendahului pada mustasna minhunya.
وَانْصِبْ لِتَأْخِيْرٍ وَجِىء بِوَاحِدِ    مِنْهَا كَمَا لَوْ كَانَ دُوْنَ زَائِدِ
Dan nasobkanlah seluruh mustasnannya bersamaan mustasnanya yang di akhirkan dari mustasna minhunya. (hal ini apabila kalamnya mujab), dan datangilah i’robnya salah satu dari beberapa mustasnanya sebagaimana seandainya mustasna tidak lebih dari satu (yaitu di i’roi sesuai tuntutan amil, hal ini apabila kalamnya nafi’)
كَلَمْ يَفُوا إِلاَّ امْرُؤٌ إِلاَّ عَلِي    وَحُكْمُهَا فِي الْقَصْدِ حُكْمُ الأَوَّل
Seperti lafadz , dan hukumnya semua mustasna dalam makna yang di kehendaki seperti mustasna yang pertama.
Pembahasan
Yang di ulang di dalam selainnya istisna mufarrogh.
Yang di ulangi di dalam istisna selainnya istisna mufarrogh, maka hukumnya di tafshil sebagai berikut:
1.      Apabila seluruh mustasnanya mendahului mustasna minhu maka hukumnya sekuruh mustasna wajib di baca nasob di tarkib istisna’iyyah.
2.      Apabila seluruh mustasna di akhirkan dari mustasna minhu, maka hukumnya di tafshil menjadi 2 yaitu:
a)      Apabila kalamnya nafi’.
b)      Apabila kalamnnya mujab.
وَاسْتَثْنِ مَجْرُورًا بِغَيْرٍ مُعْرَبَا    بِمَا لِمُسْتَثْنًى بِإِلاَّ نُسِبَا
Istisna’kanlah pada mustasna yang dijarkan dengan lafadz, sedangkan lafadz di I’robi dengan I’rob yang dinisbatkan pada mustasnanya.
Pembahasan
Istisna dengan lafadz
Mustasna yang di kecualikan dengan lafadz hukumnya dibaca jar, karena di idhofahkan.
وَلِسِوًى سُوًى سَوَاءٍ اجْعَلاَ    عَلَى الأَصَحِّ مَا لِغَيْرٍ جُعِلاَ
Mengikuti qoul ashoh hukum yang  dimiliki lafadz juga di berikan pada lafadz
Pembahasan
Istisna dengan menggunakan
Mustasna yang terletak setelah hukumnya di baca jar karena di idhofahkan, karena adalah kalimah  isim.
وَاسْتَثْنِ نَاصِبَاً بِلَيْسَ وَخَلاَ    وَبِعَدَا وَبِيَكُونُ بَعْدَ لاَ
Kecualikanlah mustasna yang di baca nasob dengan lafadz dan yang terletak setelah nafi.
Pembahasan
Istisna yang menggunakan dan
Mustasna yang di kecualikan dengan lafadz – lafadz diatas hukumnya di baca nasob.
وَاجْرُرْ بِسَابِقَيْ يَكُوْنُ إِنْ تُرِدْ    وَبَعْدَ مَا انْصِبْ وَانْجِرَارٌ قَدْ يَرِد
Jarkanlah pada mustasna dengan menggunakan dua lafadz yang mendahului , (yaitu lafadz) dan bacalah nashob pada mustasnanya yang terletak setelah masdariyah, dan membaca jar terkadang terjadi.
Pembahasan
Mustasna , yang tidak di dahului masdariyah hukumnya juga boleh di baca jar.
وَحَيْثُ جَرَّا فَهُمَا حَرْفَانِ    كَمَا هُمَا إِنْ نَصَبَا فِعْلاَنِ
Ketika dan mengejarkan pada mustasna, maka keduanya adalah huruf jar, sebagaimana ketika keduanya menasobkan pada mustasna, maka keduanya adalah kalimah fiil.
وَكَخَلاَ حَاشَا وَلاَ تَصْحَبُ مَا    وَقِيْلَ حَاشَ وَحَشَا فَاحْفَظْهُمَا
Lafadz itu seperti lafadz , tetapi tidak bisa bersamaan dengan masdariyah, dan di ucapkan dalam lughotnya lafadz yaitu lafadz dan
Pembahasan
Lafadz itu seperti lafadz , yaitu bisa di lakukan fiil dan menasobkan pada mustasna karena menjadi maf’ul bih, sedangkan failnya berupa isim dhomir yang wajib di simpan yang ruju’nya pada lafadz yang di faham dari makna keseluruhan, atau pada isim fail yang di fahami dari fiil sebelumnya.


0 komentar:

Posting Komentar