المَفْعُلْ
مَعَهْ
يُنْصَبُ
تَالِى الْوَاوِ مَفْعُوْلاً مَعَهْ فِى
نَحْوِ سِيرِىْ وَالطَّرِيْقَ مُسْرِعَةْ
Isim yang terletak setelah wawu di baca nasob dengan di tarkib sebagai
maful ma’ah di dalam sesama lafadz
Di nasobkan dengan fiil atau sibih fiil yang mendahului, membaca nasob
pada isim tersebut bukan dengan wawu mengikuti qoul yang lebih benar.
Definisi Maful Maah
Yaitu kalimah fiil yang di baca nasob yang terletak setelah wawu
yang bermakna
Contoh:
Berjalanlah kamu bersamaan jalan dengan cepat
Catatan: dari nadzom diatas bisa di ketahui bahwa suatu lafadz bisa
dikatakan maful maah dengan tiga syarat:
1.
Berupa isim (yang mufrod).
Maka mengecualikan yang berupa fiil atau jumlah.
Seperti : janganlah kamu memakan ikan bersamaan minum susu
Saya berjalan bersamaan dengan terbitnya matahari.
2.
Dibaca nasob.
Maka mengecualikan pada isim yang dibaca selain nasab,
Seperti : zaid bersama umar bekerjasama.
3.
Terletak setelah wawu yang bermakna
Maka mengecualikan pada isim yang terletak setelah wawu tapi tidak bermakna
Seperti :saya bersama umar.
Zaid datang, dan umar datang sebelumnya.
A.
Amil yang menasobkan maful ma’ah.
Yang menasobkan maf’ul ma’ah adalah amil
yang terletak sebelumnya, baik yang berupa fiil atau sibih dengan fiil.
Contoh :
a)
Yang berupa fiil.
Seperti:
Yang
menasobkan adalah fail yang terletak sebelumnya, yaitu lafadz
b)
Yang berupa sibih fiil.
Seperti
: zaid berjalan bersamaan jalan
Perjalanan
bersamaan mengagummkanku.
Yang
menasobkan lafadz adalahl afadz dan .
Catatan :
·
Yang menasobkan maful ma’ah adalah amil yang berupa fiil atau sibih
fiil yang merupakan qoul yang lebih benar.
·
Sedang menurut sebagian ulama’, termasuk imam al jurjani, yang
menasobkan adalah wawu yang bermakna
·
Membuat maful ma’ah itu hukumnya qiyasi di dalam setiap isim yang
terletak setelah wawu yang bermakna, yang sebelumnya terdapat fiil atau sibih fiil.
Hal ini seperti yang di isyarohi nadzim dengan lafadz
·
Amilnya maf’ul ma’ah wajib di dahulukan, maka tidak boleh di
ucapkan.
·
Adapun mendahuluinya maf’ul ma’ah pada perkara yang disertai itu hukumnya
khilaf, mengikuti qoul shohih hukumnya tidak di perbolehkan, seperti ucapan :
Maful ma’ah yang terletak setelah istifham dan ,menurut sebagian
orang Arab itu hukumnya di baca nasob dengan fiil yang di cetak dari madar yang
di simpan secara wajib.
Pembahasan
Haqiqot dari maf’ul ma’ah itu harus di dahului fiil atau sibih fiil,
seperti keterangan di atas, dan menurut sebagian orang Arab apabila maf’ul ma’ah
terletak setelah istifham atau, maka di nasobkan dengan fiil yang di cetak dari
masdar yang hukumnya wajib disimpan.
Contoh:
a.
Bagaimana keberadaanmu bersama Zaid
Taqdirnya, sedangkan yang lebih unggul (arjah)
Di baca rofa’, di ucapkan
b.
Bagaimana keberadaanmu bersamaan sepiring jenang Tsarid
Takdirnya ,namun yang ajrah di baca rofa’
Mengathofkan isim yang terletak setelahnya wawu itu hukumnya lebih baik
(dari pada dijadikan maf’ul ma’ah) apabila tidak ada kelemahan ( dari sisi lafadz
atau makna), dan membaca nasob pada isim yang terletak setelah wawu ( dengan menjadi
maf’ul ma’ah ) itu hukumnya di pilih ketika lemah di athofnasaqkan.
Apabila isim yang terletak setelah wawu tidak boleh di athofkan maka
wajib di baca nasob( menjadi maf’ul ma’ah ), atau di baca nasob dengan amil
yang di simpan.
Pembahasan
Hukumnya isim yang terletak setelah wawu.
Isim yang terletak setelah wawu hukumnya sebagai berikut:
1)
Apabila bisa di athofkan dan tidak ada kelemahan secara lafadz dan makna
maka yang lebih baik diathofkan, karena merupakan yang asal, namun juga bisa dibaca
nashob menjadi maf’ul ma’ah.
Contoh:
Telah datang Zaid dan Umar.
Bertempatlah kamu (Adam) dan isterimu disurga.
Saya dan Zaid seperti dua saudara
2)
Apabila bisa di athofkan, namun ada sisi lemahnya maka yang paling
baik di baca nasob menjadi maf’ul ma’ah.
Contoh:
1)
Ada kelemahan dari sisi lafadz.
Seperti:
Saya berjalan bersamaan Zaid.
Saya datang bersaman Umar.
Karena meng-athofkan terhadap dhomir rofa’ yang muttashil dan tidak
ada pemisahnya itu hukunnya tidak baik dan tidak kuat.
2)
Ada kelemahan dalam sisi makna.
Seperti :
(Bila unta di tinggalkan bersamaan anaknya, maka tentunya anaknya
akan menyusui pada Ibunya), jika di athofkan di ucapkan : maka maknanya menjadi
(apabila unta di tinggalkan, dan anaknya di tinggalkan, tentunya anaknya akan
menyusu pada ibunya) maka makna yang kita faham, bahwa menyusunya anak pada
ibunya itu sebab di tinggal, padahal tidak begitu, maka kita perlu mentaqdirkan
lafadz lain supaya bisa di athofkan, yang takdirnya :
(apabila unta di tinggalkan dan anaknya di tinggalkan dalam keadaan
mungkin menyusu, maka tentunya anak akan menyusu pada ibunya.)
Dan mentaqdir seperti itu terdapat takalluf (kerepotan), oleh
karenanya yang baik di jadikan maf’ul ma’ah.
3)
Apabila tidak bisa di athofkan
Maka wajib dibaca nasob, dengan di tarkib menjadi maf’ul ma’ah atau
menyimpan amil yang sesuai.
Tidak bisa di athofkan ini adakalanya karena ada perkara yang
mencegah (mani’) dari segi lafadz atau ma’na.
Contoh:
a.
Ada perkara yang mencegah dari sisi ma’na.
Seperti:
Saya
berjalan bersamaan sungai nil
Zaid
mati bersamaan terbenamnya matahari
Yaitu
dari setiap perkara yang tidak boleh musyarokah dalam hukum antara perkara
setelahnya wawu dan sebelumnya, karena tidak mungkin sungai berjalan, dan tidak
mungkin terbenamnya matahari meninggal dunia.
b.
Ada perkara yang mencegah dari sisi lafadz.
Seperti
:
Apa
yang kamu miliki bersamaan Zaid
Bagaimana
keadaanmu bersamaan Umar
Karena
mengatofkan lafadz kepada dhomir yang di baca jar tanpa mengulangi amil yang
mengejarkan itu hukumnya tercegah menurut jumhurul ‘ulama’, maka wajib di baca
nasob menjadi maf’ul ma’ah.
Catatan:
Wajib
di baca nasob di jadikan maf’ul ma’ah
itu apabila bisa di jadikan maful ma’ah, sedang apabila tidak bisa di jadikan
maf’ul ma’ah (dan sekaligus tidak bisa di athofkan) maka wajib di baca nasob
dengan menyimpan amil yang sesuai dengan lafadz setelahnya wawu.
Contoh:
1)
Saya member makan jerami pada hewan dan (memberi minum) air dingin.
Lafadz
di baca nasob dengan amil yang di simpan yang takdirnya (saya memberi minum),
karena jika di athofkan tidak mungkin, karena kita tidak boleh mengucapkan
(saya member makan air pada hewan) contoh tersebut adalah shodar (permulaan)
dari sebuah sya’ir, sedang bagian akhirnya adalah:
(sehingga
kedua matanya bercucuran air mata)
2)
Dan seperti ucapan sya’ir:
Ketika
para penyanyi itu tampil dalam suatu hari, mereka mengeroki alis-alisnya (dan
mencela’I) pada matanya
(Ar-Ro’I
Abid).
Lafadz
di nasobkan amil yang di simpan yang taqdirnya
الاستثناء
مَا
اسْتَثْنَتِ الاَّ مَعْ تَمَامٍ يَنْتَصِبْ وَبَعْدَ نَفْيٍ أَوْ كَنَفْيٍ
انْتُخِبْ
Mustasna yang di
kecualikan dengan itu humumnya di baca nasob apabila di dalam kalam yang tam
dan mujab, sedang apabila terletak setelah kalam tam dan nafi’ atau sibih nafi’...
إتْبَاعُ
مَا اتَّصَلَ وَانْصِبْ مَا انْقَطَعْ وَعَنْ
تَمِيمٍ فِيهِ إِبْدَالٌ وَقَعْ
Maka yang di pilih
adalah mengiikutkan i’robnya mustasna pada mustasna’ minhu di dalam istisna’ yang
muttasil, dan bacalah nasob pada mustasna yang munqoti’ (terputus) dari
mustasna minhu, dan menurut Ulama’ bani Tamim di perbolehkan di jadikan badal.
Pembahasan
Devinisi Istisna’
Yaitu mengecualikan
dengan atau salah satu saudaranya, secara haqiqot atau hukum dari mustasna
minhu yang berbilang.
Contoh:
a) Pengecualian secara
haqiqot.
Seperti yang terjadi
di dalam Istisna’ Muttashil (yaitu antara mustasna minhu dan mustasna sejenis).
Seperti:
Semua kaum berdiri
kecuali Zaid.
b) Pengecualian secara
hukum.
Seperti yang terjadi
di dalam Istisna’ Munqotiq’ (yaitu antara mustasna minhu dan mustasna sejenis).
Seperti:
Semua kaum berdiri
kecuali Khimar
·
Lafadz mustasna minhu
(lafadz yang mengalami pengecualian)
·
Lafadz mustasna (lafadz
yang di kecualikan)
·
Lafadz Adat Istisna’ (alat
mengecualikan)
Hukumnya Mustasna
Yang terletak setelah
A. Apabila Kalamnya Tam
dan Mujab
Maka hukumnya wajib
di baca nasob secara mutlak, baik istisna’-nya muttasil atau munqotiq’.
Contoh:
a) Yang Kalamnya Tam,
Mujab, dan Muttasil
Seperti: (semua kaum
berdiri kecuali Zaid).
b) Yang Kalamnya Tam,
Mujab dan Munqotiq’
Seperti: (semua kaum
berdiri kecuali Himar)
Catatan:
·
Kalam tam yaitu istisna’
yann sebelumnya telah menyebutkan mustasna minhu. Kebalikannya adalah Kalam
Naqish yaitu istisna’ yang sebelumnya tidak menyebutkan mustasna minhu.
Seperti: tidak ada yang
berdiri kecuali Zaid.
·
Kalam Mujab yaitu kalam
yang tidak di nafikan. Kebalikannya yaitu Kalam Manfi yaitu kalam yang di
dahului dengan huruf nafi.
Amil Yang Menasobkan
Mustasna Setelah
Para ulama terjadi
khilaf di dalam amil yang menasobkan mustasna yang terletak setelah , yaitu:
1) Qoul Imam Ibnu
Malik.
Yang menasobkan
adalah
2) Qoulnya Imam
As-Sairofi, Ibnu Usfur.
Yang menasobkan
adalah fiil yang ada di kalam yang letaknya sebelumnya, dengan lantaran . Imam
Asy-Syalubin mengatakan : ini merupakan qoulnya Ulama Muhaqiqin.
3) Yang Menasobkan
Adalah Fiil dengan Sendirinya.
4) Yang Menasobkan
adalah fiil yang di buang yang di tunjukkan oleh ,yang takdirnya (saya
mengecualikan Zaid)
B. Apabila Kalamnya Tam
dan Manfi / Sibih Nafi.
Maka hukumnya di
tafsil menjadi dua, Yaitu:
1) Apabila Istisna’nya
Muttasil.
Maka di bolehkan dua
wajah, yaitu:
1. Di baca nasob di
tarkib istisna’iyah
Contoh: tidak ada
seorangpun yang berdiri kecuali Zaid.
2. Di-I’robi tabi’
(yaitu mengikuti pada I’robnya mustasna minhu) dengan di jadikan badal,
pendapat ini merupakan qoul yang dipilih.
Maka di ucapkan:
Catatan:
Ø Pendapat ini
merupakan qoulnya ulama’ bashroh, dan badalnya merupakan badal ba’dl min kul.
Sedang menurut ulama’ uffah dalam contoh tersebut adalah huruf athof, lafadz
setelah di athof nasaq-kan pada lafadz sebelumnya.
Ø Yang di kehendaki
Sibih Nafi (serupa nafi) adalah nahi dan istifham yang di ta’wil dengan nafi,
yaitu istifham Inkari.
Contoh:
a) Setelah Nahi
Seperti: jangan seorangpun
berdiri kecuali Zaid.
b) Setelah istifham
Seperti :
Tidak ada seorangpun
yang berdiri kecuali Zaid.
Tidak ada yang mengampuni
dosa kecuali Allah.
Ø Apabila istisna’nya
munqotiq’.
Maka wajib di baca
nasob dengan tarkib istisna’iyah, hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama’.
Contoh:
Tidak ada kaum yang
berdiri kecuali Himar.
Sedang menurut Bani
Tamim boleh dii’robi tabi’ dengan di jadikan badal, maka boleh di ucapkan.
وَغَيْرُ نَصْبِ سَابِقٍ فِي الْنَّفْي قَد يَأْتِي وَلكِنْ نَصْبَهُ اخْتَرْ إِنْ وَرَدْ
Membaca selain
Nashob (rofa’) pada mustasna yang mendahului mustasna minhu itu terjadi di
dalam kalam yang manfi. Tetapi qoul yang di pilih adalah membaca Nashob.
Pembahasan
Hukum mustasna yang mendahului mustasna minhhu
Mustasna yang mendahului mustasna minhu
hukumnya di perinci sebagai berikut, yaitu:
a) Apabila kalamnya mujab
b) Apabila kalamnya nafi
Maka terdapat dua qoul yaitu:
1. Qoul yang di pilih adalah di baca nasob
2. Dan boleh di baca rofa’
وَإِنْ يُفَرَّغْ سَابِقُ إِلاَّ لِمَا بَعْدُ يَكُنْ كَمَا لَوْ إلاَّ عُدِمَا
Apabila amil yang teletak sebelumnya amalnnya masih di
teruskan pada mustasna yang terletak setelah (karena tidak menyebutkan mustasna
minhu) maka hukumnya seperti jika tidak ada.
Pembahasan
Hukumnya istisna mufarrogh.
Apabila ada istisna’ yang tidak menyebutkan
mustasna minhu (dinamakan istisna mufarrogh), maka amil yang terletak
sebelumnya amalnya diteruskan pada mustasna yang terletak setelah , dengan
demikian hukumnya mustasna di –I’robi sesuai dengan tuntutan amil, hal ini
seperti tidak adanya.
Contoh:
a. Dibaca Rofa’
Karena amilnya menuntut mustasna untuk di
jadikan fail dan naibul fail.
b. Di baca nashob
Karena amilnya menutut mustasna untuk di
jadikan maf’ul bih.
c. Di baca jar 111
وَأَلْغِ إلاَّ ذَاتَ تَوْكِيْدٍ كَلاَ تَمْرُرْ بِهِمْ إلاَّ الْفَتَى إِلاَّ الْعَلاَ
Ilgho’kanlah
(jangan di amalkan dan tidak memiliki makna) pada yang memiliki makna
taukid, seperti lafadz:
Pembahasan
Yang di ilgho’- kan.
Apabila diulangi dan bertujuan mentaukidi pada
sebelumnya, maka ilgho’- kanlah (tidak memiliki amal dan makna) dan sebagaimana
tidak mengulangi, sedangkan tempatnya yaitu apabila terletak setelah isim yang
maknanya menyamai lafadz sebelumnya atau terletak setelah huruf athof wawu.
وَإِنْ تُكَرَّرْ لاَ لَتْوِكِيْدٍ فَمَعْ تَفْرِيْغٍ الْتَّأْثِيْرَ بِالْعَامِلِ دَعْ
Apabila di ulangi bukan untuk mentaukidi, maka
bersamaan istisna’ mufarrogh biarlah amilnya memberi atsar (beramal)
فِي وَاحِدٍ مِمَّا بِإِلاَّ اسْتُثْنِي وَلَيْسَ عَنْ نَصْبِ سِوَاهُ مُغْنِي
Di dalam salah satu dari beberapa mustasna’
yang di kecualikan dengan , dan membaca nasob pada selainnya (di tarkib
istisna’iyyah) itu di anggap cukup.
Pembahasan
Yang di ulangi dalam istisna’ yang mufarrogh
Apabila diulangi dalam istisna’ mufarrogh dan
bertujuan untuk mentaukidi, maka amilnya beramal pada salah satu dari beberapa
mustasna’, dan selainnya dibaca nasob dengan di tarkib isti’naiyah.
وَدُوْنَ تَفْرِيغٍ مَعَ الْتَّقَدّمِ نَصْبَ الْجَمِيْع احْكُمْ بِهِ وَالْتَزِمِ
Dan wajib menasobkan pada semua mustasnanya di
dalam istisna’ mufarrogh, bersamaan mustasnanya mendahului pada mustasna
minhunya.
وَانْصِبْ لِتَأْخِيْرٍ وَجِىء بِوَاحِدِ مِنْهَا كَمَا لَوْ كَانَ دُوْنَ زَائِدِ
Dan nasobkanlah seluruh mustasnannya bersamaan
mustasnanya yang di akhirkan dari mustasna minhunya. (hal ini apabila kalamnya
mujab), dan datangilah i’robnya salah satu dari beberapa mustasnanya sebagaimana
seandainya mustasna tidak lebih dari satu (yaitu di i’roi sesuai tuntutan amil,
hal ini apabila kalamnya nafi’)
كَلَمْ يَفُوا إِلاَّ امْرُؤٌ إِلاَّ عَلِي وَحُكْمُهَا فِي الْقَصْدِ حُكْمُ الأَوَّل
Seperti lafadz , dan hukumnya semua mustasna
dalam makna yang di kehendaki seperti mustasna yang pertama.
Pembahasan
Yang di ulang di dalam selainnya istisna
mufarrogh.
Yang di ulangi di dalam istisna selainnya
istisna mufarrogh, maka hukumnya di tafshil sebagai berikut:
1. Apabila seluruh mustasnanya mendahului
mustasna minhu maka hukumnya sekuruh mustasna wajib di baca nasob di tarkib
istisna’iyyah.
2. Apabila seluruh mustasna di akhirkan dari
mustasna minhu, maka hukumnya di tafshil menjadi 2 yaitu:
a) Apabila kalamnya nafi’.
b) Apabila kalamnnya mujab.
وَاسْتَثْنِ مَجْرُورًا بِغَيْرٍ مُعْرَبَا بِمَا
لِمُسْتَثْنًى بِإِلاَّ نُسِبَا
Istisna’kanlah pada mustasna yang dijarkan
dengan lafadz, sedangkan lafadz di I’robi dengan I’rob yang dinisbatkan pada
mustasnanya.
Pembahasan
Istisna dengan lafadz
Mustasna yang di kecualikan dengan lafadz
hukumnya dibaca jar, karena di idhofahkan.
وَلِسِوًى سُوًى سَوَاءٍ اجْعَلاَ عَلَى الأَصَحِّ مَا لِغَيْرٍ جُعِلاَ
Mengikuti qoul ashoh hukum yang dimiliki lafadz juga di berikan pada lafadz
Pembahasan
Istisna dengan menggunakan
Mustasna yang terletak setelah hukumnya di
baca jar karena di idhofahkan, karena adalah kalimah isim.
وَاسْتَثْنِ نَاصِبَاً بِلَيْسَ وَخَلاَ وَبِعَدَا وَبِيَكُونُ بَعْدَ لاَ
Kecualikanlah mustasna yang di baca nasob
dengan lafadz dan yang terletak setelah nafi.
Pembahasan
Istisna yang menggunakan dan
Mustasna yang di kecualikan dengan lafadz –
lafadz diatas hukumnya di baca nasob.
وَاجْرُرْ بِسَابِقَيْ يَكُوْنُ إِنْ تُرِدْ وَبَعْدَ مَا انْصِبْ وَانْجِرَارٌ قَدْ يَرِد
Jarkanlah pada mustasna dengan menggunakan dua
lafadz yang mendahului , (yaitu lafadz) dan bacalah nashob pada mustasnanya
yang terletak setelah masdariyah, dan membaca jar terkadang terjadi.
Pembahasan
Mustasna , yang tidak di dahului masdariyah
hukumnya juga boleh di baca jar.
وَحَيْثُ جَرَّا فَهُمَا حَرْفَانِ كَمَا
هُمَا إِنْ نَصَبَا فِعْلاَنِ
Ketika dan mengejarkan pada mustasna, maka
keduanya adalah huruf jar, sebagaimana ketika keduanya menasobkan pada
mustasna, maka keduanya adalah kalimah fiil.
وَكَخَلاَ حَاشَا وَلاَ تَصْحَبُ مَا وَقِيْلَ حَاشَ وَحَشَا فَاحْفَظْهُمَا
Lafadz itu seperti lafadz , tetapi tidak bisa
bersamaan dengan masdariyah, dan di ucapkan dalam lughotnya lafadz yaitu lafadz
dan
Pembahasan
Lafadz itu seperti lafadz , yaitu bisa di
lakukan fiil dan menasobkan pada mustasna karena menjadi maf’ul bih, sedangkan
failnya berupa isim dhomir yang wajib di simpan yang ruju’nya pada lafadz yang
di faham dari makna keseluruhan, atau pada isim fail yang di fahami dari fiil
sebelumnya.
0 komentar:
Posting Komentar