Dzikrulloh Warosulih SAW

BACALAH SELALU DI DALAM HATI ATAU DENGAN LISAN "YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOOH" UNTUK DZIKIR KEPADA ALLOH WA ROSULIHI SAW

7.9.15

ILMU NAHWU : Munada Mudhof, Asmaul La Zimah, Istighosah, Munada Mandub.


اَلْمُنَادَى الْمُضَافُ اِلَى يَاءِ اْلمُتَكَلِمِ
وَاجْعَلْ مُنَادَى صَحَّ إنْ يُضَفْ لِيَا     ( )     كَعَبْدِ عَبْدِى عَبْدَ عَبْدَا عَبْدِيَا
Munada yang berupa isim yang soheh akhir yang dimudhofkan pada ya’ mutakalim, itu memiliki lima wajah, yaitu:
1.      Membuang ya’ mutakalim , dan mencukupkan dengan kasroh, dan inilah yang paling banyak berlaku.
Contoh: يَاعِبَادِ فَاتَّقُوْنَ , يَاعَبْدِ
2.      Menetapkan ya’ mutakalim dengan disukun.
Contoh: يَاعَبْدِىْ لَاخَوْفٌ عَلَيْكُمْ, يَاعَبْدِىْ
Wajah ini banyak digunakan, tetapi sebawahnya yang pertama.
3.      Mengganti ya’ mutakalim dengan alif lalu dibuang, dan dicukupkan dengan fathahnya huruf akhir.
Diucapkan: يَاعَبْدَ
Wajah ini dipeerbolehkan oleh imam Ahfasy, Al-Muzani dan Al-Farisi, walaupun mengumpulkan membuang iwad (pengganti) dan mu’awwad (yang diganti).
4.      Mengganti ya’ mutakalim dengan alif dan membaca fathah pada huruf akhir.
Seperti: يَاحَسْرَتَا , يَاعَبْدَا
5.      Menetapkan ya’ mutakalim dan dibaca fathah, wajah ini adalah yang asal.
Seperti: يَاعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا , يَاعَبْدِيَ


وَفَتْحٌ اَوْ كَسْرٌ وَحَذْفُ الْيَا اسْتَمَرَّ     ( )     فِى يَا ابْنَ اُمَّ يَا ابْنَ عَمِّ لاَمَفَرَّ
Didalam munada yang berupa lafadz ابن  atau ابنة yang diidlofahkan pada lafadz yang diidlofahkan pada ya’ mutakalim, itu ya’ mutakalimnya wajib dibuang, dan huruf akhirnya diperbolehkan dibaca fathah atau kasroh.
Munada yang berupa lafadz yang diidlofahkan pada ya’ mutakalim.
Munada yang berupa lafadz yang diidlofahkan pada ya’ mutakalim itu hukumnya wajib menetapkan ya’ mutakalim, kecuali jika berupa lafadz ابن atau  ابنة yang diidlofahkan pada lafadz  اُمِّى  atau عَمِّى, maka wajib membuang ya’ mutakalim serta membaca kasroh atau fathah pada huruf akhir, hal ini karena sering digunakan dan menuntut untuk diringankan.
Seperti:
a.      Lafadz  يَاابْنَ اُمِّ      hai putra ibuku
                      Bisa diucapkan يَاابْنَ اُمَّ
b.      Lafadz يَاابْنَ عَمِّ     hai putra pamanku
                      Bisa diucapkan يَاابْنَ عَمَّ

Terkadang munada yang berupa lafadz ابن yang diidlofahkan pada lafadz ام atau  عم , ya’ mutakalimnya ditetapkan atau diganti dengan alif, hal ini biasanya terjadi dalam keadaan dorurot.

وَفِى النِّدَا أبَتِ عَرَضْ     ( )     وَاكْسِرْ وَافْتَحْ وَمِنَ الْيَا التَّا عِوَضْ

Lafadz اب dan   ام yang diidlofahkan pada ya’ mutakalim (selain lia wajah diatas) juga boleh mengganti ya’ mutakalim dengan ta’, yang dibaca kasroh atau fathah. Diucapkan : يَا اُمَّتٍ ’ يَااَبَتِ  dan seperti dalam al-quran :
يَاأبَتِ افْعَلْ مَاتُؤْمَرُسَتَجِدُنِى اِنْ شَاءَاللّهُ مِنَالصَّابِرِيْنَ
“Hai (nabi Ibrohim) ayahku! Lakukanlah apa yang yang diperintahkan Allah padamu, Insya Allah kamu akan menemukan diriku termasuk orang yang bersabar.”

Mengganti ya’ mutakalim dengan ta’ didalam lafadz  ام dan  اب hanya terjadi pada nida’ saja. Mengganti ya’ dengan ta’ itu hukumnya tidak wajib, dan lafadz  ام  dan  اب , juga memiliki lima wajah yang lain yang telah disebutkan. Dan tidak diperbolehkan mengumpulkan antara ya’ dan ta’, karena menyebabkan berkumpulnya iwad dan mu’awwad. Juga tidak boleh mengumpulkan antara ta’ dan alif yang merupakan pengganti dari ya’ mutakalim.
Para ulama terjadi khilaf didalam membaca dhommah ta’ , mengikuti Imam Al-Farro’ dan Abu Ja’far An-Nuhas diperbolehkan, sedangkan mengikuti Imam Az-Zujaj tidak diperbolehkan, dengan demikian wajah bacaan lafadz ام  dan  اب yang diidlofahkan pada ya’ mutakalim itu memiliki delapan wajah.


اسماء لازمت النداء
وَفُلُ بَعْضُ مَا يُخَصُ فِى النِّدَاءِ     ( )     لُؤْمَانُ نَوْمَانُ كَذَا وَاطَرَدَا
فِى سَبِّ الأُنْثَى وَزْنُ يَا خَبَاثِ     ( )     وَاْلأَمْرُ هَكَذَا مِنَ الثُّلاَثِى

Lafadz فُلُ, لُؤْمَانُ, نَوْمَانُ   adalah isim-isim yang harus dilakukan sebagai munada.
Adapun lafadz yang mengikuti wazan فَعَالَ digunakan untuk mencela orang perempuan, wazan ini juga menjadi wazannya isim fi’il amar yang qiyasi dari fi’il tsulasi.

Isim-isim yang harus dilakukan munada.
1.      Lafadz فُلُ
Digunakan untuk laki-laki, dan فُلَةُ untuk wanita. Seperti:
a.       يَافُلُ لِمَاذَا تُفَرِّطُ       hai fulan/ hai laki-laki/ hai zaid, kenapa kamu sembrono?
b.      يَافُلَةُ لِمَاذَا تُفَرِّطِيْنَ    hai fulanah/ hai wanita/ hai hindun, kenapa kamu sembrono?
Para ulama terjadi khilaf pada maknanya lafadz  فُلُ ,  فُلَةُ , yaitu:
1)      Mengikuti Imam Sibawaih.
Keduanya adalah kinayah dari isim nakiroh.
2)      Mengikuti Ulama Kuffah.
Dua lafadz tersebut asalnya  فلان  dan   فلانة , kemudian dijadikan munada murohhom (diringankan dengan membuang huruf akhir).
3)      Mengikuti Imam Asy-Syalubin, Ibnu Usfur dan dipilih Imam Ibnu Malik dan putranya.
Bahwa dua lafadz tersebut adalah kinayah dari alam (nama).                        

2.      Lafadz  لُؤْمَانُ
Bermakna عَظِيْمُ الُّؤْمِ , orang yang paling tercela.
3.      Lafadz  نَوْمَانُ
Yang bermakna كثير النوم , orang yang banyak tidur.

Lafadz-lafadz diatas penggunaannya adalah sima’i, kecuali lafadz “mul’amani”, para ulama terjadi khilaf, ada yang berpendapat sima’i juga ada yang berpendapat qiyasi.
Lafadz yang mengikuti wazan “maf’alani” seperti “mal’amani”, itu yang paling banyak digunakan untuk mencela, namun juga terkadang digunakan memuji, seperti yang diriwayatkan Imam Sibawaih dan Al-Ahfasy, seperti:
يَامَكْرَمَانِ      Hai orang yang sangat mulia.
يَامَطْيَبَانِ       Hai orang yang sangat baik.   
4.      Lafadz yang mengikuti wazan  فَعَلِ
Wazan ini dilakukan khusus untuk munada, dan digunakan untuk mncela orang wanita, sedangkan hukumnya qiyasi.
Seperti: يَاخَبَاثِ     hai wanita yang jorok /tak bermoral.
             يَافَسَاقِ      hai wanita fasik (durhaka).
              يَالَكَاعِ      hai wanita yang buruk perangainya.

Wazan  فَعَالِ  juga menjadi wazannya isim fi’il amar yang qiyasi.
Seperti:  نَزَالِ      Turunlah      (bermakna اِنْزِلْ)
                ضَرَبِ   Pukullah      (bermakna اِضْرِبْ)


                                  وَشَاعَ فِى سَبِّ الذُّكُوْرِ فُعَلُ     ( )     وَلاَ تَقِسْ وَجُرَّ فِى الشِّعْرِ فُلُ      

Lafadz yang ikut wazan فُعَلُ itu masyhur digunakan untuk mencela orang laki-laki, dan hukumnya sima’i (bukan qiyas). Lafadz فُلُ didalam kalam sya’ir ada yang dibaca jer.

5.      Lafadz yang mengikuti wazan فُعَلُ  
Digunakan untuk mencela orang laki-laki dan hukumnya sima’i.
Contoh: يَافُسَقُ     Hai orang yang fasik (durhaka)
يَاعُذَرُ      Hai penghianat
يَالُكَعُ        Hai lelaki yang buruk perangainya.
Lafadz  فُلُ  didalam kalam sya’ir ada yang dibaca jer dan tidak dilakukan munada, seperti:

v تَضِلُّ مِنْهُ اِبِلِى بِالْهَوْجَلِ     فِى لَجَّةٍ اَمْسِكْ فُلاَنًا عْنْ فُلِ
Ditanah Haujal, ketika terdengar suara gemuruh perang dan debu yang berhamburan aku kehilangan untaku, karena bercampur dengan kerumunan unta lainnya. (lalu kukatakan) peganglah si fulan supaya tidak bercampur fulan lainnya. (Abi An-Najm Al-Ijli).

الإستغاثة
إِذَ اسْتُغِيْثَ اسْمٌ مُنَادى حُفِضَا   ( )     بِاللاَّمِ مَفْتُحًا كَيَا لَلْمُرْتَضَى

Isim yang dijadikan munada mustaghhots (munada yang dimintai pertolongan) itu harus dijerkan dengan lam yang dibaca fathah.

Devinisi Istighotsah.
Yaitu memanggil orang/dzat untuk menyelamatkan atau menolong dari kesengsaraan atau beban yang berat.
Contoh: يَالَزَيْدٍ لِعَمْرٍو     Hai minta tolong pada zaid untuk menyelamatkan umar.
Lafadz  يَالَزَيْد  dinamakan mustagots (yang dimintai tolong)
Lafadz  لِعَمْرٍو  dinamakan mustagots lah/li-ajlih (yang menerima pertolongan).
Komponen atau unsur-unsur dalam Istighotsah:
Ø   Mustaghots, yaitu orang yang meminta pertolongan
Ø   Mustaghots minhu, yaitu orang yang dimintai pertolongan
Ø   Mustaghots li ajlih, yaitu yang ditolong.

Hukumnya Mustaghots.
Mustaghots itu hukumnya wajib dijerkan dengan lam huruf jer yang dibaca fathah, karena untuk membedakan pada lam yang masuk pada mustaghots-lah yang dibaca jer, seperti:
a)      يَالَلْمُرْتَضَى لِلْمُسْلِمِيْنَ   Hai minta tolong pada Sayyidina Ali yang bergelar Al-Murtadlo (orang yang diridhoi) untuk menyelamatkan orang-orang islam.

b)      Seperti ucapan Sayyidina Umar ketika ditikam Abu Lu’lu
يَااللّه االِلْمُسْلِمِيْنَ   Hai minta tolong pada Alloh untuk menyelamatkan orang islam.

Mustaghots itu hukumnya mu’rob secara mutlak. Dalam munada mustagots diperbolehkan mengumpulkan antara ya’ nida dengan al, karena tidak bertemu langsung, disebabkan dipisah lam huruf jer. Huruf nida’ yang bisa digunakan dalam munada mustagots hanya ya’ nida’ saja dan tidak boleh dibuang.

وَفْتَحْ مَعَ الْمَعْطُوْفِ إِنْ كَرَرْتَ يَا     ( )       وَفِى سِوَى ذَلِكَ بِاْلكَسْرِائْتَيَا

Mustaghots yang di athofkan pada mustaghots lain apabila ya’ nida’nya diulangi, maka lam huruf jernya wajib dibaca fathah, sedangkan pada selainnya (mustaghots yang diathofkan tidak mengulangi ya’), maka lam huruf jernya wajib dibaca kasroh.

Mustaghots yang diathofi sesamanya.
Mustghots yang diathofkan pada mustaghots yang lain itu hukumlam jernya ditafsil, yaitu:
1)      Apabila ya’ nida’nya diulang, maka mustaghots yang diathofkan lamnya, wajib dibaca fathah.
2)      Apabila ya’ nida’nya tidak diulangi, maka mustaghots yang menjadi ma’thuf lamnya wajib dibaca kasroh.

وَلاَمُ مَا اسْتُغِيْثَ عَاقَبَتْ اَلِفْ     ( )      وَمِثْلُهُ اسْمٌ ذُوْ تَعَجُّبٍ اُلِفْ
Lam huruf jer mustaghots diperbolehkan dibuang dan diganti alif, muta’ajjub minhu (sesuatu yang dikagumi) itu hukumnya seperti mustaghots.

Membuang lamnya mustaghots.
Lamnya mustaghots diperbolehkan dibuang dan diganti alif, dan tidak diperbolehkan mengumpulkan antara lam dan alif.

Hukumnya muta’ajjub minhu.
Sesuatu yang dikagumi itu hukumnya seperti mustaghots, yaitu:
1)      Dijerkan dengan lam yang dibaca fathah
2)      Lamnya boleh dibuang dan diganti alif.

الندبة
مَا لِلْمُنَادَى جْعَلْ لِمَنْدُوْبٍ وَمَا    ( )     نُكِّرَ لَمْ يُنْدَبْ وَلَامَاأُبْهِمَا
وَيُنْدَبُ الْمَوْصُوْلُ بِالَّذِى اشْتَهَرْ    ( )     كَبِئْرَ زَمْزَمٍ يَلِيْ وَمَنْ خَفَرْ
Isim yang bisa dijadikan munada juga bisa dijadikan munada mandub, kecuali isim nakiroh dan isim yang mubham (masih samar) maknanya (yaitu isim isyaroh dan isim mausul yang belum tertentu).
Isim mubham yang berupa isim mausul itu diperbolehkan dijadikan munada mandub apabila memiliki silah yang masyhur (yang dengan silah tersebut maksudnya bisa diketahui). Kecuali jika isim mausul tersebut sepi dari “al” dan disifati dengan silah yang sudah masyhur.

Devinisi Nutbah
Yaitu memanggil orang yang diratapi karena ketidakadaannya dalam wujudnya bersama orang yang meratap atau seperti orang yang tidak ada wujudnya atau memanggil sesuatu yang merasakan rintihan atau memanggil sesuatu yang menyebabkan merintih.
Lafadz-lafadz yang bisa dijadikan munada mandub
Semua lafadz yang bisa dijadikan munada bisa dijadikan munada mandub, baik berupa lafadz yang mufrod atau yang mudhof, kecuali isim nakiroh dan isim yang mubham.
Munada mandub tidak bisa pada isim yang nakiroh dari isim yang mubham (yaitu isim isaroh dan isim mausul) karena tujuan dari nudbah (merintih,meratap) tidak akan tercapai, yaitu memberitahukan besarnya musibah yang dirasakan/diratapkan.
Isim mausul yang shilahnya masyhur
Isim mausul yang shilahnya sudah masyhur, (yang bisa menghilangkan kesamarannya dan menentukan pada orangnya) maka boleh dijadikan munada mandub.
وَمُنْتَهَى الْمَنْدُوْبِ صِلْهُ بِالْاَلِفْ    ( )    مَتْلُوَّهَا اِنْ كَانَ مِثْلَهَا حُذِفْ
كَذَاكَ تَنْوِيْنُ الَّذِى بِهِ كَمَلْ     ( )     مِنْ صِلَةٍ أَوْغَيْرِهَا نِلْتَ اْلَامَلْ
Temukanlah akhirnya munada mandub dengan alif (yang dinamakan alif nutbah), apabila akhirnya munada mandub berupa alif, maka alifnya dibuang, lalu ditemukan alif nudbah.
Begitu pula tanwin yang berada pada shilah atau lainnya yang menjadi penyempurna kalimat juga dibuang, begitu juga dengan tanwin silah.
Menambah Alif Nudbah
Didalam munada mandub akhirnya ditemukan dengan alif nudbah (namun hukumnya tidak wajib).
Contoh: yang mufrod ( وَازَيْدَا )

Membuang Alif dan Tanwin
a)      Munada mandub yang huruf akhirnya berupa alif, sebelum ditemukan alif nudbah wajib dibuang dulu, seperti:
Lafadz مُوْسَى  diucapkan وَامُوْسَا
Ulama’ kufah memperbolehkan mengganti alif menjadi ya’.
Seperti, وَمُوْسِيَا
b)      Begitu pula tanwin yang ada pada akhirnya shilah atau pada mudhof ilaih juga wajib dibuang sebelum ditemukan alif nudbah, seperti:
وَامَنْ نَصَرَ مُحَمَدًا

وَالشَّكْلَ حَتْمًا أَوْلِهِ مُجَانِسَا    ( )    إِنْ يَكُنِ الْفَهْمُ بِوَهْمٍ لَابِسَا
Harokatilah akhirnya munada mandub dengan harokat yang sesuai apabila diharokati fathah menimbulkan dugaan keserupaan dengan lafadz yang lain.

Mengharokati Munada Mandub dengan harokat yang sejenis
Harokat akhir pada munada mandub ditafsil sebagai berikut:
1.      Apabila akhir munada mandub yang ditemukan alif nudbah berupa fathah, maka langsung ditemukan alif nudbah dengan tanpa merubah.
2.      Apabila akhir munada mandub berharokat selain fathah (kasroh atau dhomah), maka ditafsil menjadi dua, yaitu:
a.     Apabila diharokati fathah tidak menyebabkan labsu (salah pengertian) maka wajib diharokati fathah.
b.    Apabila diharokati fathah menyebabkan labsu (salah pengertian karena ada keserupaan dengan lafadz lain), maka alif nudbahnya diganti dengan wawu atau ya’, dengan disesuaikan dengan harokat akhirnya munada mandub.

وَوَاقِفًازِذْهَاءَسَكْتٍ اِنْ تُرِدْ    ( )    وَإِنْ تَشَاءْ فَالْمَدُّ وَاْلهَالَاتَزِدْ
Munada mandub apabila dibaca waqof maka diperbolehkan ditambahkan ha’ sakat (ha’ untuk waqaf) setelah alif nudbah atau dicukupkan dengan membaca panjang pada alif nudbah, tanpa menambahkan hak sakat.


Munada Mandub ketika waqof
Munada mandub ketika diwaqafkan diperbolehkan dua wajah, yaitu:
1.       Ditambah ha’ sakat setelah alif nudbah
2.       Dibaca panjang alif nudbahnya tanpa menambahkan ha’ sakat.
Ha’ sakat tidak diperbolehkan ditetapkan ketika keadaan washol dan terkadang ha’ sakat ditetapkan dengan harokat dhommah atau kasroh ketika keadaan darurot.

وَقَائِلٌ وَاعَبْدِيَا وَعَبْدَا    ( )    مَنْ فِى النِّدَااْليَاذَاسُكُوْنٍ عَبْدَا
Munada yang dimudhofkan pada ya’ mutakalim yang mengikuti lughot menetapkan ya’ yang disukun, ketika dijadikan munada mandub memiliki dua wajah, yaitu:
a.   Menambahkan alif nudbah pada ya’ mutakalim yang dibaca fathah.
b.   Membuang ya’ mutakalim lalu menambahkan alif nudbah.

Apabila munada yang dimudhofkan pada ya’ mutakalim mengikuti lughot yang lain, maka hanya memiliki satu wajah saja, yaitu membuang ya’ mutakalim lalu ditambahkan alif nudbah.

1 komentar: