PERKEMBANGAN FISIKA MODERN
Mekanika Newton
Sepanjang
abad pertengahan di Eropa tak seorangpun meragukan bahwa bumi adalah pusat alam
raya, sementara “benda-benda angkasa” berputar mengelilinginya di orbit mereka,
gambaran ini disebut dunia geosentris[1].
Namun seiring dengan perkembangan dan kemajuan pengetahuan terjadi suatu
revolusi teknis dan terobosan teknis yang membuka jalan untuk menuju berbagai
macam penemuan. Akibat dari revolusi ini semakin banyak orang yang menggunakan
akal untuk menyelidiki alam semesta dan segala fenomenanya, sehingga semakin
lama bergeserlah kepercayaan-kepercayaan terhadap doktrin-doktrin agama kepada
kepercayaan kemampuan akal, dan ini terus berkembang di Eropa sampai
memunculkan ilmuwan-ilmuwan yang kontras dengan gereja. Kepercayaan yang
berlebihan pada pentingnya akal telah mengakar sepanjang abad pertengahan,
bahwa setiap penyelidikan terhadap fenomena alam harus didasarkan pada
pengamatan, pengalaman, dan percobaan, yang disebut metode empiris. Alam
bukan lagi sesuatu dimana manusia semata-mata merupakan bagiannya, manusia
mulai mengontrol alam dengan cara mengeksplorasi sumber daya alamnya semaksimal
mungkin. ‘Pengetahuan adalah kekuasaan’, kata filosof Inggris Francis Bacon [2].
Tahun
1543, seorang astronom yang bernama Nicolaus Copernicus menulis sebuah buku
yang berjudul “On The Revolutions of The Celestial Spheres ( tentang
pergerakan lingkaran langit ). Dia menyatakan bahwa bukan matahari yang
bergerak mengelilingi bumi, melainkan sebaliknya. Anggapan ini sangat mungkin
berdasarkan pengamatan terhadap benda-benda angkasa yang ada. Alasan atas
kepercayaan orang bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi adalah bumi
berputar pada porosnya sendiri, gambaran ini disebut dunia heliosentris.
Hasil dari pengamatan Copernicus ini dikuatkan pula oleh astronom Jerman
Johannes Keppler yang pada tahun 1600-an menunjukkan hasil pengamatan
komprehensifnya yang membuktikan bahwa planet-planet itu bergerak dalam orbit
yang berbentuk elips dengan matahari pada pusatnya, dan juga kecepatan sebuah
planet paling besar ketika ia berada paling dekat dengan matahari dan semakin
jauh orbit sebuah planet dari matahari semakin lambat ia bergerak [3],
dan ini dirumuskan dengan
dimana :
v adalah kecepatan planet
mengelilingi matahari
r
adalah jarak antara planet dengan matahari
K adalah konstanta yang mempunyai nilai sama untuk setiap planet sebesar
… dan T adalah waktu
planet mengelilingi matahari sekali putaran (revolusi) [4].
Pada
masa yang sama Galileo Galilei yang menyelidiki bulan mengatakan bahwa
bulan mempunyai gunung-gunung dan lembah-lembah yang sama dengan bumi. Galileo
juga merumuskan hukum kelembaman yang berbunyi : “sebuah benda akan tetap
berada dalam keadaannya, diam atau bergerak, selama tidak ada kekuatan luar
yang memaksanya untuk berubah”.
Tahun
1642 – 1727, Isaac Newton merumuskan hukum gravitasi universal yang
menyatakan bahwa setiap objek menarik objek lainnya dengan suatu kekuatan yang
semakin meningkat sebanding dengan ukuran objek itu dan menurun sebanding
dengan jarak antara objek-objek itu [5]
yang dirumuskan dengan
dimana :
m1 dan m2 adalah massa dari dua
benda di alam semesta
r adalah jarak diantara dua massa tersebut
G adalah konstanta universal yang
besarnya 6,67 x 10-11 [6].
Artinya
adalah bahwa gaya
tarik atau gravitasi ini berlaku dimana saja, juga di angkasa diantara
benda-benda angkasa. Newton
juga menyatakan tentang hukum kelembaman, yaitu suatu benda tetap dalam
keadaannya yang diam atau bergerak lurus hingga ia dipaksa untuk mengubah
keadaannya itu oleh gaya
yang mempengaruhinya. Segala sesuatu diatur oleh hukum alam yang sama dan
setiap perubahan alam dapat diperhitungkan dengan ketepatan matematis. Newton menganggap bahwa
hukum alam sebagai bukti adanya Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Kuasa[7].
Newton
mengaplikasikan teorinya pada gerakan planet-planet dan mampu menerangkan
gambaran-gambaran dasar dari sistem tata surya. Newton mengasumsikan bahwa Tuhan selalu ada
dalam alam semesta untuk membetulkan ketidakteraturan-ketidakteraturan yang
terjadi di alam semesta [8].
Semua
peristiwa fisika dalam mekanika Newton
direduksi, yaitu perilaku sistem sepenuhnya ditentukan oleh perilaku
bagian-bagian terkecilnya menjadi gerak dalam titik-titik materi dalam ruang
oleh karena atraksi mereka yang saling berbalasan[9].
Elemen – elemen dunia Newton
bergerak dalam ruang dan waktu yang absolut adalah partikel-partikel materi
yang dalam persamaan matematika diperlakukan sebagai pokok-pokok massa dan dianggap
sebagai objek-objek kecil, padat, dan tak dapat dibagi-bagi diluar sesuatu
apapun pada setiap materi yang tercipta.
Persamaan-persamaan
Newton tentang
gerak merupakan dasar mekanika klasik yang dianggap telah menetapkan
hukum-hukum yang berdasarkan pada sesuatu dimana pokok-pokok materi bergerak
dan kemudian dipikirkan untuk menghitung semua perubahan yang diobservasi dalam
dunia fisika. Newton
berpandangan bahwa Tuhan telah mencipta pada mulanya partikel-partikel materi,
diantaranya energi-energi dan hukum-hukum fundamental tentang gerak, seluruh
alam semesta ditata dalam gerak dan terus berlangsung seperti sebuah mesin yang
diatur oleh hukum-hukum yang tidak bisa diubah-ubah [10].
Hal di
atas memberikan pandangan mekanistik Newton
tentang alam semesta yang sangat dekat dengan deterministik, yaitu masa
depan suatu sistem pada prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang
akurat tentang kondisi sistem itu dari sekarang. Mesin kosmis raksasa
dianggap sebagai keberadaan yang sepenuhnya kebetulan dan pasti (causal and
determinate) karena semua kejadian memiliki seperangkat sebab yang pasti
dan melahirkan efek yang pasti pula dan masa depan dari setiap sistem dapat
diprediksikan dengan ketentuan absolut bila keadaannya pada setiap waktu
teridentifikasi setiap detik [11].
Hukum
Newton yang didasarkan pada pengamatan terhadap alam keseharian mampu
memprediksi sesuatu, segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal riil sehingga
dapat menggambarkan kejadian yang mudah dipahami dan digambarkan[12],
ini berarti bahwa fisika klasik (Newtonian) hendak menunjukkan bahwa kausalitas
(hukum sebab akibat) ada dalam kehidupan sehari-hari, menampakkan
keberlakuan untuk setiap sistem. Alam semesta dianggap sebagai keberadaan yang
sepenuhnya kebetulan dan pasti[13].
Hal ini dipercayai oleh para fisikawan awal abad XVIII, bahwa alam semesta
merupakan sistem mekanis raksasa yang berjalan berdasarkan hukum-hukum Newton tentang gerak.
Kepercayaan
mengenai sebuah dunia konstruk dan hukum yang terkunci; suatu ruang yang
memberitahu bahwa kita dapat bergerak dalam tiga dimensi dan bahwa jarak
terpendek antara dua titik adalah sebuah garis lurus, sebuah waktu yang
meyakinkan kita tentang linearitas masa lalu, masa sekarang dan masa depan
menuntut peran empirisme dalam sains untuk selalu berjalan di atas
ketidakberpihakan seorang pengamat dan senantiasa terfokus pada realitas
objektif, yaitu teori ilmiah dapat menggambarkan dunia sebagimana adanya
tanpa dipengaruhi pengamat sebagai “sesuatu” yang tunggal dan bisa diamati
serta apriori terhadap kesadaran [14].
Pandangan
Newton di atas tentang alam semesta adalah hasil dari mengkombinasikan antara
metode induktif empiris ( Bacon ) dan metode deduktif rasional (
Descartes ), yang dalam masterpiece-nya Principia, Newton menekankan bahwa eksperimen tanpa
penafsiran sistematik, dan sebaliknya deduksi tanpa bukti eksperimen tidak akan
menghasilkan teori yang terandalkan ( reliable )[15].
Pengetahuan disekitar manusia ( lingkungan ) dapat dikembangkan dengan mudah,
bahkan manusia dapat mempengaruhi lingkungannya.
Konstribusi
besar Newton
dalam ilmu pengetahuan ( sains ) adalah :
1.
Tentang
teori dan hukum gerak
Jika objek sedang diam maka akan diam selamanya dan jika objek
bergerak lurus, objek itu selamanya akan bergerak lurus, selama tidak ada
kekuatan atau gaya yang mempengaruhinya ( F = 0 ), ini dikenal dengan hukum inertia
( kelembaman ) sebagai hukum I Newton, kecuali ada sesuatu ( kekuatan atau gaya
) yang mempengaruhinya dan jika itu terjadi maka arah dan kecepatan gerakan
objek itu akan berubah, tergantung pada besar dan arah gaya yang mengganggunya
(F = m.a), ini dikenal sebagai hukum II Newton, terlebih lagi setiap aksi
selalu berpasangan dengan reaksi yang besarnya sama tapi arahnya
berlawanan (W = N), ini dikenal sebagai hukum III Newton dan membuktikan bahwa
benda yang bergerak benar-benar akan selalu kembali dalam keadaan diam,
ini dikarenakan oleh gesekan (friksi) dengan tempat dimana ia bergerak.
2. Tentang teori
gravitasi
Fisika klasik menyebutnya sebagai ‘’aksi pada suatu jarak” (action
at a distance)[16].
Forsa gravitasi antara dua benda hanya bergantung pada satu bilangan yang
dikaitkan pada tiap benda, yaitu massa benda, tetapi selain ini forsa itu tidak
bergantung pada apa yang menyusun benda-benda itu, jadi tidak memerlukan teori
mengenai struktur dan susunan matahari serta planet-planet untuk menghitung
garis edarnya[17].
Makin jauh benda-benda itu terpisah akan makin kecil forsa itu dan tarikan
gravitasi sebuah bintang akan tepat seperempat besar tarikan sebuah bintang
lain yang berada separuh jauhnya dibandingkan bintang pertama. Hukum ini
meramalkan garis edar bumi, bulan, dan planet-planet dengan ketepatan yang
tinggi [18].
3.
Gambaran
tentang ciptaan Tuhan mengenai materi dalam optik Newton dikatakan sebagai
Tampak
mungkin bagi saya bahwa Tuhan pada awalnya membentuk materi dalam
partikel-partikel yang padat, berat, keras, tak dapat ditembus, bergerak, dari
bermacam ukuran dan bentuk, dan dengan property-properti lain, dan atau
property tertentu terhadap ruang, seperti yang mengarah pada titik klimaks
akhir saat Dia membentuk butiran partikel itu; dan bahwa partikel-partikel
primitif ini menjadi padat, secara tak terkira menjadi lebih keras dibandingkan
dengan tubuh-tubuh berlubang yang bercampur darinya; bahkan sangat amat keras,
seperti tak pernah mengenai atau memecah dalam beberapa bagian; tak ada energi
biasa yang akan mampu membagi apa yang diciptakan oleh tuhan sendiri dari
ciptaan pertama-Nya [19].
Revolusi Pemikiran
Pada abad XX terjadi suatu revolusi pemikiran dalam dunia fisika terhadap
pandangan mekanika Newton yang bersifat deterministik, reduksionistik, dan
realistik seputar realitas sub-atom, tentang dunia tak tampak yang
mendasari, mendukung, dan membentuk struktur segala sesuatu di sekeliling kita,
yang memunculkan teori kuantum yang berhubungan dengan satuan dasar
materi dan energi[20] yang mengatakan bahwa
alam semesta terdiri atas bagian-bagian yang sangat kecil yang disebut kuanta,
dan dari tinjauan energi dikatakan bahwa energi radiasi panas tidak dipancarkan
secara terus menerus tetapi terlihat dalam bentuk unit-unit atau paket energi
dengan ciri-ciri tersendiri yang disebut kuanta dan makanya menamakannya
dengan teori kuantum[21]. Fisika Newton tidak
berlaku dalam lingkup ini, namun meskipun demikian teori mekanika kuantum tidak
menafikkan fisika Newton, justru mencakupnya[22] karena dalam masalah
gerak benda, fisika Newton (klasik) berada dalam lingkup makrokosmis, sedangkan
fisika kuantum dalam lingkup mikrokosmis. Ini lebih dikuatkan lagi dengan
sejumlah eksperimen yang menunjukkan bahwa cahaya menjalar dalam bentuk paket
gelombang yang disebut kuanta [23].
Revolusi pemikiran dalam dunia fisika yang lain adalah tentang teori
relativitas Einstein yang berhubungan dengan ruang, waktu, dan alam semesta
secara keseluruhan. Para ahli fisika untuk
menerima penjelasan alam secara matematis terpaksa harus meninggalkan
pengalaman dunia yang wajar, yakni dunia persepsi [24].
Teori relativitas berangkat dari dua asumsi dasar, yaitu : pertama,
kecepatan cahaya ‘’in vacuo’’ adalah sama dalam seluruh inertial yang
bergerak seragam relatif terhadap yang lain. Kedua, seluruh hukum alam adalah
sama dalam seluruh sistem inertial yang bergerak seragam, relatif terhadap yang
lain[25].
Teori umum relativitas memerikan (mendeskripsikan) forsa gravitasi
dan struktur skala besar jagad raya, yaitu pada skala beberapa kilometer sampai
sejuta juta juta (1 dengan 24 nol dibelakangnya) kilometer, ukuran jagad raya
sejauh manusia dapat mengamati. Mekanika kuantum dipihak lain menangani gejala
pada skala yang luar biasa kecil, seperti misalnya sepersejuta dari sepersejuta
sentimeter [26].
Teori kuantum dan teori relativitas Einstein telah membawa pengaruh
terhadap perubahan pandangan dunia (worldview), dimana
eksperimen-eksperimennya selalu menghasilkan penemuan yang tidak dapat
diprediksi atau dijelaskan oleh fisika klasik (Newtonian) [27].
Pengaruh fisika modern secara dramatis telah meluas ke kancah pemikiran
dan kebudayaan, dimana pengaruh tersebut menuntun pada terjadinya suatu revisi
mendasar atas konsepsi manusia tentang alam semesta dan relasi manusia
terhadapnya. Konsep materi dalam fisika sub-atom telah memaksakan revisi
radikal dari berbagai konsep dasar yang tradisional dalam fisika klasik
(Newtonian) tentang substansi material [28].
Fisika klasik (Newtonian) yang bersifat deterministik dan reduksionistik
berasumsi bahwa perilaku semua objek dapat diprediksi secara pasti dari
pengetahuan yang akurat tentang unsur-unsur terkecilnya. Pernyataan ini
dipatahkan oleh teori ketidakpastian dalam fisika kuantam yang diformulasikan
oleh Werner Heisenberg dalam memprediksi
peristiwa ditingkat atom dan sub-atom yang menunjukkan bahwa perilaku sistem
besar tidak hanya merupakan gabungan dari perilaku bagian-bagiannya, tetapi
juga melibatkan hukum-hukum tertentu dan melalui interaksi-interaksi sesuatu
itu dengan pengamat di dalam sistem percobaan tertentu, sehingga dapat
menunjukkan keterbukaan masa depan, kesalingterkaitan antara peristiwa dan
keterbatasan pengetahuan manusia [29].
Hubungan ketidakpastian Heisenberg yaitu dirumuskan sebagai berikut :
Δx ΔPx ~ ћ dan ΔE Δt ~ ћ
dengan Δx adalah selang jarak, ΔPx adalah
momentum , ћ merupakan tetapan dari = 1,05 x 10-34 J.s , h adalah tetapan Plank sebesar 6,626 x 10-34 J.s dan ΔE adalah energi, Δt selang waktu. Persamaan
di atas adalah persamaan matematis dari asas ketidakpastian Heisenberg yang
mengatakan bahwa alam menetapkan suatu batas ketelitian yang dapat digunakan
untuk melakukan sejumlah percobaan, tidak peduli sebaik apapun peralatan ukur
dirancang[30]. Semakin teliti
menentukan posisi partikel-partikel maka akan semakin kabur untuk menentukan
momentumnya [31].
Bohr menekankan bahwa harus meninggalkan pembedaan yang tajam antara
pengamat dan yang diamati sebagiamana yang diasumsikan fisika klasik.
Keterbatasan pengetahuan yang bersifat eksperimental dan sekaligus konseptual,
menunjukkan bahwa variabel klasik tidak dapat digunakan untuk menggambarkan
dunia atomik yang dipandang sebagai keterbatasan konseptual yang fundamental
dalam pengetahuan manusia[32].
Fisika kuantum memandang bahwa pengamat berpartisipasi melalui sifat
interaktif dalam proses mengamati. Teori relativitas memandang sifat temporal
dan spasial bervariasi terhadap kerangka acuan pengamat. Partikel elementer
merupakan manifestasi sementara dari pola gelombang-gelombang yang berubah yang
bergabung pada satu titik, terurai lagi dan bergabung lagi dititik yang lain.
Partikel mulai tampak menyerupai kemunculan lokal dari lapisan-lapisan energi
getaran yang malar[33].
Pernyataan di atas merupakan suatu revolusi pemikiran yang sebelumnya
pada masa fisika klasik (Newtonian) belum pernah terpikirkan tentang gerak dalam
dunia mikroskopis dan gerak benda-benda yang berkecepatan cahaya atau yang
mendekati kecepatan cahaya. Suatu pemikiran yang telah mengubah pandangan dan
pola pikir manusia untuk mencapai hakekat suatu realitas tertinggi dalam
penciptaan alam semesta dan makhluk-makhluk khususnya manusia.
Fisika Modern Menuju Fenomena
Metafisika
Kesadaran dapat mempengaruhi materi dan mengubahnya.
Puncak
perubahan materi adalah menjadi kesadaran.
Pandangan bahwa pikiran dapat mentransendensikan dan menganggap superhologram
gelombang atau partikel yang berputar-putar seolah-olah sebuah mimpi atau
fantasmagaria imajinasi bergeser dari pengalaman kesulitan untuk mengukurnya.
Kesadaran akan benar-benar bisa menciptakan materi, peristiwa tersebut adalah
puncak keajaiban bukti akhir bahwa non-fisik, yakni kesadaran, bisa menguasai
dunia fisik. Hal ini memungkinkan untuk materi dan energi bisa saling
dipertukarkan sebagaimana yang diformulasikan oleh Albert Einstein sebagai E
= m.c2 atau dengan kata lain bahwa materi adalah energi yang
sangat mampat[35] atau energi adalah materi
yang dibebaskan. Energi benda akan bertambah dengan bertambahnya gerak massanya[36] Formula tersebut
menyatakan ekivalensi antara massa
dan energi. E adalah energi, m merupakan massa , dan c2 adalah
kuadrat laju cahaya (di vakum). Formula sederhana inilah yang merangkum semua
gejala alam semesta[37].
dimana m adalah massa
benda bergerak dengan laju v terhadap pengamat dan mo adalah massa benda yang diukur
saat benda itu diam terhadap pengamat.
Gerak adalah bentuk energi, maka massa
pun akan dapat berubah menjadi energi. Jika materi menumpahkan massanya dan
melaju dengan kecepatan cahaya kita menamakannya “radiasi atau energi”.
Sebaliknya bila energi membekukan dan mengambil bentuk yang berbeda kita
menamakannya materi[38].
Teori Einstein tentang kesetaraan massa dan energi tersebut telah membuka
kemungkinan baru untuk memperoleh energi dari pemecahan atau penggabungan
massa, sebagai contohnya adalah pada reaksi fisi (pemecahan inti) yaitu
bila sebuah partikel neutron berhasil masuk ke dalam inti atom uranium maka
inti atom uranium akan menjadi lebih tidak stabil dan akibatnya mengalami
pembelahan yang menghasilkan dua buah atom materi lain, dua sampai tiga buah
neutron baru, dan energi. Total massa
seluruh materi yang terbentuk sesudah terjadinya pembelahan inti atom uranium
lebih kecil daripada sebelum terjadi pembelahan[39]. Selisih massa inilah yang berubah menjadi energi yang
dirumuskan sebagai berikut :
keterangan :
n = neutron
U = uranium
F1 = fraksi 1
F2 = fraksi 2
E = energi
yang dibebaskan
Kecepatan cahaya c yang konstan dalam formula Einstein tersebut
merupakan bagian penting dan fundamental bagi teori relativitas. Cahaya adalah
suatu gelombang elektromagnetik yang tersusun atas dua medan getaran (vibrasi), yaitu : medan listrik E dan
medan magnet B.
Cahaya tersebut disifatkan oleh panjang gelombang λ dan frekuensi υ. Dua besaran tersebut
dihubungkan oleh laju perambatan cahaya c dengan relasi :
|
dimana
n merupakan indeks bias media. Laju perambatan cahaya bergantung pada media.
Pada ruang hampa n = 1, diperoleh c = λυ = 3.108 m/s. [41]
Kapanpun apabila mendeskripsikan
fenomena-fenomena fisika termasuk kecepatan-kecepatan yang mendekati
kecepatan cahaya, maka deskripsi tersebut harus memperhitungkan teori
relaivitas[42].
Materi yang merupakan energi yang dimampatkan tidak dapat dianggap
sebagai ada atau tidak ada. Kesadaran tidak dapat benar-benar menciptakan
materi, tidak ada sesuatu termasuk juga materi, yang ada hanyalah campur tangan
konstruktif alam yang menembus semua realitas yang mungkin berada di luar
persepsi, maka dalam eksperimen Schrödinger kesadaran tidak menciptakan seekor
kucing yang hidup atau seekor kucing yang mati. Eksperimen itu hanya memutuskan
alam mana yang akan terjadi[43]. Gambaran dari eksperimen
Schrödinger adalah sebagai berikut : Seekor kucing dimasukkan ke dalam sebuah
ruang dengan sebuah alat pencacah Geiger yang berisi cukup materi radioaktif
sehingga dalam satu jam inti mempunyai 50% kesempatan untuk hancur. Di bawah
alat Geiger yang memancarkan bahan
radioaktif itu, sebuah palu yang diletakkan secara khusus akan memecahkan botol
yang berisi gas beracun. Menurut fungsi gelombang Schrödinger, setelah satu
jam, sistem ini akan menghasilkan satu keadaan dimana kucing yang hidup dan
mati “dicampur” dalam posisi yang sama[44].
Kucing Schrödinger. Pada
akhir eksperimen, persamaan matematika memprediksikan bahwa kucing itu akan hidup dan mati dalam proporsi campuran[45].
Realitas pada hakekatnya bersifat mental. Realitas itu ditandai dengan
adanya kebalikan, suatu gambaran tentang realitas karenanya juga dipenuhi
dengan adanya kebalikan-kebalikannya. Seorang ahli nuklir Denmark Neils Bohr
pernah berkata, “Ada
dua jenis kebenaran, yaitu kebenaran yang dangkal, yang kebalikannya jelas
salah. Tapi ada juga kebenaran yang dalam yang kebalikannya sama-sama benar[46].
James Jeans mengatakan bahwa alam semesta lebih tampak sebagai sebuah ide
sempurna daripada sebuah mesin sempurna. Pikiran tidak lagi dipandang sebagai
penyusup asing di dunia materi. Eugene Wigner mengatakan bahwa hasil-hasil
kuantum akan tertentu hanya ketika mereka memasuki kesadaran seseorang[49].
Materi adalah hidup, tidak ada perbedaan antara yang hidup dan yang mati,
antara ruh dan materi, semua bentuk eksistensi sebagai manifestasi-manifestasi
dari “fisik”, dianugerahkan bersama hidup dan spiritualitas. Wujud adalah
tunggal dan tetap. Perubahan-perubahan yang tampak di dunia ini sebagai ilusi-ilusi
murni panca indera[50].
Atom mempunyai bagian yang disebut proton, neutron, dan elektron yang ketiganya merupakan nukleus,
inti dari atom. Elektron sifatnya suka bergerak dan bergeraknya dengan
kecepatan yang sangat tinggi. Oleh karena itu ia aktif, berputar dengan tidak
berakhir di atas garis edar yang tepat dalam atom, seperti perputaran planet di
alam raya. Oleh karena itu elemen yang dapat ditunjuk sebagai jiwa atau zat
hidup adalah elektron[51].
Fisikawan E.H Walker berspekulasi bahwa foton mungkin memiliki
kesadaran dengan mengatakan bahwa kesadaran mungkin terkait dengan semua proses
mekanika kuantum, karena segala yang berlangsung pada akhirnya merupakan akibat
dari satu atau lebih peristiwa mekanika kuantum, alam raya “dihuni” oleh
bermacam-macam kesadaran yang jumlahnya hampir tak terbatas, umumnya berupa
entitas-entitas “non pikir” yang bertanggungjawab atas segala apa yang
berlangsung di alam raya[52]. Hal ini disebabkan
atom-atom bukanlah blok-blok bangunan dasar materi, tetapi merupakan susunan yang
terbentuk dari entitas-entitas yang lebih kecil[53].
Sebuah entitas subatomik memperlihatkan sifat sebuah partikel sekaligus
sebuah gelombang. Ketika berperilaku sebagai partikel, entitas-entitas ini
seolah-olah dibungkus menjadi sebuah volume ruang yang sangat kecil, sesuatu
yang mirip peluru. Ketika berperilaku seperti gelombang entitas-entitas ini
tampak menyebar dalam ruangan pada kawasan yang luas[54].
gelombang partikel
Kemampuan menstrukturkan realitas sangat mirip dengan perilaku acak
partikel-partikel dalam gerak Brown yang dapat dihubungkan dengan
aktifitas-aktifitas manusia atas kemauannya sendiri. Kesadaran dapat
menghasilkan sebuah medan
biogravitasi yang dapat berinteraksi dan mengubah medan gravitasi yang mengendalikan materi[55].
Holisme
Fisika Kuantum
1.
Tinjauan Fisika
Modern
Dunia fisika menurut mekanika kuantum adalah bukan
merupakan struktur yang terbentuk dari entitas mandiri yang tidak bisa
dianalisis, tetapi lebih merupakan jaring hubungan diantara elemen-elemen yang
maknanya akan muncul secara keseluruhan dari hubungannya dengan keseluruhan
yang utuh[56].
Fungsi gelombang menunjukkan dua model perkembangan yang sangat berbeda.
Model pertama adalah sebuah perkembangan halus dan dinamis yang bisa diprediksi
karena sesuai dengan persamaan gelombang Schrödinger. Model yang kedua bersifat
terputus dan melompat-lompat yang disebut keruntuhan fungsi gelombang.
Transmisi dari model pertama ke model kedua disebut lompatan kuantum yang
merupakan keruntuhan yang mendadak dari semua aspek yang berkembang dalam
fungsi gelombang, kecuali satu yang teraktualisasikan (menuju aktualitas
tunggal). Lompatan kuantum juga merupakan lompatan dari satu realitas dengan
dimensi yang tak terbatas ke dalam satu realitas yang hanya berdimensi tiga[57].
Kesadaran manusia yang menyebabkan fungsi gelombang mengalami keruntuhan
adalah introspeksi atau penunjukkan diri (self reference), kesadaran
memberikan pandangan atas keadaannya sendiri, menentang rantai koordinasi
statistik[58].
Karakteristik gelombang dan partikel cahaya disatukan oleh mekanika
kuantum, dan untuk menjelaskan realitas dihubungkan dengan dunia spekulasi
metafisik[59].
Keadaan kuantum tersebut menunjukkkan adanya pandangan integrasionis
yag sangat mengejutkan tentang hubungan antar sistem yang berinteraksi satu
sama lain bagaimanapun jauhnya jarak pisah pada kejadian selanjutnya. Ini
menunjukkan adanya tingkatan realitas yang berada diluar waktu, ruang, energi,
dan materi, tetapi masih memiliki efek kausal terhadap tingkatan realitas material[60], sebagai contohnya adalah
alat-alat terapi kesehatan yang digunakan oleh Dr. Djoko Sasmita di Pesantren
ISITEKS Imogiri yang menggunakan pancaran gelombang sikla yang sifatnya nirkabel
yang menyebabkan pasien dapat didiagnosis penyakitnya dengan sistem tele (jarak
jauh). Alat terapi dengan sistem demikian meniadakan variable ruang sehingga
pemeriksaan dapat dilakukan dimanapun, artinya gelombang terapi berpindah
secara kuantum[61].
Fungsi gelombang menjelaskan realitas fisik pada tingkat yang paling
mendasar (subatom), dunia fisika tampak sebagai substansi yang lengkap (yang
terbentuk oleh benda-benda)[62].
Teori relativitas Einstein menunjukkan bahwa alam raya ini mungkin tampak
seperti kotak besar yang tertutup dan bila demikian kita tidak mungkin “keluar”
dari sana [63]. Alam semesta merupakan
suatu medan
yang mengandung energi, sedangkan energi setara dengan massa , maka boleh dikatakan seluruh ruang
alam berisi “materi”. Materi inilah yang menentukan struktur atau bentuk ruang
alam semesta[64].
Fisika kontemporer memberitahukan bahwa seorang pengamat tidak bisa
melakukan pengamatan tanpa mengubah apa yang ia lihat. Pengamat dengan yang
diamati saling terkait dalam pengertian yang riil dan fundamental, apa yang
dialami bukanlah realitas eksternal tetapi merupakan interaksi kita
dengan realitas itu. Ini yang disebut dengan asumsi fundamental tentang “komplementari
atau saling melengkapi” yang merupakan konsep yang dikembangkan oleh
Niels Bohr untuk menjelaskan dualisme gelombang dan partikel dari cahaya[65].
2.
Eksistensi Materi
Dalam Pandangan Fisika Kuantum
Sejak era Newtonian, para fisikawan telah percaya
bahwa semua fenomena fisik dapat direduksi menjadi sifat-sifat partikel yang
keras dan padat. Namun teori kuantum telah memaksa mereka untuk menerima fakta
bahwa objek-objek material padat fisika klasik lenyap pada level subatomik
menjadi gelombang mirip pola-pola probabilitas yang lebih berupa kemungkinan
saling hubungan (Interkoneksi) antara benda-benda sehingga dikatakan
partikel-partikel subatomik bukan benda[66].
Elektron-elektron yang terdapat di dalam atom hanya
menunjukkan ‘’kecenderungan untuk berada”, dan ini merupakan sifat inheren
dari elektron itu sendiri yang memiliki sifat sebagai partikel dan gelombang[67].
Mekanika kuantum memandang partikel subatomik
sebagai ‘’kecenderungan untuk ada atau kecenderungan untuk terjadi”. Seberapa kuat
kecenderungan itu diekspresikan dengan bentuk probabilitas. Sebuah partikel
subatom disebut kuantum yang berarti sebuah ukuran kuantitas sesuatu[68].
Dunia bukan terdiri atas benda-benda melainkan terdiri atas
interaksi-interaksi sifat-sifat yang merupakan milik interaksi, bukan milik
benda yang secara independen. Niels Bohr menuliskan bahwa mekanika kuantum
secara inti membawa konsekuensi pentingnya pembuangan akhir ide klasik mengenai
sebab akibat dan revisi radikal pada sikap kita terhadap masalah realitas fisik[69].
Einstein berpendapat bahwa seluruh tubuh material di alam semesta selalu
dalam keadaan gerak dan seluruh gerak adalah relatif[70].
Ilmu pada tingkat peristiwa subatom, tidak lagi bersifat “pasti”,
pemisahan antara objektif dan subjektif tidak ada lagi dan batasan perwujudan
alam raya sebagaimana yang diketahui dahulu[71].
Alam tidak menunjukkan balok-balok bangunan apapun yang terisolir,
melainkan lebih memperlihatkan suatu jaringan kompleks hubungan-hubungan
diantara aneka bagian dari sebuah keseluruhan yang utuh.
Partikel-partikel subatomik tidak dapat dimengerti sebagai
entitas-entitas terpisah melainkan harus didefinisikan melalui
interelasi-interelasinya. Henry Stapp mengatakan,“sebuah partikel elementer
bukanlah suatu entitas yang tidak dapat dianalisis dan benda secara bebas. Ia
adalah pada dasarnya setumpuk hubungan yang menjangkau keluar menuju
benda-benda lain Menurut mekanika klasik sifat-sifat dan perilaku bagian-bagian
menentukan keadaan keseluruhan, dalam mekanika kuantum situasinya terbalik
“keseluruhan yang menentukan bagian-bagian tersebut”[72].
Berlakunya hukum-hukum alam menyebabkan semua makhluk, baik ruang kosmos,
atom-atom, molekul-molekul, partikel-partikel, dan seluruh materi yang
tersusun, benda-benda sampai matahari, bumi, bintang, galaksi bimasakti dan
sebagainya berjalan dengan kontinum ruang waktu sesuai dengan penggarisan
hukum-hukum tersebut[73].
3.
Ruang Dan Waktu
Menurut teori relativitas khusus Einstein, waktu bukanlah suatu besaran
mutlak, tetapi relatif, yang bergantung pada keadaan gerak sang pengamat[74], dirumuskan sebagai berikut :
Δt = Δt’ √ 1 – (v/c)2
Waktu yang
diambil untuk kejadian sebagaimana direkam oleh pengamat stasioner pada
kejadian tersebut dinamakan waktu
diri (Δt), sedangkan Δt’ adalah waktu pengamat yang
bergerak dengan kecepatan v, tidak peduli berapa besar atau arah v [75].
Alam semesta tidak akan pernah bisa dipisahkan dari waktu dalam teori
relativitas, lengkungan yang disebabkan oleh gravitasi tidak bisa dibatasi
menjadi ruang tiga dimensi, harus diperluas menjadi ruang waktu empat dimensi.
Waktu tidak mengalir dalam kecepatan yang sama seperti dalam ruang waktu yang
datar [76]. Menurut Einstein
struktur ruang waktu memiliki sifat geometris atau lekukan yang tampak dengan
sendirinya dalam fenomena seperti gravitasi[77]. Ruang dan waktu
membentuk keseluruhan yang terpadu, dan materi energi diidentifikasikan sebagai
kelengkungan ruang[78].
Ruang dan waktu sepenuhnya ekuivalen, mereka digabungkan dalam kontinum
empat dimensi yang didalamnya interaksi-interaksi partikel dapat meregang
kesetiap arah, setiap pengamat dapat mengalami fenomena-fenomena hanya dalam
proses pergantian antar bagian dalam ruang waktu, yakni dengan pola urut yang
sifatnya sementara[79]. Ekuivalensi ruang dan
waktu diwujudkan dalam sebuah persamaan
yang dibuat oleh A.H Lorenzt, dimana koordinat-koordinat ruang x, y, z,
dan koordinat waktu t dihubungkan menjadi sebagai berikut :
s2 = x2 + y2
+ z2 – c2t2
ct
ct’
E x’
x
E merupakan suatu peristiwa yang dikaitkan dalam suatu koordinat (x,y,z,t),
dimana sumbu x mewakili arah ruang dan sumbu ct mewakili waktu
yang diukur dalam unit-unit kompatibel dengan unit-unit pada sumbu x.
bagi pengamat lain yang bergerak relatif terhadap pengamat pertama,
koordinat-koordinat dari peristiwa yang sama ini dapat ditandai dengan sumbu
lengkung x’ dan ct’. Kerucut yang ditentukan oleh s2 = 0, dimana s
adalah ekuivalensi ruang dan waktu empat dimensi, sehingga persamaan di atas
membagi arah ruang dan waktu menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. menyerupai
ruang, dimana s2 = 0
2. menyerupai
waktu masa mendatang, dimana s2 < 0
Sistem koordinat ruang waktu memiliki signifikansi objektif seperti
halnya sebuah kesatuan fisik yang terpisah. Koordinat-koordinat ruang waktu
hanyalah elemen-elemen bahasa yang digunakan seorang pengamat untuk mendiskripsikan
lingkungannya, ruang dan waktu tidak lain adalah nama-nama, bentuk-bentuk
pemikiran, kata-kata dari pemakaian biasa[81], Einstein berpendapat
sebagaimana Minkowski, bahwa ruang dan waktu bukanlah entitas-entitas yang
terpisahkan. Keduanya merupakan sebuah kontinum atau aspek-aspek yang berbeda
dari “sesuatu” yang penting dan sama. Ruang dan waktu hanyalah elemen-elemen
dari sebuah bahasa yang mengekspresikan alam dalam sebuah kerangka acuan[82].
Ruang dan waktu merupakan aspek-aspek yang berbeda dari sesuatu yang sama
yang berisikan sebuah kontinum empat dimensi dimana tidak ada aliran waktu
universal. Pengamat-pengamat yang berbeda akan menatap peristiwa-peristiwa
dalam urutan waktu yang berlainan tergantung pada posisi dan kecepatannya
terhadap peristiwa-peristiwa yang diamati[83] . Jadi setiap ukuran
ruang dan waktu adalah bersifat relatif, setiap spesifikasi spasial tergantung
posisi pengamat dan itu bersifat relatif[84]. Kerelatifan ruang dan
waktu itu dipengaruhi oleh gerak relatif, sehingga ruang dan waktu menurut
teori relativitas dapat berubah dari sistem inertial yang satu ke sistem
inertial yang lain[85].
Ruang dan waktu dibagi menjadi tiga yaitu masa depan, masa lalu, dan masa
yang secara literer berada di luar ruang waktu yang bisa kita sebut berada di
“tempat lain” yang dapat digambarkan dengan kerucut cahaya sebagai berikut :
Masa depan
Tempat lain E Tempat
lain
Masa lalu
Satuan-satuan
ruang dan waktu yang biasa dikehidupan kita sehari-hari, nilai (kelajuan
cahaya) sangat besar. Bagi pengamat di titik E (bisa dikatakan ini adalah masa
sekarang) kerucut cahaya ini menjadi sangat datar. Tempat lain tersebut sebagai
perpotongan maya antara masa lalu dan masa depan sehingga digambarkan sebagai
berikut [86]:
Masa
depan
Masa kini
Masa
lalu
Penghuni alam satu dan dua dimensi khayal ini tidak perlu
‘’berkelana’’ ke dalam ruang yang berdimensi lebih tinggi untuk mengetahui
tentang waktu. Pengukuran kelengkungan dapat seluruhnya dilakukan dengan
menggunakan sistem koordinat pada ruang-ruang itu[87].
Struktur ruang tergantung pada pengaruh fisik, tidak tetap
melainkan penjumlahan sifat-sifat yang dapat diterangkan secara empiris
diantaranya ialah hukum gravitasi, sementara itu waktu adalah
perpindahan-perpindahan simbolik menurut tempat. Waktu yang kita tentukan
dengan jam, hari, bulan, dan tahun tidak lebih dari istilah-istilah yang
menggambarkan peredaran bumi mengelilingi matahari atau lebih tepat semua itu
merupakan istilah tentang berbagai kedudukan dalam hal tempat, sehingga waktu
merupakan satuan yang berubah-ubah yang tidak ada di alam ini yang disebut
“satu waktu” yang bersambung semenjak alam diciptakan sampai sekarang, yang ada
ialah sejumlah waktu. Transformasi di alam ini tidak sanggup membuat persamaan
waktu diseluruh penjuru alam[88].
BAB
III
PEMIKIRAN
TASAWUF
A.
Realitas
Kausalitas
Tuhan dan dunia tidak merupakan dua hakekat yang
sesungguhnya terpisah dan yang ada diluar yang lain, melainkan bahwa Tuhan
sendiri merupakan segala-galanya, sedangkan segalanya itu modus, partisipasi
dalam ketuhanan. Ia tinggal dalam segalanya, segalanya itu bukan Tuhan, melainkan bersifat
Ilahi. Dunia terlebur dalam Tuhan, dunia merupakan bagian dari hakekat-Nya [89].
Adanya dunia ini mustahil tanpa adanya penggerak pertama, sebab musabab
pertama yang mutlak ada, pengatur tertinggi yang kita namakan Tuhan[90].
Tuhan dalam mengatur memiliki dua macam sifat pengaturan yaitu yang
bersifat spiritual (rohaniah) dan material. Firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala
dalam surat
Al-A’raf ayat 54 :
ااِنَّ
رَبَّكُمُ الله ُ الّذِيْ خَلَقَ السَّمَوَتِ وَاْلاَرْضَ فِي سِتَةِ اَيَّامٍ
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى اْلعَرْشِ
Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu dia bersemayam di atas ‘arsy …… [91]
Menciptakan
dalam ayat di atas menunjuk pada penciptaan alam fisikal, sedangkan potongan
kelanjutan ayatnya yaitu :
اَلاَلَهُ
اْلخَلْقُ وَاْلاَمْرُ تَبَرَكَ الله ُ رَبُّ اْلعَلَمِيْنَ
Ingatlah menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah
Maha Suci. Allah Tuhan semesta alam ……[92]
Aspek pengaturan yang berlaku dalam setiap bagian alam maujud
(benda, materi) tidak meragukan bahwa Tuhan alam maujud telah membatasi
ilmu-Nya sebelum alam maujud diciptakan secara menyeluruh dan secara
terinci. Alam maujud (dunia) berjalan dalam dalam tata aturan dengan
tidak tetinggal (terlepas) dan tidak keluar darinya[94].
Dunia terus menerus bergantung pada Tuhan yang tidak berdiri di luar alam
ciptaan-Nya, melainkan dalam segala sesuatu yang ada hadir karena daya
pemeliharaan-Nya, sehingga Tuhan dan materi abadi bersama, hanya saja Tuhan
bersifat tidak berubah, sedangkan materi dapat berubah. Ada dua esensi yang telah ada sejak permulaan,
yaitu bahwa pelaku tidak melahirkan materi tetapi hanya menganugerahkan
eksistensinya kepada mereka[95]. Oleh sebab itu menurut
Ibnu ‘Arabi, bahwa sesungguhnya hanya ada satu zat yang mewujud dalam dirinya
sendiri[96]. Tiada yang benar-benar
ada kecuali Tuhan. Segala yang selain-Nya adalah noneksisten, baik ia berada di
dalam atau di luar diri kita dan segala yang ada di dalam maupun di luar dunia
ini. Segala yang disebut realitas tiada lain adalah realitas dan tidak mungkin
ada dua realitas yang dapat sepenuhnya independen, sebab hal itu akan berarti
bahwa ada dua Tuhan[97].
Abul Hasan Asy’ari berpendapat bahwa eksistensi Tuhan adalah diri (‘ain)
dari sebuah kesatuan dan bukan sebagai tambahan dari luar dan eksistensi dari
makhluq adalah diri dari esensi itu sendiri[98].
Teori emanasi (madzhab syuhudiyyah) menyatakan bahwa Tuhan hadir
dimana-mana. Pengamat memang satu, namun cermin yang memantulkannya amat
banyak. Banyaknya pantulan yang dihasilkan tidak mempengaruhi ke-Esa-an dari
(sumber cahaya) yang dipantulkan oleh banyak cermin. Ia hadir di dalam pantulan
yang ada di setiap cermin[99].
Penciptaan baik dunia maupun maupun bentuk-bentuk terbatas, yang ada di
dalamnya merupakan nama lain dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan
perbuatan-perbuantan-Nya adalah pengejawantahan dari sifat-sifat-Nya[100].
Manusia adalah abstrolabnya© Tuhan. Ditangan seorang
astronom astrolab akan sangat bermanfaat karena siapapun yang mengetahui
dirinya , dia akan mengetahui Tuhannya. Ketika Tuhan membuat mengetahui dirinya
melalui diri orang itu sendiri dia akan mampu menyaksikan pengejawantahan Tuhan
dan keindahan sempurna-Nya saat demi saat dan kedip demi kedip[101].
Menyaksikan pengejawantahan Tuhan dan keindahan
sempurna-Nya dilakukan dalam kondisi spritual ma’rifat yakni pengetahuan
bahwa apapun yang terbayang dalam hati, Tuhan adalah kebalikannya[102] dan
sifat dari orang yang mengenal Allah SWT melalui Nama-Nama serta
Sifat-Sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan muamalatnya kemudian
menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, kemudian menikmati
keindahan dekat dengan-Nya, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua
keadaannya[103].
Orang yang mengalami penyaksian (syahadah)
harus menegasikan dunia dan dirinya sendiri sebagai realitas yang terpisah dan
setelah itu meyakini sepenuhnya bahwa keduanya merupakan pengejawantahan wujud
Tuhan[104] karena
persetujuan dan pertentangan adalah penyebab adanya dualitas. Ketika seseorang
mencapai dunia dimana tidak ada tempat untuk dualitas dan yang ada hanyalah
persetujuan murni maka dia akan melepaskan kategori persahabatan dan permusuhan[105].
Hal di atas adalah suatu pengalaman mistik yang
dialami oleh seseorang yang berjalan untuk mencapai maqam yang tinggi di
sisi Allah SWT. Pengalaman mistik adalah pengalaman menyatu dengan Tuhan atau
jiwa kosmik[106] dengan
hanya membukakan kepadanya dalam jiwa sebagaimana pula dalam alam semesta
karena realitas adalah satu, suatu tindakan bergabung dengan cinta
sepanjang hal itu dilakukan tanpa pamrih, dan ia bergabung dengan pengetahuan
sepanjang ia diiringi dengan kesadaran bahwa Tuhan adalah agen atau pelaku
sejati ; hal yang sama yang berlaku bagi penolakan, vocao deo,
yang hanya dapat berasal dari Tuhan dalam pengertian bahwa kekosongan
mistik memperpanjang kekosongan prinsip[107].
Kemenyatuan
dengan gambaran-Nya adalah sebuah keadaan yang luar biasa, tetapi persatuan
dengan yang tercinta diatas segalanya. Penyatuan yang oleh kalangan sufi
dikatakan sebagai Al-Jam’u yang bisa diartikan sebagai penyatuan
kesaksian yang diperoleh dengan pencarian dalil dengan menggunakan atsar
atas pemberi atsar, dengan menggunakan ciptaan atas pencipta. Semua penciptaan merupakan
kesaksian, dalil, dan atsar[108].
Keseluruhan masalah penciptaan atau manifestasi universal berakar pada
hakekat prinsip Ilahi. Realitas absolut memproyeksikan dunia karena sifat-Nya
yang tak terhingga memerlukannya, yang ingin dikenal melalui, dan di dalam
pemulaan dari relativitas; mengatakan “ciptaan” Nya, bukan Dia “menciptakan”
adalah suatu cara mengekspresikan kemungkinan atau relativitas dunia, dan dalam
pengertian tertentu, melepaskannya dari penyebab transenden. Yang Absolut
adalah realitas tertinggi dalam dirinya sendiri, seperti titik yang tak memuat
apa-apa selain dirinya sendiri, karena ciptan atau manifestasi adalah hakekat
Ilahi; Tuhan tidak dapat mencegah Dirinya sendiri untuk memancarkan, dan karena
itu, untuk memanifesatasikan Dirinya atau mencipta, karena Dia tidak dapat
mengingkari Dirinya yang tak terbatas[109].
Tuhan bagaimanapun juga eksis (ada),dan jika kita menempatkan eksistensi
kita dekat pada eksistensi-Nya, kita akan melihat bahwa kita sepenuhnya berasal
dari-Nya. Dengan demikian kita tidak memiliki eksistensi, kita hanya menerima
pancaran eksistensi-Nya[110].
B. Tinjauan
Mengenai Ruang Dan Waktu
Masa kini merupakan batas antara masa lalu dengan masa mendatang dan ini
disebut barzakh. Barzakh masa kini adalah wahdat[111].
Waktu adalah seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, maupun
yang akan datang. Waktu adalah batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan
untuk bekerja[112]. Kenyataan ilmiah
menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda
dengan sistem gerak yang lain[113].
Waktu merupakan ungkapan tentang kedekatan satu peristiwa dengan
peristiwa lain atau merupakan hubungan antara dua peristiwa. Waktu merupakan
wadah pembentukan secara temporal yang di dalamnya ada kejadian.[114]
Esensi waktu (al-waqt) menurut penelaah ahli hakikat adalah suatu
peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan dengan peristiwa yang
terjadi. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq , “Waktu adalah sesuatu yang anda berada di
dalamya. Kalau anda di dunia, maka waktu anda adalah dunia. Bila di akherat,
maka waktu anda adalah akherat. Ketika anda senang, maka senang itulah waktu
anda. Kalau anda susah, susah itulah waktu anda”[115].
Artinya waktu adalah keadaan yang lebih menguasai manusia, atau waktu adalah
apa yang ada diantara dua masa, lampau dan mendatang[116]. Sebagaimana firman Allah
Subhaanahu Wa Ta’ala dalam surat
Thaha ayat 40, yaitu :
ثُمَّ جِئْتَ
عَلَىَ قَدَرِيَّمُوْسَى
Waktu
yang sebenarnya menurut para sufi adalah tenggelamnya rupa waktu dalam wujud
Allah, jika orang berjalan dengan membawa makna ini, maka dia tenggelam dalam
waktunya, maka semua waktunya tidak akan terasa[118]. Sufi menyebut dirinya
sendiri sebagai “putra waktu” (ibnu al waqt) yaitu ia ditempatkan dalam
kehadiran Tuhan tanpa ada kemarin dan hari esok, dan kehadiran ini tidak lain
adalah refleksi dari kesatuan; yang satu memproyeksikan diri ke dalam waktu
“sekarang” nya Tuhan, yang berbarengan dengan keabadian[119]. Kekinian (sekarang)nya
Ilahi (Tuhan) adalah titik diam yang dalam dirinya sendiri memuat seluruh
gerakan keabadian tanpa awal, azal, menuju keabadian tanpa akhir, abad,
sebagai yang terbatas; sebab bahkan waktupun akan berakhir, karena segala
sesuatu akan musnah dan hanya kekinian Ilahi yang tetap tinggal[120]. Oleh karena itu
menurut Al-Junayd, waktu itu sangat mulia. Jika ia telah lewat maka tak akan
didapatkan kembali. Waktu adalah diantara apa yang telah berlalu dengan yang
bakal datang[121].
Waktu yang dikaitkan dengan cakrawala dunia ciptaan
kita adalah tahapan yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari dan dimana kita
bertindak, tetapi begitu waktu membawa sang pencari keluar dari dirinya sendiri
dia mengalami waktu antusi, waktu ruhaniah, saat ketika pengertian
normal tidak mempunyai arti lagi[122].
Orang sufi membagi waktu menjadi empat golongan,
yaitu :
1.
Orang-orang yang
bersama waktu lampau. Hati mereka senantiasa ada dalam ketetapan Allah, karena
mereka menyadari bahwa hukun azaly tidak bisa dirubah oleh usaha hamba.
2.
Orang-orang yang
bersama waktu mendatang. Pikiran mereka hanya tertuju kepada kesudahan urusan
mereka, karena segala urusan dan amal diukur dari kesudahannya.
3.
Orang-orang yang bersama waktu yang
ada. Perhatian mereka hanya tertuju pada waktu yang ada dan hukum-hukumnya,
sebagaimana yang mereka katakana, “Orang yang arif ialah yang menjadi anak
waktunya, tidak ada waktu lampau dan tidak ada waktu mendatang”.
4.
Orang-orang yang bersama pemilik
waktu, penguasa dan yang menanganinya, yaitu Allah, dan mereka tidak peduli
terhadap waktu itu sendiri. [123]
Orang
cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya. Apabila waktunya adalah
sadar dalam Ilahi ( ash-shahw ) maka ia tegak mandiri dengan syariat.
Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum
hakikat[124]
C.
Tinjauan
Mengenai Alam Semesta
Dunia diciptakan dengan membungkus gagasan-gagasan
Ilahi dengan sosok materi[125]. Kosmos
dan kekuatannya merupakan kumpulan hukum alam semesta yang menggambarkan adanya
kesatuan dibalik penampilan yang beragam sehingga dapat dipergunakan dengan
sebiak-baiknya dalam menyimpulkan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha
Pengatur[126].
Alam sebagai keseluruhan, maupun bagian-bagiannya tersusun. Setiap yang
tersusun mesti baru, selalu berubah-ubah dari satu form (bentuk, rupa, surah)
kepada form yang lain, tidak mungkin mempunyai form yang asli, yang azali, dan
qadim. Kalau tidak mempunyai form berarti tidak mempunyai wujud, karena form
meliputi bentuk, volume, timbangan, warna, bau, rasa, dan sebagainya, sehingga
form kehilangan (tidak mempunyai) wujud, sehingga bentuk tidak pernah memiliki
wujudnya sendiri , ia hanyalah penampakan
dari makna yang berada dibalik penampakan wujud luarnya[127].
Bentuk adalah penampakan luar, makna adalah hakekat yang tidak terlihat,
realitas yang tersembunyi. Makna, hakekatnya hanya Tuhan yang mengetahui.
Masing-masing bentuk memiliki maknanya sendiri-sendiri di dalam Tuhan[128].
Bentuk adalah ruang dan makna adalah tanpa ruang. Keduanya merupakan
aspek luar dan aspek dalam dari realitas tunggal, masing-masing dari keduanya
penting sebagai suatu kesatuan tunggal[129]. Ketika kata “bentuk”
diterapkan, ia senantiasa mengindikasikan akan “makna” yang tersirat dalam
pikiran yang berada diseberang bentuk dan memberinya wujud[130]. Segala penampakan luar
berasal dari keragaman gambaran-gambaran yang tampak. Gambaran yang tercinta
adalah realitas yang tercinta itu sendiri yang berada diseberang
bayang-bayang-Nya sendiri yang lebih nyata dibandingkan dengan realitas dunia.
Unsur-unsur yang sering menunjuk pada pilar-pilar dunia materi merupakan
tujuan-tujuan dasar ontologis yang diberikan pada dunia oleh sifat-sifat
ketuhanan dan menggambarkan pengejawantahan dari nama-nama-Nya[131].
Ibnu Al-‘Arabi memetakan dunia ruhaniah dan menggambarkan strata
perwujudan Ilahi melalui mana esensi Ilahi yang tidak tertembus mengungkapkan
diri-Nya sendiri untuk mengungkapkan konsep ruang waktu yang suci. Wilayah
imajinasi (mundus imajinalis) ditempatkan diantara dunia kerajaan langit
dan kerajaan manusia dimana ia merupakan suatu gudang kemungkinan yang menunggu
realisasi dan dapat dicela oleh ambisi ruhaniah si orang suci[132].
Tatanan Ilahiah sama seperti batas-batas ruang waktu yang tak dapat kita
bayangkan mewajibkan kita untuk menerima Yang Tak Terhingga, dan juga fakta
bahwa eksistensi terkecil adalah absolut dalam hubungannya dengan ketiadaan,
atau fakta bahwa hukum-hukum fisika, matematika, dan logika selalu tetap, pada
analisis terakhirnya memberikan kesaksian tentang Tuhan yang absolut dan
membuat kita tidak ada pilihan lain kecuali menerimanya[133].
D. Hubungan
Antara Subjek Dan Objek Dalam Alam Semesta
Kaum sufi menyatakan bahwa nafs adalah keinginan, qalbu dengan
mengetahui, jiwa dengan pandangan, pandangan dengan perenungan, dan zat dengan
muncul. Zat muncul, maka kita juga muncul dan semua citra berasal dari
kemunculan ini. Karena zat merenung maka kita juga merenung (zikir). Zat
melihat, maka kita juga melihat (sinar adalah tahap jiwa). Zat
mengetahui, maka kita juga mengetahui (tahap qalbu). Zat berkeinginan, maka kita juga
berkeinginan (tahap nafs). Pandangan dan pengetahuan bukan merupakan
bagian-bagian dari jiwa[134].
Zat memandang diri-Nya di dalam sifat dan ini adalah
iluminasi (tajalli). Sifat bagaikan raksa dalam cermin, kemudian
mewujud melalui iluminasi, sehingga menimbulkan kegandaan (dualitas) yang
mewujudkan dirinya sebagai jiwa. Apabila jiwa melihat dirinya sendiri maka hal tersebut
hanyalah mitsal, dan lapisan pada cermin adalah jasad[135].
Setiap orang adalah sebuah miniatur atau mikrokosmos yang merupakan
cerminan dari makrokosmos. Suatu kebenaran universal yang dinamakan hukum alam
yang didasarkan pada akal manusia yang abadi dan universal. Hukum alam mengatur
seluruh manusia, sehingga perbedaan antara ruh dan materi terhapus. Materi
adalah kegelapan yang tidak mempunyai keberadaan yang nyata, sementara itu
cahaya adalah Tuhan[136].
Kosmos bergantung sepenuhnya pada Tuhan untuk eksistensi dan realitasnya.
Setiap kali Tuhan menciptakan sesuatu yang bersifat sementara, Dia menciptakan
secara berpasangan sebagai dua benda yang dikaitkan satu sama lain atau
berlawanan satu sama lain. Tuhan esa dalam esensi dan sifat-sifat. Dia tidak
dapat diperbandingkan dengan setiap orang dan terpisah dari segala benda[137], sebagaimana firman Allah
Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat
Asy-Syuura ayat 11 :
فَاطِرُ
السَّمَوَتِ وَاْلاَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَجًاوَّمِنَ
اْلاَنْعَامِ اَزْوَخًا يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَئٌ وَهُوَ
السَّمِيْعُ اْلبَصِيْرُ
(Dia)
menciptakan langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula),
dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat……[138]
Cara langit dan bumi saling
berhubungan menggambarkan hukum-hukum yang mengatur hubungan-hubungan dalam
segala hal. Ciri yang paling menonjol dari langit dan bumi adalah kenyataan
bahwa mereka dan segala sesuatu yang ada diantara mereka merupakan perangkat
dan kerajaan Tuhan, yang melakukan kontrol mutlak atas mereka. Langit dan bumi
sebagai perwujudan sifat-sifat Ilahi yang saling melengkapi yang tercakup dalam
istilah keagungan dan keindahan[139].
Mikrokosmis adalah
kejayaan tertinggi dari kosmos, sebab ia mengatur makrokosmos melalui
pengetahuan dan kesadarannya[140].
Di dalam kosmos,
cahaya dan kegelapan saling membutuhkan dan tidak terpisahkan satu sama lain.
Meskipun cahaya secara inheen terwujud dalam dirinya sendiri – dalam Tuhan – ia
tidak dapat dilihat dikarenakan itensitas perwujudannya. Ini adalah suatu sifat
yang saling melengkapi dan saling membutuhkan[141]. Firman Allah
dalam surat
An-Nuur ayat 35 :
اَللهُ نُوْرُ السَّمَوَتِ
وَاْلاَرْضِ مَثَلُ نُوْرِهِ كَمِشْكَوةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌ اَلْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍ اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوْكَبٌ
Allah (Pemberi) cahaya
(kepada)langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang
yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca
(dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara ……[142]
Cahaya-Nya hanya
terwujud dalam sebuah lubang yang tak tembus yang merupakan kegelapan.
Tuhan
dimanifestasikan dalam dunia melalui keajaiban eksistensi, dan jurang antara
partikel debu terkecil dan ketiadaan menjadi absolut. Ia memanifestasikan
ketakterhinggaan-Nya apriori lewat kosmik yang mengandung ruang waktu yang
tidak bisa dibayangkan batas-batasnya lebih dari sekedar multiplisitas dan
keragaman dari kandungannya dan Dia memanifestasikan kesempurnaan-Nya melalui
sifat-sifat makhluk dan benda yang melahirkan kesaksian akan arketip mereka dan
karenanya, Kesempurnaan Ilahi[143].
Ilmu
pengetahuan adalah seperti kacamata yang tidak memiliki pengelihatannya
sendiri, akan tetapi ada diantara mata dan benda-benda, sehingga pada jalan
mistis ini ilmu pengetahuan tidak ada gunanya, hanya cahaya kearifan, cahaya
kepastian yang dicapai melalui pengetahuan intuitif yang dapat membantu dalam
mendekati rahasia cinta[144].
Keyakinan
dan ketenangan adalah tujuan fundamental Islam, karena segala sesuatu dimulai
dengan keyakinan, iman kepada Yang Absolut, wujud mutlak, yang memproyeksikan
dan menentukan eksistensi yang “mungkin”.
Keyakinan
adalah menyelamatkan sepanjang ia mulai secara obyektif dan tulus secara
subyektif, yaitu sepanjang obyeknya adalah Yang Absolut dan bukan hanya kontingensi, dan subyeknya adalah hati,
bukan hanya pikiran. Ini adalah esensi dasar manusia yang mengandung
keseluruhan keberadaan dan aktivitasnya; manusia diciptakan untuk meyakini Yang
Absolut dan ia menjadi manusia melalui keyakinannya itu[145].
KEPARALELAN
TASAWUF DAN FISIKA MODERN
Allah Subhaanahu Wa Ta'ala menciptakan alam semesta
ini dalam keadaan selalu bergerak dan terus mengembang sampai pada saatnya
nanti Allah Subhaanahu Wa Ta'ala sendiri yang akan memberhentikannya. Firman Allah
Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat
Adz-Dzariyat ayat 47
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَهَا بِاَ يْدٍ وَاِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ
“Dan langit itu Kami bina dengan kekuatan dan sungguh Kami
mengembangkannya” ……[146]
Alam semesta yang karakternya secara dinamis
bergerak maju ke depan (berkembang) merupakan suatu tanda kehidupan sebagaimana
suasana hati yang selalu bergerak yang menimbulkan inovasi-inovasi dalam
hubungannya antara sesama manusia. Kedinamisan ini menimbulkan
perubahan-perubahan yang menjadi karakteristik dalam dunia mistis, dalam hal
ini tasawuf.
Terjadinya revolusi pemikiran dalam dunia
fisika, dari fisika klasik yang berpondasikan pada pemahaman Newtonian ke
fisika modern yang dikuatkan oleh fisika kuantum dan fisika relativitas,
merubah pola pemikiran para fisikawan dari dunia makroskopis ke dunia
mikroskopis yang ternyata mampu memunculkan penemuan-penemuan yang lebih
mempengaruhi kehidupan manusia, baik itu kemashlahatan maupun kerusakan yang
ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia fisika modern.
Pengaruh fisika modern yang secara dramatis telah meluas
ke kancah pemikiran dan kebudayaan, dimana pengaruh tersebut telah menuntun
pada terjadinya suatu revisi mendasar atas konsepsi manusia tentang alam
semesta dan relasi manusia terhadapnya[147],
tidak terkecuali bidang agama, yang di dalam islam pemikiran-pemikiran fisika
modern ini ada keparalelan dengan pemikiran-pemikiran mistis islam yang dikenal
dengan tasawuf tentang masalah dunia mikroskopis yang materi-materi disini
berada dalam tingkatan ( level ) subatomik, sehingga disebut sebagai
entitas-entitas yang secara eksperimental dapat menunjukkan eksistensi
(keberadaan) mutlak (absolut) yang berada di alam semesta ini yang disebut
sebagai Tuhan sebagai Sang Pencipta.
Fisika modern merupakan akibat dari perkembangan
pemikiran manusia dalam bidang ilmu pengetahuan alam ( fisika ) yang
menimbulkan revisi pemikiran terhadap pandangan fisika klasik yang pondasinya
telah ditancapkan oleh mekanika Newton
yang bersifat reduksionistik, determenistik, dan rasionalistik.
Tasawuf mengandung beberapa pengertian, seperti yang
diungkapkan oleh para sufi, diantaranya yaitu :
1.
Perkataan Al-Junaid ketika ditanya tentang tasawuf,
yang ia menjawabnya,”Tatkala engkau bersama Allah dengan tanpa ada perantara”.
2.
Perkataan Ruwaim bin Ahmad, yaitu “Tasawuf adalah
melepaskan jiwa bersama Allah sesuai dengan apa yang Alah kehendaki”.
3.
Perkataan Abu Muhammad Al-Jariri, “Tasawuf adalah
masuk dalam lingkaran akhlak mulia dan keluar dari akhlak yang rendah”.
4.
Perkataan Amr bin Utsman Al-Makki, yaitu “Hendaknya
seorang hamba setiap saat berada pada sesuatu yang lebih utama dalam waktu
tersebut”.
5.
Perkataan Ali bin Abdurrahim Al-Qannad, “Tasawuf
adalah menyebarkan kedudukan spiritual (sehingga tidak terpaku dengan kedudukan
spiritual tertentu) dan melanggengkan komunikasi dengan Allah (ittishal).
[148]
Pengertian-pengertian mengenai tasawuf sebagaimana
yang diungkapkan oleh para sufi di atas memberi pengertian bahwa tasawuf
didasarkan pada pemahaman langsung ke dalam alam realitas. Sementara itu fisika
didasarkan atas observasi terhadap fenomena-fenomena alam dan
eksperimen-eksperimen ilmiah, yang mana observasi-observasi diinterpretasikan
dan interpretasi itu kemudian dikomunikasikan lewat kata-kata, dimana kata-kata
terlampau abstrak ketika berdekatan dengan realitas maka
interpretasi-interpretasi verbal dari gugusan eksperimen ilmiah atau dari
pemahaman mistik (dalam hal ini tasawuf) pasti tidak akurat dan tidak lengkap.
Kesadaran akan fakta inilah yang menjadi titik temu antara para fisikawan
modern dan sufi[149].
Keparalelan antara tasawuf dengan fisika modern yang
keduanya ada titik temu diantaranya adalah mengenai masalah :
1.
Alam
Semesta
Fisika modern yang dipelopori oleh
munculnya teori mekanika kuantum dan teori relativitas Einstein telah merubah
pandangan dan pemikiran para fisikawan dalam menanggapi keberadaan alam
semesta. Alam semesta tidak lagi dipandang sebagai sebuah mesin raksasa yang
berjalan secara terpisah dengan materi-materi yang berada di dalamnya.
Keberadaan benda-benda di alam semesta saling terkait dan saling melengkapi,
sehingga bisa dikatakan bahwa dunia makrokosmos disifati oleh keseluruhan
mikrokosmos yang membentuk suatu sistem jaringan terkait yang tak terpisahkan.
Keterkaitan ini menyebabkan alam semesta dalam bergerak
selalu mengikuti perubahan-perubahan atau pengaruh-pengaruh yang terjadi
diantara materi-materi mikrokosmos. Hal ini merupakan suatu penyatuan yang
dalam tasawuf disebut sebagai Al-Jam’u yang berarti penyatuan antara
kehendak dan pencarian untuk mendapatkan apa yang dicari[150],
sehingga seorang hamba yang telah menyatu dengan Tuhan dalam artian hamba itu
berakhlak dengan akhlak Tuhan sehingga dalam setiap gerak langkah kehidupannya
selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh Tuhan.
Partikel-partikel subatomik dipandang
bukan sebagai materi namun hanya merupakan entitas-entitas yang mempunyai sifat
kecenderungan untuk ada karena hal itu dapat dideteksi dan dianalisis, terlebih
lagi entitas-entitas itu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi yaitu
dengan kecepatan cahaya atau mendekati kecepatan itu, yang dalam tasawuf
diketahui sebagai eksistensi (keberadaan) yang absolut (mutlak) yaitu Tuhan
yang dapat diketahui karena emanasi-Nya yang termanifestasikan melalui
sifat-sifat, asma’-asma’ Nya serta akhlak-akhlak yang terpancar dan muncul
dalam diri manusia, sehingga manusia dikatakan sebagai cermin yang memantulkan
cahaya sifat-sifat ketuhanan.
Partikerl-partikel subatomik yang selalu
bergerak relatif dengan kecepatan cahaya seperti yang dikatakan teori
relativitas sehingga tidak memungkinkan para fisikawan untuk menentukan posisi
dan mengamati bentuk ataupun warnanya, namun hanya mengetahui sifat-sifatnya
dari efek yang ditimbulkan oleh gerakannya memungkinkan untuk terjadinya
kedinamisan alam semesta, sebagaimana yang dikatakan dalam tasawuf dengan mahw
yang berarti segala yang ditutup dan disirnakan oleh Al-Haq dengan hilangnya
sifat-sifat kebiasaan, dan itsbat yang berarti segala hal yang
dinampakkan dan dijelaskan oleh Al-Haqq dengan menegakkan hukum-hukum ibadat[151]
yang dalam firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala surat Ar-Ra’ad ayat 39 yaitu :
يَمْحُوْا الله ُ مَايَشَاءُ وَيُثْبِتُ
“Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang
Dia kehendaki) ……[152]
Pada sudut pandang yang lain
partikel-partikel subatomik adalah suatu ekuivalensi antara energi dan materi
sebagaimana yang dirumuskan oleh Albert Einstein dengan E = m.c2.
Energi hanya akan dapat dirasakan menjadi massa
apabila berada dalam keadaan bergerak dan tentu saja gerakannya harus dengan
kelajuan yang sangat tinggi ( cepat ) karena bila bergerak lambat tidak akan
dapat dirasakan efeknya dan pengukurannya menjadi kurang akurat. Begitu juga
dengan materi yang bila menumpahkan massanya akan memancarkan radiasi atau
energi yang akan terkuantisasi bila bergerak dengan kelajuan yang tinggi, dan
kelajuan ini setara dengan kelajuan cahaya ( 3 x 108 m/s ) atau
mendekati kelajuan itu. Dengan demikian partikel-partikel subatomik bisa
disebut materi atau benda karena dapat dirasakan atau diukur dalam gerakannya,
namun demikian para fisikawan masih kesulitan dalam menentukan posisi
partikel-partikel subatomik dengan akurat. Ekuivalensi antara massa dan energi
ini ternyata terdapat keparalelan dengan tasawuf, yang memandang hal ini
sebagai fana’dan baqa’ , dimana seorang hamba yang mengalami
fana’ yang berarti kepergian hati, pengasingannya dari alam ini dan
kebergantungannya kepada Zat Yang Maha Tinggi[153]
akan merasa bahwa dirinya sirna dalam lingkup Tuhan dan melebur menjadi suatu
kekuatan tunggal yang akan dapat melakukan penyaksian (musyahadah)
terhadap makhluq bersama Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam arti sirna dengan universalitas[154].
Apabila hamba kembali pada dirinya sendiri maka pancaran Ilahi akan
terlihat dalam sikap dan tingkah lakunya dengan membawa akhlak yang mulia
karena sifat-sifat kotornya telah sirna (fana’) sehingga tidak ada sedikitpun
yang disaksikan, baik alam, kenyataan, pengaruh, rumus atau penundaan, dan ia
abadi bersama Al-Haqq[155].
Terjadinya penyirnaan dan pemunculan dalam keabadian disisi Tuhan yang absolut
yang tak pernah sirna dan memiliki daya pemeliharaan yang sangat dahsyat
mempunyai arti dalam fisika modern, bahwa hamba diasumsikan sebagai massa yang
kokoh yang tersimpan di dalamnya sifat-sifat Rabbaniyah sebagai energi yang
tinggi yang akan terpancar dengan kuat dalam sikap dan tingkah laku.
Ekuivalensi antara materi dan energi ini
ternyata juga memunculkan pandangan bahwa adanya suatu realitas kesadaran
manusia mampu untuk mempengaruhi bahkan menciptakan materi karena adanya konsep
dualitas gelombang – partikel dari cahaya. Hal ini merupakan suatu realitas
bahwa manusia mampu membuat dan menempatkan dirinya sendiri ataupun materi lain
dalam dunia imajiner, dimana dalam tasawuf dikatakan sebagai ghaibah yaitu
keghaiban hati dari segala apa yang diketahui karena adanya faktor yang datang
padanya, sehingga perasaannya tersibukkan oleh keghaiban yang tiba itu.
Kemudian rasa itu dengan sendirinya menjadi ghaib karena faktor yang tiba
akibat mengingat pahala atau memikirkan ancaman dosa[156].
Materi-materi muncul menjadi realitas yang termanifestasikan dalam “fisik” yang
merasuki kesadaran manusia sehingga manusia dapat merubah realitas yang ada.
Dualisme cahaya sebagai gelombang dan
partikel telah menyingkapkan alam semesta sebagai suatu realitas yang bersifat komplementaris
atau saling melengkapi antara pengamat dan yang diamati sehingga seorang sufi
mengalami penyaksian ( musyahadah ) menegasikan dunia dan dirinya
sendiri sebagai realitas yang terpisah. Ini merupakan pengalaman mistik dalam
penyatuan dengan Tuhan dimana memandang realitas hanya satu.
2.
Ruang Dan
Waktu
Ruang dan waktu adalah suatu yang padu
dimana seseorang yang mengamati suatu peristiwa maka ia akan mempengaruhi
peristiwa tersebut. Kondisi semacam ini telah sering dirasakan oleh para sufi
yang melakukan perjalanan spiritual untuk mencapai tahapan ma’rifat, dimana
alam yang dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil
dari awal apa yang muncul dari kekuasaan Keagungan-Nya, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi
telah fana ( sirna ), indera dan perasaanpun menjadi hilang[157].
Ruang dan waktu membentuk keseluruhan
yang terpadu dan bukan merupakan entitas-entitas yang terpisahkan yang
berisikan sebuah kontinum empat dimensi dimana tidak ada aliran waktu universal
sehingga pengamat-pengamat yang menatap peristiwa-peristiwa dalam urutan waktu
yang berlainan akan bergantung pada posisi dan kecepatannya terhadap
peristiwa-peristiwa yang diamati tersebut karena menurut ahli hakekat waktu
merupakan wadah pembentukan secara temporal yang di dalamnya ada peristiwa yang
terbayangkan yang hasilnya dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi.
Menurut teori relativitas, ruang dan
waktu dapat berubah dari sistem inertial yang satu ke sistem inertial yang lain
karena dipengaruhi oleh gerak relatif sehingga dengan diagram kerucut cahaya
waktu dibagi menjadi tiga, yaitu masa depan, masa lalu, dan masa yang secara
literer berada di luar ruang dan waktu yang dalam perspektif sufi hal ini
merupakan strata perwujudan Ilahi melalui mana esensi Ilahi yang tidak
tertembus mengungkapkan dirinya sendiri yang memberikan kesaksian tentang Tuhan
yang absolut ( mutlak ).
Tidak ada
yang disebut “satu waktu” di alam ini, yang ada ialah sejumlah waktu
yang menyebabkan transformasi di alam ini tidak sanggup membuat persamaan waktu
di seluruh penjuru alam sehingga sufi menyebut dirinya sendiri sebagai putra
waktu (Ibnu Al-Waqt) dimana ia memandang tidak ada kemarin dan hari esok
karena ia berada dalam kehadiran Tuhan yang merupakan refleksi dari kesatuan,
menjadikan dirinya masuk ke dalam waktu “sekarang”nya Tuhan, yang berbarengan
dengan keabadian Tuhan.
3.
Penyatuan
Dalam Keberagaman
Fenomena dalam fisika kuantum menunjukkan
bahwa cahaya dapat bersifat sebagai gelombang atau partikel, atau gelombang –
partikel. Pengamat yang melakukan percobaan harus menentukan maksud dan jenis
alat-alat eksperimen yang digunakan serta tujuan akhir yang diinginkan. Hal ini
jelas bahwa pengamat mempengaruhi objek yang dimaksudkan sesuai dengan maksud
pengamatan yang dilakukan walaupun objek yang diamati sama. Ini mengisyaratkan
bahwa manusia ketika ia dzikir kepada Yang Haqq di dalam hatinya, ia
hadir dengan kalbunya bagaikan sebuah partikel diantara sisi Tuhannya sebagai
gelombang yang menjalar pada kawasan yang luas dalam dimensi rasa terhadap
perilaku dirinya. Realitas ini memperlihatkan adanya keterkaian antara pengamat
yaitu Tuhan dan yang diamati sebagai objek yang akan berlaku sebagai sesuatu
apa yang dikehendaki oleh Tuhan terhadap hambanya ketika ia (hamba) bermuwajahah
dengan-Nya sehingga seorang hamba akan sampai pada ma’rifat yang
mengandung kutub objektif yang berkaitan dengan transendensi dan kutub
subjektif yang berkaitan dengan imanensi; disatu pihak ada “kebenaran” ( haqq
) ketajaman Yang Esa ( Tauhid ) dan dipihak lain ada “hati” ( qalb
) atau persatuan-persatuan dengan Yang Esa ( Ittihad )[158].
Kesadaran yang dapat membentuk realitas
yang pada hakekatnya bersifat mental yang dalam mengamati atau menganalisanya
menyebabkan terjadinya gangguan pada realitas itu sendiri sebagaimana yang
ditekankan oleh fisika relativitas dimana ruang dan waktu akan saling terkait
dengan posisi pengamat sehingga kesadaran akan memberikan pandangan atas
keadaannya sendiri, yang memberi pengertian bahwa Tuhan tidak berdiri diluar
alam ciptaan-Nya, melainkan dalam segala sesuatu yang ada hadir karena daya
pemeliharaan-Nya menyebabkan dunia terus menerus bergantung pada Tuhan dan
Tuhan abadi bersama materi yang menyebabkan terjadinya hubungan interaksi satu
sama lain bagaimanapun jauhnya jarak pisah.
Realitas ini berada diluar jangkauan
waktu, energi, dan materi yang masih ada efek kausal terhadap realitas material
sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat Qaaf ayat 16 yang berbunyi :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ
بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ اْلوَرِيْدِ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya”……[159]
.
PENUTUP
Beberapa kesimpulan yang dapat
diambil dalam pembahasan penulisan ini mengenai adanya nilai-nilai tasawuf
dalam fisika modern yang memperlihatkan adanya keparalelan pemikiran yaitu :
1.
Nilai tasawuf dalam kemanunggalan
memberikan pengertian bahwa kekinian Tuhan merefleksikan keberadaan-Nya dalam
aliran ruang – waktu, dimana tidak ada hari esok, ataupun kemarin, dan yang ada
adalah saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan yang
tidak terpengaruh dengan waktu memberikan pemahaman bahwa ruang dan waktu di
alam semesta sifatnya relatif dan terpadu, karena di alam semesta tidak ada
transformasi yang sanggup membuat persamaan waktu di seluruh alam semesta.
2.
Ruang dan waktu sepenuhnya ekuivalen
yang digabungkan dalam kontinum empat dimensi dimana tidak ada aliran waktu
universal yang di dalamnya terdapat interaksi-interaksi partikel yang meregang
ke setiap arah dimana setiap pengamat dapat mengalami fenomena-fenomena hanya
dalam proses pergantian antar bagian dalam ruang dan waktu sehingga ukuran
ruang dan waktu bersifat relatif karena dipengaruhi oleh gerak relatif.
3.
Adanya keparalelan atau kesejajaran
antara pemikiran dalam tasawuf dan fisika modern mengenai materi di dalam alam
semesta memunculkan pola pemikiran yang bercorak mistis sehingga menimbulkan
nilai-nilai pemikiran tasawuf dalam fisika modern mendorong manusia untuk
selalu berfikir dan berusaha menemukan kesejatian dan kesempurnaan melalui
tanda-tanda kemahaan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala yang terhampar di alam semesta
terutama dunia mikrokosmos atau materi dalam tingkatan subatom yang menunjukkan
bukti eksistensi mutlak Dzat Yang Maha Hidup yang dapat diketahui melalui
emanasi-Nya yang terpancar dalam setiap makhluq terutama manusia dengan membawa
sifat-sifat dan akhlak-akhlak Tuhan.
B. Implikasi
Berdasarkan uraian-uraian diatas
tentang fisika modern dan tasawuf yang dalam pemikirannya masing-masing dalam
memandang alam semesta dan fenomena yang terjadi di dalamnya terutama mengenai
ruang dan waktu terdapat keparalelan-keparalelan dimana nilai-nilai tasawuf
masuk dalam pola pemikiran fisika modern yang berusaha untuk merasionalkan
segala sesuatu yang bersifat mistis.
Keparalelan-keparalelan ini
mengisyaratkan adanya integrasionalitas antara ilmu pengetahuan yang
dikembangkan manusia untuk menggali potensi alam semesta dengan berbagai macam
metode dengan agama (islam) yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits,
sehingga tercapai satu titik temu dimana keduanya akan sampai pada satu
permasalahan yang mengarah pada sesuatu yang tunggal dan mutlak yang tak akan
pernah sirna.
Integrasi ini tidak hanya membuat ilmu-ilmu agama sebagai filter bagi
ilmu pengetahuan agar berkembang tidak melenceng dari hukum-hukum agama,
sehingga dalam perkembangannya ilmu pengetahuan tidak membuat kerusakan dimuka
bumi, namun lebih jauh dari itu bahwa ilmu pengetahuan terutama fisika modern
dapat dijadikan sebagai suatu tafsir bagi kitab suci Al-Qur’an untuk mengetahui
hakekat tertinggi dalam kehidupan, yaitu keberadaan mutlak Allah Subhaanahu Wa
Ta'ala. Dunia dipandang sebagai suatu keseluruhan yang terpadu yang di dalamnya
terdapat kesalingtergantungan
fundamental semua fenomena dan fakta.
C. Saran
Terjadinya keperalelan antara
tasawuf dengan fisika modern, dimana terdapat nilai-nilai tasawuf dalam fisika
modern belum sepenuhnya menjelaskan secara rinci pengaruh tasawuf dalam fisika
modern, maka penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1.
Dalam
meninjau suatu ayat Al-Qur’an dan hadits yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan
alam jangan hanya melihat bahwa ayat atau hadits itu sebagai dalil saja tetapi
kita harus benar-benar merenungi isi kandungan di dalamnya.
2.
Kaum muslimin dan muslimat terutama
akademisi yang bergerak dalam bidang ilmu pengetahuan alam (fisika) sebaiknya
mampu untuk mengintegrasikan fisika dalam kehidupan bermasyarakat maupun
kehidupan spiritual pribadinya, karena pandangan ilmu pengetahuan telah
bergeser dari dunia mekanistik ke dunia holistik.
3.
Perlu kiranya ada penelitian lanjutan
untuk mengkaji lebih dalam mengenai hubungan tasawuf dan fisika modern untuk
lebih memantapkan keyakinan dalam mencapai hakekat tertinggi dalam kehidupan
dan lebih mengetahui secara mendalam mengenai keintegralan ilmu pengetahuan dan
ilmu-ilmu keagamaan.
[1] Jostein Gaarder, Dunia Sophie,
Bandung, Pustaka Mizan, 2004, hlm.195
[2] Ibid, hlm.224
[3] Ibid, hlm.226 – 227
[4] Arthur Beiser, The Meinstream of Physics, USA,
Addison-Wesley Publishing Company,Inc, 1961, hlm.72
[5] Loc.cit, hlm.231
[6] Loc.cit, hlm. 75
[7] Jostein Gaarder, Dunia Sophie,
Bandung, Pustaka Mizan, 2004, hlm. 233
[8] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta ,
Jalasutra, 2001, hlm. 57
[9] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan, Bandung , Pustaka Mizan, 2002, hlm. 146
[10] Loc.cit, hlm. 56
[11] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta ,
Jalasutra, 2001, hlm. 56
[12] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Master, Yogyakarta ,
Kreasi Wacana, 2003, hlm. 24
[13] Michel Tabolt, Mistisisme Dan Fisika
Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 30
[14] Ibid, hlm. 5
[15] Budi Widianarko, Menelusuri Jejak Capra, Yogyakarta ,
Penerbit Kanisius, 2004, hlm. 108
[16] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Master, Yogyakarta ,
Kreasi Wacana, 2003, hlm. 25 - 28
[17] Stephen Hawking, Riwayat Sang Kala, Jakarta , PT. Pustaka Utama Grafiti, 1995,
hlm.13
[18] Ibid, hlm. 19
[19] Frtjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta ,
Jalasutra, 2004, hlm.55
[21] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika
Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 96
[22] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta ,
Kreasi wacana, 2003, hlm. 22–23
[23] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan, Bandung , Pustaka Mizan, 2002, hlm. 146
[25] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein, Yogyakarta ,
PT. Tiara Wacana, 1996, hlm. 33
[26] Stephen Hawking, Riwayat
Sang Kala, Jakarta ,
PT. Pustaka Utama Grafiti, 1995, hlm. 13 – 14
[27] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta ,
Kreasi wacana, 2003, hlm. 23
[28] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta ,
Jalasutra, 2001, hlm. 4
[29] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan, Bandung , Pustaka Mizan, 2002, hlm. 15
[30] Kenneth Krane, Fisika Modern, Jakarta , UII Press, 1992, hlm. 145
[31] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein, Yogyakarta ,
Tiara Wacana, 1996, hlm. 68
[32] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan, Bandung , Mizan, 2002, hlm. 162 – 163
[33] Ibid, hlm. 172
[34] Stephen Hawking, Riwayat Sang Kala, Jakarta , PT. Pustaka Utama Grafiti, 1995,
hlm.13
[35] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika
Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm.194
[36] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein,
Yogyakarta, Tiara Wacana, 1996, hlm. 70
[37] Sandi Setiawan, Kiprah Dan Gelegar Relativitas Einstein, Yogyakarta , Andi Offset, 1992, hlm. 5
[38] Loc.Cit, hlm. 69 – 71
[39] Sudi Ariyanto, Membelah Massa Menuai Energi, Yogyakarta , Bernas, 15 Agustus 2004, hlm.3
[40] Abdul Kadir, Energi, Jakarta ,
UI Press, 1995, hlm. 165-166
[41] Anwar Budianto, Pengantar Laser, Yogyakarta ,
STTNas Yogyakarta Jurusan Elektro, 1995, hlm. 1
[42] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta ,
Jalasutra, 2001, hlm. 64
[43] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika
Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm.195
[44] Ibid, hlm. 35
[45] Ibid, hlm. 36
[46] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung , Mizan, 1996, hlm. 400
[48] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta ,
Kreasi Wacana, 2003, hlm. 36
[49] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan,
Bandung, Mizan, 2002, hlm. 168
[50] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta ,
Jalasutra, 2001, hlm. 7 – 8
[51] Muhammad Sholeh, Tahajud, Yogyakarta ,
Pustaka Pelajar,2002, hlm.169 – 170
[52] Loc.Cit, hlm. 75
[53] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika
Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 61
[54] Ibid, hlm. 93
[55] Ibid, hlm. 89
[56] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta ,
Kreasi Wacana, 2003, hlm. 38
[57] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta ,
Kreasi Wacana, 2003, hlm. 90-91
[58] Ian G Barbaour, Juru Bicara tuhan, Bandung , Mizan, 2002, hlm. 168
[59] Loc.Cit, hlm. 96
[60] Loc.Cit, hlm. 175
[61] Itut Seventina, Teori Kuantum Dan Gelombang Sikla : Apa Itu ?,
Jakarta ,
Majalah Aisya, April 2004, hlm. 69
[62] Ibid Loc.Cit, hlm. 98
[63] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta ,
Kreasi Wacana, 2003, hlm. 102
[64] RHA Syahirul Alim, Achmad Baiquni, dan AM Lutfi, Islam Untuk
Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam Dan Teknologi, Jakara, Depag RI, 1995, hlm.
108
[65] Loc.Cit, hlm. 111
[66] Fritjof Capra, Jaring-Jaring Kehidupan, Yogyakarta ,
Fajar Pustaka, 2002, hlm. 48 – 49
[67] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika
Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 98
[68] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta ,
Kreasi Wacana, 2003, hlm. 37-39
[69] Ibid, hlm. 134
[70] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein, Yogyakarta ,
Tiara Wacana, 1996, hlm. 56
[71] Loc.Cit Ibid, hlm. 136
[72] Fritjof Capra, Jaring-Jaring Kehidupan, Yogyakarta ,
Fajar Pustaka, 2002, hlm.50
[73] RHA Syahirul Alim, Ahmad Baiquni, AM Lutfi, Islam Untuk Disiplin
Ilmu Pengetahuan Alam Dan Teknologi, Jakarta, Depag RI, 1995, hlm. 114
[74] Hans J. Wospakrik, Berkenalan Dengan Teori Kerelativan Umum
Einstein Dan Biografi Albert Einstein, Bandung , ITB Press, 1987, hlm. 98
[75] Kennet Krane, Fisika Modern, Jakarta , UI Press, 1992, hlm.33 – 34
[76] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta ,
Jalasutra, 2001, hlm. 205
[77] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika Baru, Yogyakarta ,
Pustaka Pelajar Offset, 2002, hlm. 100
[78] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan, Bandung , Mizan,2002, hlm. 177
[79] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta ,
Jalasutra, 2001, hlm. 217 – 218
[80] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika Baru, Yogyakarta ,
Pustaka Pelajar Offset, 2002, hlm. 119 - 121
[81] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta ,
Jalasutra, 2001, hlm. 191
[82] Loc.Cit, hlm. 119
[83] Ibid Loc.Cit, hlm. 99 – 100
[84] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta ,
Jalasutra, 2001, hlm. 189
[85] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein, Yogyakarta ,
Tiara wacana, 1996, hlm. 54
[86] Loc.Cit, hlm. 121`1
[87] Kenneth S Crane, Fisika Modern, Jakarta , Universitas Indonesia Press, 1992,
hlm. 640
[88] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein, Yogyakarta ,
Tiara wacana, 1996, hlm. 57 – 60
[89] P.J Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Jakarta , PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000,
hlm. 2 – 3
[90] Ibid, hlm. 5
[91] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang , CV. ALWAAH,
1995, hlm. 230
[92] Ibid
[93] William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, Yogyakarta ,
Qalam, 2002, hlm. 63
[94] Abu Bakar Al-Jazairi, Pemurnian Akidah, Jakarta , Pustaka Amani, 2001, hlm. 558
[95] Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana, Jakarta , PT. Raja
Grafindo Persada, 1996, hlm. 30
[96] Ibid, hlm. 35
[97] William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, Yogyakarta ,
Qalam, 2002, hlm. 272
[98] Loc.Cit, hlm. 39
[99] Ibid Loc.Cit, hlm. 40 – 42
[100] Loc.Cit, Yogyakarta , Qalam,
2002, hlm. 69
© Astrolab adalah alat kuno untuk menggambarkan altitude
[101] Ibid Loc.Cit, hlm. 44
[102] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik
Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000, hlm.166
[103] Imam Al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya , Risalah Gusti,
1997, hlm. 390
[104] William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, Yogyakarta ,
Qalam, 2002, hlm. 272
[105] Jalaluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya,
Bandung ,
Pustaka Hidayah, 2001, hlm. 280
[106] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung , Mizan, 1996, hlm. 157
[107] Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang
Inti, Jakarta ,
PT. Raja grafindo Persada, 2002, hlm. 178
[108] Ibnu Qayyim Al-Jauzy, Madarijus Salikin, Jakarta , Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm. 460
[109] Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang
Inti, Jakarta ,
PT. Raja grafindo Persada, 2002, hlm. 184
[110] Loc.Cit, hlm. 262
[111] Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana, Jakarta , PT. Raja
Grafindo Persada, 1996, hlm. 44
[112] M Quraisy Shihab, Lentera Hati, Bandung , Mizan, 1994, hlm. 112
[113] Ibid, hlm.417
[114] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin, Jakarta , Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm.390
[115] Imam Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya , Risalah Gusti,
1977, hlm.20
[116] Loc.Cit
[117] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang , CV. ALWAAH,
1995, hlm. 479
[118] Loc.Cit, hlm. 393
[119] Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang
Inti, Jakarta ,
PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 181
[120] Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, Bandung , Mizan, 1997,
hlm. 132 – 133
[121] Abu Nashr As-Sarraj, Al-Luma’, Surabaya , Risalah Gusti, 2002, hlm. 680
[122] Loc.Cit, hlm. 132
[123] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin, Jakarta , Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm.391 –
392
[124] Imam al-Qusyairy an-naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya , Risalah Gusti,
2001, hlm. 22
[125] Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana, Jakarta , PT. Raja
Grafindo Persada, 1996, hlm. 44
[126] Zaky Mubarok Latif, dkk, Akidah Islam, Yogyakarta ,
UII Press, 1998, hlm. 96
[127] Syekh Nadim Al-Jisr, Kisah Mencari Tuhan, Jakarta , Bulan Bintang, 1994, hlm. 233
[128] William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, Yogyakarta ,
Qalam, 2002, hlm. 29 – 30
[129] Ibid, hlm. 37
[130] Ibid, hlm. 379
[131] Ibid, hlm. 74 – 75
[132] Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, Banduung,
Mizan, 1997, hlm. 114
[133] Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyinkap Tabir Mencari Yang
Inti. Jakarta .
PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 185
[134] Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana, Jakarta , PT. Raja
Grafindo Persada, 1996, hlm. 61
[135] Ibid, hlm. 66 – 67
[136] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung , Mizan, 1996, hlm. 156 – 157
[137] Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung , Mizan, 2000, hlm. 166
[138] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang , CV. ALWAAH,
1995, hlm. 784
[139] Loc.Cit, hlm. 173 – 175
[140] Ibid Loc.Cit, hlm. 199
[141] Ibid Loc.Cit, hlm. 216
[142] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang , CV. ALWAAH,
1995, hlm. 550
[143] Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang
Inti, Jakarta ,
PT. Grafindo Persada, 2002, hlm. 188
[144] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta , Pustaka Firdaus,
2000, hlm.179
[145] Loc.Cit, hlm.190 – 191
[146] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang , CV. ALWAAH,
1995, hlm. 862
[147] Frtjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta ,
Jalasutra, 2001, hlm. 3
[148] Abu Nashr As-Sarraj, Al-Luma’, Surabaya , Risalah Gusti, 2002, hlm.53
[149] Loc.Cit, hlm.35
[150] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin, Jakarta , Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm.460
[151] Imam al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya , Risalah Gusti,
2001, hlm. 49
[152] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang , CV. ALWAAH,
1995, hlm. 376
[153] Loc.Cit, hlm. 453
[154] Loc.Cit, hlm. 36
[155] Ibid, Loc.Cit
[156] Ibid, hlm. 42
[157] Abu Nashr As-Sarraj, Al-Luma’, Surabaya , Risalah Gusti, 2002, hlm. 74
[158] Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang
Inti, Jakarta ,
PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 178
[159] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang , CV. ALWAAH,
1995, hlm. 852
0 komentar:
Posting Komentar