Filsafat
Hukum Mu’amalah
(Ekonomi
Islam)
Abstract
Islam
is universal religion. Islam not only religion but also the way of life,
because islam have system to arrange everthing about human live. Such as
relation between people and his God (ALLAH)dan relation man to man. One
of system islam is economic sharia, it’s principled from alquran, sunnah,
tradition salaf shalih and ijtihad.
Keyword:
Islam, system, religion, relation, economi, sharia.
Pendahuluan
Islam
adalah agama yang universal dan komprehensif. Universal berarti bahwa Islam
diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia di muka bumi dan dapat diterapkan
dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman. Komprehensif artinya bahwa
Islam mempunyai ajaran yang lengkap dan sempurna (syumul). Kesempurnaan ajaran Islam, dikarenakan Islam
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek spiritual (ibadah
murni), tetapi juga aspek mu’amalah yang meliputi ekonomi, sosial, politik,
hukum, dan sebagainya. Sebagai ajaran yang komprehensif, Islam meliputi tiga
pokok ajaran, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak. Hubungan antar aqidah,
syari’ah dan akhlak dalam sistem Islam terjalin sedemikian rupa sehingga
merupakan sebuah sistem yang komprehensif. Syariah Islam terbagi kepada dua
yaitu ibadah dan mu’amalah. Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan
keharmonisan hubungan manusia dengan khaliq-Nya. Mu’amalah dalam pengertian
umum dipahami sebagai aturan mengenai hubungan antar manusia.
Salah satu
aspek penting yang terkait dengan hubungan antar manusia adalah ekonomi.
Ajaran Islam tentang ekonomi memiliki prinsip-prinsip yang bersumber Al-Quran
dan Hadits. Prinsip-prinsip umum tersebut bersifat abadi, seperti prinsip
tauhid, adil, maslahat, kebebasan dan tangung jawab, persaudaraan, dan
sebagainya. Prinsip-prinsip ini menjadi landasan kegiatan ekonomi di dalam
Islam yang secara teknis operasional selalu berkembang dan dapat
berubah sesuai dengan perkembanga zaman dan peradaban yang dihadapi manusia.
Oleh karena itu pentingnya mengetahui filsafat hukum mu’amalah yang dalam hal
ini mengenai ekonomi islam yang akan dibahas dalam makalah ini.
1.
Pengertian Filsafat
Filsafat
berasal dari kata Yunani, yaitu philosophia,
gabungan antara philein yang berarti
mencintai, dan sophia berarti
kebijaksanaan. Orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan filsafat disebut
filsuf atau filosof artinya pencinta kebijaksanaan[1]. Selain itu, dalam
bahasa Arab dikenal kata hikmah yang hampir sama dengan arti kebijaksanaan,
kata hikmah atau hakiem dalam bahasa
Arab dipakai dalam pengertian falsafah
dan failasuf, namun tidak semua kata
hikmah atau hakiem dapat diartikan falsah atau filsuf [2].
Menurut
Filsuf Yunani Plato ( 427-347 SM) yang pendapat bahwa, filsafat itu
adalah pengetahuan tentang segala yang ada[3]. Adapun Istilah filsafat
pertama kali dikenalkan oleh Pythagoras (497 SM) istilah ini dipakai oleh
Pythagoras sebagai reaksi terhadap orang-orang cendikiawan pada masanya yang
menamakan dirinya sebagai “ahli pengetahuan”[4].Selain itu, Filsuf
Heroklaitos (540-480 SM) sudah memakai kata falsafat untuk menerangkan hanya
tuhan yang mengetahui hikmah dan pemilik hikmah, manusia harus puas dengan
tugasnya di dunia sebagai pencari dan pencipta hikmah[5].
Definisi
filsafat secara terminologi memiliki berbagai macam pengertian. Para filsuf
mendefinisikan sesuai dengan latarbelakang pemikiran kefilsafatan yang
dimilikinya, seperti : Socrates (469 – 399 SM) : filsafat adalah suatu
peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari
kehidupan yang adil dan bahagia (principles
of the just and happy).,Plato ( 428 -348 SM ) : filsafat merupakan
pencarian yang bersifat spekulatif atau perekaan terhadap pandangan tentang
kebenaran[6],
Maka
filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari
solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika
bahasa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah studi tentang seluruh
fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam
konsep mendasar[7].
2.
Pengertian Hukum Mu’amalah dan
Ekonomi Islam
Hukum mu’amalah merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata “mu’amalah”.
Kedua itu secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan
terdapat dalam Al-Qur’an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia. “ hukum mu’amalah” sebagai suatu
rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai. Dalam
bahasa Indonesia kata ‘hukum’ secara mandiri menurut Amir Syarifuddin adalah
seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok
masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu,
berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya[8].
Adapun mu’amalah dari kata ‘amala
yu’amilu mu’amalatan yang berarti: beraksi, bekerja, berproduksi, namun
biasanya dengan kaitan hukumnya kata “mu’amalah”
di sandingkan dengan kata “fiqh”
yang secara bahasa berarti “ pemahaman” [9].
Adapun pengertian ekonomi islam yang terdiri dari dua kata ekonomi dan islam.
Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia
yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan
jasa. Istilah "ekonomi" sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu
οἶκος (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan νόμος (nomos)
yang berarti "peraturan, aturan, hukum". Secara garis besar, ekonomi
diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga."
Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah orang
menggunakan konsep ekonomi dan data dalam bekerja[10].
Menurut
M.Akram Kan ekonomi islam adalah “Islamic
economics aims the study of he human falah (well-being) achieved by organizing
the resources of the earth on the basic of cooperation and participation”.
Secara lepas dapat diartikan bahwa ilmu ekonomi islam bertujuan untuk melakukan
kajian tentang kebahagian hidup manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan
sumber daya alam atas dasar bekerja sama dan partisipasi. Definisi yang
dikemukakan Akram Kan memeberikan dimensi normative (kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat) serta dimensi positif (mengorganisasi sumber daya alam)[11].
Mengenai kaitannya dengan ekonomi dan mu’amalah yaitu dimana kedua kata
tersebut erat kaitannya dengan masalah pendistribusian sumberdaya alam
khususnya harta sehingga kajian ekonomi islam menjadi bagian dari kajian fiqh
mu’amalah. Menurut Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa kajian fiqh mu’amalah
itu mencakup pembahasan tentang ketentuan-ketentuan hukum mengenai kegiatan
perekonomian, amanah dalam bentuk titipan dan pinjaman, ikatan kekeluargaan,
proses penyelesaian perkara lewat pengadilan dan bahkan soal distribusi harta
waris[12]. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa fiqh
mu’amalah adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum tentang usaha-usaha
memperoleh dan memperkembangkan harta, jula beli, hutang piutang, dan jasa
penitipan di antara anggota-anggota masyarakat sesuai keperluan mereka, yang
difahami dari dalil-dalil syara’ yang terinci[13].
3. Filsafat
Hukum Mu’amalah (Ekonomi Islam)
Filsafat
ekonomi, merupakan dasar dari sebuah sistem ekonomi yang dibangun. Berdasarkan
filsafat ekonomi yang ada dapat diturunkan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai, misalnya tujuan kegiatan ekonomi konsumsi, produksi, distribusi,
pembangunan ekonomi, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dsb. Filsafat ekonomi
Islam didasarkan pada konsep triangle: yakni filsafat Tuhan, manusia dan alam.
Kunci filsafat ekonomi Islam terletak pada manusia dengan Tuhan, alam dan
manusia lainnya. Dimensi filsafat ekonomi Islam inilah yang membedakan ekonomi
Islam dengan sistem ekonomi lainnya kapitalisme dan sosialisme. Filsafat
ekonomi yang Islami, memiliki paradigma yang relevan dengan nilai-nilai logis,
etis dan estetis yang Islami yang kemudian difungsionalkan ke tengah tingkah
laku ekonomi manusia. Dari filsafat ekonomi ini diturunkan juga nilai-nilai
instrumental sebagai perangkat peraturan permainan (rule of game) suatu kegiatan[14].
Salah satu poin yang menjadi dasar perbedaan antara sistem
ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah pada falsafahnya, yang
terdiri dari nilai-nilai dan tujuan. Dalam ekonomi Islam, nilai-nilai
ekonomi bersumber Al-Quran dan hadits berupa prinsip-prinsip universal. Di saat
sistem ekonomi lain hanya terfokus pada hukum dan sebab akibat dari suatu
kegiatan ekonomi, Islam lebih jauh membahas nilai-nilai dan etika yang
terkandung dalam setiap kegiatan ekonomi tersebut. Nilai-nilai inilah yang selalu
mendasari setiap kegiatan ekonomi Islam.
Sistem ekonomi islam sangat berbeda dengan ekonomi
kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi islam bukan pula berada di
tengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan
kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua
tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrem, ekonomi Islam
menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di
transaksikan[15]. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan
kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap
pelaku usaha
Dasar
syariah membimbing aktivitas ekonomi, sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah
syariah. Sedangkan akhlak membimbing aktivitas ekonomi manusia agar
senantiasa mengedepankan moralitas dan etika untuk mencapai tujuan. Akhlak yang
terpancar dari iman akan mebnentuk integritas yang membentuk good corporate governance dan market disiplin
yang baik[16].
Filsafat
hukum fiqh mu’amalah atau falsafah
al-tasyri’ fi al-mu’amalat istilah sesuatu yang berkaitan dengan hukum
islam meliputi tujuan hukum (maqashid),
prinsip hukum (mabadi’ atau mahiyat), asas hukum atau usus al-hukm , kaidah hukum, dan washatiyyat wal harakiyah fi alhukm[17].
Sedangkan Hasbi Ash Shiddieqy menambahkan ciri khas, serta watak dan
tabi’at yang merupakan landasan pembentukan dan pembinaan hukum islam[18].
Maka berdasarkan hal tersebut dalam makalah ini penulis akan membahas
tujuan,prinsip, asas, kaidah, dan ciri khas serta tabi’at sebagai substansi
dari filsafat hukum mu’amalah.
A.
Tujuan
Tujuan
disyari’atkannya ketentuan-ketentuan hukum dalam bidang ini adalah dalam rangka
menjaga kepentingan orang-orang mukallaf terhadap harta mereka, sehingga tidak
dirugikan oleh tindakan orang lain, dan dapat memanfaatkan harta miliknya itu
untuk memenuhi kepentingan kehidupan mereka. Bahkan lebih jauh mereka dapat
memperkembangkannya dengan baik tanpa dihadapkan pada kendala-kendala negatif
yang dapat menekan dinamika pengembangan harta tersebut, dengan sikap
eksploitatif kelompok lainnya[19].
Menurut
Atang Abd Hakim tujuan hukum berarti almaslahat
adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai-nilai islam,
yaitu keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmat li al-‘alamin), sehingga
masyarakat Indonesia masa depan mengalami peningkatan kesejahteraan ekonomi di
atas landasan prinsip syari’ah. Pemerataan kesejahteraan tidak berarti tingkat
kesejahteraan masyarakat harus sama, tetapi kesejahteraan yang berkeadilan,
kesejahteraan yang proporsional, yaitu kesejahteraan material dan immaterial[20].
Tujuan ini diupayakan pencapaiannya oleh perbankan syari’ah dengan berpedoman
kepada prinsip syari’ah. Hal ini sesuai dengan teori manfaat yang dikembangkan
oleh Jeremy Bentham yang mengatakan bahwa manfaat umum adalah asas dalam
mencapai kebaikan publik[21].
Perwujudan
al-hajjat di ranah ekonomi perbankan
syari’ah bertujuan memelihara harta agar terjaga kehalalan dan kesucian (حلال طيبا ) sehingga
keturunan terpelihara dari konsumsi barang yang haram.hal ini, karena ragam hajjat di ranah ekonomi perbankan
syari’ah merupakan bagian dari prinsip hukum islam bidang mu’amalah[22],
yang bertujuan meraih kebaikan dan kemaslahatan masyarakat.
B.
Prinsip
1)
Prinsip
aqidah, atau prinsip tauhid. Prinsip ini merupakan fondasi hukum Islam, yang
menekankan bahwa:
a)
Harta
benda yang kita kuasai hanyalah amanah dari Allah sebagai pemilik hakiki.
Kitaharus memperolehnya dan mengelolanya dengan baik (al-thayyibat) dalam rangka dan mencari kemanfaatan karunia Allah (ibtigha min fadhillah).
b)
Manusia
dapat berhubungan langsung dengan Allah. Ekonomi Islam adalah ekonomi yang
berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir
kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at Allah[23].
2)Prinsip Keadilan, Mencakup seluruh aspek kehidupan,
merupakan prinsip yang penting[24]. Sebagaimana Allah memerintahkan adil
di antara sesama manusia dalam banyak ayat antara lain.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (Qs.An-Nahl: 90)
“Apa
saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal
dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Qs.Al-Hasyr: 9)
3)
Prinsip
Al-Ihsan (berbuat kebaikan),
pemberian manfaat kepada orang lain lebih daripada hak orang lain itu.
4)
Prinsip
Al-Mas’uliyah (accountabillty),
pertanggung jawaban yang meliputi beragam aspek, yakni: pertanggung jawaban
anttara individu dengan individu (mas’uliyah
al-afrad), pertanggung jawaban dalam masyarakat (mas’uliyah almujtama’). Manusia dalam masyarakat diwajibkan
melaksanakan kewajibannya demi terciptanya kesejahteraan anggota masyarakat
secara keseluruhan serta tanggung jawab pemerintah (mas’uliyah al-daulah) tanggung jawab ini berkaitan dengan baitul
mal[25].
5)
Prinsip
keseimbangan Prinsip Al-Wasathiyah
(al-‘itidal, moderat, keseimbangan), syariat islam mengakui hak pribadi
dengan batas-batas tertentu. Syari’at menentukan keseimbangan kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat. Hal ini tampak dari beberapa firman Allah
yang artinya:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا
تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا ﴿٢٩﴾
Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (Qs.
al-israa: 29)
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا
إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا ﴿٢٧﴾
Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya. (Qs.Al-Israa: 27)
وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ
مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا
أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ
كُلُوا مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا
تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ﴿١٤١﴾
Dan
Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung,
pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya
(yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan
(Qs.Al-An’am: 141)
6)
Prinsip
kejujuran dan kebenaran. Prinsip ini merupakan sendi akhlakul kariimah.
a)
Prinsip
transaksi yang meragukan dilarang, akad transaksi harus tegas, jelas dan pasti.
Baik benda yang menjadi objek akad, maupun harga barang yang diakadkan itu.
b)
Prinsip
transaksi yang merugikan dilarang. Setiap transaksi yang merugikan diri sendiri
maupun pihak kedua dan pihak ketiga dilarang. Sebagaimana sabda rasulullah saw:
"لا ضرر و لا ضرار"
“ Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri dan tidak boleh
membahayakan (merugikan) pihak lain.”
c)
Prinsip
mengutamakan kepentingan sosial. Prinsip ini menekankan pentingnya kepentingan
bersama yang harus didahulukan tanpa menyebabkan kerugian individu.
Sebagaimana kaidah fiqhiyah: “ bila bertentangan antara kemaslahatan sosial dan
kemaslahatan individu, maka diutamakan kepentingan kemaslahatan sosial.”
d)
Prinsip
manfaat. Objek transaksi harus memiliki manfaat, transaksi terhadap objek yang
tidak bermanfaat menurut syariat dilarang.
e)
Prinsip
transaksi yang mengandung riba dilarang.
f)
Prinsip
suka sama suka (saling rela, ‘an taradhin).
Prinsip ini berlandaskan pada firman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن
تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا ﴿٢٩﴾
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu..” (Qs.An-Nisa: 29).
Prinsip
ini juga berlandaskan hadits nabi : “
tidak lain jual beli harus melalui jalan suka sama suka”. (Hr. Ibnu Majah)
g)
Prinsip
Milkiah, kepemilikan yang jelas.
h)
Prinsip
Tiada Paksaan. Setiap orang memiliki kehendak yang bebas dalam menetapkan akad,
tanpa tunduk kepada paksaan transaksi apapun, kecuali hal yang diharuskan oleh
norma keadilan dan kemaslahatan masyarakat[26].
C.
Asas
1) Tabadul al-manafi (pertukaran manfaat) , kerjasama (musyarakah), dan kepemilikan
Asas
pertukaran manfaat (tabadul al-manafi)
direduksikan dari Qs.Al-Imran: 191. Ayat ini menerangkan bahwa segala yang
diciptakan oleh Allah Swt memiliki nilai kebaikan dan manfaat bagi manusia.
Firman Allah adalah aturan dan norma hukum yang bertujuan terciptanya kebaikan
(al-mashalih) manusia, dunia dan
akhirat. Norma hukum tersebut oleh para ulama diinterpretasi sehingga
melahirkan, salah satunya, norma fiqh muamalah. Norma fiqh muamalah sebagai
bagian norma hukum islam memiliki tujuan yang sama, yaitu al-mashalih. Al-mashalih dapat diartikan manfaat atau kebaikan[27].
Yang dimaksudkan untuk dapat mendistribusikan secara merata kepada seluruh
manusia, dan seluruh elemen masyarakat, bukan sebuah monopoli demi kepentingan
perorangan atau kelompok.
Pertukaran
manfaat mengandung pengertian keterlibatan orang banyak, baik secara
individual maupun kelembagaan. Oleh karenanya, dalam pertukaran manfaat
terkandung norma kerjasama (almusyarakat). Disamping itu, pertukaran manfaat
terkait dengan hak milik (haq al-milk)
seseorang, karena perputaran manfaat hanya dapat terjadi dalam benda yang
dimiliki, walaupun sebetulnya hak milik mutlak hanya ada pada Allah Swt,
sementara manusia hanya memiliki hak pemanfaatan. Proses pertukaran manfaat
melalui norma al-musyarakat dan norma
haq-almilk berakhir di norma al-ta’awun (tolong- menolong). Dalam
Islam al-ta’awun hanya terjadi dalam
kebaikan dan ketaqwaan (al-khairat atau
al-birr wa al-taqwa) serta dalam hal yang membawa manfaat bagi semua[28].
2)
Pemerataan kesempatan, ‘an taradhin (suka sama suka atau
kerelaan) dan ‘adam al-gharar
(tidak ada penipuan atau spekulasi)
Asas
pemerataan adalah kelanjutan, sekaligus salah satu bentuk penerapan prinsip
keadilan dalam teori hukum islam. Pada tataran ekonomi, prinsip ini menempatkan
manusia sebagai makhluk yang memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki,
mengelola dan menikmati sumber daya ekonomi sesuai dengan kemampuannya.
Disamping itu, asas ini adalah wujud operasional ajaran islam tentang perputaran
harta yang tidak boleh hanya berkisar dikalangan orang kaya (al-aghnia)[29], sehingga atas
dasar ini hak-hak sosial dirumuskan. Rumusan hak-hak sosial di antaranya ialah
teori perpindahan hak milik, sewa menyewa, gadai, pinjam-meminjam dan utang
piutang. Teori perpindahan hak milik diimplementasikan oleh hukum islam dengan,
contoh: jual beli yang bisa berupa akad
murobahah, salam atau ishtina’, zakat infaq, shadaqah, hibbah, dan waris,
sewa menyewa dengan al-isti’arat
gadai dengan al-rahn, dan pinjam
meminjam dengan al-qardh. Teori-teori
ini adalah sarana untuk menciptakan iklim perekonomian yang sehat sehingga lalu
lintas perniagaan bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat secara merata,
tanpa adanya monopoli pihak tertentu.
‘An taradhin merupakan salah satu asas fiqh
mu’amalah. Ia berarti saling merelakan atau suka sama suka. Kerelaan bisa
berupa kerelaan melakukan suatu bentuk muamalah, dan atau kerelaan dalam
menerima atau menyerahkan harta yang menjadi obyek perikatan, serta bentuk muamalah
lainnya. Ia adalah salah satu prasyarata keabsahan transaksi bermuamalah di
anatara para pihak yang terlibat. Disamping itu, ia merupakan kelanjutan dari
azas pemerataan, dan bersinergi dengan asas ‘adam al-gharar, arinya prilaku ‘an
taradhin memungkinkan tertutupnya sifat-sifat gharar dalam berbagai bentuk
transaksi mu’amalah. Hal ini dapat terjadi, karena ’adam al-gharar merupakan kelanjutan dari ‘an tharadhin. Al-gaharar ialah sesuatu yang tidak diketahui atau
tidak jelas apakah ia ada atau tidak ada. Dalam gaharar ada unsur spekulasi bahkan penipuan yang dapat
menghilangkan ‘an taradhin. ‘adam
al-gharar mengandung arti bahwa pada setiap bentuk muamalah tidak boleh ada
unsure gharar, yaitu tipu daya atau
sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain
sehingga menyebabkan hilangnya unsure kerelaan dalam melakukan suatu transaksi.
3)
Al-bir
wa al-taqwa(Kebaikan
dan taqwa)
Asas al-birr wa al-taqwa merupakan asas yang
mewadahi seluruh asas muamalah lainnya. Yaitu segala asas dalam lingkup fiqh
mu’amalah dilandasi dan diarahkan untuk al-birr
wa al-taqwa. Al-birr artinya
kebijakan dan berimbang atau proporsional atau berkeadilan[30].
Hukum
islam melalui asas kebaikan dan ketaqwaan menekankan bentuk-bentuk muamalat
dalam kategori ‘an taradhin, ‘adam
al-gharar, tabadul al-manafi’, dan pemerataan adalah dalam rangka pemenuhan
dan pelaksanaan saling membantu antara sesama manusia untuk meraih al-birr wa al-taqwa. Islam memberlakukan
asas ini dalam semua aturan bermuamalah, termasuk ekonomi perbankan syari’ah,
agar dipedomani oleh seluruh umat manusia tanpa melihat latar belakang kelompok
dan agama yang dianut. Ia baru diboleh tidak dipedomani hanya untuk
memeperlakukan orang kafir yang memerangi, membunuh dan mengusir umat islam
dari tempat tinggal mereka[31].
Prinsip
hukum islam sebagai asas atau pilar kegiatan usaha dan pedoman perbankan
syari’ah dalam mencapai tujuannya itu berkohorensi dengan al-birr wa al-taqwa. Artinya asas-asas hukum islam seperti’an taradhin, tabadul manafi’, ‘adam
al-gharar, ta’awun, al-adl berorientasi kepada pemenuhan al-birr wa al-taqwa.
D.
Kaidah
Kegiatan
ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga
kaidah fiqh yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi
juga menggunakan kaidah fiqh muamalah. Kaidah fiqh mu’amalah adalah
“الأصل في المعاملة الإباحة حتى يدل
على تحريمها"
(hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada
dalil yang mengharamkannya).
Ini
berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada
ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an
maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Kaidah
fiqh dalam mu’amalah di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang
notabene urusan ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk
melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri,
sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang
melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada hadist Rasulullah yang berbunyi: “أنتم أعلم بأمور دنياكم” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu).
Bahwa
dalam urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu,
Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan
hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini
memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya
untuk bisa mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya
berkenaan dengan fungsi manusia sebagai khalifatul-Lilah
fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).
Efek yang
timbul dari kaidah fiqh mu’amalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang
sangat luas dalam penetapan hukum-hukum mu’amalah, termasuk juga hukum ekonomi.
Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang
dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap”
diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang
dilarang dalam Islam. Sedangkan transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam
adalah transaksi yang disebabkan oleh faktor:
·
Haram
zatnya
Di
dalam fiqh mu’amalah, terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai obyek
transaksi yang diharamkan, seperti minuman keras, daging babi, dan sebagainya.
Oleh karena itu melakukan transaksi yang berhubungan dengan obyek yang
diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh:
"ماحرم فعله حرم طلبه"
(setiap
apa yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam
mendapatkannya).
Kaidah ini
juga memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan dengan cara
yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi halal.
·
Haram
selain zatnya
Beberapa
transaksi yang dilarang dalam Islam yang disebabkan oleh cara bertransaksi-nya
yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis (penipuan), ikhtikar
(rekayasa pasar dalam supply), bai’
najasy (rekayasa pasar dalam demand), taghrir
(ketidakpastian), dan riba
(tambahan).
·
Tidak
sah
Segala
macam transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang
dalam Islam. Ketidaksah/lengkapan suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun
(terdiri dari pelaku, objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi,
terjadi ta’alluq (dua akad yang
saling berkaitan), atau terjadi two in
one (dua akad sekaligus). Ta’alluq
terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana
berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Yang seperti ini, terjadi
bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi
ketidakpastian (grarar) akad mana
yang harus digunakan.maka transaksi ini dianggap tidak sah.
E.
Ciri Khas
Sebagai
bagian dari hukum islam, fiqh mu’amalah memiliki ciri khas seperti yang
dimiliki hukum islam, yaitu kemanusiaan (insaniyah),
berakhlak (akhlaqii) dan universal (‘aalamii).
1)
Kemanusiaan
(insaniyah) artinya bahwa hukum yang
diletakkan oleh islam adalah untuk kebahagiaan manusia duniadan akhirat. Hukum
islam adalah hukum yang dengan seksama memberikan perhatian yang penuh kepada
manusia,baik mengenai diri, ruh, akal, usaha/pekerjaan, hubungan antara sesama,
ekonomi politik dan yang lainnya, maupun pahala dan siksa. Oleh karenanya ia
menjadikan manusia sebagai sumber dari segala sumber hukum dan sekaligus
menjadikannya sebagai subyek dan obyek hukum[32].
2)
Akhlaqy, artinya
hukum islam itu sarat dengan nuansa akhlaq, etika dan moral. Kata “ al-akhlaq” adalah plural dari kata khilq atau khuluq yang berarti al-sajiyat
(perangai atau budi pekerti), al-thabi’at
(watak dasar, kelakuan ), al-‘adat
(kebiasaan [33]. Secara istilah,
al-akhlaq ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk
melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan, pengertian ini
sejalan dengan yang ditawarkan oleh Imam al-Ghazali dan Ibrahim Anis[34].
3)
Ciri
khas ketiga ialah universal artinya bahwa hukum islam bersifat dan
berlaku umum. Pemberlakuan UU secara umum dan menyeluruh bagi masyarakat
diperlihatkan dalam aturan tentang pendiriandan kepemilikan bank syariah. Ia
tidak hanya diperuntukan bagi warga Negara Indonesia atau Badan hukum
Indonesia, tetapi juga bagi warga negara asing atau badan hukum asing. Dari
sini tampak bahwa UU tidak membatasi dirinya dengan sekat-sekat agama, warga
Negara, dan tempat tinggal meskipun dari sudut nama, bank Syariah bercirikan
Islam[35].
F.
Kesimpulan
Dari
berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa fiqh
mu’amalah merupakan ilmu yang mempelajari segala prilaku manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh kedamaian dan kesejahteraan dunia
akhirat. Perilaku manusia di sini berkaitan dengan landasan-landasan
syariah sebagai rujukan berprilaku dan kecenderungan-kecenderungan dari fitrah
manusia. Kedua hal tersebut berinteraksi dengan porsinya masing-masing sehingga
terbentuk sebuah mekanisme ekonomi (muamalah) yang khas dengan dasar-dasar
nilai ilahiyah. Filsafat hukum fiqh mu’amalah atau falsafah al-tasyri’ fi al mu’amalat istilah sesuatu yang berkaitan
dengan hukum islam meliputi tujuan hukum (maqashid),
prinsip hukum (mabadi’ atau
mahiyat), asas hukum atau usus
al-hukm , kaidah hukum, dan washatiyyat
wal harakiyah fi alhukm.
Daftar
Pustaka
Al-Quran Alkariim
Agustianto
. Filsafat Ekonomi Islam. 2011. http://shariaeconomics.wordpress.com/2011/02/21/58/. Diakses
11.43.rabu 14 maret 2012
Ahmad,
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam., ed. 19,
Jakarta: PT Bulan Bintang 1996.
Ali,
Zainuddin, Filsafat Hukum, Jakarta:
Sinar Grafindo, 2006.
Anshari,
Endang Saiffudin, Ilmu Filsafat dan Agama,
Surabaya: PT.Bina Ilmu,1981.
Clement,
C.J. Webb, A history of philosophy,
London: Oxford University Press, 1949.
Hakim,
Atang Abd. Fiqh Perbankan Syari’ah.
Bandung; Refika Aditama. 2011
Huda, Nurul dkk. Ekonomi
Makro Islam Pendekatan Teoretis. Jakarta: Kencana. 2007.
Liang,
Gie. Pengantar Filsafat Ilmu
Jogjakarta : Leberty.
Nasution,
Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2002.
Rosyada,
Dede, Hukum islam dan Pranata Sosial,
Jakarta: Rajawali Press, 1992.
Shomad,
Abd. Hukum Islam. Jakarta: Kencana.
2010.
Syarifuddin,
Amir.Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta:
Kencana. 2011.
UU No.10
tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1
ayat (13)
Permono,
Sjaichul Hadi, Formula Zakat, Menuju
Kesejahteraan Sosial. Surabaya: Aulioa.2008.
Qardhawi, M. Yusuf. Norma
dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1987.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi.
[1]
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,
Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002,hlm.1.
[2] Zainuddin
Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar
Grafindo, 2006,hlm. 1
[3] Endang
Saiffudin Anshari, Ilmu Filsafat dan
Agama, Surabaya: PT.Bina Ilmu,1981,hlm.82.
[4] Hanafi
Ahmad, Pengantar Filsafat Islam., ed.
1967,Jakarta: PT Bulan Bintang 1996,hlm. 3
[5] Clement,
C.J. Webb, A history of philosophy,
London: Oxford University Press, 1949, hlm.7
[6] Gie Liang
Pengantar Filsafat Ilmu Jogjakarta :
Leberty.hlm. 33
[8] Amir
Syarifuddin.Ushul Fiqh Jilid 1.
Jakarta: Kencana. 2011. hlm. 6
[9] Ali
Athabik, Kamus Al’ashr,
Yogyakarta:Multi Kaya Grafika. 1996 .hlm.1323
[11] Nurul
Huda dkk. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoretis. Jakarta: Kencana. 2007.
Hlm.7
[12] Dede
Rosyada, Hukum islam dan Pranata Sosial,
Jakarta: Rajawali Press, 1992. Hlm.70
[13] Ibid. hlm.71
[14]
Agustianto, Filsafat Ekonomi Islam.
2011. http://shariaeconomics.wordpress.com/2011/02/21/58/. Diakses
11.43.rabu 14 maret 2012
[16]Agustianto,
Op.Cit.
[17] Atang
Abd.Hakim. Fiqh Perbankan Syari’ah.
Bandung; Refika Aditama. 2011.h.142.
[18] Ibid. Hlm.37
[19] Dede
Rosyada. Op.cit. hlm.71-72
[20] Atang
Abd.Hakim. Op.cit. hlm. 142
[21] Ibid
[22] UU No.10
tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1
ayat (13)
[23] M. Yusuf
Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1987.
Lihat Lihat. Abd. Shomad. Hukum Islam. Jakarta: Kencana. 2010. Hlm. 86
[24] Sjaichul
Hadi Permono, Formula Zakat, Menuju Kesejahteraan Sosial. Surabaya:
Aulioa.2008. hlm 45. Lihat. Abd. Shomad. Hukum Islam. Jakarta: Kencana. 2010.
Hlm78
[25] Ibid. Hlm.78
[26] Ibid. Hlm.79-80.
[27] Ibid. hlm.160
[28] Atang
Abd.Hakim. Op.cit. hlm. 160-161
[29]
مَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً
بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾ Qs.Al-Hasyr:7
[30] Ibid. hlm182
[31] Qs.
Al-Mumtahanah: 8-9
[32] Ibid.hlm.189.
[33] Ibid. hlm.190
[34] Ibid. hlm. 191
[35] Ibid. hlm.192.
0 komentar:
Posting Komentar