BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina
sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga
berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling
berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi.Insan-insan yang
berada dalam rumah tangga itulah yang disebut keluarga.Untuk membentuk keluarga
yang sejahtera dan bahagia,maka diperlukan perkawinan. Tidak ada tanpa adanya
perkawinan yang sah sesuai dengan norma agama dan tata aturan yang berlaku.
Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami istri tersebut
sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang melaksanakan
pernikahan tersebut.Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan diperlukan adanya
cinta lahir batin antara pasangan suami istri tersebut.
Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum tertulis tentang perkawinan bagi
golongan-golongan tertentu.Yang menjadi masalah waktu itu adalah bagi warga
bumiputra yang beragama Islam.Bagi mereka tidak ada aturan sendiri yang
mengatur tentang perkawinan, tidak ada undang-undang tersendiri yang dapat
dijadikan patokan dalam pelaksanaaan akad nikah perkawinanya. Bagi mereka
selama itu berlaku hukum Islam yang sudah diresiplir dalam hukum adat
berdasarkan teori receptie yang dikemukakan oleh Hurgronye.
Setelah Indonesia merdeka, usaha mendapatkan undang-undang tetap
diupayakan. Pada akhir tahun 1950 dengan surat Penetapan Mentri Agama RI Nomor
B/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum
Perkawinan, Talak Rujuk yang diketuai oleh Mr.Teuku Moh.Hasan.
Dari sinilah pemakalah akan mmembahas hal-hal yang berkaitan dengan
pencatatan dan akte perkawinan yang selanjutnya akan dibahas dalam bagian
pembahasan.
Rumusan
Masalah
- Apa pengertian pencatatn nikah?
- Apa landasan pencatatn nikah?
- Apa saja prosedur yang di butuhkan dalam
pencatatn nikah?
BAB I
PEMBAHASAN
A Pengertian Pencatatan nikah
Pencatatan pernikahan adalah pendataan administrasi perkawinan yang
ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk
menciptakan ketertiban hukum.
Dalam Undang-undang perkawinan tidak dijelaskan secara rinci tentang
pengertian pencatatan perkawinan, hanya di dalam penjelasan umum
dikatakan bahwa tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dalam kehidupan
seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Dengan memahami apa yang termuat
dalam penjelasan umum itu dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan adalah sebuah usaha yang bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Dengan maksud sewaktu-waktu
dapat dipergunakan bilamana perlu dan dapat dipakai sebagai alat bukti yang otentik.
Dalam hal pencatatan perkawinan, hukum Islam tidak mengatur secara jelas
apakah perkawinan itu harus dicatat atau tidak. Dengan melihat tujuan dari pencatatan perkawinan seperti tersebut diatas, maka
sesungguhnyapencatatan perkawinan banyak kegunaannya bagi kedua balah
pihak yang melaksanakan perkawinan baik dalam kehidupan pribadi maupun di dalam
kehidupan masyarakat, misalnya dengan dimilikinya akta perkawinan sebagai
tertulis yang otentik dan membuktikan bahwa telah terjadi peristiwa perkawinan.
Disamping itu juga dengan dimilkinya akta perkawinan, seseorang Pegawai
Pencatat Nikah
dapat menuntut berbagai tunjangan, misalnya tunjangan isteri, tunjangan anak
atau tunjangan lain yang berhubungan dengan perkawinan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa dalam pencatatan nikah terdapat “maslahah mursalah” dalam
kehidupan bermasyarakat, maka melaksanakan pencatatan perkawinan adalah merupakan suatu keharusan bagi
mereka yang beragama Islam.
Sehubungan dengan itu maka keharusan
mencatatkan perkawinan menurut Undang-undang perkawinan yang berlaku seperti
yang dirumuskan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang perkawinan, adalah sejalan
dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam hukum Islam.
B.
Urgensi pencatatn nikah
Di
dalam kamus besar indonesia onlai yang di maksud dengan urgensi yaitu”hal yang
terpenting”[1]dan
pencatatan nikah,dan yang dimaksud dengan “urgensi pencatatn nikah
yaitu”pentingnya dalam pencatan nikah,dibawah ini adalah beberapa contoh
pentingnya pencatatan dalam pernikahan.
Di
sini akan diterangkan tentang pentingnya beberapa pencatatan nikah di indonesia
baik itu muslim ataupun non muslim.
manfaat pencatatan nikah dan buku nikah
- Alat bukti sah dan otentik telah terjadinya
perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sehingga bisa
diperlihatkan dan dipergunakan untuk pengurusan administrasi
kependudukan/pemerintahan, seperti: pengurusan KTP, Kartu Keluarga, Akte
Kelahiran Anak, kelengkapan persyaratan kependidikan atau kepegawaian, dan
lain-lain.
- Alat bukti sah dan
otentik ketika berperkara di Pengadilan Umum/Pengadilan Agama.
- Alat bukti sah dan otentik untuk mendapatkan
perlindungan hukum berkaitan dengan hak-hak sebagai akibat hukum adanya
perkawinan, seperti nafkah dan tempat tinggal istri/anak, nafkah iddah, hadhanah
(hak pemeliharaan anak), warisan, dan lain-lain.
- Pencatatan perkawinan sangatlah urgent. Selain
demi terjaminnya ketertiban akta nikah bisa digunakan untuk mendapatkan
hak-hak, dan terlepas dari perasangka, keragu-raguan, kelalaian serta
saksi –saksi yang cacat secara hukum. Kendatipun pencatatan perkawinan
hanya bersifat administratif tetap harus dianggap penting karena melalui
pencatatan perkawinan tersebut akan diterbitkan buku kutipan akta nikah
yang akan menjadi bukti otentik tentang dilangsungkannya sebuah perkawinan
yang sah.
- Mendapat perlindungan hukum
- Bayangkan, misalnya terjadi
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika sang istri mengadu kepada pihak
yang berwajib, pengaduannya sebagai istri yang mendapat tindakan kekerasan
tidak akan dibenarkan. Alasannya, karena sang isteri tidak mampu
menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi.
- Memudahkan urusan perbuatan
hukum lain yang terkait dengan pernikahan
- Akta nikah akan membantu suami
isteri untuk melakukan kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum.
Misalnya hendak menunaikan ibadah haji, menikahkan anak perempuannya yang
sulung, pengurusan asuransi kesehatan, dan lain sebagainya.
- Legalitas formal pernikahan di
hadapan hukum
- Pernikahan yang dianggap legal
secara hukum adalah pernikahan yang dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah
(PPN) atau yang ditunjuk olehnya. Karenanya, walaupun secara agama sebuah
pernikahan yang tanpa dicatatkan oleh PPN, pada dasarnya illegal menurut hukum.
- Terjamin keamanannya
- Sebuah pernikahan yang
dicatatkan secara resmi akan terjamin keamanannya dari kemungkinan
terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya, seorang suami atau
istri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat dalam Akta Nikah untuk
keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu dapat
dibandingkan dengan salinan Akta Nikah tersebut yang terdapat di KUA
tempat yang bersangkutan menikah dahulu.
Tujuan
pencatatan nikah
i.
Pegawai pencatat Nikah dapat
mengawasi langsung terjadinya perkawinan tersebut. Mengawasi di sini dalam
artian menjaga jangan sampai perkawinan tersebut melanggar, ketentuan hukum
Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, jika diketahui
ada pemalsuan identitas, memakai wali yang tidak berhak, masih terikat
perkawinan dengan lelaki/wanita lain, beda agama, atau adanya halangan
perkawinan, maka pegawai Pencatat Nikah harus menolak menikahkan mereka.
ii.
Dapat membatalkan perkawinan
(melalui proses pengadilan), apabila dikemudian hari diketahui -setelah
berlangsungnya perkawinan- bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat
sahnya perkawinan (misalnya, istri masih terikat perkawinan dengan suami yang
sebelumnya atau masih dalam masa iddah). Dengan adanya pencatatan, maka
pernikahan secara hukum agama maupun negara menjadi sah.
iii.
Hal ini penting bagi pemenuhan
hak-hak istri dan anak (terutama pemgaian harta waris, pengakuan status anak,
dasar hukum kuat bagi istri jika ingin menggugat suami atau sebaliknya).
Pencatatan berfungsi sebagai perlindungan bagi istri/suami.
kerugian hukum jika suatu
perkawinan tidak dicatatkan.
Menurut
pasal 1 UU. No. 22 Th. 1946 jo. UU. No. 32 Th. 1954 jo. pasal 1 ayat (2) UU.
No. 1 Th. 1974 jo. pasal 2 ayat (1) PP. No. 9 Th. 1975 jo. pasal 5 KHI
ditegaskan bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Apabila tidak dilakukan pencatatan nikah, maka
akibat hukumnya:
- Tidak ada perlindungan hukum terhadap perkawinan
karena bagi negara dipandang tidak terjadi perkawinan (ada namun dipandang
secara juridis tidak ada/tidak terjadi, sesuai Jurisprudensi Mahkamah
Agung Putusan Nomor 1948/K/Pid/1991 tanggal 18 Desember 1991)
- Ditolak berperkara tentang masalah hukum keluarga
di (nikah, talak, rujuk, hadhanah, iddah, harta dan waris) di
Pengadilan Agama karena perkawinan tidak dapat dibuktikan, kecuali
dilakukan itsbat nikah.
- Pihak istri sewaktu-waktu dapat diceraikan
suaminya atau suami sewaktu-waktu dapat berpoligami tanpa, bahkan dapat
mengingkari perkawinan dan anak-anak hasil perkawinan tersebut, sedangkan
istri tidak memiliki kekuatan hukum untuk melakukan perlawanan hukum di
Pengadilan Agama.
- Tidak ada alat bukti sah
untuk menegaskan asal-usul anak dan keturunan.
- Sulit melakukan
pengurusan administrasi kependudukan.
- Ditolak berperkara di Pengadilan dalam Perkara
Pidana Perkawinan (misalnya zina), sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Putusan Nomor 1948/K/Pid/1991 tanggal 18 Desember 1991, dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Perkawinan” menurut Undang-undang
No.1/1974, PP No.9/1975, adalah perkawinan yang dilangsungkan di hadapan
KUA oleh petugas KUA yang berwenang serta perkawinan tersebut didaftarkan
menurut tatacara perundang-undangan yang berlaku; karena itu perkawinan
yang tidak memenuhi persyaratan tersebut dianggap tidak ada perkawinan,
sehingga tidak dapat dipidanakan sebagaimana dimaksud Pasal 279 KUHPidana
(kurungan penjara 5 tahun).
C. Hukum Pencatatan Nikah
landasan dalil dalam hukum
Islam mengenai pencatatan nikah
Jika
dimaksud landasan dalil yang secara jelas (sharih) dan tegas (qath’i)
dinyatakan dalam al-Qur’an maupun hadits, maka dalil ini tidak ada. Namun
dalil dalam hukum Islam tidak hanya al-Qur’an dan hadits, tetapi juga Qiyas,
maslahat serta dapat diambil dari qawa’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah
hukum Islam yang telah diterima kebenarannya oleh para ulama). Adapun dalil
syar’i pencatatan nikah yaitu:
a)
Al-Qiyas
Menurut Prof. Dr.
Zainudin Ali, MA (Guru Besar Hukum Islam dan Sosiologi
Hukum Universitas Tadulako Palu) bahwa dalil pencatatan
nikah di-qiyas –kan dari Q.S. al-Baqarah (2) ayat
282-283:
Terjemahnya:
282. Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
283. Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Penjelasannya:
Antara muamalah hutang piutang dan
nikah memiliki kesamaan ‘illah, yaitu keduanya adalah akad. Oleh karena itu, keduanya memiliki kesamaan rukun, terutama adanya orang
yang melakukan akad, adanya saksi, dan sighat akad. Dengan demikian, anjuran
pencatatan pada akad hutang piutang dapat diqiyaskan pada akad nikah, sehingga
dapat ditegaskan bahwa pencatatan akad nikah juga diperintahkan oleh Islam
sebagaimana perintah pencatatan akad hutang-piutang atas dasar qiyas.
b)
Maslahat, yaitu adanya kebaikan yang bersifat umum dan menyeluruh bagi umat
Islam yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan.
Pencatatan perkawinan memang bukan
syarat syar’i, sehingga jika tidak dipenuhi maka perkawinan tetap
sah menurut pandangan syar’i. Dari sudut pandang maslahat, pencatatan nikah
adalah bagian dari syarat tawsiqy. Syarat tawsiqy dijelaskan
maksudnya oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili (Guru Besar Hukum Islam Universitas
al-Azhar, Kairo) dan Prof. Dr. Satria Effendi M. Zein, MA (Guru Besar Hukum
Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) adalah suatu syarat yang dirumuskan
untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan di kemudian
hari untuk menertibkan suatu perbuatan. Dengan kata lain, pencatatan nikah
adalah adalah alat bukti otentik dan diterima di hadapan hukum bahwa telah
terjadi perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sehingga
salah satu atau keduanya tidak akan mengingkari perkawinan tersebut jika muncul
permasalahan di kemudian hari, misalnya dalam masalah anak, waris, dan
nafkah.
Di satu sisi, pencatatan nikah memungkinkan negara
melalui aparaturnya (PPN/Penghulu/Pembantu PPN) dapat meneliti dan memeriksa
terpenuhinya rukun dan syarat suatu perkawinan, sehingga tidak terjadi
perkawinan yang fasad.
c)
Kaidah fiqhiyyah:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى
الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya:
“Tasharruf
yang dilakukan pemimpin negara terhadap rakyatnya dilakukan atas dasar
maslahat.”
Pencatatan
nikah merupakan peraturan perundang-undangan yang telah diundang-undangkan untuk
memberikan perlindungan hukum pada umat Islam dan sesuai dengan landasan
maslahat, sehingga dalam pandangan hukum Islam harus ditaati. Dalam konteks
ini, Syaikh Jaad al-Haaq Ali Jaad al-Haq (Grand Syaikh Universitas Al-Azhar,
Kairo) berfatwa bahwa sekali pun perkawinan tetap sah secara syar’i tanpa
dicatatkan atau tanpa dokumen resmi, namun seorang muslim tidak boleh seenaknya
melanggar undang-undang negara. Beliau mengingatkan agar seorang muslim tetap
mencatatkan perkawinannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
untuk mengantisipasi adanya alat bukti ketika berurusan dengan lembaga resmi
pemerintahan, terutama pengadilan.
d)
Kesepakatan sebagian besar ulama Indonesia.
Sebagian
besar ulama Indonesia dalam lokakarya alim ulama Indonesia pada tanggal 2 s.d.
5 Februari 1991 telah menerima dengan baik dan menyepakati isi KHI (Kompilasi
Hukum Islam). Salah satu isi KHI, khususnya pasal 5 menegaskan:
Ø Agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
Ø Pencatatan perkawinan tersebut
pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Dengan kata
lain, sebagian besar ulama Indonesia sepakat bahwa pencatatan nikah merupakan
bagian dari hukum yang wajib ditaati oleh umat Islam.
Dari uraian
ini maka dapat ditegaskan bahwa pencatatan nikah mempunyai dalil syar’i dalam
hukum Islam.
Landasan pencatatan nikah menurut UU No.22/1946 dan UU No.1/1974 dan KHI.
Pencatatan Perkawinan Menurut UU No.22/1946 dan UU
No.1/1974 dan KHI
Sejalan dengan perkembangan
zaman dengan dinamika yang terusberubah maka banyak sekali perubahan-perubahan
yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai
ciri masyarakat modern,menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti
autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang
dengan sebab kematian,manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kekhilapan.
Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan
akta.
Dengan demikian salah satu bentuk pembaruan hukum
kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu
ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaharuan hukum Islam
karena masalah
tersebut tidak ditemukan di dalam kitab-kitab fikih
ataupun fatwa-fatwa
ulama[2]
HUKUM PENCATATAN NIKAH DALAM UUD
Di dalam undang-undang
telah di jelaskas dengan detile,masalah pencatatan hukum nikah,yang telah di
jelaskan di bawah ini,
peraturan pemerintah republik indonesia nomor 9 tahun
1975 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Dalam bab II di dalam kitab
undang-undang telah di jelaskan sebagaimana yang tartera di bawah ini:
Pasal 2
(1)
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
(2)
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam
berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
(3)
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara
pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara
pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai
dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 3
(1)
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu
kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2)
Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3)
Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu
alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Pasal 4
Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis
oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.
Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur,agama/kepercayaan,
pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau
keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.
Pasal 6
(1)
Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan,
meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak
terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
(2)
Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat
meneliti pula:
a.
Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak
ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan
yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala
Desa atau yang setingkat dengan itu;
b.
Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang
tua calon mempelai;
c.
Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4)
dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
d.
Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon
mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri;
e.
Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
f.
Surat kematian isteri atau suami yangterdahulu atau dalam hal perceraian surat
keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
g.
Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila
salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
h.
Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat,
apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri
karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 7
(1)
Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam
sebuah daftar yang diperuntukkan untukitu.
(2)
Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai
dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan
kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.
Pasal 8
Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat
pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat
menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan
pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum.
Pasal 9
Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan
memuat:
a.
Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai
dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah
kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu;
b.
Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.[3]
1. Pencatatan Perkawinan Menurut UU No. 22 Tahun 1946
Pencatatan nikah itu
bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi
yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca
dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang
khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan di mana
perlu,terutama sebagai suatu alat-bukti tertulis yang otentik.
Dengan adanya surat bukti
itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan lain[4]
Sejalan dengan keterangan tersebut, pemberlakuan sebuah peraturan
perundang-undangan mengalami proses (tadrij). Secara historis,pemerintah
RI atas persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional memberlakukan UU Nomor 22
Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Undang-undang ini hanya
berlaku untuk daerah Jawa dan Madura
Pada tahun
1954, diberlakukan UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya
Undang-undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh daerah Luar Jawa dan
Madura[5].
Di samping memberlakukan UU
Nomor 22 Tahun 1946, dalam UU Nomor 32 Tahun 1954 terdapat perubahan istilah
teknis dalam lembaga peradilan, yaitu perkataan "biskal-gripir hakim
kepolisian"
diubah menjadi "Panitera Pengadilan Negeri."[6]
Kata kunci dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 yang berhubungan dengan pencatatan
perkawinan adalah pengawasan perkawinan. Dalam undang-undang tersebut
dinyatakan secara eksplisit bahwa nikah diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) yang diangkat oleh Menteri Agama.
Di samping itu, talak dan
rujuk yang dilakukan berdasarkan syari'at Islam diberitahukan kepada PPN[7]
Dalam UU Nomor 22 Tahun 1946
tidak ada pernyataan yang eksplisit yang menyatakan bahwa nikah yang dilakukan
tanpa dicatat oleh PPN tidak sah. Akan tetapi, dalam undang-undang tersebut
terdapat ketentuan yang mengatur bahwa "seseorang yang menikah diwajibkan
membayar biaya pencatatan yang jumlahnya ditetapkan oleh Menteri Agama."
Biaya pencatatan perkawinan dimasukkan ke dalam kas negara menurut aturan yang
ditetapkan oleh Menteri Agama.[8]
Klausul yang menyatakan
bahwa pihak yang melakukan nikah diharuskan mengeluarkan biaya pencatatan,
dapat ditafsirkan dengan menggunakan pendekatan ijtihad kebahasaan isyarat al-nashsh
atau dilalat al-mafhum, yang menunjukkan bahwa para pembuat
undangundang memiliki semangat untuk menjadikan pencatatan sebagai syarat sah
nikah, talak, dan rujuk.
Penafsiran ini sejalan
dengan Pasal 3 UU Nomor 22 tahun 1946.[9]
Dalam Pasal 3 ditetapkan bahwa "pihak yang
melakukan akad nikah tidak di bawah pengawasan PPN atau wakilnya, dihukum denda
sebanyak-banyaknya lima puluh rupiah."[10]
Pencatatan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang Tentang Perkawinan
ditetapkan bahwa: "perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya."Dalam ayat
berikutnya ditetapkan bahwa "tiap-tiap perkawinan dicatat dalam
menafsirkan peraturan perundang-undangan, yaitu tafsir historis.
Salah satu cara memahaminya
dari segi sejarah, perlu diungkap mengenai peraturan perkawinan sebelum
diberlakukan UU Nomor 1 Tahun 1974.[11]
Dalam UU Nomor 22 Tahun 1946
ditetapkan bahwa nikah adalah sah apabila dilakukan menurut agama Islam yang diawasi
oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah) yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh
pegawai yang ditunjuk olehnya.[12]
Ketentuan tersebut disertai dengan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran.
Ketentuan tersebut adalah: "Barang siapa yang melakukan akad nikah dengan
seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat
(2) Pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp.50,00
(lima puluh rupiah)."[13]
Ketentuan tersebut
mengisyaratkan bahwa pencatatan perkawinan dijadikan sebagai syarat perkawinan.
Perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN dianggap sebagai pelanggaran; dan sanksi
pelanggaran tersebut adalah denda lima puluh rupiah. Bukan hanya laki-laki yang
melakukan pernikahan di bawah tangan yang dinilai telah melakukan pelanggaran
sehingga diancam dengan sanksi denda, pihak yang bukan PPN yang menjalankan
fungsi-fungsi PPN (seperti lebai dan kyai di desa) disanksi dengan kurungan 3
(tiga) bulan (maksimal) atau denda seratus rupiah (maksimal);[14]dan
laki-laki yang mentalak isterinya tanpa memberitahukan kepada PPN atau wakilnya
didenda sebanyak-banyaknya lima puluh rupiah.[15]
Dengan demikian, dari segi
sejarah, semangat para penyusun peraturan mengenai pencatatan perkawinan
berkecenderungan bahwa perkawinan yang tidak dicatat adalah pelanggaran; dan
tidak mempunyai kekuatan hukum.Dilihat dari segi penjelasan atas UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, penafsiran yang cenderung sesuai dengan kehendak
negara adalah penafsiran yang kedua, yaitu penafsiran struktural. Penjelasan
mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan tidak dipisahkan seperti
terdapat dalam batang tubuh UU Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam penjelasan UU Nomor 1 Tahun 1974
ditetapkan bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
masing-masing agamanya dan kepercayaannya; dan tiap-tiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[16]
Kecenderungan menjadikan
pencatatan sebagai salah satu syarat perkawinan dipertegas lagi dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Dalam PP Nomor 9 Tahun 1975
ditetapkan bahwa: pertama, pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut agama
Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;[17]
kedua, setiap yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya
kepada Pegawai Pencatat Pernikahan di tempat perkawinan akan dilangsungkan
sekurangkurangnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan;
pemberitahuan dapat dilakukan secara lisan atau pun tertulis, oleh yang
bersangkutan, orang tua, atau wakilnya;[18]
dan ketiga, perkawinan
dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri
oleh dua orang saksi.[19]
Penyimpangan terhadap
ketentuan tersebut dikelompokkan sebagai
pidana pelanggaran yang dihukum denda
setinggi-tingginya tujuh ribu
lima ratus rupiah[20]
Artinya, perkawinan yang dilakukan tanpa pengawasan PPN termasuk pidana
pelanggaran.
Dengan demikian, ketentuan
ini semakin menguatkan penafsiran struktural yang menghendaki pencatatan
perkawinan dijadikan sebagai syarat perkawinan.
Pencatatan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam KHI ditetapkan bahwa:
pertama, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan;[21] kedua, setiap perkawinan harus dicatat oleh
PPN;[22] ketiga, setiap perkawinan harus dilangsungkan
di hadapan dan di bawah pengawasan PPN;[23]
dan keempat, perkawinan
yang dilakukan di luar pengawasan PPN tidak mempunyai
kekuatan hukum.[24]
Dibandingkan dengan
ketentuan mengenai pencatatan perkawinan yang ada dalam UU Nomor 1 Tahun 1974
dan KHI, ketentuan mengenai pencatatan perkawinan yang ada dalam UU Nomor 22
Tahun 1946 memiliki semangat yang lebih hebat; karena dalam UU Nomor 1 Tahun
1974 dan KHI tidak terdapat ketentuan yang eksplisit yang menyatakan bahwa
perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN sebagai pelanggaran yang harus diberi
sanksi
denda atau kurungan; sedangkan dalam UU Nomor 22 tahun
1946 ditetapkan bahwa perkawinan yang dilakukan tidak di bawah pengawasan PPN
adalah pelanggaran yang harus dikenai sanksi denda atau kurungan.
B. Pencatatan
Perkawinan dalam Sistem Hukum Indonesia
Adapun
Persyaratan yang harus dipenuhi pada saat pencatatan perkawinan adalah sebagai
berikut:
1. Foto copy bukti pengesahan perkawinan menurut agamanya dengan membawa
aslinya
2. Foto copy kutipan akta kelahiran dengan membawa aslinya.
3. Foto copy Kartu Keluarga dan KTP dengan membawa aslinya.
4. Foto copy kutipan akta perceraian atau kutipan akta kematian bagi
mereka yang pernah kawin.
5. Bagi mempelai yang berusia di bawah 21 tahun harus ada izin dari orang
tua, apabila pada saat pencataan perkawinan orang tuanya berhalangan hadir,
harus ada surat izin resmi diketahui oleh pejabat yang berwenang
6. Surat izin Pengadilan Negeri bagi calon mempelai di bawah usia 21
tahun, apabila tidak mendapat persetujuan dari orang tua
7. Surat izin Pengadilan Negeri apabila calon mempelai pria di bawah usia
19 tahun dan wanita di bawah 16 tahun.
8. Surat keputusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang pasti bila ada sanggahan.
9. Surat izin dari
Pengadilan Negeri bila ingin berpoligami.
10. Dispensasi Camat apabila pelaksanaan pencatatan perkawinan kurang
dari sepuluh hari sejak tanggal pengajuan permohonan.
11. Kutipan Akta Kelahiran Anak yang akan diakui/disahkan dalam
perkawinan, apabila ada.
12. Hasil pengumuman yang tidak ada sanggahan.
13. Akta Perjanjian harta terpisah perkawinan apabila kedua mempelai
menghendaki dan harus disahkan oleh pegawai pencatat pada Kantor Catatan Sipil.
14. Bagi mereka yang berusia di bawah 21 tahun harus ada izin dari Balai
Harta Peninggalan apabila orang tua meninggal dunia dengan melampirkan Akta
Kematian orang tuanya.
15. Bagi anggota ABRI surat izin dari komandan.
16. Bagi WNI Keturunan agar melampirkan foto copy : a. Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia b. Surat Bukti ganti nama ( bila sudah ganti
nama )
17. Bagi WNA
melampirkan foto copy : a. Paspor b. Dokumen Imigrasi c. Surat tanda Melapor
Diri ( STMD ) d. Surat Izin dari Kedutaan/perwakilan dari negara Sahabat,
khusus Taiwan dari Kamar Dagang dan negara-negara yang lain yang tidak
mempunyai
perwakilan harus ada rekomendasi dari Departemen Luar Negeri c.q. Dirjen
Protokol dan Konsuler.
18. Pas foto berdampingan ukuran 4 x 6 cm sebanyak 4 lembar.
19. Dua orang
saksi yang memenuhi persyaratan.
Hal-Hal Lain Yang
Perlu Diperhatikan :
1. Kantor Catatan sipil melayani Pencatatan Perkawinan bagi mereka yang
telah melangsungkan perkawinan menurut hukum dan tata cara Agama selain Agama
Islam, atau tanda telah mendapat pemberkatan atas perkawinan menurut agama yang
dianut.
2. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah usia 19 tahun bagi pria dan usia 16 tahun bagi wanita.
3. Apabila Anda
melangsungkan perkawinan dalam usia di bawah 21 tahun harus mendapat ijin dari
orang tua. Dan apabila masih di bawah 19 tahun bagi pria dan di bawh 16 tahun
bagi wanita, maka harus mendapat Dispensasi dari Pengadilan Negeri.[25]
C. Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan
1. Perkawinan Dianggap tidak Sah,meski perkawinan dilakukan menurut
agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak
sah jika belum dicatat oleh Kantor urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil atau
dianggap tidak pernah terjadi peristiwa hukum yang yang disebut perkawinan.
2.
Anak Hanya Mempunyai
Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu Anak-anak yang dilahirkan di luar
perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah,
juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42
dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak
ada.
3. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan Akibat
lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah
ataupun warisan dari ayahnya.
D. Manfaat
Mencatatkan Perkawinan
Pencatatan
perkawinan sangatlah penting agar supaya terlindungi hak-hak yang akan
ditimbulkan akibat adanya suatu perkawinan, terutama hak istri dan anak-anak.
Manfaat yang ditimbulkan dari pencatatan perkawinan adalah:
1.
Memberikan kepastian hukum
bagi keabsahan suatu ikatan perkawinan bagi suami maupun istri;
2.
Memberikan kepastian hukum
bagi anak-anak yang akan dilahirkan;
3.
Mengurus Akta Kelahiran
anak-anaknya;
4. Mengurus tunjangan keluarga bagi PNS, TNI/POLRI, BUMN/BUMD dan
Karyawan Swasta;
5. Mengurus warisan.
C
PROSEDUR PENCATATN NIKAH
Pemberitahuan Kehendak Nikah
PPN, Pembantu PPN ataupun BP4 dalam
memberikan penasihatan dan bimbingan hendaknya mendorong kepada masyarakat
dalam merencanakan perkawinan agar melakukan persiapan pendahuluan sebagai
berikut.
1. Masing-masing calon
mempelai saling mengadakan penelitian tentang apakah mereka saling cinta/setuju
dan apakah kedua orang tua mereka menyetujui/merestuinya. Ini erat hubungannya
dengan surat-surat persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin orang tua,
surat - surat tersebut tidak hanya formalitas saja.
2. Masing-masing berusaha meneliti
apakah ada halangan perkawinan, baik menurut hukum munakahat maupun menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini untuk mencegah terjadinya
penolakan atau pembatalan perkawinan.
3. Calon mempelai supaya
mempelajari ilmu pengetahuan tentang rumah tangga, hak dan kewajiban suami
istri dan lain-lain sebagainya.
4. Dalam rangka meningkatkan
kualitas keturunan yang akan dilahirkan, calon mempelai supaya memeriksakan
kesehatannya dan kepada calon mempelai wanita diberikan suntikan imunisasi
tetanus toxoid.
Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang
maka orang yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya
kepada PPN/Pembantu PPN yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya
akad nikah, sekurang-kurangnya sepuluh hari-kerja sebelum akad nikah
dilangsungkan.
Pemberitahuan kehendak nikah dapat dilakukan oleh
calon mempelai atau orang tua atau wakilnya dengan membawa suratsurat yang
diperlukan :
1. Surat persetujuan calon
mempelai,
2. Akta kelahiran atau surat
kenal lahir atau surat keterangan asal usul. (akta kelahiran atau surat kenal
lahir hanya untuk diperlihatkan dan dicocokkan dengan surat-surat lainnya.
Untuk keperluan administrasi, yang bersangkutan menyerahkan salinan/fotokopinya).
3. Surat keterangan tentang
orang tua..
4. Surat keterangan untuk
nikah (Model N1).
5. Surat izin kawin bagi calon
mempelai anggota ABRI.
6. Akta Cerai Talak / Cerai
Gugat atau Kutipan Buku Pendaftaran Talak/Cerai jika calon mempelai seorang
janda/duda.
7. Surat keterangan kematian
suami/istri yang dibuat oleh kepala desa yang mewilayahi tempat tinggal atau
tempat matinya suami/ istri menurut contoh model N6, jika calon
mempelai seorang janda/duda karena kematian suami/istri .
8. Surat Izin dan dispensasi,
bagi calon mempelai yang belum mencapai umur menurut ketentuan Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 pasal 6 ayat (2) s/d 6 dan pasal 7 ayat (2).
9. Surat dispensasi Camat bagi
pernikahan yang akan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja sejak pengumuman.
10. Surat keterangan tidak mampu dari
kepala desanya bagi mereka yang tidak mampu.
Pembantu PPN (di Jawa) yang mewilayahi
tempat tinggal calon istri mencatat dengan teliti kehendak nikah dalam buku
Pembantu PPN menurut contoh model N 10, dan selanjutnya dengan diantar
Pembantu PPN tersebut yang bersangkutan memberitahukan kehendaknya
kepada PPN dengan membawa surat yang diperlukan.
PPN/Pembantu PPN (di luar Jawa dan Madura)
yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti dan memeriksa calon suami,
calon istri dan wali nikah tentang ada atau tidak adanya halangan pernikahan,
baik dari segi hukum munahakat maupun dari segi peraturan perundang-undangan
tentang perkawinan.
Pemeriksaan Nikah
Pemeriksaan terhadap calon suami, calon istri dan wali
nikah sebaiknya dilakukan secara bersama-sama tetapi tidak ada halangannya
jika pemeriksaan itu dilakukan sendiri-sendiri. Bahkan dalam keadaan yang
meragukan, perlu dilakukan pemeriksaan sendiri sendiri. Pemeriksaan dianggap
selesai apabila ketiga-tiganya selesai diperiksa secara benar.
Apabila pemeriksaan calon suami istri dan wali itu
terpaksa dilakukan pada hari-hari yang berlainan, maka kecuali pemeriksaan pada
hari pertama, di bawah kolom tanda tangan yang diperiksa ditulis tanggal dan
hari pemeriksaan.
a. Nikah diawasi oleh PPN
1.Pemeriksaan ditulis dalam Daftar pemeriksaan Nikah
(Model NB ).
2.Masing-masing calon suami, calon istri dan wali
nikah mengisi ruang II, III dan IV dalam daftar pemeriksaan nikah dan
ruang lainnya diisi oleh PPN.
3.Dibaca dan di mana perlu diterjemahkan ke dalam
bahasa yang dimengerti oleh yang bersangkutan.
4.Setelah dibaca kemudian ditandatangani oleh yang
diperiksa. Kalau tidak bisa membubuhkan tanda tangan dapat diganti dengan cap
ibu jari tangan kiri.
5. Untuk tertibnya administrasi
dan memudahkan ingatan, PPN membuat buku yang diberi nama
"Catatan Pemeriksaan Nikah" dan kolomnya sebagai berikut.
6. Pada ujung model NB sebelah
kiri atas diberi nomor yang sama dengan nomor urut buku di atas dan kode desa
serta tahun. Contoh 16/7/1991 angka 16 adalah angka urut pemeriksaan dalam
tahun itu, angka 7 adalah kode desa tempat dilangsungkan pernikahan dan 1991
adalah tahun pelaksanaan pemeriksaan.
7. PPN mengumumkan
Kehendak nikah.
b. Nikah diawasi oleh Pembantu PPN (di luar
Jawa dan Madura)
1.Pemeriksaan ditulis dalam Daftar Pemeriksaan Nikah
(model NB) rangkap dua.
2.Masing-masing calon suami, calon istri dan wali
nikah mengisi ruang II, III dan IV dalam Daftar Pemeriksaan Nikah dan
ruang lainnya diisi oleh Pembantu PPN.
3.Dibaca dan di mana perlu diterjemahkan ke dalam
bahasa yang dimengerti oleh yang bersangkutan.
4.Setelah dibaca kemudian kedua lembar model NB di
atas ditandatangani oleh yang diperiksa dan Pembantu PPNyang memeriksa.
Kalau tidak bisa membubuhkan tanda tangan dapat diganti dengan cap ibu jari
tangan kiri.
5.Untuk tertibnya administrasi dan memudahkan ingatan,
Pembantu PPN mencatat dalam buku yang diberi kolom sebagai berikut.
6. Pada
ujung Model NB sebelah kiri atas diberi nomor yang sama dengan nomor urut buku
di atas.
7.
Pembantu PPN mengumumkan kehendak nikah.
8.
Surat-surat yang diperlukan dikumpulkan menjadi satu dengan model NB dan
disimpan dalam sebuah map.
9.
Setelah lewat masa pengumuman dan akad nikah telah dilangsungkan, maka nikah
itu dicatat dalam halaman 4 model NB. Kemudian dibaca di hadapan
suami, istri, wali nikah dan saksi-saksi, selanjutnya ditanda tangani. Tanda
tangan itu dibubuhkan pada kedua lembar model, NB di atas.
10.
Selambat-lambatnya 15 hari setelah hari akad nikah satu lembar model NB yang
dilampiri surat-surat yang diperlukan dikirimkan kepada PPN yang
bersangkutan beserta biayanya.
11.
PPN yang menerima model NB dari Pembantu PPN memeriksa dengan
teliti, kemudian mencatat dalam Akta Nikah dan menandatangani.
Kemudian PPN membuat
Kutipan Akta Nikah selanjutnya diberikan kepada Pembantu PPN untuk
disampaikan kepada suami dan istri.
Pengumuman Kehendak Nikah
PPN/Pembantu PPN mengumumkan kehendak nikah
(dengan model NC) pada papan pengumuman setelah persyaratan dipenuhi.
Pengumuman dilakukan:
1.
Oleh PPN di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan
dilangsungkan dan di KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing calon
mempelai.
2. Oleh
Pembantu PPN di luar Jawa di tempat-tempat yang mudah diketahui umum.
PPN/Pembantu PPN tidak boleh melaksanakan
akad nikah sebelum lampau sepuluh hari kerja sejak pengumuman. Kecuali seperti
yang diatur dalam pasal 3 ayat (3) PP No. 9 tahun 1975 yaituapabila terdapat
alasan yang sangat penting, misalnya salah seorang akan segera bertugas ke luar
negeri, maka dimungkinkan yang bersangkutan memohon dispensasi kepada Camat
selanjutnya Camat atas nama Bupati memberikan dispensasi.
Dalam kesempatan waktu sepuluh hari ini calon suami
istri seyogianya mendapat nasihat perkawinan dari BP4setempat.
Akad Nikah dan Pecatatannya
Akad nikah dilangsungkan di bawah pengawasan/di
hadapan PPN. Setelah akad nikah dilangsungkan, nikah itu dicatat
dalam Akta Nikah rangkap dua (model N).
1. Kalau nikah dilangsungkan
di luar Balai Nikah, nikah itu dicatat pada halaman 4 model NB dan
ditandatangani oleh suami, istri, wali nikah dan saksi-saksi
serta PPN yang mengawasinya. Kemudian segera dicatat dalam Akta Nikah
(model N), dan ditandatangani hanya oleh PPN atau wakil PPN.
2. Akta Nikah dibaca, kalau
perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh yang bersangkutan dan
saksi-saksi kemudian ditandatangani oleh suami, istri, wali nikah, saksi-saksi
dan PPN atau wakil PPN.
3. PPN membuatkan Kutipan
Akta Nikah (model NA) rangkap dua, dengan kode dan nomor yang sama. Nomor
tersebut ( .../ .../ .../ ... ) menunjukkan nomor urut dalam tahun, nomor unit
dalam bulan, angka romawi bulan dan angka tahun.
4. Kutipan Akta Nikah
diberikan kepada suami dan istri.
5. Nomor di tengah pada model
NB (Daftar Pemeriksaan Nikah) diberi nomor yang sama dengan nomor Akta Nikah.
6. Akta Nikah dan Kutipan Akta
Nikah harus ditandatangani oleh PPN. Dalam hal
Wakil PPN yang melakukan pemeriksaan dan menghadiri akad nikah di
luar Balai Nikah, Wakil PPN hanya menandatangani daftar pemeriksaan
nikah dan pada kolom 5 dan 6 dan menandatangani Akta Nikah pada kolom 6.
7. PPN berkewajiban
mengirimkan Akta Nikah kepada Pengadilan Agama yang mewilayahinya, apabila
folio terakhir pada buku Akta Nikah telah selesai dikerjakan.
8. Jika mempelai seorang
janda/duda karena cerai talak atau cerai gugat, PPN memberitahukan
kepada Pengadilan Agama yang mengeluarkan Akta Cerai bahwa duda/janda tersebut
telah menikah dengan menggunakan formulir model ND rangkap 2. Setelah
pemberitahuan nikah tersebut diterima. Pengadilan Agama mengirim kembali lembar
II kepada PPN setelah membubuhkan stempel dan tanda tangan penerima.
Selanjutnya PPNmenyimpannya bersama berkas Daftar Pemeriksaan Nikah (model
NB).
Dalam hal perceraian itu terjadi sebelum berlakunya
Undang undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama:
1. PPN membuat catatan
pinggir ("catatan lain-lain") pada Buku Pendaftaran Talak atau Cerai
terdahulu bahwa orang tersebut telah menikah dengan menyebutkan tempat tanggal
dan nomor Kutipan Akta Nikah serta ditandatangani dan dibubuhi tanggal
oleh PPN.
2. Dalam hal perceraiannya
didaftar di tempat lain, PPN memberitahukan kepada PPN yang
mendaftar perceraian tersebut bahwa duda/janda tersebut telah menikah dengan
renggunakan formulir model ND rangkap 2. PPNpenerima pemberitahuan
mencatat hal tersebut dalam catatan lain-lain pada Buku Pendaftaran Talak atau
Cerai sebagaimana pada angka 1). Kemudian mengembalikan lembar II model ND
setelah dibubuhi stempel dan tanda tangan penerima
selanjutnya PPN pengirim pemberitahuan setelah menerima kembali,
menyimpan model ND lembar II tersebut bersama berkas Daftar Pemeriksaan Nikah
(model NB).
3. Persetujuan, Izin dan Dispensasi
Dalam Undang-undang nomor l tahun 1974 terkandung
beberapa prinsip untuk menjamin cita-cita luhur perkawinan, yaitu asas
sukarela, partisipasi keluarga, poligami dibatasi secara ketat, dan kematangan
fisik dan mental calon mempelai.
Sebagai realisasi dari pada asas sukarela maka
perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Oleh karena
itu setiap perkawinan hares mendapat persetujuan kedua calon mempelai, tanpa
adanya paksaan dari pihak manapun. Dengan demikian dapat dihindari terjadinya
kawin paksa Untuk itu diisi Surat Persetujuan Mempelai (model N3).
Perkawinan
merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, karena ia akan memasuki
dunia baru, membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari keluarga besar bangsa
Indonesia yang religius dan kekeluargaan, maka diperlukan partisipasi keluarga
untuk merestui perkawinan itu. Oleh karena itu, bagi yang berada di bawah umur
21 tahun baik pria maupun wanita diperlukan izin dari orang tua. Untuk itu
perlu diisi Surat Izin orang tua dengan formulir model N5. Dalam
keadaan orang tua tidak ada, maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas. Akhirnya izin
dapat diperoleh dari Pengadilan, apabila karena suatu dan lain sebab izin tidak
dapat diperoleh dari wali. orang yang memelihara atau keluarga tersebut di
atas.
Perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 menganut
asas monogami. Apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan
agamanya mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang Namun
demikian hal itu, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi persyaratan tertentu
dan memperoleh izin dari pengadilan Agama.
Prinsip kematangan calon mempelai dimaksudkan bahwa
calon suami istri harus telah matang jasmani dan rohani untuk melangsungkan
perkawinan, agar supaya dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya
perkawinan di bawah umur. Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan erat
dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi
wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Oleh karena
itu ditentukan batas umur untuk kawin yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun
bagi wanita. Bahkan dianjurkan perkawinan itu dilakukan pada usia sekitar 25
tahun bagi pria dan 20 tahun wanita. Namun demikian dalam keadaan yang sangat
memaksa (darurat), perkawinan di bawah batas umur minimum sebagaimana
ditentukan dalam Undang-undang Perkawinan tersebut dimungkinkan. setelah
memperoleh dispensasi dari Pengadilan atas permintaan orang tua.
Prosedur Pencatatan Nikah dalam KUA
Yang harus dipersiapkan
1.Photo copy Kartu Tanda Penduduk
2.Photo copy Kartu Keluarga
3.Pas Photo ukuran 2x3 : 2 lembar dan 3x4
: 3 lembar atau sesuai kebutuhan (ketentuan di masing-masing daerah berbeda)
4.Biodata calon mempelai
5. Biodata orang tua calon mempelai
6. Akta cerai bagi yang berstatus duda /
janda karena perceraian.
7. Surat Ijin Nikah (bagi
anggota TNI / Polri)
8. Beberapa KUA di daerah tertentu ada
yang menambahkan persyaratan administrasi lainnya seperti poto copy Akta Lahir,
poto copy Ijazah terakhir dll.
Langkah-langkah
yang harus ditempuh:
1. Meminta
surat pengantar kepada ketua RT dan ketua RW.
2. Mendatangi
Kantor Kepala Desa / Kelurahan untuk membuat model N1 (Surat Keterangan untuk
Nikah), N2 (Surat Keterangan tentang Orang Tua) dan N4 (Surat Keterangan
Asal-usul).
Bagi yang berstatus duda/janda karena
ditinggal mati isteri/suami ditambah dengan model N6 (Surat Keterangan Kematian
Suami / Isteri).
Untuk daerah tertentu yang masih
mempertahankan jasa Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), anda bisa meminta
bantuannya untuk mengantar dan membantu proses pendaftaran hingga pelaksanaan
pencatatan nikah.[26]
3. Pendaftaran
nikah
Setelah berkas Nikah dari
kelurahan atau desa yang terdiri atas: N 7, N 1, N 2, N, 3, N 4 dan data-data
pendukung lainnya telah lengkap, kemudian didaftarkan pada Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan melalui Pembantu Penghulu (PP) pada masing-masing kelurahan
atau desa, maka petugas menerima pendaftran Kehendak Nikah tersebut dan
mencatat pada buku pendaftran nikah.
Buku Pendaftran Nikah dibuat dengan format yang mana
bisa digunakan sebagai buku bantu suatu saat ketika membutuhkan mencari data
nikah pada tahun-tahun tertentu sebelum kita mencarinya pada Register.
4.
Buku Pemeriksaan dan formulir daftar pemeriksaan Nikah
Setelah pendaftaran nikah, dan
berkas dinyatakan lengkap maka dimasukkan ke dalam buku pemeriksaan, kemudian
dilakukan pemeriksaan Calon Pengantin (Catin) yang dicatat pada formulir daftar
pemeriksaan Nikah.
5.
Pengumuman Kehendak Nikah
Setelah dilakukan pemeriksaan
Calon Pengantin (Catin) secara mendalam oleh Penghulu, kemudian pihak Kantor
Urusan Agama (KUA) membuat Pengumuman Kehendak Nikah untuk ditempelkan pada
papan pengumuman yang telah tersedia di masing-masing Kantor Urusan Agama (KUA)
untuk memudahkan bagi warga masyarakat untuk melakukan pengawasan (controlling)
terhadap Calon Pengantin, apakah ada pihak yang keberatan terhadap rencana
pernikahan tersebut, apakah ada halangan-halangan untuk dilangsungkannya
pernikahan anatar Calon Pengantin tersebut.
6.
Penulisan Akta Nikah
Akta sebelum dipergunakan
diberi nomor urut lembar pertama dan terakhir ditanda tangani Kepala Seksi
Urusan Agama Islam (URAIS) pada Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota dan
lembar lainnya di paraf.
Setelah dilakukan Akad Nikah,
maka langkah selanjutnya adalah penulisan pada Akta Nikah. Penulisan tersebut
harus dilakukan secara cermat dengan mengunakan tinta berwarna hitam. Untuk pelaksanaan
Nikah di Balai Nikah, maka Pencatatan Akta Nikah dapat langsung dilakukan oleh
Penghulu yang mengawasi dan mencatat Pernikahan tersebut.
Sedangkan untuk pelaksanaan nikah diluar Balai Nikah,
maka Pencatatan Akta Nikah dilakukan setelah selesainya Akad Nikah tersebut
dengan ketentuan Pencatatan tersebut dilaksanakan pada hari efektif kerja. Adapun Nikah yang dilakukan pada hari Libur, maka pencatatannya pada hari
efektif kerja berikutnya.
Penulisan Akta Nikah dibuat
rangkap dua (2), helai pertama disimpan oleh Kantor Urusan Agama KUA dan helai
kedua disampaikan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat dilangsungkannya
Akad Nikah.
7. Penulisan Buku
Kutipan Akta Nikah
Penulisan Kutipan akta nikah harus
segera dilakukan setelah pelaksanaan akad nikah dan sudah dituangkan dalam buku
Akta Nikah, untuk segera disampaikan kepada pasangan Pengantin.
Buku kutipan Akta Nikah terdiri dari
dua helai, satu berwarna coklat untuk suami, sedangkan satuinya berwarna hijau
untuk istri. Kutipan akta nikah ditulis
dengan mempergunakan tinta hitam dengan menggunakan huruf balok. Apabila
terdapat kesalahan kemudian dilakukan pencoretan, maka penghulu wajib membubuhi
tanda tangan, karena akta nikah atau kutipan akta nikah tidak boleh di type ex.
Kutipan akta
nikah tidak boleh diadakan suatu perubahan kecuali dengan keputusan pengadilan
yang berwenang.[27]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pencatatan pernikahan adalah pendataan administrasi perkawinan yang
ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk
menciptakan ketertiban hukum.
Pemberitahuan Kehendak Nikah
PPN, Pembantu PPN ataupun BP4 dalam
memberikan penasihatan dan bimbingan hendaknya mendorong kepada masyarakat
dalam merencanakan perkawinan agar melakukan persiapan pendahuluan sebagai
berikut.
1. Masing-masing calon
mempelai saling mengadakan penelitian tentang apakah mereka saling cinta/setuju
dan apakah kedua orang tua mereka menyetujui/merestuinya. Ini erat hubungannya
dengan surat-surat persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin orang tua,
surat - surat tersebut tidak hanya formalitas saja.
2. Masing-masing berusaha
meneliti apakah ada halangan perkawinan, baik menurut hukum munakahat maupun
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini untuk mencegah
terjadinya penolakan atau pembatalan perkawinan.
3. Calon mempelai supaya
mempelajari ilmu pengetahuan tentang rumah tangga, hak dan kewajiban suami
istri dan lain-lain sebagainya.
4. Dalam rangka meningkatkan
kualitas keturunan yang akan dilahirkan, calon mempelai supaya memeriksakan
kesehatannya dan kepada calon mempelai wanita diberikan suntikan imunisasi
tetanus toxoid.
Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang
maka orang yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada PPN/Pembantu PPN yang
mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah, sekurang-kurangnya sepuluh
hari-kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.
DAFTAR ISI
Sururudin.wordpress.com/2009/03/21/pencatatan-danpenyimpanan-arsip-nikah/
Kuangoromojekerto.blogspot.in/2007/02/persyaratan-pendaftaran-nikah.html
Kitab peraturan pemerintah republik indonesia nomor 9
tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan.
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2007, hlm. 26
Dasar Hukum Pencatatan Pernikahan Di
Indonesia
Fuady,
Munir. Teori – Teori Dalam Sosiologi
Hukum. Jakarta (Penerbit: Kencana Prenada Media Group) 2011;
Hadikusuma,
H. Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia
Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama. Bandung (Penerbit: Mandar Maju) 2007;
Nuryani, Ahmad. Dasar Hukum Pencatatan Pernikahan di Indonesia. Jakarta (Media Online) 2012;
P., Trubus
Rahardiansah, Endar Pulungan. Pengantar
Sosiologi Hukum. Jakarta (Penerbit: Universitas Trisakti) 2005;
Salman, Anthon F. Susanto. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung (Penerbit: PT. Alumni)
2012;
Soekanto,
Soerjono. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Bandung (Penerbit: PT.
Alumni) 1979;
--------. Mengenal Sosiologi Hukum. Bandung (Penerbit:
Alumni) 1982;
--------. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Jakarta (Penerbit: PT. Rajagrafindo Persada) 2008;
--------. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta
(Penerbit: CV. Rajawali) 1982;
Soekanto,
Soerjono, Mustafa Abdullah. Sosiologi
Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta (Penerbit: CV. Rajawali) 1982;
Soekanto, Soerjono Soekanto. Pokok – Pokok Hukum Adat. Bandung (Penerbit: PT. Alumni) 1981;
YLBH APIK
Jakarta. Pentingnya Pencatatan Perkawinan.
Jakarta (Media Online) 2012;
Zamzami,
Mukhtar. Materi Kuliah Sosiologi Hukum,
Memahami Sosiollogi Hukum. Jakarta (Universitas Jaya Baya) 2012.
[1].www.kamusbahasaindonesiaonlain.com
[2]
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta:
Prenada Media, 2004, hlm.
121-122.
[3]Kitab
undang-undang no 1 tentang perkawinan th 1974
[5]
disebut Undang-undangan Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dan berlaku
untuk Jawa
dan
Madura pada hari yang akan ditetapkan oleh Menteri Agama." Dalam ayat
berikutnya
ditetapkan
bahwa "berlakunya Undang-undang ini di daerah luar Jawa dan Madura
ditetapkan
dengan Undang-undang lain. Lihat UU Nomor 22 Tahun 1946, Pasal 6 ayat (l)
dan (2). Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, hlm. 373.
[8]
Dalam pasal tersebut dinyatakan bagi pihak yang tidak mampu membayar biaya
pencatatan
nikah, talak, dan rujuk dapat dibebaskan dari kewajiban tersebut asalkan
membawa
surat keterangan dari kepala desa atau kelurahannya yang menyatakan bahwa ia
tidak
mampu. UU Nomor 22 Tahun 1946, Pasal 1 ayat (4).
[9]
Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 71.
[10]
Denda sebesar lima puluh rupiah bila dibandingkan dengan klausul yang
terdapat dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1946, sebanding dengan
kurungan satu setengah bulan; karena denda seratus rupiah berbanding dengan
kurungan selama tiga bulan. Dalam RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama
bidang Perkawinan terdapat klausul yang menetapkan bahwa nikah yang tidak dalam
pengawasan PPN dihukum denda sebesar tiga juta rupiah atau kurangan selama tiga
bulan. Oleh karena itu, lima puluh rupiah dalam UU Nomor 22 Tahun 1946
sebanding dengan satu setengah juta rupiah dalam RUU Hukum Terapan Peradilan
Agama bidang Perkawinan.
[11]
Hukum Perdata mengenal lima macam metode penafsiran: (1) penafsiran
gramatikal(kebahasaan); (2) penafsiran sistematis;. (3) penafsiran historis; (4)
penafsiran teleologis(sosiologis); dan (5) penafsiran autentik. Lihat
Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto,Pelajaran Hukum, hlm. 11-13; dan
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Buku
Ichtiar, 1959, cet. ke-5, hlm. 228-240.
[12]
UU Nomor 22 Tahun 1946 Pasal l, ayat (l).
[18]
PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 3 ayat (1) dan (2); dan Pasal 4. Pemberitahuan
kehendak untuk menikah boleh''kurang dari sepuluh hari dari hari yang telah
ditentukan, karena alasan penting yang diberikan oleh Camat atas nama Bupati
Kepala Daerah., Lihat PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 3 ayat (3).
0 komentar:
Posting Komentar