jangan lupa tinggalkan komentar

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

pemandangan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Dzikrulloh Warosulih SAW

BACALAH SELALU DI DALAM HATI ATAU DENGAN LISAN "YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOOH" UNTUK DZIKIR KEPADA ALLOH WA ROSULIHI SAW

28.2.15

NILAI-NILAI TASAWUF DALAM PERKEMBANGAN FISIKA MODERN


PERKEMBANGAN FISIKA MODERN

Mekanika Newton

Sepanjang abad pertengahan di Eropa tak seorangpun meragukan bahwa bumi adalah pusat alam raya, sementara “benda-benda angkasa” berputar mengelilinginya di orbit mereka, gambaran ini disebut dunia geosentris[1]. Namun seiring dengan perkembangan dan kemajuan pengetahuan terjadi suatu revolusi teknis dan terobosan teknis yang membuka jalan untuk menuju berbagai macam penemuan. Akibat dari revolusi ini semakin banyak orang yang menggunakan akal untuk menyelidiki alam semesta dan segala fenomenanya, sehingga semakin lama bergeserlah kepercayaan-kepercayaan terhadap doktrin-doktrin agama kepada kepercayaan kemampuan akal, dan ini terus berkembang di Eropa sampai memunculkan ilmuwan-ilmuwan yang kontras dengan gereja. Kepercayaan yang berlebihan pada pentingnya akal telah mengakar sepanjang abad pertengahan, bahwa setiap penyelidikan terhadap fenomena alam harus didasarkan pada pengamatan, pengalaman, dan percobaan, yang disebut metode empiris. Alam bukan lagi sesuatu dimana manusia semata-mata merupakan bagiannya, manusia mulai mengontrol alam dengan cara mengeksplorasi sumber daya alamnya semaksimal mungkin. ‘Pengetahuan adalah kekuasaan’, kata filosof Inggris Francis Bacon [2].
Tahun 1543, seorang astronom yang bernama Nicolaus Copernicus menulis sebuah buku yang berjudul “On The Revolutions of The Celestial Spheres ( tentang pergerakan lingkaran langit ). Dia menyatakan bahwa bukan matahari yang bergerak mengelilingi bumi, melainkan sebaliknya. Anggapan ini sangat mungkin berdasarkan pengamatan terhadap benda-benda angkasa yang ada. Alasan atas kepercayaan orang bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi adalah bumi berputar pada porosnya sendiri, gambaran ini disebut dunia heliosentris. Hasil dari pengamatan Copernicus ini dikuatkan pula oleh astronom Jerman Johannes Keppler yang pada tahun 1600-an menunjukkan hasil pengamatan komprehensifnya yang membuktikan bahwa planet-planet itu bergerak dalam orbit yang berbentuk elips dengan matahari pada pusatnya, dan juga kecepatan sebuah planet paling besar ketika ia berada paling dekat dengan matahari dan semakin jauh orbit sebuah planet dari matahari semakin lambat ia bergerak [3], dan ini dirumuskan dengan         
 
dimana :
v  adalah kecepatan planet mengelilingi  matahari
            r  adalah jarak antara planet dengan matahari
          K adalah konstanta yang mempunyai nilai sama untuk setiap planet sebesar  … dan T adalah waktu planet mengelilingi matahari sekali putaran (revolusi) [4].

Pada masa yang sama Galileo Galilei yang menyelidiki bulan mengatakan bahwa bulan mempunyai gunung-gunung dan lembah-lembah yang sama dengan bumi. Galileo juga merumuskan hukum kelembaman yang berbunyi : “sebuah benda akan tetap berada dalam keadaannya, diam atau bergerak, selama tidak ada kekuatan luar yang memaksanya untuk berubah”.
Tahun 1642 – 1727, Isaac Newton merumuskan hukum gravitasi universal yang menyatakan bahwa setiap objek menarik objek lainnya dengan suatu kekuatan yang semakin meningkat sebanding dengan ukuran objek itu dan menurun sebanding dengan jarak antara objek-objek itu [5] yang dirumuskan dengan
dimana :
m1 dan m2 adalah massa dari dua benda di alam semesta
r adalah jarak diantara dua massa tersebut
G adalah konstanta universal yang besarnya 6,67 x 10-11    [6].
Artinya adalah bahwa gaya tarik atau gravitasi ini berlaku dimana saja, juga di angkasa diantara benda-benda angkasa. Newton juga menyatakan tentang hukum kelembaman, yaitu suatu benda tetap dalam keadaannya yang diam atau bergerak lurus hingga ia dipaksa untuk mengubah keadaannya itu oleh gaya yang mempengaruhinya. Segala sesuatu diatur oleh hukum alam yang sama dan setiap perubahan alam dapat diperhitungkan dengan ketepatan matematis. Newton menganggap bahwa hukum alam sebagai bukti adanya Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Kuasa[7]. Newton mengaplikasikan teorinya pada gerakan planet-planet dan mampu menerangkan gambaran-gambaran dasar dari sistem tata surya. Newton mengasumsikan bahwa Tuhan selalu ada dalam alam semesta untuk membetulkan ketidakteraturan-ketidakteraturan yang terjadi di alam semesta [8].
Semua peristiwa fisika dalam mekanika Newton direduksi, yaitu perilaku sistem sepenuhnya ditentukan oleh perilaku bagian-bagian terkecilnya menjadi gerak dalam titik-titik materi dalam ruang oleh karena atraksi mereka yang saling berbalasan[9]. Elemen – elemen dunia Newton bergerak dalam ruang dan waktu yang absolut adalah partikel-partikel materi yang dalam persamaan matematika diperlakukan sebagai pokok-pokok massa dan dianggap sebagai objek-objek kecil, padat, dan tak dapat dibagi-bagi diluar sesuatu apapun pada setiap materi yang tercipta.
Persamaan-persamaan Newton tentang gerak merupakan dasar mekanika klasik yang dianggap telah menetapkan hukum-hukum yang berdasarkan pada sesuatu dimana pokok-pokok materi bergerak dan kemudian dipikirkan untuk menghitung semua perubahan yang diobservasi dalam dunia fisika. Newton berpandangan bahwa Tuhan telah mencipta pada mulanya partikel-partikel materi, diantaranya energi-energi dan hukum-hukum fundamental tentang gerak, seluruh alam semesta ditata dalam gerak dan terus berlangsung seperti sebuah mesin yang diatur oleh hukum-hukum yang tidak bisa diubah-ubah [10].
Hal di atas memberikan pandangan mekanistik Newton tentang alam semesta yang sangat dekat dengan deterministik, yaitu masa depan suatu sistem pada prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat tentang kondisi sistem itu dari sekarang. Mesin kosmis raksasa dianggap sebagai keberadaan yang sepenuhnya kebetulan dan pasti (causal and determinate) karena semua kejadian memiliki seperangkat sebab yang pasti dan melahirkan efek yang pasti pula dan masa depan dari setiap sistem dapat diprediksikan dengan ketentuan absolut bila keadaannya pada setiap waktu teridentifikasi setiap detik [11].
Hukum Newton yang didasarkan pada pengamatan terhadap alam keseharian mampu memprediksi sesuatu, segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal riil sehingga dapat menggambarkan kejadian yang mudah dipahami dan digambarkan[12], ini berarti bahwa fisika klasik (Newtonian) hendak menunjukkan bahwa kausalitas (hukum sebab akibat) ada dalam kehidupan sehari-hari, menampakkan keberlakuan untuk setiap sistem. Alam semesta dianggap sebagai keberadaan yang sepenuhnya kebetulan dan pasti[13]. Hal ini dipercayai oleh para fisikawan awal abad XVIII, bahwa alam semesta merupakan sistem mekanis raksasa yang berjalan berdasarkan hukum-hukum Newton tentang gerak.
Kepercayaan mengenai sebuah dunia konstruk dan hukum yang terkunci; suatu ruang yang memberitahu bahwa kita dapat bergerak dalam tiga dimensi dan bahwa jarak terpendek antara dua titik adalah sebuah garis lurus, sebuah waktu yang meyakinkan kita tentang linearitas masa lalu, masa sekarang dan masa depan menuntut peran empirisme dalam sains untuk selalu berjalan di atas ketidakberpihakan seorang pengamat dan senantiasa terfokus pada realitas objektif, yaitu teori ilmiah dapat menggambarkan dunia sebagimana adanya tanpa dipengaruhi pengamat sebagai “sesuatu” yang tunggal dan bisa diamati serta apriori terhadap kesadaran [14].
Pandangan Newton di atas tentang alam semesta adalah hasil dari mengkombinasikan antara metode induktif empiris ( Bacon ) dan metode deduktif rasional ( Descartes ), yang dalam masterpiece-nya Principia, Newton menekankan bahwa eksperimen tanpa penafsiran sistematik, dan sebaliknya deduksi tanpa bukti eksperimen tidak akan menghasilkan teori yang terandalkan ( reliable )[15]. Pengetahuan disekitar manusia ( lingkungan ) dapat dikembangkan dengan mudah, bahkan manusia dapat mempengaruhi lingkungannya.
Konstribusi besar Newton dalam ilmu pengetahuan ( sains ) adalah :
1.     Tentang teori dan hukum gerak
Jika objek sedang diam maka akan diam selamanya dan jika objek bergerak lurus, objek itu selamanya akan bergerak lurus, selama tidak ada kekuatan atau gaya yang mempengaruhinya ( F = 0 ), ini dikenal dengan hukum inertia ( kelembaman ) sebagai hukum I Newton, kecuali ada sesuatu ( kekuatan atau gaya ) yang mempengaruhinya dan jika itu terjadi maka arah dan kecepatan gerakan objek itu akan berubah, tergantung pada besar dan arah gaya yang mengganggunya (F = m.a), ini dikenal sebagai hukum II Newton, terlebih lagi setiap aksi selalu berpasangan dengan reaksi yang besarnya sama tapi arahnya berlawanan (W = N), ini dikenal sebagai hukum III Newton dan membuktikan bahwa benda yang bergerak benar-benar akan selalu kembali dalam keadaan diam, ini dikarenakan oleh gesekan (friksi) dengan tempat dimana ia bergerak.
2.     Tentang teori gravitasi
Fisika klasik menyebutnya sebagai ‘’aksi pada suatu jarak” (action at a distance)[16]. Forsa gravitasi antara dua benda hanya bergantung pada satu bilangan yang dikaitkan pada tiap benda, yaitu massa benda, tetapi selain ini forsa itu tidak bergantung pada apa yang menyusun benda-benda itu, jadi tidak memerlukan teori mengenai struktur dan susunan matahari serta planet-planet untuk menghitung garis edarnya[17]. Makin jauh benda-benda itu terpisah akan makin kecil forsa itu dan tarikan gravitasi sebuah bintang akan tepat seperempat besar tarikan sebuah bintang lain yang berada separuh jauhnya dibandingkan bintang pertama. Hukum ini meramalkan garis edar bumi, bulan, dan planet-planet dengan ketepatan yang tinggi [18].
3.         Gambaran tentang ciptaan Tuhan mengenai materi dalam optik Newton dikatakan sebagai
Tampak mungkin bagi saya bahwa Tuhan pada awalnya membentuk materi dalam partikel-partikel yang padat, berat, keras, tak dapat ditembus, bergerak, dari bermacam ukuran dan bentuk, dan dengan property-properti lain, dan atau property tertentu terhadap ruang, seperti yang mengarah pada titik klimaks akhir saat Dia membentuk butiran partikel itu; dan bahwa partikel-partikel primitif ini menjadi padat, secara tak terkira menjadi lebih keras dibandingkan dengan tubuh-tubuh berlubang yang bercampur darinya; bahkan sangat amat keras, seperti tak pernah mengenai atau memecah dalam beberapa bagian; tak ada energi biasa yang akan mampu membagi apa yang diciptakan oleh tuhan sendiri dari ciptaan pertama-Nya [19].

Revolusi Pemikiran

Pada abad XX terjadi suatu revolusi pemikiran dalam dunia fisika terhadap pandangan mekanika Newton yang bersifat deterministik, reduksionistik, dan realistik seputar realitas sub-atom, tentang dunia tak tampak yang mendasari, mendukung, dan membentuk struktur segala sesuatu di sekeliling kita, yang memunculkan teori kuantum yang berhubungan dengan satuan dasar materi dan energi[20] yang mengatakan bahwa alam semesta terdiri atas bagian-bagian yang sangat kecil yang disebut kuanta, dan dari tinjauan energi dikatakan bahwa energi radiasi panas tidak dipancarkan secara terus menerus tetapi terlihat dalam bentuk unit-unit atau paket energi dengan ciri-ciri tersendiri yang disebut kuanta dan makanya menamakannya dengan teori kuantum[21]. Fisika Newton tidak berlaku dalam lingkup ini, namun meskipun demikian teori mekanika kuantum tidak menafikkan fisika Newton, justru mencakupnya[22] karena dalam masalah gerak benda, fisika Newton (klasik) berada dalam lingkup makrokosmis, sedangkan fisika kuantum dalam lingkup mikrokosmis. Ini lebih dikuatkan lagi dengan sejumlah eksperimen yang menunjukkan bahwa cahaya menjalar dalam bentuk paket gelombang yang disebut kuanta [23].
Revolusi pemikiran dalam dunia fisika yang lain adalah tentang teori relativitas Einstein yang berhubungan dengan ruang, waktu, dan alam semesta secara keseluruhan. Para ahli fisika untuk menerima penjelasan alam secara matematis terpaksa harus meninggalkan pengalaman dunia yang wajar, yakni dunia persepsi [24].
Teori relativitas berangkat dari dua asumsi dasar, yaitu : pertama, kecepatan cahaya ‘’in vacuo’’ adalah sama dalam seluruh inertial yang bergerak seragam relatif terhadap yang lain. Kedua, seluruh hukum alam adalah sama dalam seluruh sistem inertial yang bergerak seragam, relatif terhadap yang lain[25].
Teori umum relativitas memerikan (mendeskripsikan) forsa gravitasi dan struktur skala besar jagad raya, yaitu pada skala beberapa kilometer sampai sejuta juta juta (1 dengan 24 nol dibelakangnya) kilometer, ukuran jagad raya sejauh manusia dapat mengamati. Mekanika kuantum dipihak lain menangani gejala pada skala yang luar biasa kecil, seperti misalnya sepersejuta dari sepersejuta sentimeter [26].
Teori kuantum dan teori relativitas Einstein telah membawa pengaruh terhadap perubahan pandangan dunia (worldview), dimana eksperimen-eksperimennya selalu menghasilkan penemuan yang tidak dapat diprediksi atau dijelaskan oleh fisika klasik (Newtonian) [27].
Pengaruh fisika modern secara dramatis telah meluas ke kancah pemikiran dan kebudayaan, dimana pengaruh tersebut menuntun pada terjadinya suatu revisi mendasar atas konsepsi manusia tentang alam semesta dan relasi manusia terhadapnya. Konsep materi dalam fisika sub-atom telah memaksakan revisi radikal dari berbagai konsep dasar yang tradisional dalam fisika klasik (Newtonian) tentang substansi material [28].
Fisika klasik (Newtonian) yang bersifat deterministik dan reduksionistik berasumsi bahwa perilaku semua objek dapat diprediksi secara pasti dari pengetahuan yang akurat tentang unsur-unsur terkecilnya. Pernyataan ini dipatahkan oleh teori ketidakpastian dalam fisika kuantam yang diformulasikan oleh Werner Heisenberg dalam  memprediksi peristiwa ditingkat atom dan sub-atom yang menunjukkan bahwa perilaku sistem besar tidak hanya merupakan gabungan dari perilaku bagian-bagiannya, tetapi juga melibatkan hukum-hukum tertentu dan melalui interaksi-interaksi sesuatu itu dengan pengamat di dalam sistem percobaan tertentu, sehingga dapat menunjukkan keterbukaan masa depan, kesalingterkaitan antara peristiwa dan keterbatasan pengetahuan manusia [29].
Hubungan ketidakpastian Heisenberg yaitu dirumuskan sebagai berikut :
                    Δx ΔPx ~ ћ      dan      ΔE Δt ~ ћ
dengan Δx adalah selang jarak, ΔPx adalah momentum , ћ merupakan tetapan dari   =  1,05 x 10-34  J.s , h adalah tetapan Plank sebesar  6,626 x 10-34 J.s dan ΔE adalah energi, Δt selang waktu. Persamaan di atas adalah persamaan matematis dari asas ketidakpastian Heisenberg yang mengatakan bahwa alam menetapkan suatu batas ketelitian yang dapat digunakan untuk melakukan sejumlah percobaan, tidak peduli sebaik apapun peralatan ukur dirancang[30]. Semakin teliti menentukan posisi partikel-partikel maka akan semakin kabur untuk menentukan momentumnya [31].
Bohr menekankan bahwa harus meninggalkan pembedaan yang tajam antara pengamat dan yang diamati sebagiamana yang diasumsikan fisika klasik. Keterbatasan pengetahuan yang bersifat eksperimental dan sekaligus konseptual, menunjukkan bahwa variabel klasik tidak dapat digunakan untuk menggambarkan dunia atomik yang dipandang sebagai keterbatasan konseptual yang fundamental dalam pengetahuan manusia[32].
Fisika kuantum memandang bahwa pengamat berpartisipasi melalui sifat interaktif dalam proses mengamati. Teori relativitas memandang sifat temporal dan spasial bervariasi terhadap kerangka acuan pengamat. Partikel elementer merupakan manifestasi sementara dari pola gelombang-gelombang yang berubah yang bergabung pada satu titik, terurai lagi dan bergabung lagi dititik yang lain. Partikel mulai tampak menyerupai kemunculan lokal dari lapisan-lapisan energi getaran yang malar[33].
Newton meyakini waktu yang mutlak yang sama sekali terlepas dari ruang dan tidak bergantung pada ruang, tetapi ini berhasil dengan baik bila menangani benda-benda yang bergerak agak lambat dan tidak berhasil untuk benda-benda yang bergeral pada laju rambat cahaya atau mendekati laju itu[34].
Pernyataan di atas merupakan suatu revolusi pemikiran yang sebelumnya pada masa fisika klasik (Newtonian) belum pernah terpikirkan tentang gerak dalam dunia mikroskopis dan gerak benda-benda yang berkecepatan cahaya atau yang mendekati kecepatan cahaya. Suatu pemikiran yang telah mengubah pandangan dan pola pikir manusia untuk mencapai hakekat suatu realitas tertinggi dalam penciptaan alam semesta dan makhluk-makhluk khususnya manusia.

Fisika Modern Menuju Fenomena Metafisika

Kesadaran dapat mempengaruhi materi dan mengubahnya. Puncak perubahan materi adalah menjadi kesadaran.
Pandangan bahwa pikiran dapat mentransendensikan dan menganggap superhologram gelombang atau partikel yang berputar-putar seolah-olah sebuah mimpi atau fantasmagaria imajinasi bergeser dari pengalaman kesulitan untuk mengukurnya. Kesadaran akan benar-benar bisa menciptakan materi, peristiwa tersebut adalah puncak keajaiban bukti akhir bahwa non-fisik, yakni kesadaran, bisa menguasai dunia fisik. Hal ini memungkinkan untuk materi dan energi bisa saling dipertukarkan sebagaimana yang diformulasikan oleh Albert Einstein sebagai E = m.c2 atau dengan kata lain bahwa materi adalah energi yang sangat mampat[35] atau energi adalah materi yang dibebaskan. Energi benda akan bertambah dengan bertambahnya gerak massanya[36] Formula tersebut menyatakan ekivalensi antara massa dan energi. E adalah energi, m merupakan massa, dan c2 adalah kuadrat laju cahaya (di vakum). Formula sederhana inilah yang merangkum semua gejala alam semesta[37].
Massa suatu benda akan bertambah sebanding dengan kecepatan relatifnya terhadap pengamat sehingga dapat dikatakan massa bukanlah suatu yang tetap, ini terlihat  bila hanya mendekati kecepatan cahaya yang dirumuskan sebagai berikut :
    
dimana m adalah massa benda bergerak dengan laju v terhadap pengamat dan mo adalah massa benda yang diukur saat benda itu diam terhadap pengamat.
Gerak adalah bentuk energi, maka massa pun akan dapat berubah menjadi energi. Jika materi menumpahkan massanya dan melaju dengan kecepatan cahaya kita menamakannya “radiasi atau energi”. Sebaliknya bila energi membekukan dan mengambil bentuk yang berbeda kita menamakannya materi[38].
Teori Einstein tentang kesetaraan massa dan energi tersebut telah membuka kemungkinan baru untuk memperoleh energi dari pemecahan atau penggabungan massa, sebagai contohnya adalah pada reaksi fisi (pemecahan inti) yaitu bila sebuah partikel neutron berhasil masuk ke dalam inti atom uranium maka inti atom uranium akan menjadi lebih tidak stabil dan akibatnya mengalami pembelahan yang menghasilkan dua buah atom materi lain, dua sampai tiga buah neutron baru, dan energi. Total massa seluruh materi yang terbentuk sesudah terjadinya pembelahan inti atom uranium lebih kecil daripada sebelum terjadi pembelahan[39]. Selisih massa inilah yang berubah menjadi energi yang dirumuskan sebagai berikut :
            …[40]
keterangan :
n = neutron
U = uranium
F1 = fraksi 1
F2 = fraksi 2
E = energi yang dibebaskan
Kecepatan cahaya c yang konstan dalam formula Einstein tersebut merupakan bagian penting dan fundamental bagi teori relativitas. Cahaya adalah suatu gelombang elektromagnetik yang tersusun atas dua medan getaran (vibrasi), yaitu : medan listrik E dan medan magnet B. Cahaya tersebut disifatkan oleh panjang gelombang λ dan frekuensi υ. Dua besaran tersebut dihubungkan oleh laju perambatan cahaya c dengan relasi  :
λ.υ = c/n
 
 


dimana n merupakan indeks bias media. Laju perambatan cahaya bergantung pada media. Pada ruang hampa n = 1, diperoleh c = λυ = 3.108 m/s. [41]
Kapanpun apabila mendeskripsikan  fenomena-fenomena fisika termasuk kecepatan-kecepatan yang mendekati kecepatan cahaya, maka deskripsi tersebut harus memperhitungkan teori relaivitas[42].
Materi yang merupakan energi yang dimampatkan tidak dapat dianggap sebagai ada atau tidak ada. Kesadaran tidak dapat benar-benar menciptakan materi, tidak ada sesuatu termasuk juga materi, yang ada hanyalah campur tangan konstruktif alam yang menembus semua realitas yang mungkin berada di luar persepsi, maka dalam eksperimen Schrödinger kesadaran tidak menciptakan seekor kucing yang hidup atau seekor kucing yang mati. Eksperimen itu hanya memutuskan alam mana yang akan terjadi[43]. Gambaran dari eksperimen Schrödinger adalah sebagai berikut : Seekor kucing dimasukkan ke dalam sebuah ruang dengan sebuah alat pencacah Geiger yang berisi cukup materi radioaktif sehingga dalam satu jam inti mempunyai 50% kesempatan untuk hancur. Di bawah alat Geiger yang memancarkan  bahan radioaktif itu, sebuah palu yang diletakkan secara khusus akan memecahkan botol yang berisi gas beracun. Menurut fungsi gelombang Schrödinger, setelah satu jam, sistem ini akan menghasilkan satu keadaan dimana kucing yang hidup dan mati “dicampur” dalam posisi yang sama[44].
 







Kucing Schrödinger. Pada akhir eksperimen, persamaan matematika memprediksikan bahwa kucing itu akan hidup dan mati dalam proporsi campuran[45].

Realitas pada hakekatnya bersifat mental. Realitas itu ditandai dengan adanya kebalikan, suatu gambaran tentang realitas karenanya juga dipenuhi dengan adanya kebalikan-kebalikannya. Seorang ahli nuklir Denmark Neils Bohr pernah berkata, “Ada dua jenis kebenaran, yaitu kebenaran yang dangkal, yang kebalikannya jelas salah. Tapi ada juga kebenaran yang dalam yang kebalikannya sama-sama benar[46].
Para fisikawan mengatakan bahwa dunia ini bersifat omnijektif sehingga peran kesadaran tersebut harus dipikirkan masak-masak. Kesadaran adalah pembentuk realitas. Pada saat bermimpi objeknya diwujudkan dalam bentuk keadaan mental. Pada saat bangun objeknya diwujudkan dalam keadaan materi. Untuk mendapatkan kekuatan yang menguasai realitas tersebut perlu mencapai keadaan kesadaran suci dimana dunia fisik tidak lagi terlihat sebagai realitas yang terpisah dari pikiran[47]. Fisika kontemporer dengan gamblang memberi tahu bahwa tidak mungkin mengamati realitas tanpa mengubahnya[48].
James Jeans mengatakan bahwa alam semesta lebih tampak sebagai sebuah ide sempurna daripada sebuah mesin sempurna. Pikiran tidak lagi dipandang sebagai penyusup asing di dunia materi. Eugene Wigner mengatakan bahwa hasil-hasil kuantum akan tertentu hanya ketika mereka memasuki kesadaran seseorang[49].
Materi adalah hidup, tidak ada perbedaan antara yang hidup dan yang mati, antara ruh dan materi, semua bentuk eksistensi sebagai manifestasi-manifestasi dari “fisik”, dianugerahkan bersama hidup dan spiritualitas. Wujud adalah tunggal dan tetap. Perubahan-perubahan yang tampak di dunia ini sebagai ilusi-ilusi murni panca indera[50].
Atom mempunyai bagian yang disebut proton, neutron,  dan elektron yang ketiganya merupakan nukleus, inti dari atom. Elektron sifatnya suka bergerak dan bergeraknya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Oleh karena itu ia aktif, berputar dengan tidak berakhir di atas garis edar yang tepat dalam atom, seperti perputaran planet di alam raya. Oleh karena itu elemen yang dapat ditunjuk sebagai jiwa atau zat hidup adalah elektron[51].
Fisikawan E.H Walker berspekulasi bahwa foton mungkin memiliki kesadaran dengan mengatakan bahwa kesadaran mungkin terkait dengan semua proses mekanika kuantum, karena segala yang berlangsung pada akhirnya merupakan akibat dari satu atau lebih peristiwa mekanika kuantum, alam raya “dihuni” oleh bermacam-macam kesadaran yang jumlahnya hampir tak terbatas, umumnya berupa entitas-entitas “non pikir” yang bertanggungjawab atas segala apa yang berlangsung di alam raya[52]. Hal ini disebabkan atom-atom bukanlah blok-blok bangunan dasar materi, tetapi merupakan susunan yang terbentuk dari entitas-entitas yang lebih kecil[53].
Sebuah entitas subatomik memperlihatkan sifat sebuah partikel sekaligus sebuah gelombang. Ketika berperilaku sebagai partikel, entitas-entitas ini seolah-olah dibungkus menjadi sebuah volume ruang yang sangat kecil, sesuatu yang mirip peluru. Ketika berperilaku seperti gelombang entitas-entitas ini tampak menyebar dalam ruangan pada kawasan yang luas[54].
 


               gelombang                                               partikel
Kemampuan menstrukturkan realitas sangat mirip dengan perilaku acak partikel-partikel dalam gerak Brown yang dapat dihubungkan dengan aktifitas-aktifitas manusia atas kemauannya sendiri. Kesadaran dapat menghasilkan sebuah medan biogravitasi yang dapat berinteraksi dan mengubah medan gravitasi yang mengendalikan materi[55].

Holisme Fisika Kuantum

1.        Tinjauan Fisika Modern
Dunia fisika menurut mekanika kuantum adalah bukan merupakan struktur yang terbentuk dari entitas mandiri yang tidak bisa dianalisis, tetapi lebih merupakan jaring hubungan diantara elemen-elemen yang maknanya akan muncul secara keseluruhan dari hubungannya dengan keseluruhan yang utuh[56].
Fungsi gelombang menunjukkan dua model perkembangan yang sangat berbeda. Model pertama adalah sebuah perkembangan halus dan dinamis yang bisa diprediksi karena sesuai dengan persamaan gelombang Schrödinger. Model yang kedua bersifat terputus dan melompat-lompat yang disebut keruntuhan fungsi gelombang. Transmisi dari model pertama ke model kedua disebut lompatan kuantum yang merupakan keruntuhan yang mendadak dari semua aspek yang berkembang dalam fungsi gelombang, kecuali satu yang teraktualisasikan (menuju aktualitas tunggal). Lompatan kuantum juga merupakan lompatan dari satu realitas dengan dimensi yang tak terbatas ke dalam satu realitas yang hanya berdimensi tiga[57].
Kesadaran manusia yang menyebabkan fungsi gelombang mengalami keruntuhan adalah introspeksi atau penunjukkan diri (self reference), kesadaran memberikan pandangan atas keadaannya sendiri, menentang rantai koordinasi statistik[58].
Karakteristik gelombang dan partikel cahaya disatukan oleh mekanika kuantum, dan untuk menjelaskan realitas dihubungkan dengan dunia spekulasi metafisik[59].
Keadaan kuantum tersebut menunjukkkan adanya pandangan integrasionis yag sangat mengejutkan tentang hubungan antar sistem yang berinteraksi satu sama lain bagaimanapun jauhnya jarak pisah pada kejadian selanjutnya. Ini menunjukkan adanya tingkatan realitas yang berada diluar waktu, ruang, energi, dan materi, tetapi masih memiliki efek kausal terhadap tingkatan realitas material[60], sebagai contohnya adalah alat-alat terapi kesehatan yang digunakan oleh Dr. Djoko Sasmita di Pesantren ISITEKS Imogiri yang menggunakan pancaran gelombang sikla yang sifatnya nirkabel yang menyebabkan pasien dapat didiagnosis penyakitnya dengan sistem tele (jarak jauh). Alat terapi dengan sistem demikian meniadakan variable ruang sehingga pemeriksaan dapat dilakukan dimanapun, artinya gelombang terapi berpindah secara kuantum[61].
Fungsi gelombang menjelaskan realitas fisik pada tingkat yang paling mendasar (subatom), dunia fisika tampak sebagai substansi yang lengkap (yang terbentuk oleh benda-benda)[62].
Teori relativitas Einstein menunjukkan bahwa alam raya ini mungkin tampak seperti kotak besar yang tertutup dan bila demikian kita tidak mungkin “keluar” dari sana[63]. Alam semesta merupakan suatu medan yang mengandung energi, sedangkan energi setara dengan massa, maka boleh dikatakan seluruh ruang alam berisi “materi”. Materi inilah yang menentukan struktur atau bentuk ruang alam semesta[64].
Fisika kontemporer memberitahukan bahwa seorang pengamat tidak bisa melakukan pengamatan tanpa mengubah apa yang ia lihat. Pengamat dengan yang diamati saling terkait dalam pengertian yang riil dan fundamental, apa yang dialami bukanlah realitas eksternal tetapi merupakan interaksi kita dengan realitas itu. Ini yang disebut dengan asumsi fundamental tentang “komplementari atau saling melengkapi” yang merupakan konsep yang dikembangkan oleh Niels Bohr untuk menjelaskan dualisme gelombang dan partikel dari cahaya[65].
2.        Eksistensi Materi Dalam Pandangan Fisika Kuantum
Sejak era Newtonian, para fisikawan telah percaya bahwa semua fenomena fisik dapat direduksi menjadi sifat-sifat partikel yang keras dan padat. Namun teori kuantum telah memaksa mereka untuk menerima fakta bahwa objek-objek material padat fisika klasik lenyap pada level subatomik menjadi gelombang mirip pola-pola probabilitas yang lebih berupa kemungkinan saling hubungan (Interkoneksi) antara benda-benda sehingga dikatakan partikel-partikel subatomik bukan benda[66].
Elektron-elektron yang terdapat di dalam atom hanya menunjukkan ‘’kecenderungan untuk berada”, dan ini merupakan sifat inheren dari elektron itu sendiri yang memiliki sifat sebagai partikel dan gelombang[67].
Mekanika kuantum memandang partikel subatomik sebagai ‘’kecenderungan untuk ada atau kecenderungan untuk terjadi”. Seberapa kuat kecenderungan itu diekspresikan dengan bentuk probabilitas. Sebuah partikel subatom disebut kuantum yang berarti sebuah ukuran kuantitas sesuatu[68].
Dunia bukan terdiri atas benda-benda melainkan terdiri atas interaksi-interaksi sifat-sifat yang merupakan milik interaksi, bukan milik benda yang secara independen. Niels Bohr menuliskan bahwa mekanika kuantum secara inti membawa konsekuensi pentingnya pembuangan akhir ide klasik mengenai sebab akibat dan revisi radikal pada sikap kita terhadap masalah realitas fisik[69].
Einstein berpendapat bahwa seluruh tubuh material di alam semesta selalu dalam keadaan gerak dan seluruh gerak adalah relatif[70].
Ilmu pada tingkat peristiwa subatom, tidak lagi bersifat “pasti”, pemisahan antara objektif dan subjektif tidak ada lagi dan batasan perwujudan alam raya sebagaimana yang diketahui dahulu[71].
Alam tidak menunjukkan balok-balok bangunan apapun yang terisolir, melainkan lebih memperlihatkan suatu jaringan kompleks hubungan-hubungan diantara aneka bagian dari sebuah keseluruhan yang utuh.
Partikel-partikel subatomik tidak dapat dimengerti sebagai entitas-entitas terpisah melainkan harus didefinisikan melalui interelasi-interelasinya. Henry Stapp mengatakan,“sebuah partikel elementer bukanlah suatu entitas yang tidak dapat dianalisis dan benda secara bebas. Ia adalah pada dasarnya setumpuk hubungan yang menjangkau keluar menuju benda-benda lain Menurut mekanika klasik sifat-sifat dan perilaku bagian-bagian menentukan keadaan keseluruhan, dalam mekanika kuantum situasinya terbalik “keseluruhan yang menentukan bagian-bagian tersebut”[72].
Berlakunya hukum-hukum alam menyebabkan semua makhluk, baik ruang kosmos, atom-atom, molekul-molekul, partikel-partikel, dan seluruh materi yang tersusun, benda-benda sampai matahari, bumi, bintang, galaksi bimasakti dan sebagainya berjalan dengan kontinum ruang waktu sesuai dengan penggarisan hukum-hukum tersebut[73].
3.        Ruang Dan Waktu
Menurut teori relativitas khusus Einstein, waktu bukanlah suatu besaran mutlak, tetapi relatif, yang bergantung pada keadaan gerak sang pengamat[74],  dirumuskan sebagai berikut :
                                      Δt = Δt’ √ 1 – (v/c)2  
Waktu yang diambil untuk kejadian sebagaimana direkam oleh pengamat stasioner pada kejadian tersebut dinamakan  waktu diri (Δt), sedangkan Δt’ adalah waktu pengamat yang bergerak dengan kecepatan v, tidak peduli berapa besar atau arah v [75].
Alam semesta tidak akan pernah bisa dipisahkan dari waktu dalam teori relativitas, lengkungan yang disebabkan oleh gravitasi tidak bisa dibatasi menjadi ruang tiga dimensi, harus diperluas menjadi ruang waktu empat dimensi. Waktu tidak mengalir dalam kecepatan yang sama seperti dalam ruang waktu yang datar [76]. Menurut Einstein struktur ruang waktu memiliki sifat geometris atau lekukan yang tampak dengan sendirinya dalam fenomena seperti gravitasi[77]. Ruang dan waktu membentuk keseluruhan yang terpadu, dan materi energi diidentifikasikan sebagai kelengkungan ruang[78].
Ruang dan waktu sepenuhnya ekuivalen, mereka digabungkan dalam kontinum empat dimensi yang didalamnya interaksi-interaksi partikel dapat meregang kesetiap arah, setiap pengamat dapat mengalami fenomena-fenomena hanya dalam proses pergantian antar bagian dalam ruang waktu, yakni dengan pola urut yang sifatnya sementara[79]. Ekuivalensi ruang dan waktu diwujudkan dalam sebuah persamaan  yang dibuat oleh A.H Lorenzt, dimana koordinat-koordinat ruang x, y, z, dan koordinat waktu t dihubungkan menjadi sebagai berikut :
             s2 = x2 + y2 + z2 – c2t2

                       ct

                                         ct’

                                    E      x’

                                                                                                                             x
E merupakan suatu peristiwa yang dikaitkan dalam suatu koordinat (x,y,z,t), dimana sumbu x mewakili arah ruang dan sumbu ct mewakili waktu yang diukur dalam unit-unit kompatibel dengan unit-unit pada sumbu x. bagi pengamat lain yang bergerak relatif terhadap pengamat pertama, koordinat-koordinat dari peristiwa yang sama ini dapat ditandai dengan sumbu lengkung x’ dan ct’. Kerucut yang ditentukan oleh s2 = 0, dimana s adalah ekuivalensi ruang dan waktu empat dimensi, sehingga persamaan di atas membagi arah ruang dan waktu menjadi tiga kelompok, yaitu :
1.     menyerupai ruang, dimana s2 = 0
2.     menyerupai waktu masa mendatang, dimana s2 < 0
3.     menyerupai waktu masa lalu, dimana s2 > 0    [80]
Sistem koordinat ruang waktu memiliki signifikansi objektif seperti halnya sebuah kesatuan fisik yang terpisah. Koordinat-koordinat ruang waktu hanyalah elemen-elemen bahasa yang digunakan seorang pengamat untuk mendiskripsikan lingkungannya, ruang dan waktu tidak lain adalah nama-nama, bentuk-bentuk pemikiran, kata-kata dari pemakaian biasa[81], Einstein berpendapat sebagaimana Minkowski, bahwa ruang dan waktu bukanlah entitas-entitas yang terpisahkan. Keduanya merupakan sebuah kontinum atau aspek-aspek yang berbeda dari “sesuatu” yang penting dan sama. Ruang dan waktu hanyalah elemen-elemen dari sebuah bahasa yang mengekspresikan alam dalam sebuah kerangka acuan[82].
Ruang dan waktu merupakan aspek-aspek yang berbeda dari sesuatu yang sama yang berisikan sebuah kontinum empat dimensi dimana tidak ada aliran waktu universal. Pengamat-pengamat yang berbeda akan menatap peristiwa-peristiwa dalam urutan waktu yang berlainan tergantung pada posisi dan kecepatannya terhadap peristiwa-peristiwa yang diamati[83] . Jadi setiap ukuran ruang dan waktu adalah bersifat relatif, setiap spesifikasi spasial tergantung posisi pengamat dan itu bersifat relatif[84]. Kerelatifan ruang dan waktu itu dipengaruhi oleh gerak relatif, sehingga ruang dan waktu menurut teori relativitas dapat berubah dari sistem inertial yang satu ke sistem inertial yang lain[85].
Ruang dan waktu dibagi menjadi tiga yaitu masa depan, masa lalu, dan masa yang secara literer berada di luar ruang waktu yang bisa kita sebut berada di “tempat lain” yang dapat digambarkan dengan kerucut cahaya sebagai berikut :
 


                        
                        Masa depan

Tempat lain                  E          Tempat lain
                        
                         Masa lalu
 



Satuan-satuan ruang dan waktu yang biasa dikehidupan kita sehari-hari, nilai (kelajuan cahaya) sangat besar. Bagi pengamat di titik E (bisa dikatakan ini adalah masa sekarang) kerucut cahaya ini menjadi sangat datar. Tempat lain tersebut sebagai perpotongan maya antara masa lalu dan masa depan sehingga digambarkan sebagai berikut [86]:
                                                        Masa depan
                                                                                                               Masa kini
                                                    Masa lalu    
Penghuni alam satu dan dua dimensi khayal ini tidak perlu ‘’berkelana’’ ke dalam ruang yang berdimensi lebih tinggi untuk mengetahui tentang waktu. Pengukuran kelengkungan dapat seluruhnya dilakukan dengan menggunakan sistem koordinat pada ruang-ruang itu[87].
Struktur ruang tergantung pada pengaruh fisik, tidak tetap melainkan penjumlahan sifat-sifat yang dapat diterangkan secara empiris diantaranya ialah hukum gravitasi, sementara itu waktu adalah perpindahan-perpindahan simbolik menurut tempat. Waktu yang kita tentukan dengan jam, hari, bulan, dan tahun tidak lebih dari istilah-istilah yang menggambarkan peredaran bumi mengelilingi matahari atau lebih tepat semua itu merupakan istilah tentang berbagai kedudukan dalam hal tempat, sehingga waktu merupakan satuan yang berubah-ubah yang tidak ada di alam ini yang disebut “satu waktu” yang bersambung semenjak alam diciptakan sampai sekarang, yang ada ialah sejumlah waktu. Transformasi di alam ini tidak sanggup membuat persamaan waktu diseluruh penjuru alam[88].
BAB III
PEMIKIRAN TASAWUF

A.    Realitas Kausalitas
Tuhan dan dunia tidak merupakan dua hakekat yang sesungguhnya terpisah dan yang ada diluar yang lain, melainkan bahwa Tuhan sendiri merupakan segala-galanya, sedangkan segalanya itu modus, partisipasi dalam ketuhanan. Ia tinggal dalam segalanya, segalanya itu bukan Tuhan, melainkan bersifat Ilahi. Dunia terlebur dalam Tuhan, dunia merupakan bagian dari hakekat-Nya [89].
Adanya dunia ini mustahil tanpa adanya penggerak pertama, sebab musabab pertama yang mutlak ada, pengatur tertinggi yang kita namakan Tuhan[90].
Tuhan dalam mengatur memiliki dua macam sifat pengaturan yaitu yang bersifat spiritual (rohaniah) dan material. Firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-A’raf ayat 54 :
ااِنَّ رَبَّكُمُ الله ُ الّذِيْ خَلَقَ السَّمَوَتِ وَاْلاَرْضَ فِي سِتَةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى اْلعَرْشِ
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas ‘arsy ……       [91]
Menciptakan dalam ayat di atas menunjuk pada penciptaan alam fisikal, sedangkan potongan kelanjutan ayatnya yaitu :

اَلاَلَهُ اْلخَلْقُ وَاْلاَمْرُ تَبَرَكَ الله ُ رَبُّ اْلعَلَمِيْنَ

Ingatlah menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah Maha Suci. Allah Tuhan semesta alam ……[92]
Memerintahkan dalam potongan ayat ini menunjuk pada dunia spiritual[93].
Aspek pengaturan yang berlaku dalam setiap bagian alam maujud (benda, materi) tidak meragukan bahwa Tuhan alam maujud telah membatasi ilmu-Nya sebelum alam maujud diciptakan secara menyeluruh dan secara terinci. Alam maujud (dunia) berjalan dalam dalam tata aturan dengan tidak tetinggal (terlepas) dan tidak keluar darinya[94].
Dunia terus menerus bergantung pada Tuhan yang tidak berdiri di luar alam ciptaan-Nya, melainkan dalam segala sesuatu yang ada hadir karena daya pemeliharaan-Nya, sehingga Tuhan dan materi abadi bersama, hanya saja Tuhan bersifat tidak berubah, sedangkan materi dapat berubah. Ada dua esensi yang telah ada sejak permulaan, yaitu bahwa pelaku tidak melahirkan materi tetapi hanya menganugerahkan eksistensinya kepada mereka[95]. Oleh sebab itu menurut Ibnu ‘Arabi, bahwa sesungguhnya hanya ada satu zat yang mewujud dalam dirinya sendiri[96]. Tiada yang benar-benar ada kecuali Tuhan. Segala yang selain-Nya adalah noneksisten, baik ia berada di dalam atau di luar diri kita dan segala yang ada di dalam maupun di luar dunia ini. Segala yang disebut realitas tiada lain adalah realitas dan tidak mungkin ada dua realitas yang dapat sepenuhnya independen, sebab hal itu akan berarti bahwa ada dua Tuhan[97].
Abul Hasan Asy’ari berpendapat bahwa eksistensi Tuhan adalah diri (‘ain) dari sebuah kesatuan dan bukan sebagai tambahan dari luar dan eksistensi dari makhluq adalah diri dari esensi itu sendiri[98].
Teori emanasi (madzhab syuhudiyyah) menyatakan bahwa Tuhan hadir dimana-mana. Pengamat memang satu, namun cermin yang memantulkannya amat banyak. Banyaknya pantulan yang dihasilkan tidak mempengaruhi ke-Esa-an dari (sumber cahaya) yang dipantulkan oleh banyak cermin. Ia hadir di dalam pantulan yang ada di setiap cermin[99].
Penciptaan baik dunia maupun maupun bentuk-bentuk terbatas, yang ada di dalamnya merupakan nama lain dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan perbuatan-perbuantan-Nya adalah pengejawantahan dari sifat-sifat-Nya[100].
Manusia adalah abstrolabnya© Tuhan. Ditangan seorang astronom astrolab akan sangat bermanfaat karena siapapun yang mengetahui dirinya , dia akan mengetahui Tuhannya. Ketika Tuhan membuat mengetahui dirinya melalui diri orang itu sendiri dia akan mampu menyaksikan pengejawantahan Tuhan dan keindahan sempurna-Nya saat demi saat dan kedip demi kedip[101].
Menyaksikan pengejawantahan Tuhan dan keindahan sempurna-Nya dilakukan dalam kondisi spritual ma’rifat yakni pengetahuan bahwa apapun yang terbayang dalam hati, Tuhan adalah kebalikannya[102] dan sifat dari orang yang mengenal Allah SWT melalui Nama-Nama serta Sifat-Sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan muamalatnya kemudian menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, kemudian menikmati keindahan dekat dengan-Nya, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaannya[103].
Orang yang mengalami penyaksian (syahadah) harus menegasikan dunia dan dirinya sendiri sebagai realitas yang terpisah dan setelah itu meyakini sepenuhnya bahwa keduanya merupakan pengejawantahan wujud Tuhan[104] karena persetujuan dan pertentangan adalah penyebab adanya dualitas. Ketika seseorang mencapai dunia dimana tidak ada tempat untuk dualitas dan yang ada hanyalah persetujuan murni maka dia akan melepaskan kategori persahabatan dan permusuhan[105].
Hal di atas adalah suatu pengalaman mistik yang dialami oleh seseorang yang berjalan untuk mencapai maqam yang tinggi di sisi Allah SWT. Pengalaman mistik adalah pengalaman menyatu dengan Tuhan atau jiwa kosmik[106] dengan hanya membukakan kepadanya dalam jiwa sebagaimana pula dalam alam semesta karena realitas adalah satu, suatu tindakan bergabung dengan cinta sepanjang hal itu dilakukan tanpa pamrih, dan ia bergabung dengan pengetahuan sepanjang ia diiringi dengan kesadaran bahwa Tuhan adalah agen atau pelaku sejati ; hal yang sama yang berlaku bagi penolakan, vocao deo, yang hanya dapat berasal dari Tuhan dalam pengertian bahwa kekosongan mistik memperpanjang kekosongan prinsip[107].
Kemenyatuan dengan gambaran-Nya adalah sebuah keadaan yang luar biasa, tetapi persatuan dengan yang tercinta diatas segalanya. Penyatuan yang oleh kalangan sufi dikatakan sebagai Al-Jam’u yang bisa diartikan sebagai penyatuan kesaksian yang diperoleh dengan pencarian dalil dengan menggunakan atsar atas pemberi atsar, dengan menggunakan ciptaan atas pencipta. Semua penciptaan merupakan kesaksian, dalil, dan atsar[108].
Keseluruhan masalah penciptaan atau manifestasi universal berakar pada hakekat prinsip Ilahi. Realitas absolut memproyeksikan dunia karena sifat-Nya yang tak terhingga memerlukannya, yang ingin dikenal melalui, dan di dalam pemulaan dari relativitas; mengatakan “ciptaan” Nya, bukan Dia “menciptakan” adalah suatu cara mengekspresikan kemungkinan atau relativitas dunia, dan dalam pengertian tertentu, melepaskannya dari penyebab transenden. Yang Absolut adalah realitas tertinggi dalam dirinya sendiri, seperti titik yang tak memuat apa-apa selain dirinya sendiri, karena ciptan atau manifestasi adalah hakekat Ilahi; Tuhan tidak dapat mencegah Dirinya sendiri untuk memancarkan, dan karena itu, untuk memanifesatasikan Dirinya atau mencipta, karena Dia tidak dapat mengingkari Dirinya yang tak terbatas[109].
Tuhan bagaimanapun juga eksis (ada),dan jika kita menempatkan eksistensi kita dekat pada eksistensi-Nya, kita akan melihat bahwa kita sepenuhnya berasal dari-Nya. Dengan demikian kita tidak memiliki eksistensi, kita hanya menerima pancaran eksistensi-Nya[110].
B.    Tinjauan Mengenai Ruang Dan Waktu
Masa kini merupakan batas antara masa lalu dengan masa mendatang dan ini disebut barzakh. Barzakh masa kini adalah wahdat[111].
Waktu adalah seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, maupun yang akan datang. Waktu adalah batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan untuk bekerja[112]. Kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain[113].
Waktu merupakan ungkapan tentang kedekatan satu peristiwa dengan peristiwa lain atau merupakan hubungan antara dua peristiwa. Waktu merupakan wadah pembentukan secara temporal yang di dalamnya ada kejadian.[114]
Esensi waktu (al-waqt) menurut penelaah ahli hakikat adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq , “Waktu adalah sesuatu yang anda berada di dalamya. Kalau anda di dunia, maka waktu anda adalah dunia. Bila di akherat, maka waktu anda adalah akherat. Ketika anda senang, maka senang itulah waktu anda. Kalau anda susah, susah itulah waktu anda”[115]. Artinya waktu adalah keadaan yang lebih menguasai manusia, atau waktu adalah apa yang ada diantara dua masa, lampau dan mendatang[116]. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam surat Thaha ayat 40, yaitu :

ثُمَّ جِئْتَ عَلَىَ قَدَرِيَّمُوْسَى

Kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa……[117]
Waktu yang sebenarnya menurut para sufi adalah tenggelamnya rupa waktu dalam wujud Allah, jika orang berjalan dengan membawa makna ini, maka dia tenggelam dalam waktunya, maka semua waktunya tidak akan terasa[118]. Sufi menyebut dirinya sendiri sebagai “putra waktu” (ibnu al waqt) yaitu ia ditempatkan dalam kehadiran Tuhan tanpa ada kemarin dan hari esok, dan kehadiran ini tidak lain adalah refleksi dari kesatuan; yang satu memproyeksikan diri ke dalam waktu “sekarang” nya Tuhan, yang berbarengan dengan keabadian[119]. Kekinian (sekarang)nya Ilahi (Tuhan) adalah titik diam yang dalam dirinya sendiri memuat seluruh gerakan keabadian tanpa awal, azal, menuju keabadian tanpa akhir, abad, sebagai yang terbatas; sebab bahkan waktupun akan berakhir, karena segala sesuatu akan musnah dan hanya kekinian Ilahi yang tetap tinggal[120]. Oleh karena itu menurut Al-Junayd, waktu itu sangat mulia. Jika ia telah lewat maka tak akan didapatkan kembali. Waktu adalah diantara apa yang telah berlalu dengan yang bakal datang[121].
Waktu yang dikaitkan dengan cakrawala dunia ciptaan kita adalah tahapan yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari dan dimana kita bertindak, tetapi begitu waktu membawa sang pencari keluar dari dirinya sendiri dia mengalami waktu antusi, waktu ruhaniah, saat ketika pengertian normal tidak mempunyai arti lagi[122].
Orang sufi membagi waktu menjadi empat golongan, yaitu :
1.        Orang-orang yang bersama waktu lampau. Hati mereka senantiasa ada dalam ketetapan Allah, karena mereka menyadari bahwa hukun azaly tidak bisa dirubah oleh usaha hamba.
2.        Orang-orang yang bersama waktu mendatang. Pikiran mereka hanya tertuju kepada kesudahan urusan mereka, karena segala urusan dan amal diukur dari kesudahannya.
3.        Orang-orang yang bersama waktu yang ada. Perhatian mereka hanya tertuju pada waktu yang ada dan hukum-hukumnya, sebagaimana yang mereka katakana, “Orang yang arif ialah yang menjadi anak waktunya, tidak ada waktu lampau dan tidak ada waktu mendatang”.
4.        Orang-orang yang bersama pemilik waktu, penguasa dan yang menanganinya, yaitu Allah, dan mereka tidak peduli terhadap waktu itu sendiri. [123]
Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya. Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi ( ash-shahw ) maka ia tegak mandiri dengan syariat. Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat[124]
C.    Tinjauan Mengenai Alam Semesta
Dunia diciptakan dengan membungkus gagasan-gagasan Ilahi dengan sosok materi[125]. Kosmos dan kekuatannya merupakan kumpulan hukum alam semesta yang menggambarkan adanya kesatuan dibalik penampilan yang beragam sehingga dapat dipergunakan dengan sebiak-baiknya dalam menyimpulkan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur[126].
Alam sebagai keseluruhan, maupun bagian-bagiannya tersusun. Setiap yang tersusun mesti baru, selalu berubah-ubah dari satu form (bentuk, rupa, surah) kepada form yang lain, tidak mungkin mempunyai form yang asli, yang azali, dan qadim. Kalau tidak mempunyai form berarti tidak mempunyai wujud, karena form meliputi bentuk, volume, timbangan, warna, bau, rasa, dan sebagainya, sehingga form kehilangan (tidak mempunyai) wujud, sehingga bentuk tidak pernah memiliki wujudnya sendiri , ia hanyalah penampakan dari makna yang berada dibalik penampakan wujud luarnya[127].
Bentuk adalah penampakan luar, makna adalah hakekat yang tidak terlihat, realitas yang tersembunyi. Makna, hakekatnya hanya Tuhan yang mengetahui. Masing-masing bentuk memiliki maknanya sendiri-sendiri di dalam Tuhan[128].
Bentuk adalah ruang dan makna adalah tanpa ruang. Keduanya merupakan aspek luar dan aspek dalam dari realitas tunggal, masing-masing dari keduanya penting sebagai suatu kesatuan tunggal[129]. Ketika kata “bentuk” diterapkan, ia senantiasa mengindikasikan akan “makna” yang tersirat dalam pikiran yang berada diseberang bentuk dan memberinya wujud[130]. Segala penampakan luar berasal dari keragaman gambaran-gambaran yang tampak. Gambaran yang tercinta adalah realitas yang tercinta itu sendiri yang berada diseberang bayang-bayang-Nya sendiri yang lebih nyata dibandingkan dengan realitas dunia.
Unsur-unsur yang sering menunjuk pada pilar-pilar dunia materi merupakan tujuan-tujuan dasar ontologis yang diberikan pada dunia oleh sifat-sifat ketuhanan dan menggambarkan pengejawantahan dari nama-nama-Nya[131].
Ibnu Al-‘Arabi memetakan dunia ruhaniah dan menggambarkan strata perwujudan Ilahi melalui mana esensi Ilahi yang tidak tertembus mengungkapkan diri-Nya sendiri untuk mengungkapkan konsep ruang waktu yang suci. Wilayah imajinasi (mundus imajinalis) ditempatkan diantara dunia kerajaan langit dan kerajaan manusia dimana ia merupakan suatu gudang kemungkinan yang menunggu realisasi dan dapat dicela oleh ambisi ruhaniah si orang suci[132].
Tatanan Ilahiah sama seperti batas-batas ruang waktu yang tak dapat kita bayangkan mewajibkan kita untuk menerima Yang Tak Terhingga, dan juga fakta bahwa eksistensi terkecil adalah absolut dalam hubungannya dengan ketiadaan, atau fakta bahwa hukum-hukum fisika, matematika, dan logika selalu tetap, pada analisis terakhirnya memberikan kesaksian tentang Tuhan yang absolut dan membuat kita tidak ada pilihan lain kecuali menerimanya[133].
D.    Hubungan Antara Subjek Dan Objek Dalam Alam Semesta
Kaum sufi menyatakan bahwa nafs adalah keinginan, qalbu dengan mengetahui, jiwa dengan pandangan, pandangan dengan perenungan, dan zat dengan muncul. Zat muncul, maka kita juga muncul dan semua citra berasal dari kemunculan ini. Karena zat merenung maka kita juga merenung (zikir). Zat melihat, maka kita juga melihat (sinar adalah tahap jiwa). Zat mengetahui, maka kita juga mengetahui (tahap qalbu). Zat berkeinginan, maka kita juga berkeinginan (tahap nafs). Pandangan dan pengetahuan bukan merupakan bagian-bagian dari jiwa[134].
Zat memandang diri-Nya di dalam sifat dan ini adalah iluminasi (tajalli). Sifat bagaikan raksa dalam cermin, kemudian mewujud melalui iluminasi, sehingga menimbulkan kegandaan (dualitas) yang mewujudkan dirinya sebagai jiwa. Apabila jiwa melihat dirinya sendiri maka hal tersebut hanyalah mitsal, dan lapisan pada cermin adalah jasad[135].
Setiap orang adalah sebuah miniatur atau mikrokosmos yang merupakan cerminan dari makrokosmos. Suatu kebenaran universal yang dinamakan hukum alam yang didasarkan pada akal manusia yang abadi dan universal. Hukum alam mengatur seluruh manusia, sehingga perbedaan antara ruh dan materi terhapus. Materi adalah kegelapan yang tidak mempunyai keberadaan yang nyata, sementara itu cahaya adalah Tuhan[136].
Kosmos bergantung sepenuhnya pada Tuhan untuk eksistensi dan realitasnya. Setiap kali Tuhan menciptakan sesuatu yang bersifat sementara, Dia menciptakan secara berpasangan sebagai dua benda yang dikaitkan satu sama lain atau berlawanan satu sama lain. Tuhan esa dalam esensi dan sifat-sifat. Dia tidak dapat diperbandingkan dengan setiap orang dan terpisah dari segala benda[137], sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat Asy-Syuura ayat 11 :
فَاطِرُ السَّمَوَتِ وَاْلاَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَجًاوَّمِنَ اْلاَنْعَامِ اَزْوَخًا يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَئٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ اْلبَصِيْرُ
(Dia) menciptakan langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat…[138]
Cara langit dan bumi saling berhubungan menggambarkan hukum-hukum yang mengatur hubungan-hubungan dalam segala hal. Ciri yang paling menonjol dari langit dan bumi adalah kenyataan bahwa mereka dan segala sesuatu yang ada diantara mereka merupakan perangkat dan kerajaan Tuhan, yang melakukan kontrol mutlak atas mereka. Langit dan bumi sebagai perwujudan sifat-sifat Ilahi yang saling melengkapi yang tercakup dalam istilah keagungan dan keindahan[139].
Mikrokosmis adalah kejayaan tertinggi dari kosmos, sebab ia mengatur makrokosmos melalui pengetahuan dan kesadarannya[140].
Di dalam kosmos, cahaya dan kegelapan saling membutuhkan dan tidak terpisahkan satu sama lain. Meskipun cahaya secara inheen terwujud dalam dirinya sendiri – dalam Tuhan – ia tidak dapat dilihat dikarenakan itensitas perwujudannya. Ini adalah suatu sifat yang saling melengkapi dan saling membutuhkan[141]. Firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 35 :
اَللهُ نُوْرُ السَّمَوَتِ وَاْلاَرْضِ مَثَلُ نُوْرِهِ كَمِشْكَوةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌ  اَلْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍ  اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوْكَبٌ
Allah (Pemberi) cahaya (kepada)langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara ……[142]
Cahaya-Nya hanya terwujud dalam sebuah lubang yang tak tembus yang merupakan kegelapan.
Tuhan dimanifestasikan dalam dunia melalui keajaiban eksistensi, dan jurang antara partikel debu terkecil dan ketiadaan menjadi absolut. Ia memanifestasikan ketakterhinggaan-Nya apriori lewat kosmik yang mengandung ruang waktu yang tidak bisa dibayangkan batas-batasnya lebih dari sekedar multiplisitas dan keragaman dari kandungannya dan Dia memanifestasikan kesempurnaan-Nya melalui sifat-sifat makhluk dan benda yang melahirkan kesaksian akan arketip mereka dan karenanya, Kesempurnaan Ilahi[143].
Ilmu pengetahuan adalah seperti kacamata yang tidak memiliki pengelihatannya sendiri, akan tetapi ada diantara mata dan benda-benda, sehingga pada jalan mistis ini ilmu pengetahuan tidak ada gunanya, hanya cahaya kearifan, cahaya kepastian yang dicapai melalui pengetahuan intuitif yang dapat membantu dalam mendekati rahasia cinta[144].
Keyakinan dan ketenangan adalah tujuan fundamental Islam, karena segala sesuatu dimulai dengan keyakinan, iman kepada Yang Absolut, wujud mutlak, yang memproyeksikan dan menentukan eksistensi yang “mungkin”.
Keyakinan adalah menyelamatkan sepanjang ia mulai secara obyektif dan tulus secara subyektif, yaitu sepanjang obyeknya adalah Yang Absolut dan bukan hanya kontingensi, dan subyeknya adalah hati, bukan hanya pikiran. Ini adalah esensi dasar manusia yang mengandung keseluruhan keberadaan dan aktivitasnya; manusia diciptakan untuk meyakini Yang Absolut dan ia menjadi manusia melalui keyakinannya itu[145].


KEPARALELAN TASAWUF DAN FISIKA MODERN

Allah Subhaanahu Wa Ta'ala menciptakan alam semesta ini dalam keadaan selalu bergerak dan terus mengembang sampai pada saatnya nanti Allah Subhaanahu Wa Ta'ala sendiri yang akan memberhentikannya. Firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat Adz-Dzariyat ayat 47
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَهَا بِاَ يْدٍ وَاِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ
“Dan langit itu Kami bina dengan kekuatan dan sungguh Kami mengembangkannya” ……[146]
Alam semesta yang karakternya secara dinamis bergerak maju ke depan (berkembang) merupakan suatu tanda kehidupan sebagaimana suasana hati yang selalu bergerak yang menimbulkan inovasi-inovasi dalam hubungannya antara sesama manusia. Kedinamisan ini menimbulkan perubahan-perubahan yang menjadi karakteristik dalam dunia mistis, dalam hal ini tasawuf.
Terjadinya revolusi pemikiran dalam dunia fisika, dari fisika klasik yang berpondasikan pada pemahaman Newtonian ke fisika modern yang dikuatkan oleh fisika kuantum dan fisika relativitas, merubah pola pemikiran para fisikawan dari dunia makroskopis ke dunia mikroskopis yang ternyata mampu memunculkan penemuan-penemuan yang lebih mempengaruhi kehidupan manusia, baik itu kemashlahatan maupun kerusakan yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia fisika modern.
Pengaruh fisika modern yang secara dramatis telah meluas ke kancah pemikiran dan kebudayaan, dimana pengaruh tersebut telah menuntun pada terjadinya suatu revisi mendasar atas konsepsi manusia tentang alam semesta dan relasi manusia terhadapnya[147], tidak terkecuali bidang agama, yang di dalam islam pemikiran-pemikiran fisika modern ini ada keparalelan dengan pemikiran-pemikiran mistis islam yang dikenal dengan tasawuf tentang masalah dunia mikroskopis yang materi-materi disini berada dalam tingkatan ( level ) subatomik, sehingga disebut sebagai entitas-entitas yang secara eksperimental dapat menunjukkan eksistensi (keberadaan) mutlak (absolut) yang berada di alam semesta ini yang disebut sebagai Tuhan sebagai Sang Pencipta.
Fisika modern merupakan akibat dari perkembangan pemikiran manusia dalam bidang ilmu pengetahuan alam ( fisika ) yang menimbulkan revisi pemikiran terhadap pandangan fisika klasik yang pondasinya telah ditancapkan oleh mekanika Newton yang bersifat reduksionistik, determenistik, dan rasionalistik.
Para agamawan dan intelektual islam yang memiliki pemikiran dan pandangan yang bercorak mistis ternyata tanpa disadari pemikiran-pemikirannya memberikan nilai-nilai dalam perkembangan fisika modern yang dalam perkembangannya lebih mengarah kepada metafisika daripada kepada dunia materialis.
Tasawuf mengandung beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh para sufi, diantaranya yaitu :
1.                  Perkataan Al-Junaid ketika ditanya tentang tasawuf, yang ia menjawabnya,”Tatkala engkau bersama Allah dengan tanpa ada perantara”.
2.                  Perkataan Ruwaim bin Ahmad, yaitu “Tasawuf adalah melepaskan jiwa bersama Allah sesuai dengan apa yang Alah kehendaki”.
3.                  Perkataan Abu Muhammad Al-Jariri, “Tasawuf adalah masuk dalam lingkaran akhlak mulia dan keluar dari akhlak yang rendah”.
4.                  Perkataan Amr bin Utsman Al-Makki, yaitu “Hendaknya seorang hamba setiap saat berada pada sesuatu yang lebih utama dalam waktu tersebut”.
5.                  Perkataan Ali bin Abdurrahim Al-Qannad, “Tasawuf adalah menyebarkan kedudukan spiritual (sehingga tidak terpaku dengan kedudukan spiritual tertentu) dan melanggengkan komunikasi dengan Allah (ittishal). [148]
Pengertian-pengertian mengenai tasawuf sebagaimana yang diungkapkan oleh para sufi di atas memberi pengertian bahwa tasawuf didasarkan pada pemahaman langsung ke dalam alam realitas. Sementara itu fisika didasarkan atas observasi terhadap fenomena-fenomena alam dan eksperimen-eksperimen ilmiah, yang mana observasi-observasi diinterpretasikan dan interpretasi itu kemudian dikomunikasikan lewat kata-kata, dimana kata-kata terlampau abstrak ketika berdekatan dengan realitas maka interpretasi-interpretasi verbal dari gugusan eksperimen ilmiah atau dari pemahaman mistik (dalam hal ini tasawuf) pasti tidak akurat dan tidak lengkap. Kesadaran akan fakta inilah yang menjadi titik temu antara para fisikawan modern dan sufi[149].
Keparalelan antara tasawuf dengan fisika modern yang keduanya ada titik temu diantaranya adalah mengenai masalah :
1.      Alam Semesta
Fisika modern yang dipelopori oleh munculnya teori mekanika kuantum dan teori relativitas Einstein telah merubah pandangan dan pemikiran para fisikawan dalam menanggapi keberadaan alam semesta. Alam semesta tidak lagi dipandang sebagai sebuah mesin raksasa yang berjalan secara terpisah dengan materi-materi yang berada di dalamnya. Keberadaan benda-benda di alam semesta saling terkait dan saling melengkapi, sehingga bisa dikatakan bahwa dunia makrokosmos disifati oleh keseluruhan mikrokosmos yang membentuk suatu sistem jaringan terkait yang tak terpisahkan.
Keterkaitan  ini menyebabkan alam semesta dalam bergerak selalu mengikuti perubahan-perubahan atau pengaruh-pengaruh yang terjadi diantara materi-materi mikrokosmos. Hal ini merupakan suatu penyatuan yang dalam tasawuf disebut sebagai Al-Jam’u yang berarti penyatuan antara kehendak dan pencarian untuk mendapatkan apa yang dicari[150], sehingga seorang hamba yang telah menyatu dengan Tuhan dalam artian hamba itu berakhlak dengan akhlak Tuhan sehingga dalam setiap gerak langkah kehidupannya selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh Tuhan.
Partikel-partikel subatomik dipandang bukan sebagai materi namun hanya merupakan entitas-entitas yang mempunyai sifat kecenderungan untuk ada karena hal itu dapat dideteksi dan dianalisis, terlebih lagi entitas-entitas itu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi yaitu dengan kecepatan cahaya atau mendekati kecepatan itu, yang dalam tasawuf diketahui sebagai eksistensi (keberadaan) yang absolut (mutlak) yaitu Tuhan yang dapat diketahui karena emanasi-Nya yang termanifestasikan melalui sifat-sifat, asma’-asma’ Nya serta akhlak-akhlak yang terpancar dan muncul dalam diri manusia, sehingga manusia dikatakan sebagai cermin yang memantulkan cahaya sifat-sifat ketuhanan.
Partikerl-partikel subatomik yang selalu bergerak relatif dengan kecepatan cahaya seperti yang dikatakan teori relativitas sehingga tidak memungkinkan para fisikawan untuk menentukan posisi dan mengamati bentuk ataupun warnanya, namun hanya mengetahui sifat-sifatnya dari efek yang ditimbulkan oleh gerakannya memungkinkan untuk terjadinya kedinamisan alam semesta, sebagaimana yang dikatakan dalam tasawuf dengan mahw yang berarti segala yang ditutup dan disirnakan oleh Al-Haq dengan hilangnya sifat-sifat kebiasaan, dan itsbat yang berarti segala hal yang dinampakkan dan dijelaskan oleh Al-Haqq dengan menegakkan hukum-hukum ibadat[151] yang dalam firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala surat Ar-Ra’ad ayat 39 yaitu :
يَمْحُوْا الله ُ مَايَشَاءُ وَيُثْبِتُ
“Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki) ……[152]
Pada sudut pandang yang lain partikel-partikel subatomik adalah suatu ekuivalensi antara energi dan materi sebagaimana yang dirumuskan oleh Albert Einstein dengan E = m.c2. Energi hanya akan dapat dirasakan menjadi massa apabila berada dalam keadaan bergerak dan tentu saja gerakannya harus dengan kelajuan yang sangat tinggi ( cepat ) karena bila bergerak lambat tidak akan dapat dirasakan efeknya dan pengukurannya menjadi kurang akurat. Begitu juga dengan materi yang bila menumpahkan massanya akan memancarkan radiasi atau energi yang akan terkuantisasi bila bergerak dengan kelajuan yang tinggi, dan kelajuan ini setara dengan kelajuan cahaya ( 3 x 108 m/s ) atau mendekati kelajuan itu. Dengan demikian partikel-partikel subatomik bisa disebut materi atau benda karena dapat dirasakan atau diukur dalam gerakannya, namun demikian para fisikawan masih kesulitan dalam menentukan posisi partikel-partikel subatomik dengan akurat. Ekuivalensi antara massa dan energi ini ternyata terdapat keparalelan dengan tasawuf, yang memandang hal ini sebagai fana’dan baqa’ , dimana seorang hamba yang mengalami fana’ yang berarti kepergian hati, pengasingannya dari alam ini dan kebergantungannya kepada Zat Yang Maha Tinggi[153] akan merasa bahwa dirinya sirna dalam lingkup Tuhan dan melebur menjadi suatu kekuatan tunggal yang akan dapat melakukan penyaksian (musyahadah) terhadap makhluq bersama Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam arti sirna dengan universalitas[154]. Apabila hamba kembali pada dirinya sendiri maka pancaran Ilahi akan terlihat dalam sikap dan tingkah lakunya dengan membawa akhlak yang mulia karena sifat-sifat kotornya telah sirna (fana’) sehingga tidak ada sedikitpun yang disaksikan, baik alam, kenyataan, pengaruh, rumus atau penundaan, dan ia abadi bersama Al-Haqq[155]. Terjadinya penyirnaan dan pemunculan dalam keabadian disisi Tuhan yang absolut yang tak pernah sirna dan memiliki daya pemeliharaan yang sangat dahsyat mempunyai arti dalam fisika modern, bahwa hamba diasumsikan sebagai massa yang kokoh yang tersimpan di dalamnya sifat-sifat Rabbaniyah sebagai energi yang tinggi yang akan terpancar dengan kuat dalam sikap dan tingkah laku.
Ekuivalensi antara materi dan energi ini ternyata juga memunculkan pandangan bahwa adanya suatu realitas kesadaran manusia mampu untuk mempengaruhi bahkan menciptakan materi karena adanya konsep dualitas gelombang – partikel dari cahaya. Hal ini merupakan suatu realitas bahwa manusia mampu membuat dan menempatkan dirinya sendiri ataupun materi lain dalam dunia imajiner, dimana dalam tasawuf dikatakan sebagai ghaibah yaitu keghaiban hati dari segala apa yang diketahui karena adanya faktor yang datang padanya, sehingga perasaannya tersibukkan oleh keghaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu dengan sendirinya menjadi ghaib karena faktor yang tiba akibat mengingat pahala atau memikirkan ancaman dosa[156]. Materi-materi muncul menjadi realitas yang termanifestasikan dalam “fisik” yang merasuki kesadaran manusia sehingga manusia dapat merubah realitas yang ada.
Dualisme cahaya sebagai gelombang dan partikel telah menyingkapkan alam semesta sebagai suatu realitas yang bersifat komplementaris atau saling melengkapi antara pengamat dan yang diamati sehingga seorang sufi mengalami penyaksian ( musyahadah ) menegasikan dunia dan dirinya sendiri sebagai realitas yang terpisah. Ini merupakan pengalaman mistik dalam penyatuan dengan Tuhan dimana memandang realitas hanya satu.
2.      Ruang Dan Waktu
Ruang dan waktu adalah suatu yang padu dimana seseorang yang mengamati suatu peristiwa maka ia akan mempengaruhi peristiwa tersebut. Kondisi semacam ini telah sering dirasakan oleh para sufi yang melakukan perjalanan spiritual untuk mencapai tahapan ma’rifat, dimana alam yang dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari kekuasaan Keagungan-Nya, dan  bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana ( sirna ), indera dan perasaanpun menjadi hilang[157].
Ruang dan waktu membentuk keseluruhan yang terpadu dan bukan merupakan entitas-entitas yang terpisahkan yang berisikan sebuah kontinum empat dimensi dimana tidak ada aliran waktu universal sehingga pengamat-pengamat yang menatap peristiwa-peristiwa dalam urutan waktu yang berlainan akan bergantung pada posisi dan kecepatannya terhadap peristiwa-peristiwa yang diamati tersebut karena menurut ahli hakekat waktu merupakan wadah pembentukan secara temporal yang di dalamnya ada peristiwa yang terbayangkan yang hasilnya dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi.
Menurut teori relativitas, ruang dan waktu dapat berubah dari sistem inertial yang satu ke sistem inertial yang lain karena dipengaruhi oleh gerak relatif sehingga dengan diagram kerucut cahaya waktu dibagi menjadi tiga, yaitu masa depan, masa lalu, dan masa yang secara literer berada di luar ruang dan waktu yang dalam perspektif sufi hal ini merupakan strata perwujudan Ilahi melalui mana esensi Ilahi yang tidak tertembus mengungkapkan dirinya sendiri yang memberikan kesaksian tentang Tuhan yang absolut ( mutlak ).
Tidak ada  yang disebut “satu waktu” di alam ini, yang ada ialah sejumlah waktu yang menyebabkan transformasi di alam ini tidak sanggup membuat persamaan waktu di seluruh penjuru alam sehingga sufi menyebut dirinya sendiri sebagai putra waktu (Ibnu Al-Waqt) dimana ia memandang tidak ada kemarin dan hari esok karena ia berada dalam kehadiran Tuhan yang merupakan refleksi dari kesatuan, menjadikan dirinya masuk ke dalam waktu “sekarang”nya Tuhan, yang berbarengan dengan keabadian Tuhan.

3.      Penyatuan Dalam Keberagaman
Fenomena dalam fisika kuantum menunjukkan bahwa cahaya dapat bersifat sebagai gelombang atau partikel, atau gelombang – partikel. Pengamat yang melakukan percobaan harus menentukan maksud dan jenis alat-alat eksperimen yang digunakan serta tujuan akhir yang diinginkan. Hal ini jelas bahwa pengamat mempengaruhi objek yang dimaksudkan sesuai dengan maksud pengamatan yang dilakukan walaupun objek yang diamati sama. Ini mengisyaratkan bahwa manusia ketika ia dzikir kepada Yang Haqq di dalam hatinya, ia hadir dengan kalbunya bagaikan sebuah partikel diantara sisi Tuhannya sebagai gelombang yang menjalar pada kawasan yang luas dalam dimensi rasa terhadap perilaku dirinya. Realitas ini memperlihatkan adanya keterkaian antara pengamat yaitu Tuhan dan yang diamati sebagai objek yang akan berlaku sebagai sesuatu apa yang dikehendaki oleh Tuhan terhadap hambanya ketika ia (hamba) bermuwajahah dengan-Nya sehingga seorang hamba akan sampai pada ma’rifat yang mengandung kutub objektif yang berkaitan dengan transendensi dan kutub subjektif yang berkaitan dengan imanensi; disatu pihak ada “kebenaran” ( haqq ) ketajaman Yang Esa ( Tauhid ) dan dipihak lain ada “hati” ( qalb ) atau persatuan-persatuan dengan Yang Esa ( Ittihad )[158].
Kesadaran yang dapat membentuk realitas yang pada hakekatnya bersifat mental yang dalam mengamati atau menganalisanya menyebabkan terjadinya gangguan pada realitas itu sendiri sebagaimana yang ditekankan oleh fisika relativitas dimana ruang dan waktu akan saling terkait dengan posisi pengamat sehingga kesadaran akan memberikan pandangan atas keadaannya sendiri, yang memberi pengertian bahwa Tuhan tidak berdiri diluar alam ciptaan-Nya, melainkan dalam segala sesuatu yang ada hadir karena daya pemeliharaan-Nya menyebabkan dunia terus menerus bergantung pada Tuhan dan Tuhan abadi bersama materi yang menyebabkan terjadinya hubungan interaksi satu sama lain bagaimanapun jauhnya jarak pisah.
Realitas ini berada diluar jangkauan waktu, energi, dan materi yang masih ada efek kausal terhadap realitas material sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat Qaaf ayat 16 yang berbunyi :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ اْلوَرِيْدِ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”…[159]
.

PENUTUP

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dalam pembahasan penulisan ini mengenai adanya nilai-nilai tasawuf dalam fisika modern yang memperlihatkan adanya keparalelan pemikiran yaitu :
1.      Nilai tasawuf dalam kemanunggalan memberikan pengertian bahwa kekinian Tuhan merefleksikan keberadaan-Nya dalam aliran ruang – waktu, dimana tidak ada hari esok, ataupun kemarin, dan yang ada adalah saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan yang tidak terpengaruh dengan waktu memberikan pemahaman bahwa ruang dan waktu di alam semesta sifatnya relatif dan terpadu, karena di alam semesta tidak ada transformasi yang sanggup membuat persamaan waktu di seluruh alam semesta.
2.      Ruang dan waktu sepenuhnya ekuivalen yang digabungkan dalam kontinum empat dimensi dimana tidak ada aliran waktu universal yang di dalamnya terdapat interaksi-interaksi partikel yang meregang ke setiap arah dimana setiap pengamat dapat mengalami fenomena-fenomena hanya dalam proses pergantian antar bagian dalam ruang dan waktu sehingga ukuran ruang dan waktu bersifat relatif karena dipengaruhi oleh gerak relatif.
3.      Adanya keparalelan atau kesejajaran antara pemikiran dalam tasawuf dan fisika modern mengenai materi di dalam alam semesta memunculkan pola pemikiran yang bercorak mistis sehingga menimbulkan nilai-nilai pemikiran tasawuf dalam fisika modern mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berusaha menemukan kesejatian dan kesempurnaan melalui tanda-tanda kemahaan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala yang terhampar di alam semesta terutama dunia mikrokosmos atau materi dalam tingkatan subatom yang menunjukkan bukti eksistensi mutlak Dzat Yang Maha Hidup yang dapat diketahui melalui emanasi-Nya yang terpancar dalam setiap makhluq terutama manusia dengan membawa sifat-sifat dan akhlak-akhlak Tuhan.
B.  Implikasi
Berdasarkan uraian-uraian diatas tentang fisika modern dan tasawuf yang dalam pemikirannya masing-masing dalam memandang alam semesta dan fenomena yang terjadi di dalamnya terutama mengenai ruang dan waktu terdapat keparalelan-keparalelan dimana nilai-nilai tasawuf masuk dalam pola pemikiran fisika modern yang berusaha untuk merasionalkan segala sesuatu yang bersifat mistis.
Keparalelan-keparalelan ini mengisyaratkan adanya integrasionalitas antara ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia untuk menggali potensi alam semesta dengan berbagai macam metode dengan agama (islam) yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga tercapai satu titik temu dimana keduanya akan sampai pada satu permasalahan yang mengarah pada sesuatu yang tunggal dan mutlak yang tak akan pernah sirna.
Integrasi ini tidak hanya membuat ilmu-ilmu agama sebagai filter bagi ilmu pengetahuan agar berkembang tidak melenceng dari hukum-hukum agama, sehingga dalam perkembangannya ilmu pengetahuan tidak membuat kerusakan dimuka bumi, namun lebih jauh dari itu bahwa ilmu pengetahuan terutama fisika modern dapat dijadikan sebagai suatu tafsir bagi kitab suci Al-Qur’an untuk mengetahui hakekat tertinggi dalam kehidupan, yaitu keberadaan mutlak Allah Subhaanahu Wa Ta'ala. Dunia dipandang sebagai suatu keseluruhan yang terpadu yang di dalamnya terdapat kesalingtergantungan  fundamental semua fenomena dan fakta.
C.  Saran
Terjadinya keperalelan antara tasawuf dengan fisika modern, dimana terdapat nilai-nilai tasawuf dalam fisika modern belum sepenuhnya menjelaskan secara rinci pengaruh tasawuf dalam fisika modern, maka penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1.         Dalam meninjau suatu ayat Al-Qur’an dan hadits yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan alam jangan hanya melihat bahwa ayat atau hadits itu sebagai dalil saja tetapi kita harus benar-benar merenungi isi kandungan di dalamnya.
2.        Kaum muslimin dan muslimat terutama akademisi yang bergerak dalam bidang ilmu pengetahuan alam (fisika) sebaiknya mampu untuk mengintegrasikan fisika dalam kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan spiritual pribadinya, karena pandangan ilmu pengetahuan telah bergeser dari dunia mekanistik ke dunia holistik.
3.        Perlu kiranya ada penelitian lanjutan untuk mengkaji lebih dalam mengenai hubungan tasawuf dan fisika modern untuk lebih memantapkan keyakinan dalam mencapai hakekat tertinggi dalam kehidupan dan lebih mengetahui secara mendalam mengenai keintegralan ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu keagamaan.




[1] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Pustaka Mizan, 2004, hlm.195
[2] Ibid, hlm.224
[3] Ibid, hlm.226 – 227
[4] Arthur Beiser, The Meinstream of Physics, USA, Addison-Wesley Publishing Company,Inc, 1961, hlm.72
[5] Loc.cit, hlm.231
[6] Loc.cit, hlm. 75
[7] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Pustaka Mizan, 2004, hlm. 233
[8] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 57
[9] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan, Bandung, Pustaka Mizan, 2002, hlm. 146
[10] Loc.cit, hlm. 56
[11] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 56
[12] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Master, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2003, hlm. 24
[13] Michel Tabolt, Mistisisme Dan Fisika Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 30
[14] Ibid, hlm. 5
[15] Budi Widianarko, Menelusuri Jejak Capra, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2004, hlm. 108
[16] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Master, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2003, hlm. 25 - 28
[17] Stephen Hawking, Riwayat Sang Kala, Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1995, hlm.13
[18] Ibid, hlm. 19
[19] Frtjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2004, hlm.55
[20] Lincoln Barnett,  Dr. Einstein Dan Alam Semesta, Semarang, PT. Dahara Prize, 1991, hlm. 15
[21] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 96
[22] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta, Kreasi wacana, 2003, hlm. 22–23
[23] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan, Bandung, Pustaka Mizan, 2002, hlm. 146
[24] Lincoln Barnett,  Dr. Einstein Dan Alam Semesta, Semarang, PT. Dahara Prize, 1991, hlm. 15
[25] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 1996, hlm. 33
[26] Stephen Hawking,  Riwayat Sang Kala, Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1995, hlm. 13 – 14
[27] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta, Kreasi wacana, 2003, hlm. 23
[28] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 4
[29] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan, Bandung, Pustaka Mizan, 2002, hlm. 15
[30] Kenneth Krane, Fisika Modern, Jakarta, UII Press, 1992, hlm. 145
[31] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1996, hlm. 68
[32] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan, Bandung, Mizan, 2002,  hlm. 162 – 163
[33] Ibid,  hlm. 172
[34] Stephen Hawking, Riwayat Sang Kala, Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1995, hlm.13
[35] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm.194
[36] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1996, hlm. 70
[37] Sandi Setiawan, Kiprah Dan Gelegar Relativitas Einstein, Yogyakarta, Andi Offset, 1992, hlm. 5
[38] Loc.Cit, hlm. 69 – 71
[39] Sudi Ariyanto, Membelah Massa Menuai Energi, Yogyakarta, Bernas, 15 Agustus 2004, hlm.3
[40] Abdul Kadir, Energi, Jakarta, UI Press, 1995, hlm. 165-166
[41] Anwar Budianto, Pengantar Laser, Yogyakarta, STTNas Yogyakarta Jurusan Elektro, 1995, hlm. 1
[42] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 64
[43] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm.195
[44] Ibid, hlm. 35
[45] Ibid, hlm. 36
[46] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan, 1996, hlm. 400
[47] Loc. Cit, hlm.201 – 202
[48] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2003, hlm. 36
[49] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan, Bandung, Mizan, 2002, hlm. 168
[50] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 7 – 8
[51] Muhammad Sholeh, Tahajud, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2002, hlm.169 – 170
[52] Loc.Cit,  hlm. 75
[53] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 61
[54] Ibid, hlm. 93
[55] Ibid, hlm. 89
[56] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2003, hlm. 38
[57] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2003, hlm. 90-91
[58] Ian G Barbaour, Juru Bicara tuhan, Bandung, Mizan, 2002, hlm. 168
[59] Loc.Cit, hlm. 96
[60] Loc.Cit, hlm. 175
[61] Itut Seventina, Teori Kuantum Dan Gelombang Sikla : Apa Itu ?, Jakarta, Majalah Aisya, April 2004, hlm. 69
[62] Ibid Loc.Cit, hlm. 98
[63] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2003, hlm. 102
[64] RHA Syahirul Alim, Achmad Baiquni, dan AM Lutfi, Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam Dan Teknologi, Jakara, Depag RI, 1995, hlm. 108
[65] Loc.Cit,  hlm. 111
[66] Fritjof Capra, Jaring-Jaring Kehidupan, Yogyakarta, Fajar Pustaka, 2002, hlm. 48 – 49
[67] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 98
[68] Gary Zukaf, The Dancing Wu Li Masters, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2003, hlm. 37-39
[69] Ibid, hlm. 134
[70] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1996, hlm. 56
[71] Loc.Cit Ibid, hlm. 136
[72] Fritjof Capra, Jaring-Jaring Kehidupan, Yogyakarta, Fajar Pustaka, 2002, hlm.50
[73] RHA Syahirul Alim, Ahmad Baiquni, AM Lutfi, Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam Dan Teknologi, Jakarta, Depag RI, 1995, hlm. 114
[74] Hans J. Wospakrik, Berkenalan Dengan Teori Kerelativan Umum Einstein Dan Biografi Albert Einstein, Bandung, ITB Press, 1987, hlm. 98
[75] Kennet Krane, Fisika Modern, Jakarta, UI Press, 1992, hlm.33 – 34
[76] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 205
[77] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2002, hlm. 100
[78] Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan, Bandung, Mizan,2002, hlm. 177
[79] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 217 – 218
[80] Michel Talbot, Mistisisme Dan Fisika Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2002, hlm. 119 - 121
[81] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 191
[82] Loc.Cit, hlm. 119
[83] Ibid Loc.Cit, hlm. 99 – 100
[84] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 189
[85] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein, Yogyakarta, Tiara wacana, 1996, hlm. 54
[86] Loc.Cit, hlm. 121`1
[87] Kenneth S Crane, Fisika Modern, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1992, hlm. 640
[88] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein, Yogyakarta, Tiara wacana, 1996, hlm. 57 – 60
[89] P.J Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm. 2 – 3
[90] Ibid, hlm. 5
[91] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 230
[92] Ibid
[93] William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm. 63
[94] Abu Bakar Al-Jazairi, Pemurnian Akidah, Jakarta, Pustaka Amani, 2001, hlm. 558
[95] Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 30
[96] Ibid, hlm. 35
[97] William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm. 272
[98] Loc.Cit, hlm. 39
[99] Ibid Loc.Cit, hlm. 40 – 42
[100] Loc.Cit, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm. 69
© Astrolab adalah alat kuno untuk menggambarkan altitude
[101] Ibid Loc.Cit, hlm. 44
[102] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000, hlm.166
[103] Imam Al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, 1997, hlm. 390
[104] William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm. 272
[105] Jalaluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya, Bandung, Pustaka Hidayah, 2001, hlm. 280
[106] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan, 1996, hlm. 157
[107] Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, Jakarta, PT. Raja grafindo Persada, 2002, hlm. 178
[108] Ibnu Qayyim Al-Jauzy, Madarijus Salikin, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm. 460
[109] Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, Jakarta, PT. Raja grafindo Persada, 2002, hlm. 184
[110] Loc.Cit, hlm. 262
[111] Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 44
[112] M Quraisy Shihab, Lentera Hati, Bandung, Mizan, 1994, hlm. 112
[113] Ibid, hlm.417
[114] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm.390
[115] Imam Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, 1977, hlm.20
[116] Loc.Cit
[117] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 479
[118] Loc.Cit, hlm. 393
[119] Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 181
[120] Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, Bandung, Mizan, 1997, hlm. 132 – 133
[121] Abu Nashr As-Sarraj, Al-Luma’, Surabaya, Risalah Gusti, 2002, hlm. 680
[122] Loc.Cit, hlm. 132
[123] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm.391 – 392
[124] Imam al-Qusyairy an-naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, 2001, hlm. 22
[125] Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 44
[126] Zaky Mubarok Latif, dkk, Akidah Islam, Yogyakarta, UII Press, 1998, hlm. 96
[127] Syekh Nadim Al-Jisr, Kisah Mencari Tuhan, Jakarta, Bulan Bintang, 1994, hlm. 233
[128] William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm. 29 – 30
[129] Ibid, hlm. 37
[130] Ibid, hlm. 379
[131] Ibid, hlm. 74 – 75
[132] Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, Banduung, Mizan, 1997, hlm. 114
[133] Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyinkap Tabir Mencari Yang Inti. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 185
[134] Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 61
[135] Ibid, hlm. 66 – 67
[136] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan, 1996, hlm. 156 – 157
[137] Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung, Mizan, 2000, hlm. 166
[138] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 784
[139] Loc.Cit, hlm. 173 – 175
[140] Ibid Loc.Cit, hlm. 199
[141] Ibid Loc.Cit, hlm. 216
[142] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 550
[143] Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2002, hlm. 188
[144] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000, hlm.179
[145] Loc.Cit, hlm.190 – 191
[146] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 862
[147] Frtjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 3
[148] Abu Nashr As-Sarraj, Al-Luma’, Surabaya, Risalah Gusti, 2002, hlm.53
[149] Loc.Cit, hlm.35
[150] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm.460
[151] Imam al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, 2001, hlm. 49
[152] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 376
[153] Loc.Cit, hlm. 453
[154] Loc.Cit, hlm. 36
[155] Ibid, Loc.Cit
[156] Ibid, hlm. 42
[157] Abu Nashr As-Sarraj, Al-Luma’, Surabaya, Risalah Gusti, 2002, hlm. 74
[158] Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 178
[159] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 852