Terjemah As-Sulam
Judul Kitab : As-Sulam
Penulis : Abdul Hamid Hakim
Bab
: Kaidah 15,
16, 17, 18, 19, 20 (hal 85-87)
Kaidah ke 15
“Kemurahan Itu Tidak Digantungkan Dengan
Keraguan”
Oleh karena itu wajib mandi bagi orang yang ragu
dalam kebolehan mengusap muzah. Harena hukum yang asal adalah membasuh kedua
kaki, sedangkan mengusap itu adalah rukhsoh (kemurahan) dengan suatu syarat.
Maka jika tidak yakin terhadap syarat rukhsoh, maka dikembalikan kepada hukum
asalnya fardhu. Dan wajib menyempurnakan (rokaat sholat) bagi orang yang ragu
dalam kebolehan mengqosor (meringkas rokaat sholat) karena hukum yang asal
adalah menyempurnakan, sedangkan qosor itu boleh denngan beberapa syarat. Maka
jika tidak yakin terhadap syarat-syarat itu, maka dikembalikan kepada hukum
asal.
Kaidah ke 16
“Ridho Dengan Sesuatu Itu Ridho
Juga Denagn Sesuatu Yang Melahirkannya”
Dalam kaidah tersebut terdapat cabangan yang telah
saya sebutkan dalam kitab mabadi. Dan
makna kaidah ini adalah kaidah :“Sesuatu yang
dilahirkan dari sesuatu yang diizini itu tidak ada asar terhadapnya” Dikecualikan
dari kaidah ini adalah sesuatu ayng disyaratkan dengan akibat yang
menyelamatkan. Seperti memukulnya guru terhadap murid, memukulnya suami
terhadap istrinya, menta’zirnya hakim dan mengeluarkan orang gila.
Kaidah ke 17
“Pertanyaan Itu Dikembalikan Kepada
Jawab”
(Cabangan) jika diucapkan kepada seseorang
(laki-laki) untuk mencari berita : “Apakah engkau menceraikan istrimu ?” kemudian
menjawab “Ya” maka ucapan tersebut menjadi ikrar / pernyataan yang dengannya
dimabil dalam dhohirnya. Seperti Demikian sama juga jika diucapkan kepadanya
(laki-laki) sebuah kalam insya’, maka menjadi teringkas pada ucapan “ya”,
karena pertanyaan itu dikembalikan kepada jawab, maka seakan-akan laki-laki
tersebut berkata “aku menceraikannya”
(Cabangan) pertanyaan-pertanyaan ikrar / pernyataan
jika berkata : “Tanngunganmu kepadaku sedemikian”, jawab : “Ya”. Atau
“tanggunganmu tidak ada sedemikian” kemudian jawab “Ya”, atau mengucakan “Benar”.
Maka qoul tersebut merupakan ikrar dengan apa yang mereka tanyakan.
Dan jika mengucapkan “tanggunganmu kepadaku seratus”
kemudian menjawab “kecuali satu dirham” maka dalam pengikhraran selain
pengecualian tersebut ada dua wajah. Yang laing shohih adalah mencegah karena
ikhrar itu tidak tetap dengan difahami.
Kaidah ke 18
“Ucapan Itu Tidak Diartiakan Kepada Kepada Orang
Yang Diam”
Qoul ini adalah hukum asal. Yaitu diam tidak
menempati tempat bebicara. Maka seorang janda diam ketika dimintai izin nikah
maka menempati tempat izin.
Bebebrapa bentuk dikecualikan dari kaidah ini,
(diantaranya) seorang perawan, diamnya adalah izin karena ada hadis izinnya
perawan adalah diamnya. (diantaranya) diamnya tergugat dari menjawab setelah menuntut
sumpah atasnya maka hakim menjadikan terdakwa seperti orang yang mengingkari
yang membangkang dan mengembalikan sumpah kepada penggugat. (Diantaranya)
membaca hadis dihadapan guru sedangkan guru diam (yang mana) menduduki tempat
lafat yang diucapkannya dalam qoul yang ashoh (lebih benar)
Kaidah ke 19
“Sesuatu Yang Banyak Pekerjaannya Maka Banyak
Keutamaannya”
Asalnya adalah sabda Nabi Shallallohu alaihi
wasallam kepada Aisyah : “Balasanmu itu menurut kepayahanmu {HR : Muslim}. Oleh karena itu memisah rokaat sholat witir itu
lebih utama daripada menggabungkannya. Karena tambahnya niat,
takbir dan salam. Sholat sunnah dengan duduk itu pahalanya setengah dari
berdiri, dan dengan tidur miring itu setengah dari duduk. Menyendirikan haji
dan umroh itu lebih utama dari pada haji qiron (haji dan umroh menjadi satu)
Beberapa bentuk pengecualian pada kaidah ini :
(diantaranya) qosor lebih utama dari pada menyempurnakan dalam perjalanan yang
sampai tiga marhalah karena keluar dari khilaf imam abu hanifah. (diantaranya)
membaca satu surat yang pendek di dalam sholat itu lebih utama dari pada
sebagian surat walapun panjang. Karena sesungguhnya telah dikenal dari pekerjaan
nabi Muhammad SAW secara umum. (diantaranya) menshodaqohkan hewan qurban
setelah memakan satu suap karena mencari berkah dengannya itu lebih utama dari
pada menshodaqohkan kesemuanya, karena sabda Rosululloh SAW :”Makanlah hewan
sembelihan qurban kamu sekalian dan shodaqohkanlah” {HR : An-Nasai}.
Kaidah ke 20
“Yang Melampaui Itu Lebih Utama
Dari Pada Yang Meringkas”
Oleh karena itu Ustadz Abu Ishaq dan Imam Haromain berkata
: “Bagi orang yang melaksanakan fardhu kifayah adalah suatu keistimewaan karena
telah menggugurkan dosa ummat. Berkata Imam Abu Hanifah, Sufyan Astauri, Imam
Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad : mencari ilmu itu lebih utama dari pada
sholat sunnah. Syaikh Izzuddin berkata : terkadang terjadi yang ringkas lebih
utama dari pada yang melampaui seperti iman. Kemudian beliau memilih mengikuti
kepada Imam Ghozali : sesungguhnya lebih utamanya taat itu tergantung kadar
maslahah yang muncul darinya.
Ibnu Qoyyim Ahli Hakikat berkata : sesungguhnya
lebih utamanya ibadah itu amal atas ridho Alloh dalam setiap waktu dengan
sesuatu yang menurut kehendak waktu tersebut dan ketentuannya. Dan sungguh telah
dinuqil ‘ibaroh ini dan contoh-contohnya didalam kitab “Tahdzibul Akhlak” maka
kembalilah kepadanya, maka sesungguhnya
(kitab “Tahdzibul Akhlak” itu) penting.
kok gak sluruh buku yang di terjemahin?
BalasHapusapakah tdk ada bab yang lainnya?
BalasHapus