jangan lupa tinggalkan komentar

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

pemandangan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Dzikrulloh Warosulih SAW

BACALAH SELALU DI DALAM HATI ATAU DENGAN LISAN "YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOOH" UNTUK DZIKIR KEPADA ALLOH WA ROSULIHI SAW

7.6.15

USUL FIQIH


BAGIAN PERTAMA DALAM USUL FIQIH

Terdapat Tiga Pasal:
Pasal Pertama
Menerangkan Tentang Ushul Fiqih Dan Bagian-Bagian Serta Tujuan Ushul Fiqih
Pembahasan pertama menerangkan tentang ushul fiqih
            Ushul secara bahasa yaitu sesuatu yang dibangun atas dasar sesuatu yang lain, seperti asalnya tembok yaitu pondasi tembok, asalnya pohon yaitu akar yang akan tetap didalam bumi, maka ushul fiqih yaitu dasar-dasar tentang fiqih.
            Far’un yaitu cabangan sesuatu yang dibentuk dari selain sesuatu, seperti cabangan dari pohon.
            Ushul secara istilah yaitu sesuatu yang diucapakan berdasarkan dalil dan qoidah secara global perkara yang unggul dan baik seperti qoul para ulama: asalnya kewajiban zakat yaitu berdasarkan kitab, yang menerangkan tentang dalil kewajiban zakat didalam kitab, firman allah (وَءَاتُواالزَّكَاةَ Tunaikanlah zakat), dan qoul ulama: diperbolehkannya bangkai untuk keterpaksaan, asal dari qoul tersebut berbeda dari beberapa qoidah secara global yaitu setiap bangkai hukumnya haram firman allah (حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيِتَةِ diharamkan bangkai untuk kalian semua yaitu), qoul ulama’ asalnya dari perkataan yang nyata itu lebih utama menurut pendengar, dan perkataan para ulama tentang ushul menetapkan sesuatu yang ada atas dasar sesuatu yang sudah ada, ketika keyakin orang yang wudhu itu ragu-ragu dalam hadas maka orang tersebut harus bersuci, atau lebih tepatnya semua itu tergantung pada dalilnya.
Fiqih menurut bahasa, artinya paham, sedang menurut syara’, artinya mengetahui hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf, baik amal perbuatan anggota maupun batin, seperti hukum: wajib, haram, mubah, sah, atau tidaknya sesuatu perbuatan itu.
Jika disimpulkan ta’rif ushul fiqih yang lengkap ialah: kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum ( yakni kaidah-kaidah yang menetapkan dalil-dalil hukum).
Hukum-hukum tersebut ada sumbernya (dalilnya), yaitu al-qur’an, hadist, ijma’, dan qiyas. Karena itu yang dimaksud ushul fiqih ialah sumber-sumber (dalil-dalil) tersebut dan bagaimana cara menunjukkannya kepada hukum secara ijmal.
Ijmal ialah dalil yang tdak rinci untuk suatu maksud hukum tertentu, jadi hanya merupakan dalil semata-mata yang masih memerlukan keterangan.
Pembahaan yang kedua menerangkan tentang bagian-bagian ushul fiqih
Beberapa bagian ushul fiqih adalah suatu perkara yang kembali kepada suatu ketetapan yang menunjukkan beberapa hukum dan tetapnya hukum yang adil, seperti ketetapan allah dalam firmannya (وَءَاتُواالزَّكَاةَ ) karena wajibnya zakat maka ditetapkannya wajib berzakat, datanglah zakat untuk kalian semua sesuai perintah mengeluarkan zakat, disini perintah diwajibkannya zakat yaitu menghasilkan datangnya zakat dari perkara yang diwajibkan, maka disamakan dari selain qoul tersebut.
Pembahasan yang ketiga yaitu menerangkan tentang faedah ushul fiqih
Faedah ushul fiqih yaitu ilmu yang didasari dengan hukum-hukum allah, dari beberapa bahaya, ketika mengambil sesuatu dalam menempatkan sesuatu yang mengeluarkan beberapa cabangan dari beberapa asal istinbat tersebut yaitu perbuatan para imam (mujtahid), atau menetapkan beberapa cabangan dari beberapa asal serta langkah-langkah mutabi’in.
Pasal Kedua
Membahas Hukum-Hukum
Ada Beberapa Pembahasan:
Pembahasan Pertama Dalam Masalah Hukum
            Hukum secara bahasa yaitu menetapkan sesuatu pada sesuatu yang lain.
            Hukum secara syara’ yaitu dalam firman allah swt yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf dengan ketetapan, pilihan atau tujuan. Sebagian besar para ulama ushul fiqih membagi hukum menjadi dua bagian: (1) hukum taklifi, dan (2) hukum wadh’i.

Hukum taklifi ada lima
1.      Ijab, artinya mewajibkan atau khithab (firman allah) yang meminta mengerjakan dengan tuntutan yang pasti  ((   جازم
2.      Nadhab  ( anjuran), artinya menganjurkan atau khithab yang mengandung peribtah yang tidak wajib dituruti ( غير جازم).
3.      Tahrim ( mengharamkan ), artinya yaitu titah/ khithab yang mengandung larangan yang harus dijauhi ( جازم).
4.      Karohah ( memakruhkan ), yaitu titah/ khithab yang mengandung larangan, tetapi tidak harus kita jauhi ( غير جازم).
5.      Ibaahah ( membolehkan ), yaitu titah atau khithab yang membolehkan sesuatu  untuk diperbuat atau ditinggalhan ( تخيير ).

2.6.15

TAUKID & ATHOF (AL-FIYAH IBN MALIK)


التوكيد
BAB TAUKID

بِالنَّفْسِ أوْ بِالعَيْنِ الاسْمُ أُكِّدَا  ¤   مَعَ ضَمِيرٍ طَابَقَ المُؤكَّدَا

Kalimah Isim menjadi tertaukidi oleh lafazh taukid “an-Nafsi” atau “al-’Aini” beserta ada Dhamir mencocoki pada Isim Muakkad.
وَاجْمَعْهُمَا بِأفْعُلٍ إنْ تَبِعَا  ¤  مَا لَيْسَ وَاحِداً تكُن مُتَّبِعاً

Jama’kanlah kedua lafazh taukid tsb dengan wazan “AF’ULU” jika keduanya tabi’ pada Isim selain mufrad (Mutsanna/Jamak), maka jadilah kamu Muttabi’ (pengikut yg benar). 

Taukid itu ada dua macam yaitu taukid lafdzi dan taukit makanawi.
Taukid maknawi ada dua macam  :
Pertama adalah lafadz yang berfungsi untuk melenyapkan anggapan lain yang berkaitan dengan lafadz yang ditaukidkan. Hal inilah yang dimaksud oleh dua bait ini. Jenis ini mempunyai dua lafadz yaitu lafadz an-nafsu dan al-ainu. Contoh :
جاء زيد نفسه                  zaid datang sendiri
Lafadz nafsuhu berkedudukan sebagai taukid yang mengukuhkan makna lafadz zaidun, berfungsi melenyapkan anggapan lain yang mengatakana bahwa zaid beritanya telah datang atau utusannya telah datang. Seperti contoh diatas :

جاء زيد عينه      zaid telah datang sendiri


وَكُلاً اذْكُرْ فِي الشُّمُولِ وَكِلا ¤  كِلْتَا جَمِيعاً بِالضَّمِيرِ مُوصَلَا

Ucapkanlah untuk taukid syumul (menyeluruh) dengan lafazh Kullu, Kilaa, Kiltaa dan Jami’ yg disambung dengan dhamir.  

Jenis kedua dari taukid maknawi yaitu lafadz yang digunakan untuk melenyapkan anggapan yang meniadakan pengetian menyeluruh. Untuk tujuan itu  digunakan lafadz kullun, kilaa, kiltaa dan jamiun.
Dikukuhkan dengan memakai lafadz kullun dan jamiun sesuatu yang memiliki beberapa bagian, sedangkan sebagian diantaranya dapat menduduki tempat sebagian yang lain. Seperti :
 جاء الركب كله         kafilah itu telah datang semuanya
               جاء الركب جميعه     kafilah itu seluruhnya telah datang
Tidak boleh mengatakan جاء زيد كله          
Lafadz kilaa diperuntukkan bagi tasniyah mudzakar : جاء زيدان كلاهم
Lafadz kiltaa diperuntukkan bagi tasniyah muanas : جاء الهندان كلتاهما
Masing-masing harus dimudhafkan kepada dhomir yang telah diketengahkan dalam contoh-contoh tadi.    
وَاسْتَعْمَلُوا أيْضاً كَكُلٍّ فَاعِلَهْ  ¤  مِنْ عَمَّ فِي التَّوكِيدِ مِثْلَ النَّافِلَهْ
Demikian juga mereka menggunakan wazan Faa’ilatu dari lafazh Amma (Aammatu) seperti faidah Kullu (untuk syumul) didalam taukid. Serupa bunyi lafazh Naafilatu. 

Orang-orang arab menggunakan ammatun untuk menunjukkan makna yang menyeluruh sama dengan lafadz kullun lalu dimudhafkan kepada dhamir lafadz yang ditaukidinya seperti :
جاءالقوم عامتهم    kaum itu sebagian besarnya telah datang
Akan tetapi sedikit sekali dari kalangan ahli nahwu yang menganggapnya sebagai salah satu bagian lafadz taukid . hanya imam sibawaih menganggapnya sebgai salah satu huruf taukid. Penulis kitab ibnu aqil telah mengatakan “karena mempunyai pengertian yang semisal dengan lafadz an-nafilah, hal ini menunjukkan bahwa kemasukan lafadz ammatun” kedalam lafadz taukid mirip dengan nafilah, karena kebanyakan ahli nahwu mengatakan :
وَبَعْدَ كُلَ أَكَّدُوا بِأَجْمَعَا  ¤  جَمْعَاءَ أَجْمَعِيْنَ ثُمَّ جُمَعَا
Sesudah lafadz kullun mereka mentaukidkan pula dengan lafadz ajma’a, jam’au, ajmaina kemudian juma’a
Didatangkan sesudah lafadz kullun yaitu lafadz ajma’a dan lafadz-lafadz sesudahnya dalam bait tadi untuk mengukuhkan pengertian menyeluruh. Untuk itu dapat didatangkan lafadz ajma’a sesudah lafadz kulluhu, contoh :
جاء الركب كله اجمع  kafilah  itu seluruhnya telah datang semua.
Didatangkan lafadz jam’aauu sesudah lafadz kulluha :
جاءت القبيلة كلها جمعاء   kabilah itu seluruhnya telah datang semua
Lalu dapat pula didatangkan lafadz ajmaina sesudah lafadz kulluhum :
جاء الرجال كلهم اجمعون    laki-laki itu seluruhnya telah datang semua.
Dapat didatangkan lafadz jumau sesudah lafadz kulluhunna :
جاء الهندات كلهن جمع   hindun-hindun itu seluruhnya telah datang semua.


وَدُونَ كُلَ قَدْ يَجِيْء أَجْمَعُ  ¤  جَمْعَاءُ أَجْمَعُونَ ثُمَّ جُمَعُ

Terkadang selain kullun disebutkan lafadz ajmau, jam’au, ajmaauuna kemudian lafadz jumau.

Terkadang orang-orang arab menggunakan lafadz ajma’a untuk tujuan taukid tanpa didahului dengan lafadz kulluhu, seperti :
جاء الجيش اجمع      bala tentara itu telah datang semuanya.
Lafadz jam’au terkadang digunakan pula tanpa didahului oleh lafadz kulluha, seperti :
جاءت القبيلة جمعاء    kabilah itu semua telah datang.
Lafadz jamau terkadang digunakan pula tanpa didahului oleh lafadz kulluha.
جاء القوم اجمعون   kaum itu semuanya telah datang
Lafadz jumau dapat pula dipakai untuk tujuan taukid sekalipun tanpa didahului dengan lafadz kulluhunna seperti :
جاء النساء جمع     wanita-wanita itu semuanya telah datang

Ibnu malik beranggapan bahwa hal seperti yang tersebut diatas sedikit pemakainya.


وَإِنْ يُفِدْ تَوكِيْدُ مَنْكُورٍ قُبِل ¤   وَعَنْ نُحَاةِ البَصْرَةِ المَنْعُ شَمِل

Apabila taukid ini memberi pengertian pengukuhan terkadang isim nakiroh, masih tetap diterima, tetapi menurut ulama nahwu bashrah hal ini termasuk diantara hal yang tidak diperbolehkan.

Menurut madzhab ulama nahwu basrah, tidak boleh mentaukidkan isim nakiroh, apakah bersifat terbatas seperti lafadz yaumun, lailatun, syarhun, haulun atau bersifat tidak terbatas seperti lafadz waqtun, zamanun, hiinun.
Menurut ulama kufah, mentaukidkan isim nakiroh hukumnya dibolehkan karena taukid yang dimaksudkan dapat memberikan faedah, contoh :
صمت شهرا كله  aku telah berpuasa selama sebulan penuh.
وَاغْنَ بِكِلتَا فِي مُثَنًّى وَكِلاَ  ¤  عَنْ وَزْنِ فَعْلاَءَ وَوَزْنِ أَفْعَلاَ
Cukupkanlah dengan kilta dalam mustanna dan demikian pula kilaa daripada wazan fa’laa-u dan wazan af’ala
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan, bahwa mustanna dikukuhkan maknanya dengan memakai lafadz an-nafsu dan al-ainu, dengan killa serta kilta. Menurut madzab ulama nahwu basroh, ungkapan taukid tidak boleh digunakan selain lafadz-lafadz tersebut. Untuk itu tidak dapat dikatakan  :
جاء الجيشان اجمعان    
Sebagaimana tidak dapat dikatakan pula :
جاء القبيلتان جمعاوان
Cukup hanya mengandalkan kilaa dan kiltaa sebagai pengganti dari yang lainnya. Akan tetapi ulama kuffah memperbolehkan hal seperti  contoh diatas.
وَإِنْ تُؤكِّدِ الضَّمِيْرَ المُتَّصِل  ¤   بِالنَّفْسِ وَالعَيْنِ فَبَعْدَ المُنْفَصِل
Apabila dhamir yang muttasil ditaukidkan (dikukuhkan maknanya) dengan memakai lafadz an-nafsi dan al-aini, maka ini dibolehkan sesudah diadakan dhamir munfasil.
عَنَيْتُ ذَا الرَّفْعِ وَأَكَّدُوَا بِمَا  ¤   سِوَاهُمَا وَالقَيْدُ لَنْ يُلتَزَمَا
Kami bermaksud dhamir muttasil yang marfu’ dan mereka (ahli nahwu) mengukuhkan dengan selain keduanya (an-anfsu dan al-ainu) sedangkan qaid (ikatan) ini tidak ditetapi lagi (oleh mereka).
Tidak diperbolehkan mentaukidkan dhamir muttasil yang marfu’ dengan memakai lafadz al-ainu, kecuali sesudah dikukuhkan terlebih dahulu dengan dhamir munfasil. Untuk itu harus seperti berikut :
قوموا انتم انفسكم        berdirilah kamu sekalian semuanya
قوموا انتم اعينكم          berdirilah  kamu sekalian semuanya

Tidak boleh mengatakan menjadi قوموا انفسكم    secara langsung tanpa mengukuhkan dhamir muttasil dengan dhamir munfasil terlebih dahulu.
Tetapi mentaukidkannya dengan selain lafadz an-nafsu dan al-ainu, maka ketentuan tersebut tidak diharuskan lagi. Untuk itu dapat mengatakannya seperti berikut :
قوموا كلكم    berdirilah kalian semuanya
قوموا انتم كلكم   berdirilah kamu sekalian semuanya.
Demikian pula ketentuan ini tidak diharuskan lagi apabila lafadz yang mentaukidkan bukan dhamir rofa’. Seumpamanya yang mentaukidkan dhamir yang manshub atau yang majrur.


وَمَا مِنَ التَّوكِيْدِ لَفْظِيُّ يَجِي ¤  مُكَرَّرَاً كَقَولِكَ ادْرُجِي ادْرُجِي

Taukid lafdzi adalah lafadz yang diulang-ulang, seperti dalam perkataan udruji (naiklah-naiklah)
Bait ini menjelaskan tentang bagian kedua dari jenis taukid, yaitu taukid lafdzi. Yang dimakksud adalah mengulangi lafadz yang pertama untuk menonjolkan kepentingannya. Seperti :
ادْرُجِي ادْرُجِي   naiklah-naiklah


وَلاَ تُعِدْ لَفْظَ ضَمِيْرٍ مُتَّصِل  ¤  إِلاَّ مَعَ اللَّفْظِ الَّذِيْ بِهِ وُصِل

Janganlah mengulangi sebutan lafadz dhamir muttasil, kecuali bila menyebutkannya beserta lafadz yang muttasil dengangannya

Apabila bermaksud mengulangi lafadz dhamir muttasil untuk tujuan taukid, hal ini tidak boleh kecuali dengan satu syarat, yaitu hendaknya disambungkan denga lafadz yang mentaukidi. Contoh :
مررت بك بك  aku telah bersua denganmu denganmu
Sehubungan dengan masalah ini tidak boleh mengatakannya seperti : مررت بكك



كَذَا الحُرُوفُ غَيْرَ مَا تَحَصَّلاَ ¤  بِهِ جَوَابٌ كَنَعَمْ وَكَبَلَى

Demikian pula taukid huruf selain untuk jawaban seperti lafadz na’am dan bala

Demikian pula apabila bermaksud mentaukidkan huruf yang bukan untuk jawaban, diharuskan mengulangi huruf yang ada pada muakkid, lalu sambungkan disambungkan dengan muakkad. Contoh :
ان زيداان زيدا قاءم    sesungguhnya zaid sesungguhnya zaid berdiri.
Dalam hal ini tidak boleh mengatakan ان ان زيدا قاءم   
Apabila huruf taukid ini berupa jawaban seperti lafadz na’am, bala, jairi, ajal, iy dan laa. Maka boleh mengulangi sendiri. Untuk itu seandainya dikatakan اقام زيد ؟   apakah zaid telah berdiri ? maka dapat menjawab seperti berikut نعم نعم   ya.. ya..


وَمُضْمَرَ الرَّفْعِ الَّذِي قَدِ انْفَصَل ¤  أَكِّدْ بِهِ كُلَّ ضَمِيْرٍ اتَّصَل

Dhamir rofa’ yang munfasil boleh digunakan untuk mentaukidi semuanya dhamir yang muttasil
Dhamir rofa’ munfasil boleh digunakan untuk mentaukidi semua dhamir muttasil. Apakah dhamir muttasil yang dimaksud dalam keadaan marfu’ seperti :
قمت انت   engkau telah berdiri, engkau berdiri.
Atau dalam keadaan manshub seperti :
اكرمتني انا    engkau telah menghormatiku, aku sendiri
Atau dalam keadaan majrur :
مررت به هو      aku telah bersua dengannya, dia sendiri.




العطف
BAB ATHAF
عطف البيان
ATHAF BAYAN
الْعَطْفُ إِمَّا ذُو بِيانِ أوْ نَسَقْ ¤ وَالْغَرَضُ الآن بَيانُ مَا سَبَقْ
Athaf terbagi: pertama Athaf Bayan, kedua Athaf Nasaq. Sasaran kali ini menerangkan bagian Athaf yg pertama (Athaf Bayan). 
فَذُو الْبَيَانِ تَابعٌ شِبْهُ الصِّفَهْ ¤ حَقِيقَةُ الْقَصْدِ بِهِ مُنْكَشِفَهْ
Athaf Bayan adalah Tabi’ menyerupai sifat, yang-mana hakekat yang dimaksud menjadi terungkap dengannya.   

Athaf ada dua macam yaitu athaf nasaq dan athaf bayan. Athaf bayan adalah tabi’ yang jamid lagi menyerupai sifat didalam menjelaskan perihal matbu’nya serta terikat oleh lafadz sebelumnya, seperti :
اقسو بالله ابو حفص عمر     abu hafsh alias umar telah bersumpah dengan nama Alloh.
Lafadz umaru merupakan athof bayan karena berfungsi menjelaskan lafadz abu hafsh.
Dikecualiakan dari perkataan pensyarah “jamid” yaitu sifat karena sifat adalah lafadz yang musytaq atau mengandung ta’wil lafadz yang jamid. Lalu dikecualikan pula sesudah bentuk taukid dan athof nasaq karena sesungguhnya kedua jenis ungkapan ini tidak berfungsi menjelaskan lafdz yang diikutu keduanya. Dikecualikan pula dari hal tersebut badal yang jamid, karena badal yang jamid bersifat menyendiri (bebas dan tidak terikat)

فَأَولِيَنْهُ مِنْ وِفَاقِ الأَوَّلِ ¤  مَا مِنْ وِفَاقِ الأَوَّلِ النَّعْتُ وَلِي
Maka perlakukanlah athaf bayan menurut apa yang ada pada lafadz yang pertama dengan perlakukan yang sama dengan naat terhadap lafadz yang diman’utinya

Mangingat athaf bayan itu mirip dengan sifat, maka diharuskan menyesuaikan diri dengan matbu’nya, perihalnya sama dengan naat. Untuk itu harus disesuaikan dengan matbu’nya baik dalam masalah ta’rif dan tankirnya, baik dalam masalah tadzkir dan ta’nisnya dan baik dalam masalah ifrad, tasniyah dan jamaknya.



فَقَدْ يَكُونَانِ مُنَكَّرَيْنِ  ¤   كَمَا يَكُونَانِ مُعَرَّفَيْنِ

Terkadang athaf dan ma’thuf kedua-duanya dalam bentuk nakiroh dan terkadang pula kedua-duanya dalam bentuk malrifat

Sebagian besara ulama nahwu berpendapat, bahwa athaf bayan dan matbu’nya kedua-duanya nakirah, merupakan hal yang dilarang. Sedangkan seholongan hali nahwu, antara lain adalah ibnu malik berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan. Dengan demikian berarti keduanya memperbolehkan dalam bentuk nakirah, sebagaimana boleh keduanya dalam bentuk makrifat. Menurut suatu pendapat diantara contoh athof dan matbu’nya adalah firman Alloh SWT :
يوقد من شجرة مباركة زيتونة   yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya (yaitu) pohon zaitun. (an nur : 35)
Lafadz zaitunatin adalah atof bayan bagi lafadz syajarotin.


وَصَالِحَاً لِبَدَلِيَّةٍ يُرَى ¤  فِي غَيْرِ نَحْوِ يَا غُلاَمُ يَعْمُرَا

Athoaf bayan dapat dilihat dari segi kelayakannya untuk dijadikan badal pada selain contoh “yaa ghulamu ya’muro” (hai pelayan alias ya’muro)


وَنَحْوِ بِشْرٍ تَابِعِ البَكْرِيِّ ¤ وَلَيْسَ أَنْ يُبْدَلَ بِالمَرْضِي

                     Selain contoh bisyrin yang menjadi tabi’ dari lafadz al-bakri, hal ini tidak dapat dijadikan sebaga badal.


Setiap lafadz yang dapat dijadikan athaf  bayan dapat pula dijadikan sebagai badal. Contoh :
ضربت ابا عبد الله زيدا    aku telah memukul abu abdulloh alias si zaid.

Dikecialikan dari hal tersebut dua masalah yang didalamnya tabi’ hanya menjadi athof bayan dan tidak dapat dijadikan sebagai badal yaitu :
Pertama, hendaknya tabi’ dalam bentuk mufrod, makrifat lagi mu’rob. Sedangkan matbu’nya berkedudukan sebagai munada (subyek yang dipanggil), contoh :
يا غلام يعمر     hai pelayan alias si ya’muro
Dalam keadaan seperti diatas lafadz yakmuro ditentukan menjadi athof bayan. Dan tidak dapat dijadikan sebagai badal. Karena badal itu disertai dengan niat mengulangi amil. Lafadz yakmuro seharusnya dimabni dhomahkan, karena seandainya diucapkan dengan memakai ya nida, maka barulah dapat dikatan sebagai badal.
Kedua, hendaknya tabi’ terbebas dari al. sedangkan matbu’nya memakai al, lalu dimudhafkan pula kepada sifat yang mengandung al. Seperti :
انا الضارب الرجل زيد   aku adalah orang yang memukul lelaki itu alias si zaid.
Dalam keadaan seperti contoh diatas, lafadz zaidin ditentukan hanya sebagai athaf bayan, tidak boleh dianggap sebagai  badal dari lafadz ar-rojuli. Karena sesungguhnya bentuk ungkapan badal itu disertai dengan niat mengulangi amil, jika demikian berrati makna contoh tadi adalah seperti انا الضارب زيد     dan hal itu tidak boleh, karena telah diketahui dalam bab idhofah, bahwa sifat apabila dibarengi dengan al tidak boleh dimudhafkan kecuali hanya kepada lafadz yang mengandung al atau dimudhafkan kepada lafadz yang dimudhafkan lagi kepada lafadz yang n=mengandung al. Seperti :
انا الضارب الرجل زيد      aku adalah orang yang memukul lelaki itu alias si zaid.

Contoh lain :
انا ابن االتارك البكري بشر , عليه الطير ترقبه وقوفا
Aku adalah anak orang yang meninggalkan bakar alias bisyr yang diatasnya terdapat burung (pemakan bangkai) selalu menunggu kematiannya.
Lafadz bisyrin berkedudukan sebagai athaf bayan dan tidak dapat dianggap sebagai badal.

Ibnu malik menyatakan وليس ان يبدل بالمرضي    (tidak dibenarkan bila dijadikan sebagai badal)
Hal ini mengisyartkan, bahwa memperbolehkan lafadz bisyrin sebagai badal, merupakan hal yang tidak disukai. Sehubungan dengan masalah ini dia mengingatkan pada perbedaan pendapat antara imam al-farrad dan al-farisi.


عَطْفُ النَّسقِ
ATHAF NASAQ 

تَالٍ بحَرْفٍ مُتْبعٍ عَطْفُ النَّسَقْ ¤ كَاخصُصْ بوُدٍّ وَثَنَاءٍ مَنْ صَدَقْ

Isim tabi’ yg mengikuti dg huruf penghubung (antara Tabi’ dan Matbu’nya), demikian definisi Athaf Nasaq. Seperti contoh “Ukhshush bi waddin wa tsanaa’in man shadaqa” = Istimewakan..! dengan belas kasih dan sanjungan terhadap orang-orang yg jujur. 

Athaf nasaq adalah tabi’ yang antara ia dengan matbu’nya ditengai oleh salah satu huruf.
Contoh :
اخصص بود وثناء من صدق  
khususkanlah kecintaan dan pujianmu kepada orang yang berteman denganmu.


فَالْعَطْفُ مُطْلَقاً بِوَاوٍ ثُمَّ فَا ¤ حَتَّى أمَ أوْ كَفيكَ صِدْقٌ وَوَفَا

Athaf yg mengikuti secara Mutlaq (lafazh dan Makna) yaitu dengan huruf Athaf Wawu, Tsumma, Fa’, Hatta, Am, dan Aw. Seperti contoh “Fiika shidqun wa wafaa” = kamu harus jujur dan menepati.   

Huruf athaf ada dua amcam yaitu :
Pertama, ma’tuf dan ma’tuf alaih secra mutlak mempunyai kesamaan yang melaluinya, baik dari segi lafadz maupun hukumnya.
Huruf yang dimaksud adalah
Wawu      seperti   جاء زيد و عمرو    telah datang zaid dan amr.
Tsumma   seperti  جاء زيد ثم عمرو   telah datang zaid kemudian amr.
Fa            seperti جاء زيد فعمرو   telah datang zaid dan amr.
Hatta       seperti   قدم الحجاج حتى المشاة     telah tiba jamaah haji itu dan orang-orang yang berjalan kaki
Am         seperti  ازيد عندك ام عمرو    apakah orang yang disisimu itu zaid atau amr ?
Au         seperti  جاء زيد  او عمرو  telah datang zaid atau  amr.

Kedua, adalah huruf yang mengaitkan antara ma’tuf dan ma’tuf alaih dari segi lafadznya saja.
Hal ini yang dimaskud dengan perkataan :


وَأتْبَعَت لَفْظاً فَحَسْبُ بَلْ وَلا ¤ لَكِنْ كَلَمْ يَبْدُ امْرُؤٌ لَكِنْ طَلَا

Sedangkan huruf Athaf yg cukup mengikutkan secara lafazhnya saja, yaitu Bal, Laa dan Laakin. Seperti contoh “Lam yabdu imru’un laakin tholaa” tidak tampak seorangpun melainkan anak rusa.   
Ketigahuruf ini yang membuat lafadz yang kedua bersamaan dengan lafadz yang pertama dalam hal I’robnya bukan dalan hal hukumnya, contoh :
ما قام زيد با عمرو      zaid tidaklah berdiri melainkan amr.
جاء زيد لا عمرو        zaid telah datang bukan amr
لا تضرب زيدا لكن عمرا     jangan engkau memukul zaid tetapi amr.

فاعْطِفْ بِوَاوٍ سَابِقَاً أَو لاَحِقَاً ¤  فِي الحُكْمِ أَو مُصَاحِبَاً مُوَافِقَاً

Athaf kanlah dengan memakai wawu lafadz yanga akan menyusul atau yang mendahului dalah hal hukum, atau lafadz yang berpengertian bersamaan lagi bersesuaian.


Huruf wawu untuk menunjukkan muthlaqul jam’I menurut madzhab ulama nahwu bashrah.
Apabila mengatakan جاء زيد و عمرو zaid dan amr telah datang.
Hal ini menunjukkan kepada pengertian kebersamaan antara zaid dan amr dalam hal kedatangannya. Adakalanya kedatangan amr sesudah zaid atau datang datang sebelum zaid atau datang bersamaan dengannya, sesungguhnya hal ini tidak jelas, kecuali jika ada qarinah yang menunjuk kepada hal ini, seperti :
جاء زيد و عمرو و بعده   telah datang zaid dan sesudah itu amr.
جاء زيد و عمروو قبله     telah datang zaid dan sebelum itu amr.
جاء زيد و عمروو معه     telah datang zaid dan amr secara bersamaan
Dengan demikian berarti huruf wawu dapat dipakai sebagai huruf athaf untuk lafadz yang mempunyai pengertian akan menyusul, yang mendahului dan yang bersamaan.
Manurut ulama nahwu kuffah, huruf wawu ini dipakai untuk menunjukkan makana tertib, akan tetapi pendapat ini dapat disanggah dengan mengemukakan contoh firman Alloh SWT :
ان هي الا حياتنا الدنيا نموت ونحيا
Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita didunia ini, kita mati dan kita hidup. (Al-Muzammil : 37)


وَاخْصُصْ بِهَا عَطْفَ الَّذِي لاَ يُغْنِي ¤  مَتْبُوعُهُ كَاصْطَفَّ هذَا وَابْنِي

Khususkanlah wawu ini untuk mengatofkan lafadz yang matbu’nya tidak dapat terlepas dari tabi’nya, seperti isthaffa hadzawa ibni (bariskanlah orang ini dengan anakku)

 

Huruf athaf wawu mempunyai tersendiri dari huruf-huruf athof yang lainya, yaitu dijadikan sebagai huruf athaf untuk suatu hal dimana ma’thuf alaih tidak dianggap memberi pengertian yang cukup kecuali dengan ma’tufnya, contoh :
اختصم زيد و عمرو       telah bersengketa zaid dengan amr.
Seandainya dikatakan  اختصم زيد (telah bersengketa zaid), hal ini tidak diperbolehkan. Sama dengan contoh diatas adalah lafadz-lafadz berikut :
اصطف هذا وابني    bariskanlah orang ini dengan anakku.
Dalam keadaan seperti ini diatas tidak boleh menggunakan huruf athaf fad an huruf athaf lainnya, kecuali wawu.


وَالفَاءُ لِلتَّرْتِيْبِ بِاتِّصَالِ ¤  وَثُمَّ لِلتَّرْتِيْبِ بِانْفِصَالِ

Huruf athaf fa untuk menunjukkan makna urutan secara langsung dan tsumma untuk menunjukkan makana urutan secara terpisah (tidak langsung)


Huruf athaf fa untuk menunjukkan pengertian keterbelakangan ma’thuf atas ma’thuf alaihnya secara muttasil (langsung) tanpa ada tenggang waktu. Sedangkan tsumma untuk menunjukkan keterbelakangan ma’thuf atas ma’thuf alaihnya secara terpisah, yakni memakai tenggang waktu. Contoh :
جاء زيد فعمرو   zaid telah datang lalu amr.
جاء زيد ثم عمرو   telah datang zaid kemudian amr.


وَاخْصُصْ بِفَاءٍ عَطْفَ مَا لَيْسَ صِلَه ¤  عَلَى الَّذِي اسْتَقَرَّ أَنَّهُ الصِّلَهْ

Khususkanlah huruf athaf fa untuk mengathafkan lafadz yang tidak memiliki shilah (penghubung) untuk dihubungkan kepada lafadz yang dapat ditetapkan bahwa ia adalah shilah-nya.

 

Huruf fa mempunyai keistimewaan tersendiri yaitu dapat dijadikan sebagai huruf athaf yang menghubungkan antara lafadz yang tidak layak untuk menjadi shilah karena mengandung dhamir mausul dengan lafdz yang layak untuk dijadikan sebagai shilah karena mengandung dhamir mausul.
Contoh :
الذي يطير فيغضب زيد الذباب    hewan terbang yang membuat zaid marah adalah lalat
Tidak boleh mengatakan   ويغضب   atau   ثم يغضب  karena huruf fa mengandung sababiyah. Karena itu keadaan rabith tidak dibutuhkan sebab cukup dengan fa. Diperbolehkan mengatakan : الذي يطير فيغضب زيد الذباب  
hewan terbang yang membuat zaid marah karenany adalah lalat.
Karena terdapar dhamir rabith yang menghubungkan antara shilah dan mausulnya.


بَعْضَا بِحَتَّى اعْطِفْ عَلَى ¤ كُلَ وَلاَ يَكُونُ إِلاَّ غَايَةَ الَّذِي تَلاَ

Athafkanlah dengan memakai hatta makna sebagian terhadap makna keseluruhan, dan tidaklah makna yang dikandungnya kecuali merupaka tujuan dari lafadz yang mengirinya.

 

Disyaratkan untuk lafadz yang diathafkan memakai hatta, hendaknya menjadi bagian dari lafadz sebelumnya dan merupakan tujuan baginya dalam hal penambahan atau pengurangan, seperti :
مات الناس حتى الانبياء    manusia pasti akan mati hingga para nabi.


وَأَمْ بِهَا اعْطِفْ إِثْرَ هَمْزِ التَّسْوِيَهْ ¤ أَو هَمْزَةٍ عَنْ لَفْظِ أَيَ مُغْنيَهْ

Dengan am athafkanlah sesudah hamzah taswiyah, atau sesudah hamzah yang menggatikan kedudukan lafadz ayyun.

Huruf am ada dua jenis.
1.           Am muqathi’ah
2.           Am muttashilah
Am muttashilah adalah am yang terletak sesudah hamzah taswiyah. Contoh :
سواء علي اقمت ام قعدت      bagiku sama saja, apakah kamu berdiri atau duduk.
Juga am yang terletak sesudah hamzah yang membutuhkan lafadz ayyun, contoh :
ازيد عندك ام عمرو        apakah zaid yang ada disisimu ataukah amr ? makana yang dimaksud adalah : ايهما عندك      manakah diantara keduanya yang berada disisimu ?


وَرُبَمَا أُسَقِطَتِ الهَمْزَةُ إِنْ ¤  كَانَ خَفَا المَعْنَى بِحَذْفِهَا أمِنْ

Terkadang hamzah digugurkan apabila kesamaran maknanya dapat dihindari sekalipun dibuang.

 

Terkadang hamzah tasywiyah dan hamzah yang menggantikan ayyun ini dibuang apabila keadaannya aman dari kekeliruan pamahaman. Kedudukan am tetap muttashilah sama halnya ketika hamzah masih ada. Contoh :
سواءعليهم انذرتهم ام لم تنذرهم
Sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak (Al-Baqarah : 6)
Bacaan ayat ini dengan menggugurkan hamzah dari lafadz andzartahum.


وَبِانْقِطَاعٍ وَبِمَعْنَى بَل وَفَتْ ¤  إِنْ تَكُ مِمَّا قُيِّدَتْ بِهِ خَلَتْ

Am ini dinamakan muqathi’ dan mengandung makna bal apabila terlepas dari ikatan-ikatan tadi.

 

Dengan kata lain, apabila am tidak didahului oleh hamzah tasywiyah dan tidak pula didahului oleh hamzah yang mengandung makna ayyun, maka ia adalah am muqathiah. Kala itu maknanya menunjukkan idhrab sama dengan makna yang dimiliki oleh lafadz  bal. seperti :
لا ريب فيه من رب العالمين . ام يقون افتراه
Tidak adakeraguan didalamnya, (diturunkan) dari rabb swemesta alam, atau (patutlah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya” (yunus : 37-38)
Makna yang dimaksud adalah :   بل يقون افتراه       


خَيِّرْ أَبِحْ قَسِّمْ باو وَأَبْهِمِ  ¤ وَاشْكُكْ وَإِضْرَابٌ بِهَا أَيْضَاً نُمِي

Pilihlan, perbolehkanlah, bagikanlah dengan memakai au dan ibhamkanlah serta ragukanlah (dengan memakainya) dan terkadang pula dapat digunakan untuk makan idhrab.

 

Huruf athaf au dapat dipakai untuk makna takhyir (memilih), seperti :
خذ من مالي درهما او دينارا        ambilah sebagian dari hartaku, dirham atau dinar.
Dapat pula dipakai untuk makan ibahah, contoh :
جالس الحسن ام ابن سيرين       bergaullah dengan alhasan atau ibnu sirin.
Perbedaan antara makna ibahah dan takhyir ialah, ibahah tidak ada larangan bila dihimpun, sedangkan takhyir dilarang. Au dapat pula dipakai untuk makana taqsim (pembagian).
Au dapat dipakai pula untuk tujuan ibham terhadap pendengar (menyembunyikan maksud yang sebenarnya terhadap pendengar). Seperti جاء زيد  او عمرو   
Hal tersebut dikatakan apabila telah diketahui siapa sebenarnya yang datang diantara keduanya. Dengan maksud menyembunyikan hal yang sesungguhnya terhadap si pendengarnya.
Huruf athaf au juga dipakai untuk makna syak (ragu), seperti جاء زيد او عمرو  
Huruf athaf au juga dipakai untuk makna idhrab.


وَرُبَّمَا عَاقَبَتِ الوَاوَ إِذَا  ¤ لَمْ يُلفِ ذُو النُّطْقِ لِلَبْسٍ مَنْفَذَا

Terkadang au dipakai untuk menggantikan wawu, yaitu apabila orang yang mengucapkannya merasa aman dari kekeliruan pemahaman.

 

Terkadang au dipakai untuk makna yang sama dengan wawu apabila keadaanya aman dari kekeliruan pemahaman, seperti :
جاء الخلافة او كانت له قدرا, كما اتى ربه موسى على قدر
Ia menduduki tahta kekhalifahan dan memang kekhalifahan itu merupakan kepastian baginya, sama halnya dengan nabi musa yang mendatangi rabbnya berdasar sesuatu kepastian (takdir) baginya.

 


وَمِثْلُ أَو القَصْدِ إِمَّا الثَّانِيَهْ ¤  فِي نَحْوِ إِمَّا ذِي وَإِمَّا النَّائَيِهْ

Sama maknanya dengan au, yaitu imam yang kedua sepeti dalam contoh ini, imam dzi waimma naa iyyah (adakalanya orang ini atau orang yang jauh itu)

 

Atau dengan kata lain, bahwa imam yang didahului oleh huruf yang semisal dengannya dapat memberi pengertian yang sama dengan apa yang diberikan oleh au. Yaitu adakalanya untuk makna takhyir seperti :
خذ من مالي امل درهما واما دينارا
Ambillaj sebagian dari hartaku baik yang dirham ataupun yang dinar.
Adakalahnya dipakai untuk makna ibahah, contoh :
جالس اما الحسن واما ابن سيرين  
Pergalilah alhasan atau ibnu syirin.
Adakalanya dipakai untuk taqsim, contoh :
الكلمة اما اسم و اما فعل واما حرف
Kalimah itu adakalanya isim, atau fiil atau huruf.
Sebagian dapat dipakai makna ibham dan syak, contoh :
جاء اما زيد و اما عمرو    telah datang adakalanya zaid atau amr.


وَأَولِ لكِنْ نَفْيَاً أو نَهْيَاً وَلاَ ¤  نِدَاءً أو أَمْرَاً أوِ اثْبَاتَاً تَلاَ

Ikutilah lakin dengan nafi atau nahi, dan laa dengan nida’ atau amar atau istbat.

Lafadz lakin dipakai untuk tujuan athaf hanya sesudah nafi seperti :
ما ضربت زيدا لكن عمرا         aku tidak memukul zaid tetapi amr.
Atau sesudah nahi, contoh :
لا تضرب زيدا لكن عمرا         jangan memukul zaid tapi amr.
Huruf laa dipakai sebagai huruf athaf sesudah nida’ seperti : يا زيد لا عمرو    hai zaid, bukan amr.
Dipakai juga sesudah amar seperti :   اضرب زيدا لكن عمرا        pukullah zaid jangan amr.
Sebagian juga dapat dipakai sesudah kalam itsbat (bukan kalam nafi) seperti :
جاء زيد لا عمرو       zaid telah datang bukan amr.

Huruf laa tidak boleh dijadikan sebagai athaf sesudah nafi, untuk itu tidak boleh dikatakan  جاء زيد لا عمرو  ما . lakin tidak boleh dijadikan huruf athaf dalam kalam itsbat, untuk tidak boleh dikatakan : جاء زيد لكن عمرو       


وَبَل كَلكِنْ بَعْدَ مَصْحُوبَيْهَا ¤ كَلَمْ أكُنْ فِي مَرْبَعٍ بَل تَيْهَا

Bal sama dengan lakin sesudah kedua keadaan yang mengikutinya “lam akun fi marbain bal taihan” (bukanlah aku berada dalam kebun tetapi padang sahara)


وَانْقُل بِهَا لِلثَّانِ حُكْمَ الأَوَّلِ ¤  فِي الخَبَرِ المُثْبَتِ وَالأَمْر الجَلِي

Pindahkanlah hukum yang pertama kepada yang kedua melalui bal dalam kalam khabar yang mutsbat, yang amar (kata perintah) yang jelas.


Kalam nafi dan nahi dapat memakai athaf bal, dalam keadaan seperti itu lafadz bal sama maknanya dengan lakin. Yaitu menetapkan hukum lafadz sebelumnya dan mengukuhkan kebalikannya bagi lafadz sesudahnya, contoh :
ما قام زيد بل عمرو     tidaklah zaid berdiri  tetapi amr.
لا تضرب زيدا بل عمرا   jangan memukul zaid tetapi amr.
Lafadz bal menetapkan makana nafi dan nahi yang telah mendahuluinya dan mengukuhkan pekerjaan berdiri bagi bagi amr serta perintah untuk memukulnya.
Bal dapat dipakai sebagai huruf athaf dalam khabar yang mustbat, dan amar dalam keadaan seperti ini memberi faedah makna idhrab (tolakan) untuk lafadz yang pertama, lalu mengalihkan hukum lafadz yang pertama kepada lafadz yang kedua. Sehingga seakan-akan lafadz yang pertama merupakan hal yang tidak disinggung-singgung lagi, contoh :
 قام زيد بل عمرو  zaid telah berdiri bahakan amr
  اضرب زيدا بل عمرا        pukullah zaid bahkan amr.


وَإِنْ عَلَى ضَمِيْرِ رَفْعٍ مُتَّصِل ¤ عَطَفْتَ فَافْصِل بِالضَّمِيْرِ المُنْفَصِل

Apabila mengathafkan kepada dhamir rafa yang muttasil, maka pisahkanlah dengan dhamir munfashil.

 

أَو فَاصِلٍ مَّا وَبِلاَ فَصْلٍ يَرِدْ ¤ فِي النَّظْمِ فَاشِيْاً وَضَعْفَهُ اعْتَقِدْ

Atau pemisah apapun dan sering didalam nadham (syair) hal ini tidak memakai pemisah, tetapi yakinilah bahwa hal tersebut dianggap lemah.

 

Apabila mengathafkan dhamir rafa yang muttasil dengan lafadz yang diathafkan kepadanya dengan sesuatu. Kebanyakan pemisah ini berupa dhamir munfashil, seperti yang terdapat pada firman Alloh :
لقد كنتم انتم و اباؤكم في ضلال مبين
Sesungguhnya kalian yakni kalian dan bapak-bapak kalian berada dalam kesatuan yang nyata. (al-anbiya : 54)
Dhamir marfu’ yang mustatar dalam masalah ini sama kedudukannya dengan dhamir muttasil, contoh :
اضرب انت وزيد      pukullah oleh kamu dan zaid.
Ibnu malik menyatakan :
وبلا فصل يزد    sering kali dalam syair tidak memakai pemisah.
Hal ini mengisyaratkan bahwa terkandung didalam kalam adham lafadz yang diathafkan kepada dhamir tersebut tidak memakai pemisah lagi (langsung).
Hanya sedikit hal semacam ini (tanpa pemisah) dalam kalam natsar.
Dapat dsimpulkan dari pernyataan tadi, bahwa mengathafkan sesuatu lafadz kepada dhamir marfu’ yang munfasil tidak membutuhkan pemisah lagi.  Demikian pula apabila dhamir manshub muttasil dan munfasil. Contoh :
زيد ضربته وعمرو           zaid aku telah memukulnya dan pula amr.
مااكرمت الااياك وعمرا        tidaklah aku menaruh rasa hormat kecuali kepada kamu dan amr.


وَعَودُ خَافِضٍ لَدَى عَطْفٍ عَلَى ¤  ضَمِيْرِ خَفْضٍ لاَزِمَاً قَدْ جُعِلاَ

Mengulangi huruf jar sewaktu diathafkan kepada dhamir yang dijarkan merupakan suatu keharusan.


وَلَيْسَ عِنْدِي لاَزِمَاً إِذْ قَدْ أَتَى ¤ فِي النَّظْمِ وَالنَّثْرِ الصَّحِيْحِ مُثْبَتَا

Tetapi menurutku (penulis) bukan merupakan suatu keharusan sebab hal ini terkadang disebutkan pula baik dalam kalam nastar maupun nadham dianggap sebagai hal yang dibenarkan.

Kebanyakan ulama  nahwu mengharuskan huruf jar diulangi  apabila suatu lafadz diathafkan kepada dhamir yang majrur. Karena secara idioms hal ini ada baik dalam kalam nastar maupun kalam nadham. Yakni mengathafkan suatu lafadz kepada dhamir majrur tanpa mengulangi huruf jar lagi. Contoh :
واتقوا الله الذي تساءلون به والارحام
Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (memakai) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain. (an-nisa’ : 1)


وَالفَاءُ قَدْ تُحْذَفُ مَعْ مَا عَطَفَتْ  ¤  وَالوَاوُ لاَ لَبْسَ وَهْيَ انْفَرَدَتْ

Huruf athof fa’ dan wawu terkadang dibuang berserta lafadz yang diatofkan dengannya karena tidak ada kekeliruan pemahaman, tetapi huruf atof wawu mempunyai keistimewaan tersendiri.
بِعَطْفِ عَامِلٍ مُزَالٍ قَدْ بَقِي  ¤  مَعْمُولُهُ دَفْعَاً لِوَهْمٍ اتُّقِي

Yaitu amil yang diatofkan dapat dibuang, sedangkan ma’mulnya masih tetap ada untuk menolak anggapan yang bukan-bukan.

 

Terkadang huruf atof fa berserta ma’tufnya dibuang karena adad dalil yang menunjukkan kepadanya, sebagai contoh dalam firman Alloh :
فمن كان منكم مريضا او على سفر فاعدة من ايام اخر
Jika diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS albaqarah : 184)
Makna yang dimaksud adalah :
فافطر فعليه فاعدة من ايام اخر
Lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditingggalkan itu pada hari yang lain.
Lalu lafadz aftoro dibuang berikut huruf fa yang berada didalamnya. Demikian pula huruf atof wawu dpat dibuang sebagai contoh :
راكب الناقة  طالحيحان      pengendara unta itu berikut (unta-untanya) kedua-duanya merasa payah.
Bentuk lengkapnya adalah راكب الناقة  و الناقة  طالحيحان  pengendara unta itu berikut (unta-untanya) kedua-duanya merasa payah.
Tetapi huruf atof wawu mempunyai keistimewaan tersendiri diantara huruf atof lainnya. Yaitu bahwa ia dapat mengatofkan amil yang dibuang, tetapi ma’mulnya masih tetap ada. Contoh :
اذا ما الغانيات برزنا يوما وزججن الحواجب والعيونا
Apabila wanita-wanita penyanyi itu mulai muncul disuatu hari dan menipiskan alisnya serta (mencelaki) matanya.
Lafadz al uyuuunu berkedudukan sebagai maf’ul sedangkan fiil ayng menjadi amilnya dibuang. Bentuk lengkapnya adalah :
وكحلنا العيون      dan menipisnya alisnya serta mencelaki matanya.
Fiil yang dibuang tersebut  diatofkan pada lafadz zajajna.


وَحَذْفَ مَتْبُوعٍ بِدَا هُنَا اسْتَبِحْ ¤  وَعَطْفُكَ الفِعْلَ عَلَى الفِعْلِ يَصِحّ

Diperbolehkan pada bab ini membuang matbu’ yang sudah jelas. dianggap sah dalam bab ini anda mengatofkan fiil pada fiil lainnya.

Terkadang ma’tuf alaih dapat dibuang karena ada dalil yang menunjukkan pada keberadaannya. Contoh dalam surat al-jatsiyah :
افلم تكن اياتي تتلى عليكم    apakah belum ada ayat-ayatku yang belum dibaca pada kalian. (qs. Al jatsiyah)
Kepanjangan ayat tadi menurut imam zamaksyari adalh sebagai berikut :
  افلم تكن اياتي فلم تكن تتلى عليكم  Apakah belum ada ayat-ayatku yang belum dibaca pada kalian lalu ayat-ayat tadi tidak dibaca kepada kalian. (qs. Al jatsiyah)
Lalu ma’tuf alaihnya dibuang yaitu الم تءتيكم   
Lalu imam malik mengatakan وعطفك الفعل     
(dibolehkan pada bab ini anda mengatofkan pada fiil   


وَاعْطِفْ عَلَى اسْم شِبْهِ فِعْلٍ فِعْلاَ ¤  وَعَكْسَاً اسْتَعْمِل تَجِدْهُ سَهْلاَ

Atofkanlah fiil kepada isim yang menyerupai fiil dan begitu pula sebaliknyadapat anda gunakan, niscaya anda akan menjumpai hal ini dengan mudah.

Fiil boleh diatofkan kepada isim yang menyerupai fiil seperti kepada isim fail dan lain-lainnya yang serupa dengan fiilnya. Hal ini diperbolehkan pula kebalikannya yaitu mengatofkan isim kepada fiil yang menduduki tempat isim. Contoh :
فابمغيرات صبحا فاثرن به نقعا
Dan kuda yang menyerang diwaktu pagi dengan tiba-tiba, maka ia menerbangkan debu. (al-aadiyat : 3-4)
ان المصدقين والمصدقات واقرضوا الله
Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Alloh dan Rasulnya) baik laki-laki maupun perempuan, dan meminjamkan kepada Alloh. (al-hadid : 18)