Dzikrulloh Warosulih SAW

BACALAH SELALU DI DALAM HATI ATAU DENGAN LISAN "YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOOH" UNTUK DZIKIR KEPADA ALLOH WA ROSULIHI SAW

18.3.15

الحقيق والمجازي في اللغة العربية (Makna Hakiki Dan Majaz Dalam Ilmu Balahgoh)

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang

Balaghoh mendatangkan ma’na yang agung dan jelas, dengan ungkapan yang benar dan fasih,memberi bekas yang berkesan di lubuk hati, dan sesuaidengan situasi, kondisi, dan orang-orang yang diajak bicara.

Secara ilmiah balaghoh merupakan disiplin nya Ilmu yang berlandaskan pada kejernihan hati nurani dan mempunyai jiwa yang sangat kuat dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar diantara macam-macam uslub (ungkapan). Kebiasaan mengkaji balaghoh merupakan modal pokok dalam membentuk tabiat, kesastraan dan mengingatkan kembalibeberapa bakat yang terpendam. Untuk mencapai tingkatan itu seorang pelajar harus membaca karya- karya sastra pilihan , memenuhi dirinya dengan pancaran tabiat sastra, menganalisis dan membanding-bandingkan karya-karya sastra , dan harus memiliki kepercayaan pada diri sendiri sehingga mampu melihat baik dan jelek suatu karya sastra sesuai dengan kemampuanya.[1]
           

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian dari Hakiki?
2.      Apa pengertian dari Majazi?
3.      Apa pengertian dari majas  isti’aroh dan majas mursal?

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Makna Hakiki
حَقِيْقَةٌ مُسْتَعْمَلٌ فِيْمَا وُضِع # لَهُ بِعُرْفٍ ذِي الخِطَابِ فَاتّبِعْ
Makna hakiki ialah lafadz yang digunakan (dipakai) menurut kedudukanya bagi pendengar maka ikutilah."
Pada dasarnya yang dimaksud dengan sebuah hakiki ialah suatu makna yang sudah ditetapkan, dinamakan  dengan demikian itu karna ketetapan lafadz atas asal ketentuan atau wadha’nya.
 Adapun pemahaman hakiki dalam bab ini, ialah:
اَللفْظُ المُسْتَعْمَلُ فِيْمَا وُضِعَ لَهُ
“lafadz yang digunakan menurut arti yang sebagaimana mestinya  yakni yang ditetapkan baginya.”[2]
Sedangkan menurut imam As- Sukaaki hakiki adalah:[3]
الحَقِيْقَةُ  الكَلِيْمَةُ المُسْتَعْمَلَةُ فِيْمَا وُضِعَتْ لَه مِنْ غَيرِ التَأوِيْل
"Hakiki adalah kalimat yang digunakan menurut kedudukanya dengan tidak dita’wil."
Dalam bahasa Arab, makna hakiki didahulukan daripada makna majazi, sesuai kaidah ushuliyah :
الأَصْلُ فِي الكَلاَمِ الحَقِيْقَةِ
“Pada dasarnya pembicaraan/ ucapan itu harus diartikan lebih dahulu secara makna hakiki.”[4]
Karena itu, nash-nash syara’ yang berbahasa Arab itu harus terlebih dahulu harus diartikan dalam makna hakikinya, bukan makna majazinya.Bila tidak memungkinkan diartikan secara makna hakiki atau jika ada qarinah (indikasi, petunjuk), barulah diartikan secara majazi.Namun demikian, harus ada hubungan (‘alaqah) antara makna hakiki dan makna majazinya, misalnya hubungan sababiyah (menyebut sebab tapi yang dimaksud adalah akibat), musabbabiyah (menyebut akibat/musabab tapi yang dimaksud adalah sebab), juz`iyah (menyebut sebagian tapi yang dimaksudadalah keseluruhan), kulliyah (menyebut keseluruhan tapi yang dimaksud adalah sebagian), dan sebagainya.[5]
Lebih jauh, pemberian makna hakiki yang harus diutamakan dari  pada makna majazi seperti diterangkan di atas, mengikuti urutan (tertib) sebagai berikut[6] :
1.      Makna hakiki syar’i
(Al-Haqiqah al-lughawiyah asy-syar’iyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang telah dialihkan dari makna lughawinya (makna bahasa), dikarenakan nash-nash syara’ telah memberikan tambahan makna yang lebih dari sekedar makna bahasanya. Contohnya adalah kata (lafazh) sholat, shaum, zakat, haji, jihad, islam, iman, dan sebagainya.
Kataالصلاة  secara lughawi (bahasa), yang diambil dari kamus-kamus bahasa Arab, artinya adalah الدُّعَاء(do’a).Tapi nash-nash syara’ (khususnya hadits Nabi) telah menjelaskan tatacara Nabi shalat, sehingga kita tidak dapat lagi mengartikan nash syara’ yang menyebut “shalat” dengan arti bahasanya (do’a), sebab sudah tambahan makna dari sekedar makna bahasanya. Shalat secara syar’i lalu diartikan suatu kumpulan perbuatan dan perkataan (do'a) yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[7]
2.      Makna hakiki ‘urfi
(Al-Haqiqah al-lughawiyah al-‘urfiyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang telah menjadi urf (kebiasaan) orang Arab dalam mengartikan suatu kata.Contohnya kata daabbah.Kata daabbah makna lughawinya adalah segala makhluk yang melata di muka bumi (termasuk hewan dan manusia).Namun secara urfi orang Arab lalu menggunakan kata daabbah dalam arti dzawatul arba’ (hewan berkaki empat) seperti sapi, tidak termasuk manusia.[8]
3.      Makna hakiki lughawi
(Al-haqiqah al-lughawiyah al-wadh’iyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang menunjuk pada arti asalnya secara bahasa.Contohnya, kata rajulun (lelaki), imra`ah (perempuan), asad (singa), jamal (unta), saif (pedang), dan sebagainya banyak sekali.
B.     Makna majazi
اللفْظُ المُسْتَعْمَلُ فِي غَيْرِمَا وُضِعَ لَه
 “suatu lafadz yang digunakan untuk lafadz lain yang bukan tercetak dari lafadz tersebut”[9]
المَجَاز اللَفْظُ المُسْتَعْمَلُ فِي غَيْرِمَا وُضِعَ لَهُ لِعَلاَقَةٍ مَعَ قَرِيْنَةٍ مَانِعَةٍ مِنْ إِرَادَةِ المَعْنَى
Majazadalah : Lafadz yang digunakan pada selain makna aslinya, karena adanya keterkaitan makna disertai Indikator yang mencegah dari pemahaman arti aslinya.[10]
Seperti :
Lafadz الدُّرَرِ  diartikan sebagai : "Beberapa kalimah Fashihah" dalam ucapanmu :
فُلانٌ يَتَكَلَّمُ بِالدُّرَرِ  = Dia sedang berbicara dengan Kata-kata fasih .
lafadz itu digunakan pada selain arti aslinya, karena Arti aslinya adalah Beberapa Mutiara, lalu dirubah menjadi arti " Beberapa kalimah Fashihah" sebab diantara arti keduanya masih ada kaitan dalam hal keindahan.
dan Perkara yang mencegah dalam mengartikan makna aslinya adalah Qorinah Lafadziyah :  يَتَكَلَّمُ  (Berbicara).
            Majaz di bagi menjadi dua:

1.      MAJAZ ISTI’AROH
Majaz yang keterkaitan makna Aslinya dengan makna yang digunakan, itu ada keserupaan.
Seperti Firman Allah SWT :
كِتَابٌ أنْزَلْنَاهُ إلَيْكَ لِتخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ
"Ini adalah Kitab yang telah Kami turunkan kepadamu supaya engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan (Kesesatan) menuju Cahaya (Hidayah)”    .( S. Ibrahim : 1)
Arti Asli Lafadz  الظُّلُمَاتِdanالنُّوْرِ adalah Gelap dan Terang.
Arti Majaz Lafadz  الظُّلُمَاتِdanالنُّوْرِ  adalahالضلال  (Kesesatan) danالهُدَى (petunjuk).  
Lafadz  الظُّلُمَاتِdanالنُّوْرِ   pada ayat tersebut digunakan pada selain arti aslinya (makna Majaz).
dan kaitan antara makna keduanya adalah adanya  keserupaan antara "Arti Kesesatan dan kegelapan" dengan wajah syabah : "sama-sama tidak mengetahui sesuatu", atau "Hidayah dan Cahaya" dengan wajah syabah: "sama-sama mengetahui sesuatu"
2.      MAJAZ MURSAL
Majaz yang hubungan ma'nanya tidak ada keserupaan.
Alaqoh dalam Majaz mursal ada 8 perkara yaitu :

1.      Sababiyah (Sebab).
Contoh :عَظُمَتْ يَدُ فُلانٍ عِنْدِيْ        
"Tangan Si Fulan besar Disisiku ".(Ni'mat yang sebab mendapatkannya dengan tangan)
Mengucapkan kata Tangan dengan arti Ni'mat dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan penyebab  dengan menghendaki arti akibatnya.
{إطلاق السبب على أرادة المسبب}
2.      Musabbabiyyah (akibat)
Contoh :أَمْطَرَتْ السَّمَاءُ نَبَاتًا           
"Langit itu memberi curah hujan" (hujan yang mengakibatkan timbulnya tanaman)
Mengucapkan kata نَبَاتًا  (Tanaman) dengan arti Hujan dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan Akibat dengan menghendaki arti penyebabnya.
{إطلاق المسبب على أرادة السبب}
3.      Juz'iyyah (Sebagian)
Contoh :أرْسَلْتُ العُيُوْنَ لِتَطَّلِعَ عَلَى أحْوَالِ العَدُوِّ
"Saya mengutus Intel, supaya mengawasi gerak-gerik musuh"
Mengucapkan kata العُيُوْنَ  (beberapa mata) dengan arti Intel (mata-mata) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan sebagian dengan menghendaki arti keseluruhan{إطلاق الجزء على أرادة الكلّ}
Karena Mata merupakan bagian dari Seseorang.

4.      Kulliyah (Keseluruhan)
Contoh :وَيَجْعَلُوْنَ أَصَابِعَهُمْ فِيْ آذانِهِمْ
"Mereka menjadikan jari-jari mereka (ujung jari) pada telinganya "
Mengucapkan kata الأصابع   (Jari tangan) dengan arti الأنامل (Ujung jari) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan keseluruhan dengan menghendaki artisebgian.
Karena Ujung jari merupakan bagian dari Jari.
{إطلاق الكل على أرادة الجزء}
5.Memandang Asalnya (pada masa sebelumnya).
Contoh :وَآتُوا اليَتَامَى أموالهُمْ أي البَالِغِيْن        
"Dan berikanlah kepada Anak- anak yatim (Orang Baligh) atas beberapa hartanya"
Mengucapkan kata اليتامى   (Anak-anak yatim) dengan arti البالغين (Orang Baligh) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan Sifat sebelumnya dengan menghendaki arti Sifat yang sedang terjadi.
{إطلاق إطلاق ما كان على أرادة ما يكون}

6.Memandang sesuatu yang akan terjadi.
Contoh :إنِّيْ أرانِيْ أعصر خمرا أي عِنبًا         
"Saya meyakini  bahwa saya sedang memeras arak (anggur)."
Mengucapkan kata خمر   (arak) dengan arti عنب (Anggur) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan bentuk yang akan terjadi dengan menghendaki arti bentuk  sebelumnya
{إطلاق ما يكون على أرادة ما كان}
7.Mahalliyah (tempat)
Contoh :قَرَّرَ المَجْلِسُ ذالك أي أهْلُهُ    
"Majlis (Ahli Majlis) itu telah menetapkan keputusan"
Mengucapkan kata المجلس   (Majlis) dengan arti اهل المجلس (Ahli Majlis) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan tempat dengan menghendaki arti Orang yang menempati
{إطلاق المكان على أرادة الحالّ فيه}
8.Perkara yang menempati / Keadaan (Halliyah).
Contoh :فَفِي رَحْمَةِ اللهِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْن أي جنته
"Dan dalam Rohmat Allah (Syurga-Nya), mereka kekal didalamnya"
Mengucapkan kata رَحْمَةِ اللهِ   (Rohmat Allah) dengan arti جنته(Surga Allah) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan Perkara yang menempati dengan menghendaki arti Tempat.
{إطلاق الحالّ على أرادة المحلّ}

 BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Hakiki dan Majazi merupakan salah satu ilmu bahasa  yang sangan penting yang digunakan dalam memahami konteks atau teks khususnya lagi dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, maka dari itu kami dapat menympulkan dari makalah yang kami buat ini, bahwasanya Hakiki adalah lafat yang didunakan menurut arti yang sebagaimana mestinya atau arti yang di tetapkan baginya. Contoh: رَأَيْتُ الرّجُلَ فِي المَسْجِدِ (saya mengetahui pemuda di dalam masjid).
Majazi adalah suatu lafadz yang digunakan untuk lafadzlain yang bukan tercetak dari lafadz tersebut.
Contoh: فُلانٌ يَتَكَلَّمُ بِالدُّرَرِ  =Dia sedang berbicara dengan Kata-kata fasih .
lafadz itu digunakan pada selain arti aslinya, karena Arti aslinya adalah Beberapa Mutiara, lalu dirubah menjadi arti " Beberapa kalimah Fashihah" sebab diantara arti keduanya masih ada kaitan dalam hal keindahan.
Majaz dibagi menjadi dua:
1.      Majaz Isti'aroh
Majaz yang keterkaitan makna Aslinya dengan makna yang digunakan, itu ada keserupaan.
2.      Majaz Mursal
Majaz yang hubungan ma'nanya tidak ada keserupaan.


B.     KRITIK DAN SARAN
Dari makalah yang kami buat ini,  pastinya banyak kesalahan dan kekurangan atau masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mohon kritik dan saran anda, agar makalah yang kami buat ini bisa lebih sempurna dan agar bisa membuahkan kemanfaatan dan kebarokahan kepada seluruh manusia jami’al alamin khususnya diri pribadi kami.

DAFTAR PUSTAKA
·         Imam Akhdori, terjemah jauharul maknun (ilmu balaghoh), Al-Hidayah, Surabaya.
·         Syeh Zainudin ibnu Abdul Aziz, Fathul Mu’in                  
·         Al hafidz Jalaluddiin Abdu ar Rahman as Suyuti, Syarah ukudu al- Juman fi ilmi ma’ani           
·         Ali Al- Jarim dan Musthofa Usman, Al Balaaghatul Waaghihah, Sinar Baru Algensindo, bandung 2005.
·         http://berandasyariah.wordpress.com/2010/08/10/metode-pemaknaan-istilah/




[1] Terjemah Al- Balaaghotul Waadhihah, hal.6
[2]Abdul Qodir Hamid, Terjemah jauharul maknun (ilmu balaghoh), hal. 170
[3]Taqiyuddin An-Nabhani, op.cit., III/hal. 135

[5]Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, (Beirut : Darul Fikr, t.t.), hal. 23-24.
[6]Muhammad Husain Abdullah, op.cit., II/hal. 8.
[7]Syeh Zainudin ibnu Abdul Aziz, Fathul Mu’in, hal. 3
[8]Terdapat makna hakiki urfi yang bersifat khusus, yaitu yang ditetapkan oleh para pakar dalam setiap disiplin ilmu, misalnya istilah fa’il dan maf’ul bih di kalangan para ahli ilmu Nahwu, istilah unsur dan senyawa di kalangan ahli kimia, dan sebagainya. (Lihat Muhammad Husain Abdullah, op.cit., II/hal. 8).
[9]Abdul Qodir Hamid, Terjemah jauharul maknun (ilmu balaghoh), hal. 170
[10]Husnu as- Siyaghoh, hal. 97

0 komentar:

Posting Komentar