اَلْمُنَادَى
الْمُضَافُ اِلَى يَاءِ اْلمُتَكَلِمِ
وَاجْعَلْ
مُنَادَى صَحَّ إنْ يُضَفْ لِيَا (
) كَعَبْدِ عَبْدِى عَبْدَ عَبْدَا عَبْدِيَا
Munada yang berupa isim yang soheh akhir yang dimudhofkan pada ya’
mutakalim, itu memiliki lima wajah, yaitu:
1.
Membuang
ya’ mutakalim , dan mencukupkan dengan kasroh, dan inilah yang paling banyak
berlaku.
Contoh: يَاعِبَادِ فَاتَّقُوْنَ
, يَاعَبْدِ
2.
Menetapkan
ya’ mutakalim dengan disukun.
Contoh: يَاعَبْدِىْ لَاخَوْفٌ عَلَيْكُمْ,
يَاعَبْدِىْ
Wajah ini banyak digunakan, tetapi sebawahnya yang pertama.
3.
Mengganti
ya’ mutakalim dengan alif lalu dibuang, dan dicukupkan dengan fathahnya huruf
akhir.
Diucapkan: يَاعَبْدَ
Wajah ini dipeerbolehkan oleh imam Ahfasy, Al-Muzani dan Al-Farisi,
walaupun mengumpulkan membuang iwad (pengganti) dan mu’awwad (yang diganti).
4.
Mengganti
ya’ mutakalim dengan alif dan membaca fathah pada huruf akhir.
Seperti: يَاحَسْرَتَا , يَاعَبْدَا
5.
Menetapkan
ya’ mutakalim dan dibaca fathah, wajah ini adalah yang asal.
Seperti: يَاعِبَادِيَ الَّذِيْنَ
اَسْرَفُوْا , يَاعَبْدِيَ
وَفَتْحٌ
اَوْ كَسْرٌ وَحَذْفُ الْيَا اسْتَمَرَّ
( ) فِى يَا ابْنَ اُمَّ يَا
ابْنَ عَمِّ لاَمَفَرَّ
Didalam munada
yang berupa lafadz ابن atau ابنة
yang diidlofahkan pada lafadz yang diidlofahkan pada ya’ mutakalim, itu ya’
mutakalimnya wajib dibuang, dan huruf akhirnya diperbolehkan dibaca fathah atau
kasroh.
Munada yang berupa lafadz yang diidlofahkan pada ya’ mutakalim.
Munada yang
berupa lafadz yang diidlofahkan pada ya’ mutakalim itu hukumnya wajib
menetapkan ya’ mutakalim, kecuali jika berupa lafadz ابن
atau ابنة
yang diidlofahkan pada lafadz اُمِّى atau
عَمِّى, maka wajib membuang ya’ mutakalim serta
membaca kasroh atau fathah pada huruf akhir, hal ini karena sering digunakan
dan menuntut untuk diringankan.
Seperti:
a.
Lafadz
يَاابْنَ اُمِّ hai putra ibuku
Bisa
diucapkan يَاابْنَ اُمَّ
b.
Lafadz
يَاابْنَ عَمِّ hai putra pamanku
Bisa
diucapkan يَاابْنَ عَمَّ
Terkadang munada yang berupa lafadz ابن yang diidlofahkan pada lafadz ام atau عم , ya’ mutakalimnya ditetapkan atau diganti
dengan alif, hal ini biasanya terjadi dalam keadaan dorurot.
وَفِى
النِّدَا أبَتِ عَرَضْ ( ) وَاكْسِرْ وَافْتَحْ وَمِنَ الْيَا التَّا
عِوَضْ
Lafadz اب dan
ام
yang diidlofahkan pada ya’ mutakalim (selain lia wajah diatas) juga boleh
mengganti ya’ mutakalim dengan ta’, yang dibaca kasroh atau fathah. Diucapkan :
يَا اُمَّتٍ ’ يَااَبَتِ dan seperti dalam al-quran :
يَاأبَتِ افْعَلْ
مَاتُؤْمَرُسَتَجِدُنِى اِنْ شَاءَاللّهُ مِنَالصَّابِرِيْنَ
“Hai (nabi
Ibrohim) ayahku! Lakukanlah apa yang yang diperintahkan Allah padamu, Insya
Allah kamu akan menemukan diriku termasuk orang yang bersabar.”
Mengganti ya’ mutakalim dengan ta’
didalam lafadz ام
dan اب
hanya terjadi pada nida’ saja. Mengganti ya’ dengan
ta’ itu hukumnya tidak wajib, dan lafadz
ام dan
اب
, juga memiliki lima wajah yang lain yang telah disebutkan. Dan tidak
diperbolehkan mengumpulkan antara ya’ dan ta’, karena menyebabkan berkumpulnya
iwad dan mu’awwad. Juga tidak boleh mengumpulkan antara ta’ dan alif yang
merupakan pengganti dari ya’ mutakalim.
Para ulama terjadi khilaf didalam
membaca dhommah ta’ , mengikuti Imam Al-Farro’ dan Abu Ja’far An-Nuhas
diperbolehkan, sedangkan mengikuti Imam Az-Zujaj tidak diperbolehkan, dengan
demikian wajah bacaan lafadz ام dan اب yang diidlofahkan pada ya’ mutakalim itu
memiliki delapan wajah.
اسماء
لازمت النداء
وَفُلُ
بَعْضُ مَا يُخَصُ فِى النِّدَاءِ (
) لُؤْمَانُ نَوْمَانُ كَذَا
وَاطَرَدَا
فِى
سَبِّ الأُنْثَى وَزْنُ يَا خَبَاثِ (
) وَاْلأَمْرُ هَكَذَا مِنَ
الثُّلاَثِى
Lafadz فُلُ, لُؤْمَانُ, نَوْمَانُ adalah isim-isim yang harus dilakukan sebagai
munada.
Adapun lafadz
yang mengikuti wazan فَعَالَ digunakan untuk
mencela orang perempuan, wazan ini juga menjadi wazannya isim fi’il amar yang
qiyasi dari fi’il tsulasi.
Isim-isim yang
harus dilakukan munada.
1.
Lafadz
فُلُ
Digunakan untuk laki-laki, dan فُلَةُ untuk wanita. Seperti:
a.
يَافُلُ
لِمَاذَا تُفَرِّطُ hai fulan/ hai laki-laki/ hai zaid,
kenapa kamu sembrono?
b.
يَافُلَةُ
لِمَاذَا تُفَرِّطِيْنَ hai fulanah/ hai wanita/ hai hindun, kenapa
kamu sembrono?
Para ulama terjadi khilaf pada maknanya lafadz فُلُ , فُلَةُ , yaitu:
1)
Mengikuti
Imam Sibawaih.
Keduanya adalah kinayah dari isim nakiroh.
2)
Mengikuti
Ulama Kuffah.
Dua lafadz tersebut asalnya فلان dan فلانة , kemudian
dijadikan munada murohhom (diringankan dengan membuang huruf akhir).
3)
Mengikuti
Imam Asy-Syalubin, Ibnu Usfur dan dipilih Imam Ibnu Malik dan putranya.
Bahwa dua lafadz tersebut adalah kinayah dari alam (nama).
2.
Lafadz لُؤْمَانُ
Bermakna عَظِيْمُ
الُّؤْمِ , orang yang paling tercela.
3.
Lafadz
نَوْمَانُ
Yang bermakna كثير النوم , orang yang
banyak tidur.
Lafadz-lafadz diatas penggunaannya adalah sima’i, kecuali lafadz
“mul’amani”, para ulama terjadi khilaf, ada yang berpendapat sima’i juga ada
yang berpendapat qiyasi.
Lafadz yang mengikuti wazan “maf’alani” seperti “mal’amani”, itu
yang paling banyak digunakan untuk mencela, namun juga terkadang digunakan
memuji, seperti yang diriwayatkan Imam Sibawaih dan Al-Ahfasy, seperti:
يَامَكْرَمَانِ Hai orang yang sangat mulia.
يَامَطْيَبَانِ Hai orang yang sangat baik.
4.
Lafadz
yang mengikuti wazan فَعَلِ
Wazan ini dilakukan khusus untuk munada, dan digunakan untuk mncela
orang wanita, sedangkan hukumnya qiyasi.
Seperti: يَاخَبَاثِ hai wanita yang jorok /tak bermoral.
يَافَسَاقِ
hai wanita fasik (durhaka).
يَالَكَاعِ
hai wanita yang buruk perangainya.
Wazan فَعَالِ juga menjadi wazannya
isim fi’il amar yang qiyasi.
Seperti: نَزَالِ Turunlah (bermakna اِنْزِلْ)
ضَرَبِ
Pukullah (bermakna اِضْرِبْ)
وَشَاعَ
فِى سَبِّ الذُّكُوْرِ فُعَلُ ( ) وَلاَ تَقِسْ وَجُرَّ فِى الشِّعْرِ فُلُ
Lafadz yang ikut wazan فُعَلُ
itu masyhur digunakan untuk mencela orang laki-laki, dan hukumnya sima’i (bukan
qiyas). Lafadz فُلُ didalam kalam sya’ir
ada yang dibaca jer.
5.
Lafadz
yang mengikuti wazan فُعَلُ
Digunakan untuk mencela orang laki-laki dan hukumnya sima’i.
Contoh: يَافُسَقُ Hai orang yang fasik (durhaka)
يَاعُذَرُ Hai penghianat
يَالُكَعُ Hai lelaki yang buruk perangainya.
Lafadz فُلُ didalam kalam sya’ir ada
yang dibaca jer dan tidak dilakukan munada, seperti:
v تَضِلُّ مِنْهُ اِبِلِى بِالْهَوْجَلِ فِى لَجَّةٍ اَمْسِكْ فُلاَنًا عْنْ فُلِ
Ditanah Haujal, ketika terdengar suara gemuruh perang dan debu yang
berhamburan aku kehilangan untaku, karena bercampur dengan kerumunan unta
lainnya. (lalu kukatakan) peganglah si fulan supaya tidak bercampur fulan
lainnya. (Abi An-Najm Al-Ijli).
الإستغاثة
إِذَ
اسْتُغِيْثَ اسْمٌ مُنَادى حُفِضَا (
) بِاللاَّمِ مَفْتُحًا كَيَا
لَلْمُرْتَضَى
Isim yang dijadikan munada mustaghhots (munada yang dimintai
pertolongan) itu harus dijerkan dengan lam yang dibaca fathah.
Devinisi Istighotsah.
Yaitu memanggil orang/dzat untuk menyelamatkan atau menolong dari
kesengsaraan atau beban yang berat.
Contoh: يَالَزَيْدٍ لِعَمْرٍو Hai minta tolong pada zaid untuk
menyelamatkan umar.
Lafadz يَالَزَيْد
dinamakan mustagots (yang dimintai tolong)
Lafadz لِعَمْرٍو
dinamakan mustagots lah/li-ajlih (yang menerima pertolongan).
Komponen atau unsur-unsur dalam Istighotsah:
Ø
Mustaghots,
yaitu orang yang meminta pertolongan
Ø
Mustaghots
minhu, yaitu orang yang dimintai pertolongan
Ø
Mustaghots
li ajlih, yaitu yang ditolong.
Hukumnya Mustaghots.
Mustaghots itu hukumnya wajib dijerkan dengan lam huruf jer yang
dibaca fathah, karena untuk membedakan pada lam yang masuk pada mustaghots-lah
yang dibaca jer, seperti:
a)
يَالَلْمُرْتَضَى لِلْمُسْلِمِيْنَ Hai minta tolong pada Sayyidina Ali yang
bergelar Al-Murtadlo (orang yang diridhoi) untuk menyelamatkan orang-orang
islam.
b)
Seperti
ucapan Sayyidina Umar ketika ditikam Abu Lu’lu
يَااللّه االِلْمُسْلِمِيْنَ Hai minta tolong pada Alloh untuk
menyelamatkan orang islam.
Mustaghots
itu hukumnya mu’rob secara mutlak. Dalam munada
mustagots diperbolehkan mengumpulkan antara ya’ nida dengan al, karena tidak
bertemu langsung, disebabkan dipisah lam huruf jer. Huruf
nida’ yang bisa digunakan dalam munada mustagots hanya ya’ nida’ saja dan tidak
boleh dibuang.
وَفْتَحْ
مَعَ الْمَعْطُوْفِ إِنْ كَرَرْتَ يَا
( ) وَفِى سِوَى ذَلِكَ بِاْلكَسْرِائْتَيَا
Mustaghots
yang di athofkan pada mustaghots lain apabila ya’ nida’nya diulangi, maka lam
huruf jernya wajib dibaca fathah, sedangkan pada selainnya (mustaghots yang
diathofkan tidak mengulangi ya’), maka lam huruf jernya wajib dibaca kasroh.
Mustaghots
yang diathofi sesamanya.
Mustghots
yang diathofkan pada mustaghots yang lain itu hukumlam jernya ditafsil, yaitu:
1)
Apabila
ya’ nida’nya diulang, maka mustaghots yang diathofkan lamnya, wajib dibaca
fathah.
2)
Apabila
ya’ nida’nya tidak diulangi, maka mustaghots yang menjadi ma’thuf lamnya wajib
dibaca kasroh.
وَلاَمُ
مَا اسْتُغِيْثَ عَاقَبَتْ اَلِفْ ( ) وَمِثْلُهُ اسْمٌ ذُوْ تَعَجُّبٍ اُلِفْ
Lam
huruf jer mustaghots diperbolehkan dibuang dan diganti alif, muta’ajjub minhu
(sesuatu yang dikagumi) itu hukumnya seperti mustaghots.
Membuang
lamnya mustaghots.
Lamnya
mustaghots diperbolehkan dibuang dan diganti alif, dan tidak diperbolehkan
mengumpulkan antara lam dan alif.
Hukumnya
muta’ajjub minhu.
Sesuatu
yang dikagumi itu hukumnya seperti mustaghots, yaitu:
1)
Dijerkan
dengan lam yang dibaca fathah
2)
Lamnya
boleh dibuang dan diganti alif.
الندبة
مَا لِلْمُنَادَى جْعَلْ لِمَنْدُوْبٍ وَمَا ( ) نُكِّرَ
لَمْ يُنْدَبْ وَلَامَاأُبْهِمَا
وَيُنْدَبُ الْمَوْصُوْلُ
بِالَّذِى اشْتَهَرْ ( ) كَبِئْرَ زَمْزَمٍ يَلِيْ وَمَنْ خَفَرْ
Isim yang bisa dijadikan munada juga bisa dijadikan munada mandub,
kecuali isim nakiroh dan isim yang mubham (masih samar) maknanya (yaitu isim
isyaroh dan isim mausul yang belum tertentu).
Isim mubham yang berupa isim mausul itu diperbolehkan dijadikan
munada mandub apabila memiliki silah yang masyhur (yang dengan silah tersebut
maksudnya bisa diketahui). Kecuali jika isim mausul tersebut sepi dari “al” dan
disifati dengan silah yang sudah masyhur.
Devinisi Nutbah
Yaitu memanggil orang yang diratapi
karena ketidakadaannya dalam wujudnya bersama orang yang meratap atau seperti
orang yang tidak ada wujudnya atau memanggil sesuatu yang merasakan rintihan
atau memanggil sesuatu yang menyebabkan merintih.
Lafadz-lafadz
yang bisa dijadikan munada mandub
Semua lafadz yang bisa dijadikan munada
bisa dijadikan munada mandub, baik berupa lafadz yang mufrod atau yang mudhof,
kecuali isim nakiroh dan isim yang mubham.
Munada mandub tidak bisa pada isim
yang nakiroh dari isim yang mubham (yaitu isim isaroh dan isim mausul) karena
tujuan dari nudbah (merintih,meratap) tidak akan tercapai, yaitu memberitahukan
besarnya musibah yang dirasakan/diratapkan.
Isim mausul
yang shilahnya masyhur
Isim mausul yang shilahnya sudah
masyhur, (yang bisa menghilangkan kesamarannya dan menentukan pada orangnya) maka
boleh dijadikan munada mandub.
وَمُنْتَهَى الْمَنْدُوْبِ
صِلْهُ بِالْاَلِفْ ( ) مَتْلُوَّهَا اِنْ كَانَ مِثْلَهَا حُذِفْ
كَذَاكَ تَنْوِيْنُ الَّذِى
بِهِ كَمَلْ ( ) مِنْ صِلَةٍ أَوْغَيْرِهَا نِلْتَ اْلَامَلْ
Temukanlah
akhirnya munada mandub dengan alif (yang dinamakan alif nutbah), apabila
akhirnya munada mandub berupa alif, maka alifnya dibuang, lalu ditemukan alif
nudbah.
Begitu pula
tanwin yang berada pada shilah atau lainnya yang menjadi penyempurna kalimat
juga dibuang, begitu juga dengan tanwin silah.
Menambah Alif
Nudbah
Didalam munada mandub akhirnya
ditemukan dengan alif nudbah (namun hukumnya tidak wajib).
Contoh: yang mufrod (
وَازَيْدَا )
Membuang Alif
dan Tanwin
a)
Munada
mandub yang huruf akhirnya berupa alif, sebelum ditemukan alif nudbah wajib
dibuang dulu, seperti:
Lafadz مُوْسَى diucapkan وَامُوْسَا
Ulama’ kufah memperbolehkan mengganti alif menjadi ya’.
Seperti, وَمُوْسِيَا
b)
Begitu
pula tanwin yang ada pada akhirnya shilah atau pada mudhof ilaih juga wajib
dibuang sebelum ditemukan alif nudbah, seperti:
وَامَنْ نَصَرَ مُحَمَدًا
وَالشَّكْلَ حَتْمًا أَوْلِهِ
مُجَانِسَا ( ) إِنْ يَكُنِ الْفَهْمُ بِوَهْمٍ لَابِسَا
Harokatilah
akhirnya munada mandub dengan harokat yang sesuai apabila diharokati fathah
menimbulkan dugaan keserupaan dengan lafadz yang lain.
Mengharokati
Munada Mandub dengan harokat yang sejenis
Harokat
akhir pada munada mandub ditafsil sebagai berikut:
1.
Apabila
akhir munada mandub yang ditemukan alif nudbah berupa fathah, maka langsung
ditemukan alif nudbah dengan tanpa merubah.
2.
Apabila
akhir munada mandub berharokat selain fathah (kasroh atau dhomah), maka
ditafsil menjadi dua, yaitu:
a.
Apabila
diharokati fathah tidak menyebabkan labsu (salah pengertian) maka wajib
diharokati fathah.
b.
Apabila
diharokati fathah menyebabkan labsu (salah pengertian karena ada
keserupaan dengan lafadz lain), maka alif nudbahnya diganti dengan wawu atau
ya’, dengan disesuaikan dengan harokat akhirnya munada mandub.
وَوَاقِفًازِذْهَاءَسَكْتٍ
اِنْ تُرِدْ ( ) وَإِنْ تَشَاءْ فَالْمَدُّ وَاْلهَالَاتَزِدْ
Munada mandub apabila dibaca waqof maka diperbolehkan ditambahkan
ha’ sakat (ha’ untuk waqaf) setelah alif nudbah atau dicukupkan dengan membaca
panjang pada alif nudbah, tanpa menambahkan hak sakat.
Munada Mandub ketika waqof
Munada mandub ketika diwaqafkan diperbolehkan dua wajah, yaitu:
1.
Ditambah ha’ sakat setelah alif nudbah
2.
Dibaca panjang alif nudbahnya tanpa
menambahkan ha’ sakat.
Ha’ sakat tidak diperbolehkan ditetapkan ketika keadaan washol dan
terkadang ha’ sakat ditetapkan dengan harokat dhommah atau kasroh ketika
keadaan darurot.
وَقَائِلٌ وَاعَبْدِيَا
وَعَبْدَا ( ) مَنْ فِى النِّدَااْليَاذَاسُكُوْنٍ عَبْدَا
Munada yang dimudhofkan pada ya’ mutakalim yang mengikuti lughot
menetapkan ya’ yang disukun, ketika dijadikan munada mandub memiliki dua wajah,
yaitu:
a.
Menambahkan alif nudbah pada ya’ mutakalim yang dibaca fathah.
b.
Membuang ya’ mutakalim lalu menambahkan alif nudbah.
Apabila munada yang dimudhofkan pada ya’ mutakalim mengikuti lughot
yang lain, maka hanya memiliki satu wajah saja, yaitu membuang ya’ mutakalim
lalu ditambahkan alif nudbah.
Kalo pada lafadz رَبّ زدني علما
BalasHapus