Dzikrulloh Warosulih SAW

BACALAH SELALU DI DALAM HATI ATAU DENGAN LISAN "YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOOH" UNTUK DZIKIR KEPADA ALLOH WA ROSULIHI SAW

17.4.15

SUSUNAN,STRUKTUR DAN KEWENANGAN PERADILAN UMUM,PERADILAN AGAMA,PERADILAN MILITER,PERADILAN TATA USAHA

Kata pengantar
Segala puji bagi Allah SWT yang maha pemurah lagi maha penyayang dan maha pemberi hidayah dan petunjuk serta pertolongan kepada siapapun hambanya yang di kehendaki.
Shalawat serta salam yang seindah-indahnya semoga tetap terlimpah ruah kepada Nabi agung beliau Nabi Muhammad SAW,sebanyak naik turunya nafas serta sebnyak daun yang berguguran pada bumi.
Salam ta’dzim dan mahabbah semoga selalu keharibaan Ghutsu Hadzaz Zaman RA,besar harapan saya semoga sebatas tulisan ini mampu menjadikan diri kita generasi pemuda yang lebih untuk mengangkat derajat bangsa yang saat ini dalam ambang kebodohan.semoga tulisan ini mampu menjadikan kita semakin bertambahnya pengetahuan kita.Aminnn…

 BAB  I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Permasalahan
Dalam Negara Hukum Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, keadilan, ketertiban, kebenaran dan kepastian hokum dalam sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang aman, tentram dan tertib seperti yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu untuk mewujudkan hal-hal tersebut dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakan hukum dan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakan hukum dalam mencapai keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atas sengketa dibidang tertentu.
Peradilan adalah salah satu dari ruang lingkungan peradilan Negara yang dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya sebagaimana daitur dalam Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman.Peradilan yang kewenangannya mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu yaitu mereka yang bernegara, sejajar dengan peradilan yang lain.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mahkamah Agung
Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga tinggi yang memegang kekuasaan kehakiman di dalam negara Republik Indonesia. Dalam trias politika, MA mewakili kekuasan yudikatif. Sesuai dengan UUD 1945 (Perubahan Ketiga), kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. 
 Tugas dan Wewenang
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang MA adalah:
a.       Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
  1. Mengajukan tiga orang anggota Hakim Konstitusi
  2. Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi

Peradilan Umum
1.Pengadilan Tinggi
 Pengadilan Tinggi merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi selaku salah satu kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum mempunyai tugas dan kewenangan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilam Umum, dalam pasal 51 menyatakan :
a. Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di Tingkat Banding.
b. Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di Tingkat Pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
              Disamping tugas dan kewenangan sebagaimana tersebut diatas pengadilan juga dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum kepada Instansi Pemerintah di daerahnya apabila diminta (pasal 52 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2004). Dan selain tugas dan kewenangan diatas pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang (pasal 52 ayat 2 UU No. 8 Tahun 2004). Susunan Pengadilan Tinggi dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Tinggi terdiri atas Pimpinan (seorang Ketua PT dan seorang Wakil Ketua PT), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
2.Pengadilan Negeri
           Pengadilan Negeri (biasa disingkat: PN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
Daerah hukum Pengadilan Negeri meliputi wilayah Kota atau Kabupaten.
Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan (Ketua PN dan Wakil Ketua PN), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.
Bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. (Psl 50 UU No.2/1986)
Pengadilan Negeri dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang. (Psl 52 ayat 2 Bab Kekuasaan Pengadilan UU No.2/1986)
Ketua Pengadilan Negeri
Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris, dan jurusita di daerah hukumnya. (Psl 53 ayat 1 Bab Kekuasaan Pengadilan UU No.2/1986)
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para hakim.
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat-surat lainnya yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan kepada Majelis Hakin untuk diselesaikan.
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu karena menyangkut kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan[1]
Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pekerjaan notaris di daerah hukumnya dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung, dan Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris. (Psl 54 ayat 1 UU No.8/2004)
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor urut, kecuali terhadap tindak pidana yang pemeriksaannya harus didahulukan, yaitu: korupsi, terorisme, narkotika/psikotropika,pencucian uang, perkara tindak pidana lainnya yang ditentukan oleh undang-undang dan perkara yang terdakwanya berada di dalam Rumah Tahanan Negara. (Psl 57 UU No.8/2004)[2]

3. Pengadilan Khusus
Pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum yaitu:
1.      Pengadilan anak ( UU no.3 tahun 1997)
2.      Pengadilan niaga ( UU no. 37 tahun 2004)
3.      Pengadilan HAM ( UU no. 26 tahun 2000)
4.      Pengadilan tindak pidana korupsi ( UU no. 30 tahun 2002)
5.      Pengadilan hubungan industrial ( UU no. 2 tahun 2004)
6.      Pengadilan pajak ( UU no.14 tahun 2002)

D. Peradilan Agama
1. Pengadilan Tinggi Agama
           Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang untuk mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
           Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang untuk mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya. Pengadilan Tinggi Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris 
Jadi tugas dan wewenang pengadilan tinggi agama adalah :
a.       Mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
  1. Mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya. 
2. Pengadilan Agama
           Pengadilan Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan
b. warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. wakaf dan shadaqah
d. ekonomi syari'ah
            Pengadilan Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua PA dan Wakil Ketua PA), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita. 
Kekuasaan ataw kewenangan Peradilan Agama
Kewenangan disebut juga kekuasaan atau kompetensi, kompetensi berasal dari bahasa Latin competo, kewenangan yang diberikan undang-undang mengenai batas untuk melaksanakan sesuatu tugas; wewenang mengadili. Kompetensi dalam bahasa Belanda disebut competentie, kekuasaan (akan) mengadili; kompetensi. Kompetensi disebut juga kekuasaan atau kewenangan mengadili yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa di pengadilan atau pengadilan mana yang berhak memeriksa perkara tersebut. Ada dua macam kompetensi atau kekuasaan/kewenangan mengadili, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut.
1.      Kewenangan Relatif Peradilan Agama
Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Negeri. Atau dengan kata lain Pengadilan Negeri mana yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Pengertian lain dari kewenangan relatif adalah kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan. Misalnya antara Pengadilan Negeri Padang dan Pengadilan Negeri Solok, Dari pengertian di atas maka pengertian kewenangan relatif adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara.
a.      Kewenangan Relatif Perkara Gugatan
Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi:
  • Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal.
  • Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat.
  • Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat.
  • Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak.
  • Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.

b.      Kewenangan Relatif Perkara Permohonan
Untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu, perkara-perkara tersebut adalah sebagai sebagai berikut.
v  Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
v  Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
v Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.
vPermohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri.
2.      Kewenangan Absolut Peradilan Agama
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Kewenangan Absolut Sebelum Kemerdekaan:
ü  Staatsblaad 1882 No. 152 tidak disebutkan secara tegas kewenangan PA, hanya disebutkan bahwa wewenang PA itu berdasarkan kebiasaan dan biasanya menjadi ruang lingkup wewenang PA adalah: hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan, talak, rujuk, wakaf, warisan.
ü  Staatsblaad 1937 No. 116 (Jawa dan Madura) : “PA hanya berwenang memeriksa perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan perkara-perkara lain yang berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk.
Pada masa ini wakaf, tuntutan nafkah, hadhanah, pemecatan wali nikah, perkara kewarisan, hibah wasiat, sadakah bukan kewenangan PA.   
Kewenangan Absolut Setelah Kemerdekaan:
PP No. 45 Tahun 1957: PA berwenang mengadili perkara nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, mahar, maskan (tempat kediaman), mut'ah, hadanah, waris, wakaf, hibah, sadakah, baitul maal. SK. Menag No. 6 Tahun 1980: Nama untuk peradilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Agama. Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Agama.
Pasal 49 s/d 53 UU No. 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf dan sadakah.
Kewenangan PA saat ini:
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
        perkawinan
        waris
        wasiat
        hibah
        wakaf
        zakat
        infaq
        shadaqah
        ekonomi syari’ah.
Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1.       Perkawinan
Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
  1. izin beristri lebih dari seorang;
  2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
  3. dispensasi kawin;
  4. pencegahan perkawinan;
  5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
  6. pembatalan perkawinan;
  7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
  8. perceraian karena talak;
  9. gugatan perceraian;
  10. penyelesian harta bersama;
  11. penguasaan anak-anak;
  12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
  13. penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
  14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
  15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
  16. pencabutan kekuasaan wali;
  17. penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
  18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
  19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
  20. penetapan asal usul seorang anak;
  21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
  22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:
  23. Penetapan Wali Adlal;
  24. Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.
2. Waris
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
3. Wasiat
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
4. Hibah
Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
5. Wakaf
Yang dimaksud dengan “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
6. Zakat
Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
7. Infaq
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.
8. Shodaqoh
Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.

9. Ekonomi Syari’ah
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
 bank syari’ah;
        lembaga keuangan mikro syari’ah.
        asuransi syari’ah
        reksa dana syari’ah
        obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
        sekuritas syari’ah
        pembiayaan syari’ah
        pegadaian syari’ah
        dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
        bisnis syari’ah.



E. Peradilan Militer
1. Pengadilan Militer Tinggi
           Pengadilan Militer Tinggi merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Selain itu, Pengadilan Militer Tinggi juga memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding. Pengadilan Militer Tinggi juga dapat memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
2. Pengadilan Militer
         Pengadilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah.
         Nama, tempat kedudukan, dan daerah hukum Pengadilan Militer ditetapkan melalui Keputusan Panglima. Apabila perlu, Pengadilan Militer dapat bersidang di luar tempat kedudukannya bahkan di luar daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama.
KEKUASAAN DAN KEWENANGAN PERADILAN MILITER
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud diatas berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Menurut Pasal 9 yang berbunyi:
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
  1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
  1. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
  2. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
FUNGSI PERADILAN MILITER
Fungsi peradilan militer yang ada di Indonesia diantaranya ialah:
Pengadilan militer untuk mengadili anggota TNI yang berpangkat prajurit.
Pengadilan militer tinggi, untuk mengadili anggota TNI yang berpangkat perwira sampai dengan pangkat kolonel.
Pengadilan militer utama, untuk mengadili anggota TNI yang berpangkat jendral
Pengadilan militer pertempuran, untuk mengadili anggota TNI ketika terjadi perang.
F. Peradilan Tata Usaha Negara
1. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
           Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding.
           Selain itu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara terdiri dari Pimpinan (Ketua PTTUN dan Wakil Ketua PTTUN), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris
2. Pengadilan Tata Usaha Negara
           Pengadilan Tata Usaha Negara (biasa disingkat: PTUN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tata Usaha Negara berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
           Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk melalui Keputusan Presiden dengan daerah hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pimpinan (Ketua PTUN dan Wakil Ketua PTUN), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris
SUSUNAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DAN PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA
Susunan Peradilan Tata Usaha Negara sama halnya dengan Peradilan Umum, menuru Pasal 8 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, terdiri dari dua tingkat peradilan, yaitu :
  1. Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan Peradilan Tingkat Pertama
  2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan Peradilan Tingkat Banding.
Sama halnya dengan ketiga peradilan lain, Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung, sebagai peradilan negara tertinggi yang berfungsi sebagai peradilan Tingkat Kasasi.
            Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 11 UPTUN) terdiri atas :
  1. Pimpinan
  2. Hakim Anggota
  3. Panitera
  4. Sekertaris
Dari keempat susunan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1.    Pimpinan
            Pimpinan terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua, baik Pengadilan Tata Usaha Negara, maupun Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, untuk dapat diangkat menjadi ketua dan wakil ketua diperlukan pengalaman selama 10 tahun sebagai Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, sedang dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, untuk dapat diangkat menjadi ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun sebagai Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya 5 tahun sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bagi yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, sedang untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 8 tahun sebagai Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya 3 tahun sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bagi yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. Khusus mengenai  syarat pengalaman kerja ini, untuk pertama kali dibentuk Pengadilan Tata Usaha Negara tidak mungkin dapat dipenuhi, oleh karena itu melalui Ketentuan Peralihan Pasal 143 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, telah memberikan suatu pengecualian. Untuk pertama kali pada saat undang-undang ini diterapkan, Menteri Kehakiman setelah mendengar pendnapat dari Ketua Mahkamah Agung mengatur pengisian jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, dan Sekertaris pada Pengadilan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, menyimpang dari persaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
            Ketua dan Wakil Ketua pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung (Pasal 16 ayat (2)UPTUN).
            Sebelum memangku jabatannya Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara mengucapkan sumpah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing (Pasal 17 UPTUN).
            Ketua dan Wakil Ketua dapat diberhentikan dengan hormat dan tidak hormat dari jabatannya. Pemberhentian dengan hormat dari jabatannya dapat dilakukan karena (Pasal 19 UPTUN) :
  1. Permintaan sendiri
  2. Sakit rohani dan jasmani terus-menerus
  3. Telah berumur 60 tahun bagi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, dan 63 tahun bagai Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
  4. Dinyatakan tidak cakap di dalam menjalankan tugasnya
Sedang pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dapat dilakukan karena (Pasal 20 UPTUN) :
  1. Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan
  2. Melakukan perbuatan tercela
  3. Terus-menerus melalaikan kewaiban di dalam menjalankan tugas pekerjaannya.
2.        Hakim
            Seorang Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara disebut “Hakim”, dan seorang Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara  disebut “ Hakim Tinggi “.  Hakim pada pengadilan dilingkunagan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan seorang pejabat yang berfungsi sebagai pelaksana tugas dibidang kekuasaan kehakiman (yudikatfi).
            Menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor Tahun 1986 pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri dilakukan oleh Menteri Kehakiman, sedang pembinaan dan pengawasan dibidang teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
            Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 14 UPTUN), adalah :
  1. Warga Negara Indonesia
  2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  3. Setia pada Pancasila dan UUD 1945
  4. Bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam gerakan Kontra Revolusi G.30 S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.
  5. Pegawai Negeri
  6. Sarjana Hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dibidang Tata Usaha Negara
  7. Berumur serendah-rendahnya 25 tahun
  8. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
Sedang syarat untuk menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada umumnya sama dengan syarat untuk menjadi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali umur serendah-rendahnya 40 tahun ditambah dengan pengalaman sekurang-kurangnya 5 tahun sebagai Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya 15 tahun sebagai hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
            Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung (Pasal 16 UPTUN).
            Alasa pemberhentian dengan hormat dan tidak hormat Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara sama dengan alas an pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua pengadilan, ditambah dengan melanggar larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu :
  1. Merangkap menjadi pelaksana putusan pengadilan
  2. Merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya
  3. Merangkap menjadi pengusaha
3.        Panitera
            Pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdapat lembaga kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang Panitera. Dalam menjalankan tugasnya panitera dibantu oleh seorang wakil penaitera, beberapa orang panitera muda dan panitera pengganti (Pasal 27 UPTUN). Panitera diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman.
            Syarat untuk dapat diangkat menjadi Panitera Penagadilan Tata Usaha Negara (Pasal 28 UPTUN) adalah :
  1. Warga Negara Indonesia
  2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  3. Setiap kepada Pancasila dan UUD 1945
  4. Serendah-rendahnya berijazah sarjana muda jurusan hukum
  5. Berpengalaman sekurang-kurangnya 4 tahun sebagai wakil panitera, atau 7 tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tata Usaha Negara, atau menjabat sebagai wakil Panitera di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Sedang syarat untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha  Negara (Pasal 29 UPTUN)  adalah :
  1. Warga Negara Indonesia
  2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  3. Setiap kepada Pancasila dan UUD 1945
  4. Serendah-rendahnya berijazah sarjana   hukum
  5. Berpengalaman sekurang-kurangnya 4 tahun sebagai wakil panitera, atau 8 tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, atau menjabat sebagai wakil Panitera di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau 4 tahun sebagai Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.
4.        Sekertaris
            Pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdapat lembaga keserkertariatan, yang dipimpin oleh seorang sekertaris yang  dirangkap oleh panitera dan dibantu oleh seorang wakil sekertaris (Pasal 40 UPTUN. Wakil sekertaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekertaris Pengadilan Tata Usaha Negara adalah :
  1. Warga Negara Indonesia
  2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  3. Setia  kepada Pancasila dan UUD 1945
  4. Serendah-rendahnya berijazah Sarjana Muda Administrasi
  5. Berpengalaman dibidang administrasi pengadilan
            Sedang syarat untuk menjadi wakil sekertaris Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (Pasal 43 UPTUN) adalah :
  1. Warga Negara Indonesia
  2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  3. Setia  kepada Pancasila dan UUD 1945
  4. Serendah-rendahnya berijazah Sarjana  Hukum atau Sarjana Adminstrasi, sekertaris bertugas menyelenggarakan administrasi umum pengadilan, baik pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
KEKUASAAN DAN KEWENANGAN PENGADILAN
            Menurut Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
            Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara, antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang.
            Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah sempit karena tidak semua perkara yang pokok sengketanya terletak di lapangan hukum publik (Hukum Tata Usaha Negara) dapat diadili di Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3)  UPTUN  Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara haruslah memenuhi syarat-syarat :
a)        Bersifat tertulis, hal ini diperlukan untuk memudahkan pembuktian. Yang dimaksud tertulis adalah :
  1. Jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha yang mengeluarkannya
  2. Jelas isi dan maksud tulisan tersebut yang menimbulkan hak dan kewajiban
  3. Jelas kepada siapa tulisan itu ditujukan
     Mengenai syarat-syarat ini ada pengecualinya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu :
1)      Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal ini menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
2)      Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud
3)      Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan
b)        Bersifat konkret, artinya objek yang diputus dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu berwujud tertentu atau dapat ditentukan
c)        Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk orang-orang atau badan hukum perdata tertentu. Jadi tidak berupa suatu peraturan yang berlaku umum
d)       Bersifat final, artinya sudah difinitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum, atau ketetapan yang tidak membutuhkan lagi persetujuan dari instansi atasannya.
            Disamping itu menurut ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pengadilan tidak berwenang mengadili suatu sengketa Tata Usaha Negara, dalam hal keputusan Tata Usaha Negara itu dikeluarkan :
  1. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan yang membahayakan berdasarkan keputusan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  2. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
            Dalam Pasal 2 UPTUN , ada beberapa keputusan yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat dihadapan Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu :
  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan Hukum Perdata
  2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum
  3. Keputusan Tata Usaha Negara yang memerlukan persetujuan
  4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHAP atau peraturan perundang undangan lain yang bersufat hukum pidana
  5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan  peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
  7. Keputusan Tata Usaha Negara, baik dipusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum
            Mengenai kompetensi ini ternyata Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 masih bersifat mendua karena masih memberikan kewenangan kepada badan-badan lain (pengadilan semu) diluar pengadilan yang ada di luar lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara tertentu.
            Hal lain dapat dilihat dalam Pasal 48 UPTUN yang menyebutkan :
  1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administrasi yang tersedia
  2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jika seluruh upaya administrasi telah diselesaikan
            Yang dimaksud upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata, apabila ia merasa tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan instansi yang bersangkutan.
Upaya administrasi tersebut terdiri dari :
  1. Keberatan administrasi diajukan kepada atasan pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
  2. Banding adminstrasi dilakukan oleh instansi atasan instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, seperti Majelis Pertimbangan Pajak, Badan Pertimbangan Kepegawaian, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Panitia Urusan Perumahan, DPRD bagi suatu peraturan Daerah dan lain-lain
Hal ini dapat diketahui dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
            Untuk sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berwenang memriksa, memutus, dan menyelesaikan pada tingkat pertama adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Sengketa tersebut baru dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara setelah menempuh semua upaya administratif yang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dibuatnya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Seandainya para pihak masih merasa tidak puas atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut dapat diajukan ke Mahkamah Agung (Pasal 51 UPTUN).
            Disamping mengadili pada tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Pengadilam Tinggi Tata Usaha Negara juga berwenang (Pasal 51 UPTUN) :
  1. Memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara ditinkat banding
  2. Memeriksa dan memutus tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
 Pengadilan Tinggi merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi selaku salah satu kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum mempunyai tugas dan kewenangan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilam Umum, dalam pasal 51 menyatakan :
a. Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di Tingkat Banding.
b. Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di Tingkat Pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
Pengadilan Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan
b. warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. wakaf dan shadaqah
d. ekonomi syari'ah


DAFTAR PUSTAKA


Diktat Hukum Acara Perdata Indonesia oleh Sri Hartini, M.Hum
http://www.bintorolawfirm.com/the-news/87-lembaga-peradilan-di- indonesia.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Agama
http://pa-lubukpakam.net/wewenang.htm
Hersoebeno. Pemeriksaan Permulaan Dalam Sistem Peradilan Militer. Jakarta: Perguruan Tinggi Hukum Militer, 1994.
Kasdiyanto. Pemeriksaan In Absentia dalam Perkara Desersi di Lingkungan Peradilan Militer. Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Militer, 1999.
Salam, Faisal. Peradilan Militer Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1994.



[1] Achmad Fauzan, SH.,LLM. Himpunan UU Lengkap tentang Badan Peradilan. Hal: 90-91
[2] Ibid. Hal:113

0 komentar:

Posting Komentar